Sosiolinguistik

(Suatu Pengantar)
(P.W.J. Nababan, 1986, Gramedia, Jakarta)


BAB I PENDAHULUAN
A. Apakah sosiolinguistik itu?
1. Ilmu yang mempelajari hakikat dan ciri-ciri bahasa disebut linguistik (hlm. 1). Yang dipelajari yaitu unsur-unsur bahasa dan hubungan antar unsur-unsurnya (hlm.1).
2. Jika yang dipelajari itu hanya unsur bunyi dan hubungan bunyi yang satu dengan yang lain, maka lahirlah ilmu bunyi bahasa atau fonologi; jika yang dipelajari hanya bentuk-bentuk kata dan hubungan antara bentuk-bentuk itu, maka lahirlah ilmu bentuk kata atau morfologi; jika yang dipelajari hanya unsur penggabungan kata maka lahirlah ilmu gabungan kata atau sintaksis (hlm. 1).
3. Baik fonologi, morfologi, sintaksis, maupun yang lain hanyalah merupakan cabang dari linguistik, atau bagian dari linguistik (hlm. 1).
4. Sejak tahun 1960-an, beberapa ahli bahasa sendiri tidak puas dengan mempelajari bahasa tetapi lepas dari siapa yang menggunakan bahasa, kapan digunakan, kepada siapa seseorang menggunakan bahasa itu. Padahal, bahasa digunakan untuk berhubungan (berkomunikasi) (hlm.1).
5. Itulah sebabnya muncul ilmu yang memperlajari bahasa, tetapi dilihat dari dimensi sosialnya, misalnya, dilihat dari siapa yang mengucapkannya, di mana diucapkan untuk tujuan apa orang itu mengucapkan, kepada siapa ditujukan. Ilmu baru ini disebut ilmu bahasa sosial atau sosiolinguistik.
6. Setelah dipelajari dengan ilmu baru ini, ditemukan adanya variasi dalam suatu bahasa, misalnya, bentuk O , nggak, ndak, tak, tidak, yang semuanya dapat dipakai untuk menyatakan maksud “negatif”, dan semuanya penting (bd. hlm.1).
7. Mengapa terjadi variasi seperti itu? Karena pemakai bahasa itu bermacam-macam dilihat dari, antara lain, usianya, asalnya, pendidikannya, pekerjaannya, jenis kelaminnya, situasi ketika saling berkomunikasi. Semuanya ini tentu saja penting diperhatikan dalam pengajaran bahasa karena yang belajar bahasa adalah mereka yang berciri seperti itu (bd. hlm.1-2).
B. Topik apa saja yang dikaji dalam sosiolinguistik?
1. Topik utama kajian sosiolinguistik ada tiga:
a. kajian bahasa dilihat dari konteks sosial dan kebudayaan,
b. kajian hubungan antara ciri kebahasaan suatu bahasa dan fakstor sosial dan kebudayaan,
c. kajian fungsi sosial bahasa dan penggunaan bahasa dalam masyarakat (hlm.3).
2. Berdasarkan tiga topik utama itu, maka sosiolingustik mengkaji topik-topik :
a. bahasa, dialek, adialek, dan ragam bahasa,
b. repertoar bahasa,
c. masyarakat bahasa,
d. kedwibahasaan dan kegandabahasaan,
e. fungsi kemasyarakatan bahasa dan profil sosiolinguistik
f. penggunaan bahasa,
g. sikap bahasa,
h. perencaan bahasa,
i. interaksi sosiolinguistik,
j. bahasa dan kebudayaan (hlm.3).
3. a. Idialok adalah sistem bahasa seseorang, misalnya, dalam kebiasaan berbahasa seseorang menggunakan kata cuma pada setiap komunikasinya (hlm.4). Dapat juga idiolek diartikan variasi bahasa pada diri seseorang.
b. Variasi bahasa yang dimiliki sekelompok orang disebut dialek. Ada yang disebut dialek geografi (sering hanya disebut dialek), ada dialek sosial (sosiolek), ada dialek fungsional (fungsiolek), ada kronolek (dialek yang disebabkan karena waktu).
c. Secara sosiolinguistik, bahasa itu adalah dialek-dialek yang penutur-penuturnya saling memahami maksud tuturan, atau saling mengerti maksud tuturan (hlm4).
d. Dalam sosiolinguistik dipakai istilah ragam bahasa untuk dialek yang disebabkan oleh karena faktor-faktor komunikasi (misalnya, faktor penutur, tempat bicara, tujuan bicara) (hlm.5).
e. Repertoar bahasa adalah semua bahasa dan semua ragam bahasa yang diketahui dan dipakai seseorang (hlm. 5). Ada seseorang yang hanya mengetahui satu bahasa (bahasa pertama), dua bahasa (bahasa pertama dan kedua), tiga bahasa (bahasa pertama, kedua dan bahasa asing) (hlm. 5).
f. Masyarakat bahasa adalah sekumpulan manusia yang menggunakan sistem isyarat bahasa yang sama (hlm. 5).
g. Kedwibahasaan (bilingualisme). Istilah kedwibahasaan dipakai untuk dua pengertian dengan arti yang berbeda. Bilingualitas dipakai untuk pengertian mempergunakan dua bahasa dalam pergaulan hidup seseorang, dan bingualisme untuk pengertian kebiasaan untuk memakai dua bahasa (hlm.5). Dalam topik kedwibahasaan, antara lain, dibicarakan topik alih kode, campur kode, dan interferensi.
h. Fungsi kemasyarakatan dan kedudukan kemasyarakatan bahasa adalah fungsi dan kedudukan bahasa dalam masyarakat. Itulah sebabnya, lalu muncul istilah bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa pendidikan, bahasa keagamaan, dan bahasa kelompok (hlm.6).
i. Dalam topik penggunaan bahasa dan laku bahasa (tindak bahasa) dibicarakan unsur-unsur di dalam tindak bahasa dan pilihan bentuk dan pilihan ragam bahasanya (hlm.7). Di dalam topik ini kita kenal akronim SPEAKING yang berisi unsur-unsur tindak berbahasa.
j. Di dalam topik sikap bahasa dibicarakan sikap seseorang terhadap suatu bahasa. Sikap berkaitan dengan senang tidaknya terhadap sesuatu. Jika sikapnya terhadap suatu bahasa itu positif (senang) maka seseorang akan termotivasi untuk mempelajari, memakai bahasa itu.
k. Topik perencanaan bahasa membicarakan bagaimana bahasa dibakukan, dipelihara, dan dibina serta dikembangkan (hlm.7).
l. Dalam topik interaksi sosiolinguistik dibicarakan perlunya seseorang memiliki kemampuan di luar kemampuan linguistik, yaitu kemampuan komunikatif, dan kemampuan memahami makna yang sebenarnya dari unsur-unsur kebahasaan (hlm.8).
m. Topik bahasa dan budaya membicarakan hubungan antara bahasa dan kebuadayaan misalnya dibicarakan apa yang disebut relativitas kebahasaan (hlm.8). Dikenal hipotersis Sapir –Worf, yang isisnya pernyataan (pendapat) cara berpikir dan bertindak seseorang dipengaruhi oleh struktur dan kosa kata bahasanya.
C. Apakah kegunaan sosiolinguistik?
1. Karena paparan bahasa dengan ilmu bahasa (linguistik) tidak dapat menjelaskan tindak bahasa manusia, karena yang dipaparkan hanya unsur-unsur bahasanya, maka lahirlah sosiolinguistik.
2. Dari sudut bahasa, bentuk kata nggak sama artinya dengan tidak. Akan tetapi, dari sudut pemakaiannya ada perbedaan penggunaan ; nggak digunakan dalam situasi tidak resmi, dan tidak dalam situasi resmi.
3. Sosiolinguistik menyadarkan kepada pemakai bahasa bahwa dalam pemakaian bahasa ada variasi bahasa, dan apa yang tidak baku ternyata tidak selalu salah. Kalimat Aku nggak ngerti. tidak serta merta salah meskipun bentuk kata nggak dan ngerti keduanya bentuk yang tidak baku.
4. Sosiolinguistik juga menyadarkan kita bahwa terhadap suatu bahasa, seseorang ada yang senang, tetapi ada yang tidak senang; jadi ada yang sikap bahasanya positif, ada yang negatif. Sikap atau perasaan ini mempengaruhi orang itu dalam mempelajari bahasa tersebut.
5. Bahasa yang masih dipakai akan selalu berkembang. Perkembangan bahasa dapat mengarah ke yang positif, tetapi juga dapat mengarah ke yang negatif. Oleh karena itu, perlu ada perencanaan bahasa, ada pembinaan bahasa, ada pembakuan bahasa. Kesadaran ini timbul dengan lahirnya sosiolinguistik.
6. Sosiolinguistik menyadarkan kepada kita bahwa untuk menjadi terampil berbahasa tidak cukup hanya memiliki kemampuan tatabahasa. Seseorang perlu memiliki juga kemampuan komunikatif (hlm.10). Kemampuan tata bahasa adalah kemampuan membentuk satuan-satuan bahasa (kata, frasa, klausa, kalimat). Kemampuan komunikatif adalah kemampuan memilih dan menggunakan satuan-satuan bahasa itu sesuai dengan konteks komunikasi (bd. hlm.10). Kesadaran inilah yang melahirkan pendekatan komunikatif (bukan pendekatan linguistik) dalam pengajaran bahasa (hlm.11).
7. Kesimpulannya, sumbangan sosiolinguistik kepada pengajaran bahasa adalah (a) penekanan pada kebermaknaan bahasa, (b) pengertian yang mendalam bahwa bahasa itu beragam (bervariasi), (c) tujuan pengajaran bahasa harus bersumber pada penggunaan bahasa dalam masyarakat, (d) bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan disesuaikan dengan bentuk bahasa yang berfungsi dalam masyarakat. Ingatlah bahwa kalimat Kau ambilkan buku itu, Pak! tidak cocok diucapkan oleh seorang anak kepada bapaknya meskipun kalimat itu baku.
D. Bagaimana keadaan bahasa-bahasa d Indonesia secara sosiolinguistik?
1. Keadaan kebahasaan Indonesia secara sosiolinguistik cukup kompleks (hlm.12). Pada tahun 1970-an, di Indonesia dipakai 418 bahasa.
2. Satu dari bahasa-bahasa itu diangkat (dibaptis), yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, dan bahasa–bahasa yang lain adalah bahasa daerah (hlm.12). Ingat lagu Satu Nusa Satu Bangsa!
3. Bahasa-bahasa daerah yang dipelihara oleh rakyatnya sendiri akan dihormati dan dipelihara oleh negara (hlm.12).
4. Yang menarik adalah kenyataan sosiolinguistik ini. Yang sekarang dinamakan bahasa Indonesia itu dahulu hanya merupakan salah satu bahasa daerah, yang bernama bahasa Melayu, dan dipakai oleh rakyat di sekitar Kepulauan Riau. Penuturnya jauh lebih sedikit daripada penutur bahasa Jawa, Sunda, Bali. Anehnya, yang dipilih sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda (1928) adalah bahasa Melayu, bukan bahasa-bahsa daerah yang lain.
BAB II VARIASI DALAM BAHASA

A. Apa dan berapa variasi bahasa itu? (hlm.13-15)
1. Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu aspek bentuk dan aspek makna (hlm.13). Aspek bentuk berwujud bunyi dan tulisan, serta strukturnya. Aspek makna berwujud makna leksikal, fungsional, dan struktural (hlm.13).
2. Jika dicermati, meskipun tulisannya sama, ucapannya dapat berbeda. Dalam bahasa Jawa ada kata wahing yang berarti ‘bersin’. Ucapan kata itu akan berbeda jika pengucapnya dari daerah yang berbeda. Yang satu mengucapkan [w a h I ŋ], yang lain [w a I ŋ]. Ada juga pemakaian kata yang berbeda untuk menyebut ‘orang yang melahirkan’. Ada kata ibu, mami, mama, simbok, simak, simbil, biyung, dan seterusnya. Dahulu dipakai kata kuli, kemudian dipakai kata buruh, berikutnya dipakai kata karyawan.
3. Kesimpulannya adalah bahwa dalam bahasa ada variasi. Atau dalam bahasa ada ragam-ragam bahasa.
4. Ada empat jenis variasi (ragam) bahasa : (a) dialek, (b) sosiolek, (c) fungsiolek, dan (d) kronolek (hlm.14)
a. Dialek adalah variasi bahasa karena berbeda asal daerah penuturnya. Contohnya: ucapan [w a h I ŋ] (Jawa Solo) dan [w a I ŋ] (Jawa Yogyakarta).
b. Sosiolek adalah variasi bahasa karena status sosial penuturnya berbeda. Contohnya: mama (status sosial tinggi) dan simbok (status sosial rendah).
c. Fungsiolek adalah variasi bahasa karena situasi berbahasa yang berbeda. Contohnya: mengapa (formal), ngapa, ngapain, kenapa (tidak formal).
d. Kronolek adalah variasi bahasa karena perkembangan waktu. Contohnya: kuli (penjajahan zaman Belanda), karyawan (zaman merdeka) (hlm.14).
5. Masing-masing variasi atau ragam itu melahirkan ilmu (studi) yang berbeda. Yang mempelajari dialek disebut dialektologi atau linguistik geografis. Yang mempelajari sosiolek disebut sosiolinguistik atau sosiologi bahasa. Yang mempelajari fungsiolek disebut pragmatik atau analisis wacana atau etnografi berbahasa. Yang mempelajari bahasa-bahasa yang berbeda disebut linguistik historis atau linguistik diakronis atau linguistik kontrastif (hlm.15).

B. Apakah dalam linguistik (linguistik umum ) terdapat variasi bahasa? (hlm.15-17)
1. Yang dimaksud variasi bahasa dalam linguistik adalah adanya variasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam bahasa itu sendiri, khususnya yang disebabkan karena unsur bahasa yang ada di muka, atau di belakangnya; atau karena unsur bahasa yang mendahului atau mengikutinya (hlm.16). Ini contohnya. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, Hasan, 2003:31), nama prefiks pada kata membaca adalah meng- . Ternyata prefiks meng- ini jika melekat pada kata yang dimulai dengan bunyi / b /, bentuknya berubah menjadi mem-, jika melekat pada kata yang dimulai dengan bunyi / d /, bentunya menjadi men-.
2. Secara sosiolinguistik, perubahan bentuk seperti itu disebut variasi internal atau variasi sistemik (hlm.15). Tentu pembaca masih ingat, dalam fonologi dikenal istilah alofon dan dalam morfologi dikenal alomorf, yang masing-masing berupa variasi.
3. Akan tetapi, dalam pemakaian bahasa juga ada variasi. Sufiks –kan ada yang mengucapkan [k a n], tetapi ada juga yang mengucapkan [k Ə n], padahal huruf-hurufnya sama. Di muka sudah diberikan contoh kata wahing ‘bersin’, ada yang mengucapkan [w a h I ŋ] dan ada yang mengucapkan [w a I ŋ]. Ada juga perbedaan bentuk kata dengan arti yang sama yaitu bentuk-bentuk nggak, ndak, tak, tidak.
4. Variasi-variasi bentuk itu kalau dicermati ternyata tidak disebabkan karena unsur bahasa di mukanya, ataupun di belakangnya. Variasi itu disebabkan karena faktor di luar bahasa. Variasi seperti inilah yang disebut variasi eksternal atau variasi ekstrasistemik (hlm.15). Menurut Nababan (hlm.14), ada empat jenis variasi : dialek, sosiolek, fungsiolek, dan kronolek.
C. Apakah yang dikaji dalam sosiolek dan fungsiolek? (hlm.20-26)
1. Menurut Nababan (hlm.20), sosiolinguistik hanya mengkaji sosiolek dan fungsiolek . Dialek dikaji dalam dialektologi dan kronolek dikaji dalam linguistik historis-komparatif.
2. Hakikatnya, sosiolinguistik mengkaji penggunaan bahasa oleh penutur-penutur tertentu dalam keadaan-keadaan yang sewajarnya untuk tujuan tertentu (hlm.20). dengan pengkajian seperti ini, kita menyadari bahwa bahasa itu berfungsi dalam kehidupan masyarakat.
3. Sebelum sosiolinguistik lahir, kita hanya tahu bahwa makna kalimat Hari ini panas sekali ruangan ini adalah pemberitahuan. Akan tetapi setelah sosiolinguistik lahir, maka kalimat itu bermakna perintah membuka jendela manakala yang mengucapkan seorang guru , sedang mengajar di kelas dan semua jendela tertutup.
4. Harus disadari bahwa setiap bahasa mempunyai banyak ragam yang dipakai dalam keadaan dan keperluan atau tujuan yang berbeda-beda (hlm.22). Ragam-ragam itu mewujud dalam ucapan, intonasi, bentuk kata, kata-kata, frasa, klausa, dan kalimat.
5. Salah satu aspek yang dipelajari dalam sosiolinguistik adalah tingkat formalitas (keresmian) ketika berbahasa (hlm.22). Menurut Martin Joos (1967), berdasarkan tingkat formalita ketika berbahasa, bahasa Inggris dibedakan menjadi lima : ragam baku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (consultative), ragam santai(casual), dan ragam akrab (intimate) (hlm.22-23).
6. Dua kalimat ini sama maksudnya, tetapi berbeda fungsioleknya (tingkat formalitasnya).
 Bapak Suparman menerangkan makna peristiwa itu. (ragam formal)
 Pak Parman terangkan arti kejadian itu. (ragam usaha)
7. Tiga kalimat ini juga sama maksudnya, tetapi berbeda ragam fungsioleknya (tingkat formalitasnya).
 Saya tidak mengerti maksud Saudara. (ragam usaha)
 Aku tak mengerti maksudmu. (ragam santai)
 Nggak ngerti. (ragam akrab)
8. Kalau dicermati dengan teliti dapat dilihat bahwa perbedaan antara tingkat formalitas ragam yang satu dengan ragam yang lain itu berupa perbedaan dalam (a) pilihan kata, (b) ucapan, (c) bentuk kata, dan (d) bentuk kalimat. Inilah contohnya:
 cuma, hanya
 [k a n], [k Ə n]
 ngapain, mengapa
 Aku tak ngerti maksudmu. Nggak ngerti.











BAB III KEDWIBAHASAAN

A. Apakah bilingualisme dan bilingualitas? (hlm.27-29)
1. Hampir dapat dipastikan bahwa dibanyak daerah orang memakai lebih dari satu ragam bahasa, bahkan lebih dari satu bahasa (hlm.27).
2. Jika seseorang sanggup atau mampu memakai dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain, maka ia termasuk dalam bilingualitas. Akan tetapi, jika orang itu biasa menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi, maka ia termasuk dalam pengertian bilingualisme (hlm.27).
3. Ada istilah diglosia dari Ferguson(1959) yang sama pengertiannya dengan bilingualitas (hlm.28).
4. Hubungan antara bilingualism dan bilingualitas adalah demikian. Orang tidak dapat mengerjakan bilingualisme tanpa dia mempunyai bilingualitas (hlm.28).
B. Apakah kedwibahasaan masyarakat dan perorangan? (hlm.29-31)
1. Kedwibahasaan masyarakat yaitu keadaan masyarakat yang semua anggota masyarakat itu tahu dua bahasa dan menggunakan kedua bahasa itu setiap hari dalam pekerjaan dan interaksi sosialnya (hlm.29).
2. Dapat juga terjadi, keadaan masyarakat yang setiap orang tahu hanya satu bahasa. Jadi, dalam masyarakat yang seperti ini ada dua jaringan komunikasi yang monolingual dan tersendiri (hlm.29).
3. Akan tetapi dua keadaan itu (nomor 1 dan nomor 2) hampir tidak ada kecuali dalam masyarakat yang amat kecil dan terpencil (hlm.29).
4. Di Indonesia sekarang ini, lebih lebih di kota besar, semakin banyak generasai muda tidak lagi menguasai secara produktif bahasa daerah orang tuanya, dan praktis hanya memakai bahasa Indonesia (hlm.30). Jika keadaannya demikian, maka masyarakat Indonesia itu masyarakat bilingualitas, tetapi tidak bilingualisme.
5. Kedwibahasaan perorangan adalah keadaan seseorang yang tahu dua bahasa dan menggunakan kedua bahasa itu dalam berinteraksi. Sebagian masyarakat Indonesia, orang-orangnya tahu dua bahasa dan menggunakan kedua bahasa itu meskipun pengetahuan dan penggunaan kedua bahasanya tidak sama porsinya.
C. Apakah alih kode dan campur kode?
1. Dalam berinteraksi, sering dijumpai seseorang mengganti ragam bahasa, bahkan mengganti bahasa. Ketika masih berbicara dengan teman sekampung (seasal, sedaerah), kedua orang itu berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Begitu datang orang yang tidak sekampung, kedua orang itu beralih, dalam komunikasinya, ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, beralihnya ke dalam bahasa Indonesia karena ada faktor orang lain tadi. Peralihan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena faktor seperti itu disebut alih kode [code-switching].
2. Peralihan kode itu juga dapat terjadi di dalam suatu ragam, misalnya dari ragam santai ke ragam formal (hlm.31). Ketika dalam keadaan santai seorang guru berkata,“ Kamu nggak dong”, tetapi begitu keadaanya formal beralih ke tuturan, “Kamu tidak mengerti” .
3. Penyebab terjadinya alih kode itu adalah sejumlah faktor komunikasi yang oleh Dell Hymes (hlm.7) disingkat dengan akronim speaking :
S : setting and scene (tempat dan suasana bicara)
P : participant (komunikan)
E : ends (purpose and goal) (tujuan bicara)
A : act sequences (giliran bicara)
K : key (tone or spirit of act) (nada suara dan ragam bahasa yang digunakan)
I : instrument (jalur) (alat bicara)
N : norms (of interaction and interpretation) (aturan bicara)
G : genres (bentuk dan ragam bahasa)
4. Suatu peristiwa berbahasa lain yaitu campur kode [code-mixing]. Penyebab peristiwa ini bukan faktor-faktor komunikasi, tetapi hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaan penutur itu saja (hlm.32). Kode yang dicampur mungkin bahasa Indonesia dan bahasa daerah, mungkin bahasa Indonesia dan bahasa asing (hlm.32).
5. Ciri yang menonjol dalam campur kode ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal, jarang terdapat campur kode (hlm.32). Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, itu disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai; dalam bahasa tulisan, hal ini dinyatakan dengan mencetak miring atau garis bawah. Kadang-kadang juga terdapat campur kode bila pembicara ingin memamerkan “keterpelajarannya” atau “kedudukannya” (hlm.32).

D. Apakah profil bilingualitas itu? (hlm.32-35)
1. Seorang dwibahasawan berarti orang itu memiliki kemampuan dua bahasa atau lebih. Akan tetapi, kemampuan pada bahasa yang satu belum tentu sama dengan bahasa yang lain.
2. Jika kemampuan akan kedua bahasa itu sama, maka kedwibahasaan yang dimiliki adalah kedwibahasaan (bilingualitas) sejajar. Sebaliknya, apabila kemampuan tidak sama, maka kedwibahasaannya termasuk bilingualitas majemuk (hlm.32).
3. Ciri bilingualitas sejajar yaitu bahwa kemampuan bahasa-bahasanya penuh dan seimbang. Ketika sedang berbahasa A, seseorang tidak berpikir dalam bahasa B. kedua bahasa yang dikuasai terpisah, bekerja sendiri-sendiri (hlm.32).
4. Sebaliknya, apabila kemampuan akan kedua bahasanya tidak sama, bahasa yang satu (A) lebih dikuasai daripada bahasa yang lain (B). Jika ini yang terjadi, maka timbullah peristiwa yang disebut interferensi (hlm.32). Ketika sedang berbahasa B, unsur-unsur bahasa A masuk, atau mempengaruhi. Misalnya, ketika berbahasa Inggris unsur yang dipakai unsur bahasa Indonesia ”No what-what”(tidak apa-apa).
5. Keadaan kedwibahasaan seseorang atau sekelompok orang dapat digambarkan. Gambar kedwibahasaan seperti itu disebut profil bilingualitas. Yang digambarkan dapat bermacam-macam: kemampuan membacanya, menyimaknya, menulisnya, berbicaranya. Dapat juga digambarkan profil bilingualitasny dalam bahasa Indonesia antara dua guru bidang studi yang berbeda (hlm.35-37).

E. Apakah interferensi itu? (hlm.35-37).
1. Di muka sudah dikatakan interferensi terjadi apabila seorang dwibahasawan menguasai dua bahasa atau lebih, tetapi tidak sama tingkat penguasaannya. Ketika orang itu berkomunikasi dengan bahasa yang belum dikuasai, unsur-unsur bahasa yang sudah dikuasai mempengaruhi (masuk ke dalam) bahasa yang sedang dipakai.
2. Interferensi tejadi pada aspek produktif (berbicara, menulis) dan pada aspek reseptif (menyimak, membaca). Terjadinya interferensi pada umumnya pada waktu seseorang sedang belajar bahasa baru (bahasa kedua atau bahasa asing) (hlm.35). Jenis interferensi ini disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar (developmental atau learning interference)(hlm.35).
3. Menurut Nababan, ada jenis interferensi yang disebut interferensi sistemik . Ini terjadi apabila unsur bahasa yang masuk menjadi bagian dari sistem bahasa yang dimasuki. Unsur bahasa yang masuk dapat berupa unsur bunyi (misalnya masuknya bunyi /f/, unsur kata, misalnya masuknya kata pensil), unsur frasa (misalnya masuknya akhiran –nya dalam frasa atapnya rumah), masuknya akhiran –isasi (misalnya dalam dwinisasi).
4. Hasil dari gejala interferensi sistemik ini yaitu apa yang disebut pungutan (borrowing)(hlm.35).






F. Bagaimana menggambarkan pola-pola bilingualisme?
1. Kita menjadi tahu bahwa dalam masyarakat dwibahasawan terdapat berbagai macam pola kedwibahasaan. Dalam suatu kelompok masyarakat dapat diketahui (a)bahasa-bahasa apa yang dipakai, (b) bidang (domain) kebahasaan, dan (c)teman berbahasa (hlm.36).
2. Deskripsi seperti ini berguna sekali untuk meningkatkan mutu pengajaran bahasa Indonesia, apalagi kita ketahui bahwa bahasa Indonesia, bagi sebagian kecil masyarakat kita merupakan bahasa pertama, bagi sebagian kecil masyarakat kita merupakan bahasa pertama, dan bagi sebagian besar masyarakat kita masih merupakan bahsa kedua (hlm.36).













BAB IV FUNGSI BAHASA

A. Apa fungsi bahasa itu, dan berapa jenisnya?(hlm.38-45)
1. Secara umum, fungsi bahsa adalah untuk berkomunikasi antar anggota-anggota pemilik bahasa itu, atau antaranggota masyarakat bahasa itu.
2. Karena anggota masyarakat itu hidup bersama, maka ketentuan-ketentuan harus dipatuhi. Karena itulah, maka muncul fungsi kemasyarakatan dari bahasa.
3. Anggota masyarakat itu sebagai manusia berkalbudi, berperasaan, dan berkeinginan, maka dihasilkan kebudayaan (hasil budaya). Karena itulah, maka muncul fungsi kebudayaan dari bahasa.
4. Anggota masyarakat sebagai perseorangan tidak mungkin hidup sendirian. Ia niscaya berhubungan dengan orang lain. Bagi orang perseorangan, bahasa memiliki fungsi. Itulah yang melahirkan fungsi perseorangan dari bahasa.
5. Orang perseorangan menurut nalurinya ingin maju. Karena itu, lahir institusi pendidikan. Dalam pendidikan, bahasa memiliki peranan penting. Itulah sebabnya lahir fungsi pendidikan dari bahasa.

B. Apakah fungsi bahasa dalam kebudayaan? (hlm.38-39)
1. Seperti diketahui secara filogenetik (hubungan jenis), bahasa sebenarnya hanya bagian dari kebudayaan, tetapi peranannya penting karena dengan bahasa kebudayaan dapat dikembangkan.
2. Ada tiga fungsi bahasa ari kebudayaan (a) sebagai sarana pengembangan kebudayaan, (b) sebagai jalur penerus kebudayaan, (c) sebagai inventaris cirri-ciri kebudayaan(hlm. 38).
3. Secara ontogentik (sesuai dengan perkembangan dari pertumbuhan seseorang), seseorang belajar dan mengetahui kebudayaan kebanyakaan melalui bahasa; artinya seseorang
4. Salah satu contoh timbulnya kebudayaan pada seseorang ketika seorang anak memberikan sesuatu dengan tangan kiri itu menurut tata kesopanan masyarkat timur tidak baik. Ada dua itndakan yang dilakukan si ibu (a) tangan anak itu dipukul, atau (b) diberitahu (dengan kata-kata) bahwa tindakan itu tidak baik (hlm. 39).
5. Fungsi bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebahasaan dapat dijelaskan sebagai berikut. Sesuatu yang ada dalam kebudayaan mempunyai nama. Di dalam kebudayaan Jawa ada sifat kerjasama. Sifat itu diberi nama gotong royong.
6. Seperti diketahui kebudayaan bangsa yang satu berbeda dengan unsur bahasa yang lain. Ini berarti unsur kebudayaan bangsa yang satu berbeda dengan unsur kebudayaan bangsa yang lain. Ini berarti pula bahasa (kata) yang disepakati tentu berbeda. Jika kata atau ungkapan padanan tidak ada dalam suatu bahasa, maka terjadi (a) pungutan kata atau ungkapan bahasa aslinya, atau (b) memakai kata atau ungkapan aslinya dengan dituliskan dengan huruf miring (hlm. 39).
7. Contoh kata-kata pungutan dalam bahasa Indonesia yaitu saudagar, samudra, huruf, khotbah, lampu, buku, mobil, supir (hlm. 39).

C. Apakah fungsi bahasa dalam masyarakat? (hlm. 40-42)
1. Masyarakat dapat dibagi menjadi dua berdasarkan ruang lingkup: (a) masyarakat nasional dan (b) masyarakat kelompok. Karena itu lahirlah bahasa nasional dan bahasa kelompok (hlm. 40). Menurut Amran Hakim (1970), bahasa nasional memiliki fungsi sebagai (i) lambing kebanggaan kebangsaan, (ii) lambang identitas bangsa, (iii) alat penyatuan berbagai suku bangsa, (iv) alat perhubungan antardaerah dan antar budaya (hlm. 40).
2. Bahas kelompok digunakan oleh kelompok yang lebih kecil dari suatu bangsa. Di Indonesia bahasa kelompok disebut bahasa daerah atau logat daerah. Bahasa daerah berfungsi sebagai identitas kelompok dan alat pelaksanaan kebudayaan kelompok itu. Di Indonesia terdapat hanya satu bahasa nasional tetapi terdapat lebih dari 500 bahasa daerah menurut Barr dan Barr (1980) (hlm. 40).
3. Dalam lingkup yang lebih luas dikenal bahasa internasional, dengan contoh bahasa Inggris, dan Spanyol. Bahasa-bahasa itu dipakai dalam komunikasi antarbangsa dan antarnegara (hlm. 40).
4. Berdasarkan bidang pemakaian terdapat bahasa resmi, bahasa pendidikan, bahasa agama, bahasa dagang dan sebagainya (hlm. 41).
5. Bahasa resmi ialah bahasa resmi yang dipakai untuk keperluan resmi kenegaraan seperti pemerintahan dan pengadilan. Bahasa resmi disebut juga bahasa Negara (hlm. 41). Menurut Amran Hakim (1976), fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi adalah sebagai (a) bahasa resmi kenegaraan, (b) bahasa pengantar dalam pendidikan \, dan (c) pengembangan kebudayaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hlm. 41).
6. Sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan ternyata terdapat ketentuan (undang-undang) yang mengizinkan bahasa daerah dipakai di berbagai tempat di kelas I sampai kelas III karena bahasa daerah secara umum dipakai untuk pergaulan sehari-hari dan anak-anak belum tahu bahasa Indonesia (hlm. 41).
D. Apakah fungsi bahasa bagi perseorangan? (hlm.42-43).
1. Berdasarkan pengamatan kepada anaknya sendiri, Halliday (1976, via Nababan, 1986:42), bagi memiliki enam fungsi: (a) instrumental, (b) menyeluruh, (c) interaksi, (d) kepribadian, (e) pemecahan masalah (heuristic), dan (f) khayal. Nababan (hlm.42) menambahakan satu fungsi lagi, yaitu fungsi informasi.
2. Fungsi instrumental yaitu fungsi sebagai alat unutk meminta sesuatu. Ucapan (kalimat), “Kasih itu sama saya.”, bermaksud untuk meminta sesuatu kepada orang yang diajak bicara.
3. Fungsi menyuruh (regulatory) yaitu fungsi menyuruh orang lain berbuat sesuatu kepada pembicara. Contohnya, “Letakkan ini di meja itu!”
4. Fungsi interaksi yaitu fungsi menciptakan seuatu suasana sehingga terjadi komunikasi atau hubungan interpribadi, misalnya ucapan, “Apa kabar?”
5. Fungsi kepribadian (personal) yaitu fungsi yang berkaitan dengan ungkapan pribadinya; misalnya, “Enak rasanya”, / “Saya sudah ngantuk”, “ Saya senang bertemu di sini”.
6. Fungsi pemecahan masalah yaitu fungsi yang berkaitan dengan pendapat, pikiran dalam hubungannya dengan masalah yang dihadapi atau dihadapkan kepadanya. Contohnya, “Coba jelaskan kejadiannya!”
7. Fungsi khayal adalah fungsi yang dikaitkan dengan imajinasi, pencitraan, penekanan. Dalam karya sastra, fungsi khayal itu mencolok sekali.
8. Fungsi informatif adalah fungsi yang berkaitan dengan informasi (pemberitahuan) sesuatu kepada orang lain, Fungsi ini banyak digunakan di sekolah ketika anak-anak mempelajari suatu ilmu, atau sesuatu hal.
9. Ketujuh fungsi bahasa bagi perseorangan ini, tentu saja, perlu mendapat perhatian dalam pelajaran bahasa di sekolah-sekolah sehingga pada diri anak terjadi perkembangan yang utuh, menjadi manusia utuh dari sudut bahasa.
E. apakah fungsi bahasa dalam pendidikan?(hlm.43-45)
1. Fungsi bahasa dalam pendidikan di sini diartikan sebagai tujuan penggunaan bahasa dalam pendidikan dan pengajaran (hlm.43).
2. Ada empat fungsi bahasa dalam pendidikan (a) fungsi integratif, (b) fungsi instrumental, (c) fungsi kultural, dan (d) fugsi penalaran (hlm.43).
3. Bahasa berfungsi integratif apabila penggunaannya untuk tujuan membuat anak ingin dan sanggup menjadi anggota utuh masyarakat pemakai bahasa itu. Di Indonesia, pelajaran bahasa Indonesia seharusnya dapat membuka jalan bagi anak-anak untuk menjadi anggota seutuhnya dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pelajaran Bahasa Indonesia tidak cukup hanya menekankan terampil berbasa Indonesia, tetapi juga digunakan untuk memperkenalkan masyarakat Indonesia yang majemuk, yang bhineka tunggal ika.
4. Fungsi instrumental diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk tujuan mendapatkan keuntungan material, memperoleh pekerjaan, meraih ilmu, dan sebagainya.
5. Fungsi kultural diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk mengenal dan menghargai sistem nilai dan cara hidup (kebudayaan) suatu masyarakat. Jadi bahasa Indonesia seharusnya menjadi alat untuk mengenal kebudayaan nasional Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan asing yang merugikan dapat ditangkal.
6. Fungsi penalaran diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk berpikir (bernalar, berlogika), memahami konsep-konsep, bahkan dapat menciptakan konsep-konsep, dan mempelajari ilmu-ilmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linguistik Historis Komparatif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)