PROBLEMATIKA RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Realitas telah membuktikan bahwa carut marut pendidikan Indonesia kian menurun dan semakin terpuruk. Hal ini sungguh merupakan suatu kenyataan yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, yang membawa harapan dan berujung pada kekecewaan. Banyak fakta yang muncul dalam dunia pendidikan justru membuat kita semakin bingung mulai dari soal kebijakan, isi, proses maupun penyelenggaraan pendidikan. Sebagai contoh soal kebijakan ujian nasional. Pemerintah telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk ”merampas” kewenangan pedagogis guru dalam menentukan kelulusan murid. Sayang, walau banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari para pakar pendidikan, pemerintah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dan hasilnya, mengecewakan. Fenomena itu terungkap dalam persentase kelulusan tahun 2010 yang sangat tidak memuaskan dan sungguh menyedihkan. Setiap media masa dan elektronik pasti memberitakan tentang keterpurukan yang terjadi. Siapa yang salah? Contoh lain, mengenai Undang-Undang Guru dan Dosen. Tanpa banyak melibatkan guru-guru dalam diskusi, tiba-tiba undang-undang tersebut disahkan. Sertifikasi guru memunculkan sederet proyek baru yang sangat potensial menarik minat banyak institusi pendidikan berebut proyek untuk menjadi penyelenggara program sertifikasi guru. Hal ini terjadi karena proyek tersebut sangat menjanjikan secara finansial, meski efektivitas proyek tersebut pantas dipertanyakan. Siapa yang berani menjamin bahwa sertifikasi guru akan memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia ? Di lain pihak, Akta IV yang selama ini menjadi ”SIM” bagi guru malah dianggap seolah-olah tidak ada gunanya sama sekali. Komersialisasi pendidikan semakin bermunculan dengan segala bentuk baik secara terang-terangan maupun samar-samar.
Beragam persoalan yang terus bermunculan di dunia pendidikan menimbulkan keprihatinan masyarakat tentang arah pendidikan Indonesia. Tampaknya sektor pendidikan hendak digiring ke arah privatisasi. Berbagai kebijakan dan aturan yang digulirkan berorientasi pada pelepasan tanggung jawab pemerintah, terutama dalam hal pendanaan. Rencana strategis pendidikan yang menjadi panduan penyelenggaraan pendidikan nasional malah mendorong stratifikasi sekolah berdasarkan kemampuan akademis dan finansial. Siswa dikelompokkan ke dalam empat kategori: kelompok kaya dan pandai, kaya dan kurang pandai, miskin dan pandai, serta miskin dan kurang pandai. Masing-masing kategori diberi orientasikan dan diberi penanganan yang berbeda-beda. Pemerataan kesempatan menikmati pendidikan semakin jauh dari harapan.
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda penyelesaian berbagai problem mendasar dalam dunia pendidikan terutama masalah pemerataan pendidikan. Masih banyak anak yang tidak mampu bersekolah atau drop out karena alasan biaya. Sekarang malah semakin terbuka ruang bagi sekolah untuk menggenjot pemasukan dari masyarakat. Beragam alasan digunakan untuk menarik biaya lebih besar, mulai dari untuk meningkatkan mutu pendidikan hingga untuk mendorong partisipasi. Pemungutan biaya di sekolah semakin tidak terkontrol dan biaya yang ditanggung masyarakat semakin besar. Sebesar apa pun dana bantuan dari pemerintah untuk sekolah tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah pungutan biaya yang semakin besar terhadap masyarakat. Walaupun pemerintah telah menyediakan dana Rp 6,7 triliun untuk program biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan khusus murid, namun pungutan dari sekolah terhadap masyarakat tetap saja besar. Anak yang tergolong miskin tidak akan bisa sekolah karena tidak bisa membayar beragam biaya yang dikenakan pada mereka.
Apa sebetulnya akar problematika pendidikan nasional? Tampaknya akar persoalan pendidikan terletak pada makna pendidikan yang semakin tereduksi ke dalam wilayah yang hampa akan makna. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa pokok persoalan pendidikan kita terletak pada kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen yang jelas dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Banyak program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk try and error yang justru sangat membahayakan masa depan pendidikan Indonesia. Di lain pihak, kurikulum ganti melulu. Demikian pula masalah anggaran untuk pendidikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 diatur bahwa anggaran penyelengaraan Pendidikan Nasional sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam kenyataannya, anggaran pendidikan hanya berkisar 10% dari APBN, dan itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru dan karyawan dan sebagainya.
Pokok persoalan lainnya terletak pada Visi Pendidikan Nasional yang belum berpihak pada rakyat jelata (grass root). Dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, jelas bahwa pendidikan saat ini masih cenderung berpihak pada golongan ekonomi kuat dan kaum kapitalis. Kebijakan pemerintah dan visi Pendidikan Nasional kurang menyentuh kepentingan kalangan grass root. Di lain pihak, kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan "kesadaran kritis" (critical consciousness). Berbagai problem dalam dunia pendidikan selalu memposisikan masyarakat sebagai objek penindasan dan mereka tidak bisa melawan penindasan itu. Mereka selalu tertekan, namun tidak bisa meluapkan aspirasinya karena otoritas kekuasaan pemerintah yang sangat dominan. Akar persoalan pendidikan di atas harus sungguh disadari oleh semua pihak kalau ingin menyelenggarakan pendidikan bermutu di Indonesia.
Lantas, bagaimana arah pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat? Pertanyaan ini lebih mudah dijawab karena masyarakat di belahan dunia manapun pasti mengharapkan agar pendidikan dapat melepaskan semua manusia dari belenggu penindasan dan kesengsaraan. Demikian besar harapan masyarakat pada pendidikan sehingga pendidikan perlu ditempatkan sebagai sesuatu yang suci yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang ditindas. Ketika seseorang merasa haknya untuk memperoleh pendidikan dirampas maka ia berhak menuntut keadilan. Intinya, arah pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat adalah pemerataan kesempatan di bidang pendidikan.
Proses pendidikan harus memuat agenda untuk "memanusiakan manusia" (proses humanisasi)atau humanim human. Pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme dan sikap kritis. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness). Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki "kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pendidikan harus berkiblat pada suatu visi yang sesuai dengan harapan masyarakat yaitu pendidikan yang berbasis pada kerakyatan. Visi tersebut harus menjadi arahan agar pendidikan kita mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang bersinggungan dengan otoritas suatu kekuasaan. Visi pendidikan yang berbasis kerakyatan ini memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Apakah ini mungkin? Jawabannya, segala sesuatu serba mungkin selama ada kemauan dan itikad baik dari pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Lalu bagaimana solusi praktis untuk mengatasi problem pendidikan sekaligus mewujudkan harapan masyarakat? Perlu analisis komprehensif untuk menjawab pertanyaan ini. Jika kita sepakat bahwa pendidikan kita saat ini belum mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan kesempatan menikmati pendidikan sesuai dengan amanah UUD 1945 dan harapan masyarakat, maka tidak ada alasan untuk tidak membenahi sistem pendidikan. Tentunya kita tidak ingin kesemrawutan sistem pendidikan kita menjadi bingkai potret masa depan bangsa dan negara kita. Oleh sebab itu, kita harus segera membenahi sistem pendidikan kita. Kebijakan yang bersifat try and error harus segera kita tinggalkan karena sangat merugikan masa depan pendidikan kita.
Untuk membenahi sistem pendidikan diperlukan keputusan matang dan bijak. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan perlu memperhatikan aspirasi semua pihak dan bukan hanya memperhatikan aspirasi orang yang sepaham saja atau hanya ditentukan oleh Badan Standarisasi Nasional yang hanya terdiri dari sekelompok orang saja. Untuk jangka pendek perlu kesepakatan untuk mengembalikan pendidikan sesuai dengan fungsi dasarnya, sebagai wadah pembentukan manusia utuh dan bukan sebagai lahan proyek/bisnis. Selain itu, kurikulum juga harus menjaga keimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spritual(SQ). Strategi itu lazimnya dikaitkan dengan perubahan,sehingga menjadi strategi perubahan. Mengenai strategi mutu pendidikan berarti bagaimana mutu pendidikan itu harus dirubah dengan strategi yang tepat. Mengenai startegi perubahan itu ditunjukan agar organisasi menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuannya. Dalam rangka inilah diperlukan usaha untuk merubah organisasi dengan memperhatikan berbagai faktor yang terkait.
Visi pendidikan harus diarahkan pada pendidikan yang berbasis kerakyatan. Rakyat harus mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, perlu dipikirkan tentang badan/lembaga pendidikan yang independen. Suatu negara juga memerlukan suatu lembaga independen edukatif, berdampingan dengan badan independen legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan negara jika badan edukatif tersebut masih berada dalam wilayah yang sarat dengan muatan politis. Kini saatnya kita mengembalikan fungsi dasar pendidikan sesuai dengan harapan masyarakat sebagai wadah membentuk manusia yang utuh. Dengan demikian agar tercpita kerjasama yang sinerji antara pemerintah, dunia usaha/industri dan pengelola pendidikan, diperlukan pendekatan sehingga dapat tercipta pemahaman yang sama; bahwa tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab semua. Sudah waktunya kita keluar dari fenomena yang runyam dan memprihatinkan ini. Berperanlah sebagai aktor yang melakukan perubahan tanpa ada yang saling merugikan sehingga wajah pendidikan Indonesia bisa bersinar di mata dunia.
Beragam persoalan yang terus bermunculan di dunia pendidikan menimbulkan keprihatinan masyarakat tentang arah pendidikan Indonesia. Tampaknya sektor pendidikan hendak digiring ke arah privatisasi. Berbagai kebijakan dan aturan yang digulirkan berorientasi pada pelepasan tanggung jawab pemerintah, terutama dalam hal pendanaan. Rencana strategis pendidikan yang menjadi panduan penyelenggaraan pendidikan nasional malah mendorong stratifikasi sekolah berdasarkan kemampuan akademis dan finansial. Siswa dikelompokkan ke dalam empat kategori: kelompok kaya dan pandai, kaya dan kurang pandai, miskin dan pandai, serta miskin dan kurang pandai. Masing-masing kategori diberi orientasikan dan diberi penanganan yang berbeda-beda. Pemerataan kesempatan menikmati pendidikan semakin jauh dari harapan.
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda penyelesaian berbagai problem mendasar dalam dunia pendidikan terutama masalah pemerataan pendidikan. Masih banyak anak yang tidak mampu bersekolah atau drop out karena alasan biaya. Sekarang malah semakin terbuka ruang bagi sekolah untuk menggenjot pemasukan dari masyarakat. Beragam alasan digunakan untuk menarik biaya lebih besar, mulai dari untuk meningkatkan mutu pendidikan hingga untuk mendorong partisipasi. Pemungutan biaya di sekolah semakin tidak terkontrol dan biaya yang ditanggung masyarakat semakin besar. Sebesar apa pun dana bantuan dari pemerintah untuk sekolah tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah pungutan biaya yang semakin besar terhadap masyarakat. Walaupun pemerintah telah menyediakan dana Rp 6,7 triliun untuk program biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan khusus murid, namun pungutan dari sekolah terhadap masyarakat tetap saja besar. Anak yang tergolong miskin tidak akan bisa sekolah karena tidak bisa membayar beragam biaya yang dikenakan pada mereka.
Apa sebetulnya akar problematika pendidikan nasional? Tampaknya akar persoalan pendidikan terletak pada makna pendidikan yang semakin tereduksi ke dalam wilayah yang hampa akan makna. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa pokok persoalan pendidikan kita terletak pada kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen yang jelas dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Banyak program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk try and error yang justru sangat membahayakan masa depan pendidikan Indonesia. Di lain pihak, kurikulum ganti melulu. Demikian pula masalah anggaran untuk pendidikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 diatur bahwa anggaran penyelengaraan Pendidikan Nasional sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam kenyataannya, anggaran pendidikan hanya berkisar 10% dari APBN, dan itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru dan karyawan dan sebagainya.
Pokok persoalan lainnya terletak pada Visi Pendidikan Nasional yang belum berpihak pada rakyat jelata (grass root). Dari berbagai persoalan yang dikemukakan di atas, jelas bahwa pendidikan saat ini masih cenderung berpihak pada golongan ekonomi kuat dan kaum kapitalis. Kebijakan pemerintah dan visi Pendidikan Nasional kurang menyentuh kepentingan kalangan grass root. Di lain pihak, kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan "kesadaran kritis" (critical consciousness). Berbagai problem dalam dunia pendidikan selalu memposisikan masyarakat sebagai objek penindasan dan mereka tidak bisa melawan penindasan itu. Mereka selalu tertekan, namun tidak bisa meluapkan aspirasinya karena otoritas kekuasaan pemerintah yang sangat dominan. Akar persoalan pendidikan di atas harus sungguh disadari oleh semua pihak kalau ingin menyelenggarakan pendidikan bermutu di Indonesia.
Lantas, bagaimana arah pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat? Pertanyaan ini lebih mudah dijawab karena masyarakat di belahan dunia manapun pasti mengharapkan agar pendidikan dapat melepaskan semua manusia dari belenggu penindasan dan kesengsaraan. Demikian besar harapan masyarakat pada pendidikan sehingga pendidikan perlu ditempatkan sebagai sesuatu yang suci yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang ditindas. Ketika seseorang merasa haknya untuk memperoleh pendidikan dirampas maka ia berhak menuntut keadilan. Intinya, arah pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat adalah pemerataan kesempatan di bidang pendidikan.
Proses pendidikan harus memuat agenda untuk "memanusiakan manusia" (proses humanisasi)atau humanim human. Pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme dan sikap kritis. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness). Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki "kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pendidikan harus berkiblat pada suatu visi yang sesuai dengan harapan masyarakat yaitu pendidikan yang berbasis pada kerakyatan. Visi tersebut harus menjadi arahan agar pendidikan kita mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang bersinggungan dengan otoritas suatu kekuasaan. Visi pendidikan yang berbasis kerakyatan ini memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Apakah ini mungkin? Jawabannya, segala sesuatu serba mungkin selama ada kemauan dan itikad baik dari pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Lalu bagaimana solusi praktis untuk mengatasi problem pendidikan sekaligus mewujudkan harapan masyarakat? Perlu analisis komprehensif untuk menjawab pertanyaan ini. Jika kita sepakat bahwa pendidikan kita saat ini belum mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan kesempatan menikmati pendidikan sesuai dengan amanah UUD 1945 dan harapan masyarakat, maka tidak ada alasan untuk tidak membenahi sistem pendidikan. Tentunya kita tidak ingin kesemrawutan sistem pendidikan kita menjadi bingkai potret masa depan bangsa dan negara kita. Oleh sebab itu, kita harus segera membenahi sistem pendidikan kita. Kebijakan yang bersifat try and error harus segera kita tinggalkan karena sangat merugikan masa depan pendidikan kita.
Untuk membenahi sistem pendidikan diperlukan keputusan matang dan bijak. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan perlu memperhatikan aspirasi semua pihak dan bukan hanya memperhatikan aspirasi orang yang sepaham saja atau hanya ditentukan oleh Badan Standarisasi Nasional yang hanya terdiri dari sekelompok orang saja. Untuk jangka pendek perlu kesepakatan untuk mengembalikan pendidikan sesuai dengan fungsi dasarnya, sebagai wadah pembentukan manusia utuh dan bukan sebagai lahan proyek/bisnis. Selain itu, kurikulum juga harus menjaga keimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spritual(SQ). Strategi itu lazimnya dikaitkan dengan perubahan,sehingga menjadi strategi perubahan. Mengenai strategi mutu pendidikan berarti bagaimana mutu pendidikan itu harus dirubah dengan strategi yang tepat. Mengenai startegi perubahan itu ditunjukan agar organisasi menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuannya. Dalam rangka inilah diperlukan usaha untuk merubah organisasi dengan memperhatikan berbagai faktor yang terkait.
Visi pendidikan harus diarahkan pada pendidikan yang berbasis kerakyatan. Rakyat harus mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, perlu dipikirkan tentang badan/lembaga pendidikan yang independen. Suatu negara juga memerlukan suatu lembaga independen edukatif, berdampingan dengan badan independen legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan negara jika badan edukatif tersebut masih berada dalam wilayah yang sarat dengan muatan politis. Kini saatnya kita mengembalikan fungsi dasar pendidikan sesuai dengan harapan masyarakat sebagai wadah membentuk manusia yang utuh. Dengan demikian agar tercpita kerjasama yang sinerji antara pemerintah, dunia usaha/industri dan pengelola pendidikan, diperlukan pendekatan sehingga dapat tercipta pemahaman yang sama; bahwa tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab semua. Sudah waktunya kita keluar dari fenomena yang runyam dan memprihatinkan ini. Berperanlah sebagai aktor yang melakukan perubahan tanpa ada yang saling merugikan sehingga wajah pendidikan Indonesia bisa bersinar di mata dunia.
Komentar