Bahasa Baku Dalam Jurnalisme
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Berkembang pesatnya media komunikasi sangat berpengaruh terhadap pola kerja seorang jurnalis. Memudahkan mereka dalam mengolah informasi dan menyajikannya kepada masyarakat. Jurnalisme zaman sekarang adalah “jurnalisme kilat” yang tidak mengenal jarak dan waktu. Kejadian yang terjadi di ujung timur Papua akan sampai pada telinga masyarakat Medan dalam waktu kurang dari setengah jam, sungguh perkembangan yang luar biasa.
Namun perkembangan yang luar biasa itu kurang sejalan dengan kaidah-kaidah penulisan maupun pengucapan bahasa yang baik dan benar, yaitu bahasa baku bahasa Indonesia; dengan ragam bahasa bahasa jurnalistik. Terdapat banyak jurnalis yang kurang mengerti mengenai hal ini, sehingga apa yang mereka tuliskan atau sajikan kepada masyarakat sering tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, berdasarkan keadaan ini kami mencoba untuk memaparkan mengenai seluk beluk bahasa Indonesia baku; dalam hubungannya dengan ragam bahasa Indonesia yaitu bahasa jurnalistik.
B. Topik
Dalam makalah ini kami selaku penulis ingin memaparkan topik tentang tata bahasa baku bahasa Indonesia; dalam hubungannya dengan ragam bahasa Indonesia yaitu bahasa jurnalistik.
Dalam makalah ini juga terdapat sub topik yang ingin kami paparkan. Sub topik yang akan kami paparkan adalah tentang pengertian Bahasa Indonesia baku,, fungsi Bahasa Indonesia Baku, unsur-unsur Bahasa Indonesia baku, Bahasa Indonesia perlu dibakukan, Bahasa Indonesia yang baik dan benar, ragam bahasa Indonesia, dan hugungan Bahasa Indonesia baku dengan bahasa jurnalistik. Tujuan dari adanya sub topik ini tidak lain adalah berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas dalam pembahasan masalah dan penyusunan makalah.
C. Rumusan Masalah
Agar penulisan makalah tentang tata bahasa baku Bahasa Indonesia; dalam hubungannya dengan bahasa jurnalistik ini dapat terarah, maka diperlukan adanya suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Bahasa Indonesia Baku?
2. Apakah fungsi Bahasa Indonesa Baku?
3. Apa sajakah ciri-ciri Bahasa Indonesia Baku?
4. Apa sajakah unsur-unsur Bahasa Indonesia Baku?
5. Mengapa Bahasa Indonesia perlu dibakukan?
6. Bagaimanakah Bahasa Indonesia yang baik dan benar?
7. Apakah ragam bahasa?
8. Bagaimanakah ragam bahasa jurnalistik?
9. Bagaimanakah hubungan Bahasa Indonesia Baku dengan Bahasa Jurnalistik?
D. Tujuan
Tujuan penulisan makalah akan memandu kearah hasil tertentu yang diharapkan. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kemudian memaparkan pengertian Bahasa Indonesia Baku.
2. Untuk mengetahui kemudian memaparkan fungsi Bahasa Indonesia Baku.
3. Untuk mengetahui kemudian memaparkan unsur-unsur Bahasa Indonesia Baku..
4. Untuk mengetahui kemudian memaparkan mengapa Bahasa Indonesia perlu dibakukan.
5. Untuk mengetahui kemudian memaparkan bagaimana Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
6. Untuk mengetahui kemudian memaparkan mengenai ragam bahasa.
7. Untuk mengetahui kemudian memaparkan mengenai ragam bahasa jurnalistik.
8. Untuk mengetahui kemudian memaparkan hubungan Bahasa Indonesia baku dengan Bahasa Jurnalistik.
E. Metode
Dalam rangka mencapai tujuan yang telah dikemukakan, dipergunakan cara berfikir yang fleksibel dan terbuka. Dalam makalah ini studi pustaka (Library Research) dipilih sebagai metode pengumpulan data. Studi pustaka (Library Research), yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mengadakan kajian terhadap berbagai sumber buku dan literatur yang berkaitan dengan topik makalah. Setelah melakukan studi pustaka (Library Research), data-data yang telah diperoleh kemudian disusun menjadi sebuah konsep.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Bahasa Indonesia Baku
Menurut Gorys Keraf dalam buku Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia (1991:2) menjelaskan mengenai pengertian bahasa secara singkat yaitu alat komunikasi antar-anggota masyarakat, berupa lambang bunyi ujaran, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Selain itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:66) bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Setelah beberapa pengertian dasar mengenai bahasa, kemudian akan diuraikan mengenai pengertian bahasa Indonesia baku menurut beberapa ahli, antara lain :
1. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa yang bekeuatan sanksi sosial dan yang diterima masyarakat bahasa sebagai acuan atau model (Moeliono, 1985:43)
2. Yang dimaksud dalam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang mengikuti kaida bahasa Indonesia, baik yang menyangkut ejaan, lafal, bentuk kata, struktur kalimat, maupun penggunaan bahasa (Junaiyah, 1991:18)
3. Bahasa baku adalah suatu bent pemakaian bahasa yang menjadi model yang dapat dicontoh oleh setiap pemakai bahasa yang hendak berbahasa secara benar (Moeljono, 1989:23)
4. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, dan berbicara di depan umum (Kridalaksana, 1989:21)
Isi empat buah rumusan di atas sesungguhnya sama, yaitu sebagai berikut. Pertama harus kita sadari bahwa bahasa baku merupakan sebuah ragam bahasa. Jadi, selain ragam itu masih ada ragam lain. Kedua, dalam ragam itu harus tercemin penggunaan kaidah yang benar (ejaan, lafal, struktur, dan pemakaiannya). Penggunaan kaidah yang benar dalam pemakaian bahasa mempunyai kekuatan sanksi sosial sebab mereka yang bahasanya benar akan mendapat pujian dan bagi mereka yang bahasanya jelek akan dicela masyarakat.
Ketiga, bahasa yang benar itu akan dijadikan acuan atau model oleh masyarakat pemakai bahasa. Keempat, bahasa itu dipergunakan dalam situasi resmi, misalnya dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, berbicara di muka kelas, berpidato di muka umum, dan dalam penulisan ilmu pengetahuan (Sabariyanto, 2000:5-6).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:66) juga menguraikan mengenai pengertian bahasa baku, yaitu ragam bahasa yang ejaannya, tata bahasanya, dan kosa katanya diakui keberterimaannya di kalangan masyarakat luas dan dijadikan norma pemakaian bahasa yang benar.
B. Fungsi Bahasa Indonesia Baku
Fungsi Bahasa Indonesia baku menurut buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003:14-16) terdapat empat hal, antara lain :
1. Fungsi Pemersatu
Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Bahasa Indonesia ragam tulisan yang diterbitkan di Jakarta selaku pusat pembangunan agaknya dapat diberi predikat pendukung fungsi pemersatu. Bahkan banyak orang bukan saja tidak sadar akan adanya dialek (geografis) bahkan Indonesia, melainkan menginginkan juga keadaan utopia yang hanya mengenal satu ragam bahasa Indonesia untuk seluruh penutur dari Sabang sampai ke Merauke.
2. Fungsi Pemberi Kekhasan
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada penutur bahasa Indonesia. Yang meragukan sebagian orang ialah apakah perasaan itu bertalian erat dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau dengan bahasa baku. Yang jelas adalah pendapat orang banyak bahwa bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Malaysia atau dari bahasa Melayu di Singapura atau Brunei Darussalam. Bahkan bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau-Johor yang menjadi induknya.
3. Fungsi Pembawa Kewibawaan
Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Ahli bahasa dan beberapa kalangan di Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan bahasa Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia Tenggara (dan mungkin juga di Afrika) yang juga memerlukan bahasa yang modern. Di sini pun harus dikemukakan bahwa prestise itu mungin lebih-lebih dimiliki bangsa Indonesia sebagai bahasa Nasional daripada bahasa baku. Dapat juga dikataan bahwa fungsi pembawa wibawa itu beralih dari pemilikan bahasa baku yang nyata ke pemilikan bahasa yang berpotensi menjadi bahasa baku. Walaupun begitu, menurut pengalaman, sudah dapat disaksikan di beberapa tempat bahwa penutur yang mahir berbahasa Indonesia ”dengan baik dan benar” memperoleh wibawa di mata orang lain.
4. Fungsi Kerangka Acuan
Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas.Norma dan kaidah itu menjadi tolak ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Dengan demikian, penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saj terbatas pada bidang susastra, tetapi mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam kata, iklan, dan tajuk berita. Fungsi ini di dalam bahasa Indonesia baku belum berjalan dengan baik. Namun, perlunya fungsi itu berkali-kali diungkapkan di setiap kongres bahasa Indonesia, seminar dan simposium, serta berbagai penataran guru. Kalangan guru berkali-kali mengimbau agar disusun tata bahasa normatif yang dapat menjadi pegangan atau acuan bagi guru bahasa dan pelajar.
C. Ciri-ciri Bahasa Indonesia Baku
Ragam bahasa standar atau bahasa baku bahasa Indonesia mempunyai tiga buah ciri-ciri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain, yaitu :
1. Memiliki sifat kemantapan dinamis
Bahasa Indonesia baku kaidah dan aturan-aturan yang tetap. Bahasa baku ini tidak dapat berubah setiap saat sekehendak pemakai bahasa. Maka ini lah yang disebut sifat kemantapan dinamis.
2. Memiliki sifat kecendekiaan
Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih mengutamakan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal. Seseorang dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar tentu karena dirinya telah mengetahui seluk beluk bahasa dengan baik. Dan pemahaman aka hal tersebut tentu memerlukan kecendekian pribadi.
3. Memiliki sifat keseragaman
Termasuk dalam bahasa Indonesia baku atau tidaknya sebuah kata tentu saja melalui proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa.
C. Unsur-unsur Bahasa Indonesia Baku
1. Fonem
Fonem adalah unsur terkecil dari bunyi ucapan yang bisa digunakan untuk membedakan arti dari satu kata. Contohnya kata ular dan ulas memiliki arti yang berbeda karena perbedaan pada fonem /er/ dan /es/. Setiap bahasa memiliki jumlah dan jenis fonem yang berbeda-beda.
2. Morfem
Morfem adalah unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya kata praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan /duga/. Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga.
3. Sintaksis
Sintaksis adalah penggabungan kata menjadi kalimat berdasarkan aturan sistematis yang berlaku pada bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia terdapat aturan SPO atau subjek-predikat-objek. Aturan ini berbeda pada bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa Belanda dan Jerman aturan pembuatan kalimat adalah kata kerja selalu menjadi kata kedua dalam setiap kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang memperbolehkan kata kerja diletakan bukan pada urutan kedua dalam suatu kalimat.
4. Semantik
Semantik mempelajari arti dan makna dari suatu bahasa yang dibentuk dalam bentuk kalimat.
5. Diskurs
Diskurs mempelajari bahasa pada taraf percakaan, bab, paragraph, cerita atau literatur.
D. Mengapa Bahasa Indonesia Perlu Dibakukan
Sebuah bahasa tidak baku menjadi sangat sulit dimengerti oleh semua masyarakat karena pengertian ‘kata’ yang belum baku tersebut hanya dimengerti dan dipakai oleh sekelompok masyarakat tertentu. Hal ini menjadi tidak ideal karena masyarakat Indonesia yang berasal dari beraneka ragam latar belakang, yang masing-masing mempunyai bahasa masing-masing. Masyarakat yang beraneka ragam tersebut akan sulit melakukan komunikasi pada saat bertemu jika mempertahankan bahasa ibu masing-masing. Saat seperti inilah Bahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa Indonesia baku memegang peranan yang sangat penting. Pada saat seperti itu, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia baku yang kemungkinan besar kedua belah pihak dapat memahami maknanya.
Terlepas dari pemakaian bahasa Indonesia baku ini, terdapat kata-kata yang diambil dari bahasa-bahasa daaerah, yang pada akhirnya dibakukan dan menjadi golongan bahasa Indonesia baku.
Hal ini wajar dilakukan, dengan pertimbangan kata-kata dalam bahasa daerah tersebut dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat pemakai bahasa Indonesia baku, atau makna kata dalam bahasa daerah tersebut belum ada dalam bahasa Indonesia baku.
Pembakuan sebuah kata diperlukan untuk menampung aspirasi kata bagi perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Indonesia baku. Selain itu, dapat memudahkan masyarakat dalam mencari padanan kata yang ingin diketahui di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
E. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Sebuah bahasa baku, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejebat pemerintah atau menteri, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan wujudnya dapat kita saksikan dalam praktik pengajaran bahasa itulah yang disebut dengan bahasa yang benar. Karena pemakaian bahasa yang telah mengikuti kaidah bahasa baku atau yang dianggap baku itulah yang disebut bahasa yang benar.
Seseorang yang dapat menggunakan bahasanya sehingga maksud pembicaraannya mencapai sasaran dapat disebut telah berbahasa dengan efektif. Bahasa yang membuahkan hasil karena sesuai dan serasi dengan keadaan tempat serta lingkungan di mana bahasa itu diucapkan, atau pemanfaatan ragam bahasa dalam saat-saat tertentu yang tepat dan serasi itulah yang disebut bahasa yang baik.
Perhatikan contoh ini :
(1) Berapakah Ibu ingin menjual sayuran-sayuran ini?
(2) Apakah Anda bersedia mengantar saya sampai ke Grogol dan berapakah saya harus membayar?
Kalimat di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang baku dan benar, namun kalimat itu tidak baik dan efektif jika dihubungkan dengan lingkungan ataupun tempat kalimat itu disampaikan. Akan lebih tepat jika kalimat itu diubah menjadi :
(3) Berapa nih Bu, sayur-sayurnya?
(4) Ke Grogol, Bang, berapa?
Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tetapi tidak benar. Sebagai contoh frasa ini hari. Frasa itu merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an, bahkan sampai sekarang banyak warga Jakarta yang menggunakan frasa ini.
Bahasa ini bukan merupakan bahasa yang benar karena kata dalam frasa ini terbalik.
Oleh karena itu kalimat “bahasa Indonesia yang baik dan benar” lebih diartikan sebagai pemakaian ragam bahasa yang sesuai dan serasi dengan sasarannya. Di samping itu, harus mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkaan “bahasa yang baik dan benar” sekaligus mengikuti persyaratan yang baik dan benar.
F. Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi-variasi yang terdapat di dalam pemakaian bahasa. Nababan mengartikan ragam bahasa sebagai variasi bahasa, baik bentuk maupun maknanya. Selain itu, Poerwadarminta mengartikan ragam bahasa sebagai sutu perbedaan sedikit-sedikit yang terdapat dalam bahasa. Anton M. Moeliono mengartikan ragam bahasa sebagai variasi yang terdapat dalam bahasa. Kridalaksana (1992:142) ragam bahasa diartikan sama dengan register, manner of discourse, key: variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topk yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara dan orang yang dibicarakan, dan meurut medium pembicaraan.
Ragam bahasa itu muncul dikarenakan bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya, beraneka ragam latar belakang penutur dan juga faktor sejarah. Setiap ragam bahasa yang masih terdapat dalam lingkup bahasa Indonesia masih dapat disebut dengan bahasa Indonesia. Secara umum ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi (1) ragam lengkap, (2) ragam tak lengkap. Sebuah wacana termasuk ragam lengkap jika sebuah wacana mempunyai keutuhan ciri-ciri linguistik khusus dan lengkap. Ciri-ciri itu mencakup penulisan, pengucapan, kosa kata, pembentukan kata, dan lain-lain. Sedangkan disebut ragam tak lengkap jika hanya memiliki sebagian ciri-ciri linguistik saja. Di bawah ini merupakan contoh ragam lengkap dan tak lengkap.
1. Ragam Lengkap
a. Ragam bahasa untuk menyampaikan ilmu.
b. Ragam bahasa untuk meyampaikan fakta.
c. Ragam bahasa untuk menyampaikan opini dan pemberitahuan (jurnalistik).
d. Ragam bahasa untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat ekspresif-estetis (sastra).
e. Ragam bahasa yang disampaikan secara tertulis atau lisan
2. Ragam Tak Lengkap
a. Ragam yang dipengaruhi sifat kedaerahan penutur (dialek, geografis)
b. Ragam yang dipengaruhi kepribadian penutur (idiolek, gaya)
c. Ragam yang dipengaruhi kelompok kemasyarakata penutur (sosial)
d. Ragam yan dipengaruhi keadaan penuturan, resmi tidaknya penuturan (fungsional)
Selain itu, juga terdapat ragam bahasa untuk wacana tertulis dan ragam bahasa lisan. Ragam bahasa wacana tertulis ditandai dengan sifat komunikasinya yang tidak tersemuka. Karena itu penggunaan ciri-ciri linguistisnya dilakukan secara taat asas untuk menghindari salah tafsir. Sebaliknya, ragam bahasa lisan ditandai oleh sifat komunikasinya yang semuka. Karena dibantu dengan adanya lagu kalimat, maka penerapan kaidah linguistisnya tidak seketat ragam tertulis.
G. Ragam Bahasa Jurnalistik
Perbedaan umum antara ragam ilmu, ragam jurnalistik dan ragam sastra terletak pada masalah yang diungkapkan dan caranya dalam mengungkapkan. Ragam ilmiah dipergunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu, sifat umum dari ragam ini adalah adanya pemakaian unsur bahasa yang selengkap dan sebaku mungkin.
Ragam sastra dipergunakan untuk mengungkapkan manusia secara utuh: harapan, kegembiraan, kerinduan, pikiran, angan-angan, dan lain-lain. Cara pengungkapannya dengan cara estetis: menyentuh manusia. Sifat umum ragam sastra adalah penggunaan unsure-unsur bahasa yang berefek sentuhan-sentuhan manusiawi, dan bersifat banyak tafsir
Ragam jurnalistik dipergunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang dialami, diketahui, dan dipikirkan oleh sebagian orang. Hal itu berupa fakta (berita), pendapat (opini) dan pemberitahuan. Sifat umum ragam jurnalistik adalah penggunaan unsur-unsur bahasa yang seefektif-efektifnya, mengingat keterbatasan ruang dan waktu.
Rumhardjono (1995) membedakan ragam jurnalistik dan non jurnalistik sebagai berikut. Dalam ragam jurnalistik, penulis berusaha supaya pembaca memahami apa yang dibaca dengan benar dan segera (cukup dengan sekali baca), sedangkan dalam ragam, ilmiah, penulis berupaya supaya pembaca memahami apa yang dibaca dengan benar.
H. Hubungan Bahasa Indonesia Baku dengan Bahasa Jurnalistik
Ragam bahasa jurnalistik dipergunakan untuk menyampaikan fakta, opini dan pemberitahuan dengan cara yan efektif dan menarik. Raga mini termask dalam ragam lengkap karena memiliki ciri linguistis yang khusus dan lengkap.
Wojowasito (1978) menjelaskan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Denga fungsi yang demikian itu baasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka denag ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian tuntutan bahwa bahasa jurnalistik haruslah baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain, bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lai terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kaa yang cocok.
Kemudian Badudu (1978) menjelaskan bahwa bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahwa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidak jelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Anwar (1991:1) pada umumnya ragam jurnalistik memiliki ciri: singkat, padat, sederhana, lancer, lugas, menarik, dan baku. Kemudian Patmono (1993:67) menambahkan ciri lain yaitu: netral. Penuturan yang singkat adalah penuturan yang tidak bertele-tele, tidak berpanjang-panjang, karena keterbatasan ruang. Oleh karena itu kata-kata yang tidak menimbulkan kesalahpahaman dapat dihilangkan.
Penuturan yang lancar adalah penuturan yang tidak tersendat-sendat, melainkan mengalir dan enak. Lancarnya penuturan didasari karena tertatanya informasi dengan apik dan sistematis. Penuturan yang jelas adalah penuturan yang tidak menimbulkan salah tafsir. Kata, ungkapan, kalimat, dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca ataupun pendengar.
Penuturan yang padat mengacu pada arti syarat isinya: bukan semua informasi dimasukan namun hanya informasi yang dianggap penting. Di sini terjadi penghematan kata dan kalimat.
Bahasanya sederhana dalam arti tidak berbelit-belit, tidak berat dalam artian dapat dengan mudah dipahami oleh semua kalangan. Lugas bahasanya berarti polos, apa adanya, tidak mengada-ada. Tidak ada yang ditamai dan tidak ada yang dilebih-lebihkan. Di mata pers semua orang itu sama. Pemberitaan yang menarik adalah pemberitaan yang tidak membosankan, tidak mengerutka dahi karena masalah berat. Cara menyampaikannya pun memikat.
Bahasanya baku dalam arti penulisan kata dan kalimat, pemilihan dan pembentukan kata, pemilihan dan pembentukan paragraph menurut kaidah yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi dualisme pengertian oleh pendengar. Sifatnya netral dengan maksud tidak berpihak, tidak membedakan tingkatan, jabatan, atau kedudukan seseorang. Untuk membedakan orang yang satu dengan lainnya cukup disebutkan jabatan atau kedudukannya, tanpa disertai sapaan penghormatan.
Disamping itu, dalam Kompas, 10 Agustus 1994, pers (jurnalistik) juga mempunyai tiga fungsi penting, yaitu :
1. Pers berfungsi memusatkan persepsi masyarakat tentang suatu persoalan atau kejadian: apa yang penting menurut media massa akan menjadi penting pula bagi masyarakat; demikian pula sebaliknya.
2. Pers berfungsi sebagai norma atau nilai sentral dalam masyarakat: apa yang baik menurut media massa, baik pula menurut masyarakat; demikian pula sebaliknya.
3. Pers sebagai pengorbit seseorang (birokrat, politikus, intelektual, seniman, artis, atau anggota masyarakat biasa); juga sebaliknya.
Bab III
Kesimpulan
Bidang jurnalistik tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan bahasa baku yang baik dan benar. Jurnalis mempunyai tanggung jawab besar terhadap perkembangan bahasa baku dan terjaganya kestabilan bahasa Indonesia baku, guna mencapai kesuksesan komunikasi yang baik. Tujuan komunikasi adalah bila kedua belah pihak pelaku komunikator (pers dengan masyarakat) dapat memahami maksud masing-masing. Ketersampaian maksud tersebut dapat dicapai jika jurnalis menggunakan bahasa Indonesia baku yang telah dimengerti oleh semua kalangan dalam lingkup bangsa Indonesia.
Terlepas dari hal itu, jurnalis harus memperhatikan kesederhanaan dalam penulisan maupun pengucapan bahasa Indonesia baku, kepadatan kalimat, mengedepankan kalimat yang lugas, menarik, singkat, menyampaikan maksud dengan jelas, serta selalu menuliskan ataupun mengutarakan kalimat menggunakan bahasa Indonesia baku.
Demikian besar seluk beluk ragam bahasa dunia jurnalistik, maka pembelajaran akan hal ini harus ditingkatkan guna mencapai tujuan hakiki jurnalistik dan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia baku dalam kaitannya dengan bidang jurnalistik.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan., Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Anwar, H. Rosihan. 1991. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Badudu, Yus. 1978. Bahan Karya Latihan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, 11 November.
Http://dheya.ngeblogs.com . diakses pada tanggal 27 Februari 2010. Pukul 11.45.
Junaiyah, H. M. 1991. Masalah Bahasa yang Patut Anda Ketahui I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Gramedia: Jakarta.
Kompas, 10 Agustus 1994.
Kridalaksana, Harimurti. 1992. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton M., dkk. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
-------- 1989. Kenbara Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Moeljono, St. 1989. Bahasa Indonesia dan Problematikanya. Madiun: Widya Mandala.
Rumhardjana. 1995. “Bahasa Jurnalistik”. Bahan Lokakarya Jurnalistik Rumpun Bahasa Indonesia Universitas Sanata Dharma, 4-25 Februari.
Sabariyanto, Dirgo. 2000. Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku I. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Sabariyanto, Dirgo. 2000. Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku II. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Tim Penerbit. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wojowasito, S. 1978. ”Bahasa Jurnalistik: Segi-segi yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu penggunaannya”. Bahan Karya Latihan Wartawan (KLW) Daerah Jawa Timur, 22-23 Desember.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Berkembang pesatnya media komunikasi sangat berpengaruh terhadap pola kerja seorang jurnalis. Memudahkan mereka dalam mengolah informasi dan menyajikannya kepada masyarakat. Jurnalisme zaman sekarang adalah “jurnalisme kilat” yang tidak mengenal jarak dan waktu. Kejadian yang terjadi di ujung timur Papua akan sampai pada telinga masyarakat Medan dalam waktu kurang dari setengah jam, sungguh perkembangan yang luar biasa.
Namun perkembangan yang luar biasa itu kurang sejalan dengan kaidah-kaidah penulisan maupun pengucapan bahasa yang baik dan benar, yaitu bahasa baku bahasa Indonesia; dengan ragam bahasa bahasa jurnalistik. Terdapat banyak jurnalis yang kurang mengerti mengenai hal ini, sehingga apa yang mereka tuliskan atau sajikan kepada masyarakat sering tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, berdasarkan keadaan ini kami mencoba untuk memaparkan mengenai seluk beluk bahasa Indonesia baku; dalam hubungannya dengan ragam bahasa Indonesia yaitu bahasa jurnalistik.
B. Topik
Dalam makalah ini kami selaku penulis ingin memaparkan topik tentang tata bahasa baku bahasa Indonesia; dalam hubungannya dengan ragam bahasa Indonesia yaitu bahasa jurnalistik.
Dalam makalah ini juga terdapat sub topik yang ingin kami paparkan. Sub topik yang akan kami paparkan adalah tentang pengertian Bahasa Indonesia baku,, fungsi Bahasa Indonesia Baku, unsur-unsur Bahasa Indonesia baku, Bahasa Indonesia perlu dibakukan, Bahasa Indonesia yang baik dan benar, ragam bahasa Indonesia, dan hugungan Bahasa Indonesia baku dengan bahasa jurnalistik. Tujuan dari adanya sub topik ini tidak lain adalah berfungsi untuk mempermudah dan memperjelas dalam pembahasan masalah dan penyusunan makalah.
C. Rumusan Masalah
Agar penulisan makalah tentang tata bahasa baku Bahasa Indonesia; dalam hubungannya dengan bahasa jurnalistik ini dapat terarah, maka diperlukan adanya suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Bahasa Indonesia Baku?
2. Apakah fungsi Bahasa Indonesa Baku?
3. Apa sajakah ciri-ciri Bahasa Indonesia Baku?
4. Apa sajakah unsur-unsur Bahasa Indonesia Baku?
5. Mengapa Bahasa Indonesia perlu dibakukan?
6. Bagaimanakah Bahasa Indonesia yang baik dan benar?
7. Apakah ragam bahasa?
8. Bagaimanakah ragam bahasa jurnalistik?
9. Bagaimanakah hubungan Bahasa Indonesia Baku dengan Bahasa Jurnalistik?
D. Tujuan
Tujuan penulisan makalah akan memandu kearah hasil tertentu yang diharapkan. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kemudian memaparkan pengertian Bahasa Indonesia Baku.
2. Untuk mengetahui kemudian memaparkan fungsi Bahasa Indonesia Baku.
3. Untuk mengetahui kemudian memaparkan unsur-unsur Bahasa Indonesia Baku..
4. Untuk mengetahui kemudian memaparkan mengapa Bahasa Indonesia perlu dibakukan.
5. Untuk mengetahui kemudian memaparkan bagaimana Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
6. Untuk mengetahui kemudian memaparkan mengenai ragam bahasa.
7. Untuk mengetahui kemudian memaparkan mengenai ragam bahasa jurnalistik.
8. Untuk mengetahui kemudian memaparkan hubungan Bahasa Indonesia baku dengan Bahasa Jurnalistik.
E. Metode
Dalam rangka mencapai tujuan yang telah dikemukakan, dipergunakan cara berfikir yang fleksibel dan terbuka. Dalam makalah ini studi pustaka (Library Research) dipilih sebagai metode pengumpulan data. Studi pustaka (Library Research), yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mengadakan kajian terhadap berbagai sumber buku dan literatur yang berkaitan dengan topik makalah. Setelah melakukan studi pustaka (Library Research), data-data yang telah diperoleh kemudian disusun menjadi sebuah konsep.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Bahasa Indonesia Baku
Menurut Gorys Keraf dalam buku Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia (1991:2) menjelaskan mengenai pengertian bahasa secara singkat yaitu alat komunikasi antar-anggota masyarakat, berupa lambang bunyi ujaran, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Selain itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:66) bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Setelah beberapa pengertian dasar mengenai bahasa, kemudian akan diuraikan mengenai pengertian bahasa Indonesia baku menurut beberapa ahli, antara lain :
1. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa yang bekeuatan sanksi sosial dan yang diterima masyarakat bahasa sebagai acuan atau model (Moeliono, 1985:43)
2. Yang dimaksud dalam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang mengikuti kaida bahasa Indonesia, baik yang menyangkut ejaan, lafal, bentuk kata, struktur kalimat, maupun penggunaan bahasa (Junaiyah, 1991:18)
3. Bahasa baku adalah suatu bent pemakaian bahasa yang menjadi model yang dapat dicontoh oleh setiap pemakai bahasa yang hendak berbahasa secara benar (Moeljono, 1989:23)
4. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, dan berbicara di depan umum (Kridalaksana, 1989:21)
Isi empat buah rumusan di atas sesungguhnya sama, yaitu sebagai berikut. Pertama harus kita sadari bahwa bahasa baku merupakan sebuah ragam bahasa. Jadi, selain ragam itu masih ada ragam lain. Kedua, dalam ragam itu harus tercemin penggunaan kaidah yang benar (ejaan, lafal, struktur, dan pemakaiannya). Penggunaan kaidah yang benar dalam pemakaian bahasa mempunyai kekuatan sanksi sosial sebab mereka yang bahasanya benar akan mendapat pujian dan bagi mereka yang bahasanya jelek akan dicela masyarakat.
Ketiga, bahasa yang benar itu akan dijadikan acuan atau model oleh masyarakat pemakai bahasa. Keempat, bahasa itu dipergunakan dalam situasi resmi, misalnya dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, berbicara di muka kelas, berpidato di muka umum, dan dalam penulisan ilmu pengetahuan (Sabariyanto, 2000:5-6).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:66) juga menguraikan mengenai pengertian bahasa baku, yaitu ragam bahasa yang ejaannya, tata bahasanya, dan kosa katanya diakui keberterimaannya di kalangan masyarakat luas dan dijadikan norma pemakaian bahasa yang benar.
B. Fungsi Bahasa Indonesia Baku
Fungsi Bahasa Indonesia baku menurut buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003:14-16) terdapat empat hal, antara lain :
1. Fungsi Pemersatu
Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Bahasa Indonesia ragam tulisan yang diterbitkan di Jakarta selaku pusat pembangunan agaknya dapat diberi predikat pendukung fungsi pemersatu. Bahkan banyak orang bukan saja tidak sadar akan adanya dialek (geografis) bahkan Indonesia, melainkan menginginkan juga keadaan utopia yang hanya mengenal satu ragam bahasa Indonesia untuk seluruh penutur dari Sabang sampai ke Merauke.
2. Fungsi Pemberi Kekhasan
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada penutur bahasa Indonesia. Yang meragukan sebagian orang ialah apakah perasaan itu bertalian erat dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau dengan bahasa baku. Yang jelas adalah pendapat orang banyak bahwa bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Malaysia atau dari bahasa Melayu di Singapura atau Brunei Darussalam. Bahkan bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau-Johor yang menjadi induknya.
3. Fungsi Pembawa Kewibawaan
Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Ahli bahasa dan beberapa kalangan di Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan bahasa Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia Tenggara (dan mungkin juga di Afrika) yang juga memerlukan bahasa yang modern. Di sini pun harus dikemukakan bahwa prestise itu mungin lebih-lebih dimiliki bangsa Indonesia sebagai bahasa Nasional daripada bahasa baku. Dapat juga dikataan bahwa fungsi pembawa wibawa itu beralih dari pemilikan bahasa baku yang nyata ke pemilikan bahasa yang berpotensi menjadi bahasa baku. Walaupun begitu, menurut pengalaman, sudah dapat disaksikan di beberapa tempat bahwa penutur yang mahir berbahasa Indonesia ”dengan baik dan benar” memperoleh wibawa di mata orang lain.
4. Fungsi Kerangka Acuan
Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas.Norma dan kaidah itu menjadi tolak ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Dengan demikian, penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saj terbatas pada bidang susastra, tetapi mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam kata, iklan, dan tajuk berita. Fungsi ini di dalam bahasa Indonesia baku belum berjalan dengan baik. Namun, perlunya fungsi itu berkali-kali diungkapkan di setiap kongres bahasa Indonesia, seminar dan simposium, serta berbagai penataran guru. Kalangan guru berkali-kali mengimbau agar disusun tata bahasa normatif yang dapat menjadi pegangan atau acuan bagi guru bahasa dan pelajar.
C. Ciri-ciri Bahasa Indonesia Baku
Ragam bahasa standar atau bahasa baku bahasa Indonesia mempunyai tiga buah ciri-ciri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain, yaitu :
1. Memiliki sifat kemantapan dinamis
Bahasa Indonesia baku kaidah dan aturan-aturan yang tetap. Bahasa baku ini tidak dapat berubah setiap saat sekehendak pemakai bahasa. Maka ini lah yang disebut sifat kemantapan dinamis.
2. Memiliki sifat kecendekiaan
Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih mengutamakan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal. Seseorang dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar tentu karena dirinya telah mengetahui seluk beluk bahasa dengan baik. Dan pemahaman aka hal tersebut tentu memerlukan kecendekian pribadi.
3. Memiliki sifat keseragaman
Termasuk dalam bahasa Indonesia baku atau tidaknya sebuah kata tentu saja melalui proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa.
C. Unsur-unsur Bahasa Indonesia Baku
1. Fonem
Fonem adalah unsur terkecil dari bunyi ucapan yang bisa digunakan untuk membedakan arti dari satu kata. Contohnya kata ular dan ulas memiliki arti yang berbeda karena perbedaan pada fonem /er/ dan /es/. Setiap bahasa memiliki jumlah dan jenis fonem yang berbeda-beda.
2. Morfem
Morfem adalah unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk imbuhan. Misalnya kata praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan /duga/. Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/ menyebabkan perubahan arti pada kata duga.
3. Sintaksis
Sintaksis adalah penggabungan kata menjadi kalimat berdasarkan aturan sistematis yang berlaku pada bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia terdapat aturan SPO atau subjek-predikat-objek. Aturan ini berbeda pada bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa Belanda dan Jerman aturan pembuatan kalimat adalah kata kerja selalu menjadi kata kedua dalam setiap kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang memperbolehkan kata kerja diletakan bukan pada urutan kedua dalam suatu kalimat.
4. Semantik
Semantik mempelajari arti dan makna dari suatu bahasa yang dibentuk dalam bentuk kalimat.
5. Diskurs
Diskurs mempelajari bahasa pada taraf percakaan, bab, paragraph, cerita atau literatur.
D. Mengapa Bahasa Indonesia Perlu Dibakukan
Sebuah bahasa tidak baku menjadi sangat sulit dimengerti oleh semua masyarakat karena pengertian ‘kata’ yang belum baku tersebut hanya dimengerti dan dipakai oleh sekelompok masyarakat tertentu. Hal ini menjadi tidak ideal karena masyarakat Indonesia yang berasal dari beraneka ragam latar belakang, yang masing-masing mempunyai bahasa masing-masing. Masyarakat yang beraneka ragam tersebut akan sulit melakukan komunikasi pada saat bertemu jika mempertahankan bahasa ibu masing-masing. Saat seperti inilah Bahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa Indonesia baku memegang peranan yang sangat penting. Pada saat seperti itu, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia baku yang kemungkinan besar kedua belah pihak dapat memahami maknanya.
Terlepas dari pemakaian bahasa Indonesia baku ini, terdapat kata-kata yang diambil dari bahasa-bahasa daaerah, yang pada akhirnya dibakukan dan menjadi golongan bahasa Indonesia baku.
Hal ini wajar dilakukan, dengan pertimbangan kata-kata dalam bahasa daerah tersebut dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat pemakai bahasa Indonesia baku, atau makna kata dalam bahasa daerah tersebut belum ada dalam bahasa Indonesia baku.
Pembakuan sebuah kata diperlukan untuk menampung aspirasi kata bagi perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Indonesia baku. Selain itu, dapat memudahkan masyarakat dalam mencari padanan kata yang ingin diketahui di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
E. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Sebuah bahasa baku, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejebat pemerintah atau menteri, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan wujudnya dapat kita saksikan dalam praktik pengajaran bahasa itulah yang disebut dengan bahasa yang benar. Karena pemakaian bahasa yang telah mengikuti kaidah bahasa baku atau yang dianggap baku itulah yang disebut bahasa yang benar.
Seseorang yang dapat menggunakan bahasanya sehingga maksud pembicaraannya mencapai sasaran dapat disebut telah berbahasa dengan efektif. Bahasa yang membuahkan hasil karena sesuai dan serasi dengan keadaan tempat serta lingkungan di mana bahasa itu diucapkan, atau pemanfaatan ragam bahasa dalam saat-saat tertentu yang tepat dan serasi itulah yang disebut bahasa yang baik.
Perhatikan contoh ini :
(1) Berapakah Ibu ingin menjual sayuran-sayuran ini?
(2) Apakah Anda bersedia mengantar saya sampai ke Grogol dan berapakah saya harus membayar?
Kalimat di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang baku dan benar, namun kalimat itu tidak baik dan efektif jika dihubungkan dengan lingkungan ataupun tempat kalimat itu disampaikan. Akan lebih tepat jika kalimat itu diubah menjadi :
(3) Berapa nih Bu, sayur-sayurnya?
(4) Ke Grogol, Bang, berapa?
Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik tetapi tidak benar. Sebagai contoh frasa ini hari. Frasa itu merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an, bahkan sampai sekarang banyak warga Jakarta yang menggunakan frasa ini.
Bahasa ini bukan merupakan bahasa yang benar karena kata dalam frasa ini terbalik.
Oleh karena itu kalimat “bahasa Indonesia yang baik dan benar” lebih diartikan sebagai pemakaian ragam bahasa yang sesuai dan serasi dengan sasarannya. Di samping itu, harus mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkaan “bahasa yang baik dan benar” sekaligus mengikuti persyaratan yang baik dan benar.
F. Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi-variasi yang terdapat di dalam pemakaian bahasa. Nababan mengartikan ragam bahasa sebagai variasi bahasa, baik bentuk maupun maknanya. Selain itu, Poerwadarminta mengartikan ragam bahasa sebagai sutu perbedaan sedikit-sedikit yang terdapat dalam bahasa. Anton M. Moeliono mengartikan ragam bahasa sebagai variasi yang terdapat dalam bahasa. Kridalaksana (1992:142) ragam bahasa diartikan sama dengan register, manner of discourse, key: variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topk yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara dan orang yang dibicarakan, dan meurut medium pembicaraan.
Ragam bahasa itu muncul dikarenakan bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya, beraneka ragam latar belakang penutur dan juga faktor sejarah. Setiap ragam bahasa yang masih terdapat dalam lingkup bahasa Indonesia masih dapat disebut dengan bahasa Indonesia. Secara umum ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi (1) ragam lengkap, (2) ragam tak lengkap. Sebuah wacana termasuk ragam lengkap jika sebuah wacana mempunyai keutuhan ciri-ciri linguistik khusus dan lengkap. Ciri-ciri itu mencakup penulisan, pengucapan, kosa kata, pembentukan kata, dan lain-lain. Sedangkan disebut ragam tak lengkap jika hanya memiliki sebagian ciri-ciri linguistik saja. Di bawah ini merupakan contoh ragam lengkap dan tak lengkap.
1. Ragam Lengkap
a. Ragam bahasa untuk menyampaikan ilmu.
b. Ragam bahasa untuk meyampaikan fakta.
c. Ragam bahasa untuk menyampaikan opini dan pemberitahuan (jurnalistik).
d. Ragam bahasa untuk menyampaikan hal-hal yang bersifat ekspresif-estetis (sastra).
e. Ragam bahasa yang disampaikan secara tertulis atau lisan
2. Ragam Tak Lengkap
a. Ragam yang dipengaruhi sifat kedaerahan penutur (dialek, geografis)
b. Ragam yang dipengaruhi kepribadian penutur (idiolek, gaya)
c. Ragam yang dipengaruhi kelompok kemasyarakata penutur (sosial)
d. Ragam yan dipengaruhi keadaan penuturan, resmi tidaknya penuturan (fungsional)
Selain itu, juga terdapat ragam bahasa untuk wacana tertulis dan ragam bahasa lisan. Ragam bahasa wacana tertulis ditandai dengan sifat komunikasinya yang tidak tersemuka. Karena itu penggunaan ciri-ciri linguistisnya dilakukan secara taat asas untuk menghindari salah tafsir. Sebaliknya, ragam bahasa lisan ditandai oleh sifat komunikasinya yang semuka. Karena dibantu dengan adanya lagu kalimat, maka penerapan kaidah linguistisnya tidak seketat ragam tertulis.
G. Ragam Bahasa Jurnalistik
Perbedaan umum antara ragam ilmu, ragam jurnalistik dan ragam sastra terletak pada masalah yang diungkapkan dan caranya dalam mengungkapkan. Ragam ilmiah dipergunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu, sifat umum dari ragam ini adalah adanya pemakaian unsur bahasa yang selengkap dan sebaku mungkin.
Ragam sastra dipergunakan untuk mengungkapkan manusia secara utuh: harapan, kegembiraan, kerinduan, pikiran, angan-angan, dan lain-lain. Cara pengungkapannya dengan cara estetis: menyentuh manusia. Sifat umum ragam sastra adalah penggunaan unsure-unsur bahasa yang berefek sentuhan-sentuhan manusiawi, dan bersifat banyak tafsir
Ragam jurnalistik dipergunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang dialami, diketahui, dan dipikirkan oleh sebagian orang. Hal itu berupa fakta (berita), pendapat (opini) dan pemberitahuan. Sifat umum ragam jurnalistik adalah penggunaan unsur-unsur bahasa yang seefektif-efektifnya, mengingat keterbatasan ruang dan waktu.
Rumhardjono (1995) membedakan ragam jurnalistik dan non jurnalistik sebagai berikut. Dalam ragam jurnalistik, penulis berusaha supaya pembaca memahami apa yang dibaca dengan benar dan segera (cukup dengan sekali baca), sedangkan dalam ragam, ilmiah, penulis berupaya supaya pembaca memahami apa yang dibaca dengan benar.
H. Hubungan Bahasa Indonesia Baku dengan Bahasa Jurnalistik
Ragam bahasa jurnalistik dipergunakan untuk menyampaikan fakta, opini dan pemberitahuan dengan cara yan efektif dan menarik. Raga mini termask dalam ragam lengkap karena memiliki ciri linguistis yang khusus dan lengkap.
Wojowasito (1978) menjelaskan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Denga fungsi yang demikian itu baasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka denag ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian tuntutan bahwa bahasa jurnalistik haruslah baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain, bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lai terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kaa yang cocok.
Kemudian Badudu (1978) menjelaskan bahwa bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahwa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidak jelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Anwar (1991:1) pada umumnya ragam jurnalistik memiliki ciri: singkat, padat, sederhana, lancer, lugas, menarik, dan baku. Kemudian Patmono (1993:67) menambahkan ciri lain yaitu: netral. Penuturan yang singkat adalah penuturan yang tidak bertele-tele, tidak berpanjang-panjang, karena keterbatasan ruang. Oleh karena itu kata-kata yang tidak menimbulkan kesalahpahaman dapat dihilangkan.
Penuturan yang lancar adalah penuturan yang tidak tersendat-sendat, melainkan mengalir dan enak. Lancarnya penuturan didasari karena tertatanya informasi dengan apik dan sistematis. Penuturan yang jelas adalah penuturan yang tidak menimbulkan salah tafsir. Kata, ungkapan, kalimat, dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca ataupun pendengar.
Penuturan yang padat mengacu pada arti syarat isinya: bukan semua informasi dimasukan namun hanya informasi yang dianggap penting. Di sini terjadi penghematan kata dan kalimat.
Bahasanya sederhana dalam arti tidak berbelit-belit, tidak berat dalam artian dapat dengan mudah dipahami oleh semua kalangan. Lugas bahasanya berarti polos, apa adanya, tidak mengada-ada. Tidak ada yang ditamai dan tidak ada yang dilebih-lebihkan. Di mata pers semua orang itu sama. Pemberitaan yang menarik adalah pemberitaan yang tidak membosankan, tidak mengerutka dahi karena masalah berat. Cara menyampaikannya pun memikat.
Bahasanya baku dalam arti penulisan kata dan kalimat, pemilihan dan pembentukan kata, pemilihan dan pembentukan paragraph menurut kaidah yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi dualisme pengertian oleh pendengar. Sifatnya netral dengan maksud tidak berpihak, tidak membedakan tingkatan, jabatan, atau kedudukan seseorang. Untuk membedakan orang yang satu dengan lainnya cukup disebutkan jabatan atau kedudukannya, tanpa disertai sapaan penghormatan.
Disamping itu, dalam Kompas, 10 Agustus 1994, pers (jurnalistik) juga mempunyai tiga fungsi penting, yaitu :
1. Pers berfungsi memusatkan persepsi masyarakat tentang suatu persoalan atau kejadian: apa yang penting menurut media massa akan menjadi penting pula bagi masyarakat; demikian pula sebaliknya.
2. Pers berfungsi sebagai norma atau nilai sentral dalam masyarakat: apa yang baik menurut media massa, baik pula menurut masyarakat; demikian pula sebaliknya.
3. Pers sebagai pengorbit seseorang (birokrat, politikus, intelektual, seniman, artis, atau anggota masyarakat biasa); juga sebaliknya.
Bab III
Kesimpulan
Bidang jurnalistik tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan bahasa baku yang baik dan benar. Jurnalis mempunyai tanggung jawab besar terhadap perkembangan bahasa baku dan terjaganya kestabilan bahasa Indonesia baku, guna mencapai kesuksesan komunikasi yang baik. Tujuan komunikasi adalah bila kedua belah pihak pelaku komunikator (pers dengan masyarakat) dapat memahami maksud masing-masing. Ketersampaian maksud tersebut dapat dicapai jika jurnalis menggunakan bahasa Indonesia baku yang telah dimengerti oleh semua kalangan dalam lingkup bangsa Indonesia.
Terlepas dari hal itu, jurnalis harus memperhatikan kesederhanaan dalam penulisan maupun pengucapan bahasa Indonesia baku, kepadatan kalimat, mengedepankan kalimat yang lugas, menarik, singkat, menyampaikan maksud dengan jelas, serta selalu menuliskan ataupun mengutarakan kalimat menggunakan bahasa Indonesia baku.
Demikian besar seluk beluk ragam bahasa dunia jurnalistik, maka pembelajaran akan hal ini harus ditingkatkan guna mencapai tujuan hakiki jurnalistik dan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia baku dalam kaitannya dengan bidang jurnalistik.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan., Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Anwar, H. Rosihan. 1991. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Badudu, Yus. 1978. Bahan Karya Latihan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, 11 November.
Http://dheya.ngeblogs.com . diakses pada tanggal 27 Februari 2010. Pukul 11.45.
Junaiyah, H. M. 1991. Masalah Bahasa yang Patut Anda Ketahui I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Gramedia: Jakarta.
Kompas, 10 Agustus 1994.
Kridalaksana, Harimurti. 1992. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton M., dkk. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
-------- 1989. Kenbara Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Moeljono, St. 1989. Bahasa Indonesia dan Problematikanya. Madiun: Widya Mandala.
Rumhardjana. 1995. “Bahasa Jurnalistik”. Bahan Lokakarya Jurnalistik Rumpun Bahasa Indonesia Universitas Sanata Dharma, 4-25 Februari.
Sabariyanto, Dirgo. 2000. Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku I. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Sabariyanto, Dirgo. 2000. Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku II. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Tim Penerbit. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wojowasito, S. 1978. ”Bahasa Jurnalistik: Segi-segi yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu penggunaannya”. Bahan Karya Latihan Wartawan (KLW) Daerah Jawa Timur, 22-23 Desember.
Komentar