Kegagalan Indonesia Dalam Mendidik Generasi Muda
Beberapa hari yang lalu, pemuda Indonesia merenungi makna hari sumpah pemuda. Saya pun turut mengisi hari itu dengan refleksi panjang yang baru saya tuangkan dalam bentuk tulisan karena saya menganggap bahwa mungkin berguna bagi kompasianer. Walaupun saya hanya menulis apa yang telah saya refleksikan, tetapi mungkin ini juga bisa menjadi sesuatu yang harus kita pikirkan juga. Namun, saya lebih menghubungkan antara generasi muda dengan sistem pendidikan yang telah dan mungkin akan terus berjalan di bumi pertiwi ini.
Pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Manusia dikatakan berkualitas jika memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki kemampuan menciptakan ilmu dan teknologi untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sudah sekian lama Indonesia mendidik generasi muda dengan keyakinan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa modern. Untuk mewujudkan itu, Indonesia telah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk mendanai pendidikan. Namun, hasil terbaik pendidikan kita hanyalah mencetak tenaga siap pakai sebagai distributor, operator dan konsumen ilmu dan teknologi negara maju. Indonesia gagal mencetak peneliti, penggali, dan pencipta ilmu dan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsanya sendiri.
Kualitas Pendidikan di Indoensia, lebih cenderung berorentasi pada penciptaan tenaga kerja siap pakai atau pekerja seiring dengan paradigma pemerintah Indonesia yang lebih mengarahkan masyarakatnya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang sedang tumbuh berkembang di Indonesia. Pendidikan bukan lagi berorentasi merangsang kreatifitas berfikir dan berkarya peserta didik. Sehingga, banyak masyarakat Indonesia yang bisa meraih pendidikan dan nilai tinggi, namun seiring perubahan zaman dan waktu tidak mampu bersaing dan bertahan.
Dengan demikian, selama ini bangsa Indonesia tidak lebih dari sekedar menyiapkan tenaga kerja yang harus melayani kepentingan negara maju sebagai distributor, operator, dan konsumen hasil teknologi bangsa dari negara maju. Jika pandangan pendidikan seperti itu masih dipertahankan, bangsa Indonesia tidak akan pernah memiliki jati diri sebagai bangsa yang bermartabat untuk mengangkat derajat bangsanya sendiri. Ternyata, dengan pandangan seperti itu tanpa kita sadari bahwa negara maju telah mempolitisasi pendidikan untuk kepentingan mereka.
Manusia yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi hanya dimiliki oleh negara-negara yang telah memiliki tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi beratus-ratus tahun lamanya. Sementara manusia Indonesia mustahil dapat mengikuti kemajuan manusia di negara maju. Akibatnya, dengan paradigma seperti itu, manusia Indonesia hanya mampu mendidik tenaga siap pakai sebagai distributor, konsumen dan operator ilmu dan teknologi negara maju. Usaha bangsa lain mengkondisikan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa konsumen telah cukup berhasil karena kita selalu berpikir bahwa semua bangsa yang ingin disebut modern harus memiliki teknologi seperti yang dimiliki oleh bangsa di negara maju. Meskipun bangsa Indonesia merasa harus memanfaatkan ilmu dan teknologi ciptaan bangsa maju, namun kondisi pendidikan seperti itu telah berada pada jalur yang salah.
Pendidikan pada tahap awal harus mempelajari ilmu dan teknologi yang telah ada. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tumbuh pola pikir ilmiah sehingga lama kelamaan dapat tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya. Bila suatu bangsa telah tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya, bangsa itu akan sangat mudah menciptakan ilmu dan teknologi. Di sini, suatu bangsa di samping telah memiliki tradisi berpikir ilmiah sekaligus sudah dapat belajar menciptakan ilmu dan teknologi. Bila suatu bangsa telah berhasil memasuki tahap penciptaan ilmu dan teknolgi, mereka dapat memikirkan ilmu dan teknologi mana yang harus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Pada tahap inilah bangsa kita baru dapat dikatakan dapat memanfaatkan hasil kemajuan bangsa lain.
Pendidikan harus dapat mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Jika bangsa Indonesia telah dapat menguasai ilmu dan teknologi dan telah dapat menciptakan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, berarti mereka telah dapat berkompetisi dengan bangsa lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Ketika bangsa Indonesia berkompetisi dengan bangsa lain itulah kesadaran bahwa setiap bangsa harus memiliki jati diri sehingga harkat dan martabatnya sejajar dengan bangsa lain.
Namun dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih berada pada tahap belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Pendidikan pada tahap ini pun ternyata masih tertinggal jauh karena perkembangan ilmu dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa maju begitu cepat berkembang. Akibatnya, bangsa kita terus-menerus berkutat pada tahap belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Hasil konkret yang dicapai hanyalah tenaga siap pakai sebagai operator dan konsumen ilmu dan teknologi negara maju. Pada tingkat para ahli, para sarjana Indonesia tidak lebih sekedar sebagai distributor ilmu dan teknologi bangsa maju untuk dijual kepada konsumen di Indonesia.
Tentu dengan kondisi pendidikan seperti itu kita tidak puas. Kita ingin memiliki bangsa yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat agar memiliki kedudukan sejajar dengan bangsa lain. Jika masing-masing generasi muda kaya akan potensi, setiap warga negara akan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan secara maksimal.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu menciptakan manusia Indonesia dengan kualitas serta kreatifitas yang tangguh baik secara mental maupun fisik, yang mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari berbagai keterpurukan yang terjadi saat ini. Dan secara umum, kita seperti tidak sadar bahwa apa yang terjadi dalam pendidikan kita menjadi PR (pekerjaan rumah) yang seharusnya di cermati dan di sikapi dengan segera. Dan tugas itu bukan hanya dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan, tapi juga oleh masyarakat indonesia.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/02/kegagalan-indonesia-dalam-mendidik-generasi-muda/
Pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Manusia dikatakan berkualitas jika memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki kemampuan menciptakan ilmu dan teknologi untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sudah sekian lama Indonesia mendidik generasi muda dengan keyakinan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa modern. Untuk mewujudkan itu, Indonesia telah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk mendanai pendidikan. Namun, hasil terbaik pendidikan kita hanyalah mencetak tenaga siap pakai sebagai distributor, operator dan konsumen ilmu dan teknologi negara maju. Indonesia gagal mencetak peneliti, penggali, dan pencipta ilmu dan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsanya sendiri.
Kualitas Pendidikan di Indoensia, lebih cenderung berorentasi pada penciptaan tenaga kerja siap pakai atau pekerja seiring dengan paradigma pemerintah Indonesia yang lebih mengarahkan masyarakatnya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang sedang tumbuh berkembang di Indonesia. Pendidikan bukan lagi berorentasi merangsang kreatifitas berfikir dan berkarya peserta didik. Sehingga, banyak masyarakat Indonesia yang bisa meraih pendidikan dan nilai tinggi, namun seiring perubahan zaman dan waktu tidak mampu bersaing dan bertahan.
Dengan demikian, selama ini bangsa Indonesia tidak lebih dari sekedar menyiapkan tenaga kerja yang harus melayani kepentingan negara maju sebagai distributor, operator, dan konsumen hasil teknologi bangsa dari negara maju. Jika pandangan pendidikan seperti itu masih dipertahankan, bangsa Indonesia tidak akan pernah memiliki jati diri sebagai bangsa yang bermartabat untuk mengangkat derajat bangsanya sendiri. Ternyata, dengan pandangan seperti itu tanpa kita sadari bahwa negara maju telah mempolitisasi pendidikan untuk kepentingan mereka.
Manusia yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi hanya dimiliki oleh negara-negara yang telah memiliki tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi beratus-ratus tahun lamanya. Sementara manusia Indonesia mustahil dapat mengikuti kemajuan manusia di negara maju. Akibatnya, dengan paradigma seperti itu, manusia Indonesia hanya mampu mendidik tenaga siap pakai sebagai distributor, konsumen dan operator ilmu dan teknologi negara maju. Usaha bangsa lain mengkondisikan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa konsumen telah cukup berhasil karena kita selalu berpikir bahwa semua bangsa yang ingin disebut modern harus memiliki teknologi seperti yang dimiliki oleh bangsa di negara maju. Meskipun bangsa Indonesia merasa harus memanfaatkan ilmu dan teknologi ciptaan bangsa maju, namun kondisi pendidikan seperti itu telah berada pada jalur yang salah.
Pendidikan pada tahap awal harus mempelajari ilmu dan teknologi yang telah ada. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tumbuh pola pikir ilmiah sehingga lama kelamaan dapat tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya. Bila suatu bangsa telah tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya, bangsa itu akan sangat mudah menciptakan ilmu dan teknologi. Di sini, suatu bangsa di samping telah memiliki tradisi berpikir ilmiah sekaligus sudah dapat belajar menciptakan ilmu dan teknologi. Bila suatu bangsa telah berhasil memasuki tahap penciptaan ilmu dan teknolgi, mereka dapat memikirkan ilmu dan teknologi mana yang harus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Pada tahap inilah bangsa kita baru dapat dikatakan dapat memanfaatkan hasil kemajuan bangsa lain.
Pendidikan harus dapat mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Jika bangsa Indonesia telah dapat menguasai ilmu dan teknologi dan telah dapat menciptakan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, berarti mereka telah dapat berkompetisi dengan bangsa lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Ketika bangsa Indonesia berkompetisi dengan bangsa lain itulah kesadaran bahwa setiap bangsa harus memiliki jati diri sehingga harkat dan martabatnya sejajar dengan bangsa lain.
Namun dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih berada pada tahap belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Pendidikan pada tahap ini pun ternyata masih tertinggal jauh karena perkembangan ilmu dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa maju begitu cepat berkembang. Akibatnya, bangsa kita terus-menerus berkutat pada tahap belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Hasil konkret yang dicapai hanyalah tenaga siap pakai sebagai operator dan konsumen ilmu dan teknologi negara maju. Pada tingkat para ahli, para sarjana Indonesia tidak lebih sekedar sebagai distributor ilmu dan teknologi bangsa maju untuk dijual kepada konsumen di Indonesia.
Tentu dengan kondisi pendidikan seperti itu kita tidak puas. Kita ingin memiliki bangsa yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat agar memiliki kedudukan sejajar dengan bangsa lain. Jika masing-masing generasi muda kaya akan potensi, setiap warga negara akan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan secara maksimal.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu menciptakan manusia Indonesia dengan kualitas serta kreatifitas yang tangguh baik secara mental maupun fisik, yang mampu membangkitkan bangsa Indonesia dari berbagai keterpurukan yang terjadi saat ini. Dan secara umum, kita seperti tidak sadar bahwa apa yang terjadi dalam pendidikan kita menjadi PR (pekerjaan rumah) yang seharusnya di cermati dan di sikapi dengan segera. Dan tugas itu bukan hanya dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan, tapi juga oleh masyarakat indonesia.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/02/kegagalan-indonesia-dalam-mendidik-generasi-muda/
Komentar