Dari Depot Burjo Menuju Sejuta Mimpi

hanya satu, ingin memilikinya..

Pemuda itu bertubuh ceking, logat Sundanya masih

sangat kental. Hari-harinya dihabiskan di sebuah depot burjo sebagai pelayan sekaligus koki. Penampilan yang sederhana

dengan wajah lugu dan senyum yang renyah

selalu tersaji bersama menu-menu pesanan pengunjung burjo yang buka selama 24 jam. Egi, hanya sebagian kecil pembeli yang mengenal nama itu, selebihnya hanya

dipanggil Aa, sebuah panggilan khas

bagi laki-laki Sunda. Pemuda kelahiran Cigugur, 4 Februari 20 tahun silam ini

telah 2 bulan bekerja di Warung burjo

Bismillah 2 yang berada di Jln. Gatot Kaca No. 06 Mrican Pringgodani. Egi

datang ke Jogja untuk bekerja sebagai pelayan burjo 2 tahun silam, tepatnya di Depot Burjo Bismillah 1, yang berlokasi di selokan Mataram, Nologaten,

Depok. Ketika burjo Bismillah 2

berdiri, Egi dipindahkan ke depot baru tersebut.

Egi tak sendirian menjalani profesi

sebagai pelayan depot / warung burjo

yang tersebar di seantero Yogyakarta. Ribuan warga Kuningan lainnya juga datang

ke Yogyakarta untuk menjalani profesi yang sama. Sebut saja salah satunya Didin

(18), tetangga Egi di kampung. . Didin, yang lebih tenang dan tak banyak bicara

adalah mantan anak jalanan yang kini secara bergantian dengan Egi melayani

pelanggan Burjo. Baik Egi maupun

Didin memiliki alasan yang sama memilih bekerja sebagai pelayan burjo. “Hanya ini keahlian kami, rata-rata

orang kampung ( Cigugur ) datang ke sini jadi pelayan burjo..” Ungkap Egi. Egi,

Didin dan ribuan pelayan burjo

lainnya datang dari latar belakang yang sama, yakni keluarga tidak mampu, dan

faktor itu pula yang membuat mereka tidak bisa mencapai tingkat pendidikan yang

lebih baik guna menyasar jenis profesi

lebih dari seorang pelayan burjo. Di kampung

halaman mereka, profesi pelayan Burjo

sangat populer, dan uniknya daerah yang mereka tuju hanya Yogyakarta dan

sekitarnya. Ini tidak lain karena efek ceritra dari mulut ke mulut yang dibawa

pendahulu mereka.

Menjalani profesi sebagai pelayan bukan satu-satunya

profesi impian terakhir bagi kedua pemuda Sunda ini. Di balik senyum dan

keramahan dalam meladeni pelanggan yang rata-rata adalah mahasiswa, mereka

menyimpan mimpi yang besar, bahwa suatu saat mereka bisa berhenti menjadi

sekedar pelayan, tetapi juga pemilik. Ketika ditanya berapa orang pelayan burjo yang berhasil memiliki warung burjo sendiri, Egi mengaku hanya

sedikit.Faktor penghambat utama adalah modal usaha. Gaji yang tidak lebih dari 400.000

rupiah per bulan rasanya sulit untuk kemudian ditabung sebagai modal. Latar

belakang pendidikan yang rendah juga menjadi faktor lain yang membuat mereka

kesulitan untuk memulai usaha sendiri. Selain itu, gaji yang tidak seberapa

harus mereka kirim kepada orang tuanya di Kuningan.

Mimpi Harus Selalu Ditanam

Egi dan Didin hanya potret dari sekian banyak

pelayan burjo yang sebagian besar

berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Lain lagi Miftah, pria berusia 21 tahun yang

menjadi pelayan burjo di daerah

Seturan, bersama istrinya Endang ( 20 ). Seluruh masa remajanya habis di

beberapa warung burjo, hingga

akhirnya mereka menikah, meski usia mereka belum terlalu matang. “Dengan

menikah, keuangan bisa lebih teratur, mas” ungkap Miftah, saat ditanya mengapa

menikah di usia yang relatif muda. Ya, lagi-lagi mimpi menjadi alasan bagi

mereka untuk memutuskan sesuatu, termasuk menikah. Menurut Miftah, kehadiran

Endang sebagai istri bisa membantunya untuk menabung agar suatu saat bisa

memulai usaha sendiri. Menjadi pemilik burjo

ternyata telah sekian lama menjadi mimpi hampir semua pelayan Burjo, meski hingga kini warung-warung burjo yang bertebaran di mana-mana masih

dikuasai oleh segelintir orang berduit. Egi, Didin, Miftah dan Endang serta

ribuan pelayan burjo lainnya bertaruh

untuk sebuah mimpi, meski mereka mengaku sangat berat. Senyum yang mereka

sajikan bersama aneka menu sederhana seakan sebagai pengiring mimpi-mimpi mereka,

tertanam di ruang-ruang bercat kuning, cat khas warung burjo. Mimpi suatu saat

mereka memilikinya, sendiri.

http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/03/08/dari-depot-burjo-menuju-sejuta-mimpi/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Bunyi Bahasa (Fonologi)

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar

Bentuk, Ragam dan Sifat Bimbingan dan Konseling

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”