Pengertian dan Jenis-Jenis Makna

1.Makna Leksikal dan Gramatikal
Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina Leksikal (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon (satuan bentuk bahasa yang bermakna). Makna leksikal dapat pula diartikan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Contoh: tangan dan kakinya luka parah karena jatuh dari motor, merupakan makna atau arti yang sebenarnya tentang tangan dan kaki yang ada pada tubuh kita. Kaki tangannya tidak beranngkat, bukan merupakan makna leksikal karena kaki dan tangan yang dimaksud adalah orang yang biasa membantu bukan kaki yang untuk berjalan atau tangan yang untuk makan.
Dari contoh diatas dapat disimpulakan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep serperti yang dilambangkan kata itu.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi dan proses komposisi. Proses afiksasi pada awalan ter- pada kata injak dalam kalimat wanita itu terinjak penjual minuman dalam kereta api, melahirkan makna “tidak sengaja diijak”.
Makna gramatikal itu bermacam-macam. Oleh karena itu, baik kata dasar maupun kata jadian sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi, maka makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu bisa juga disebut makna structural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.

2.Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut bermakna kata referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.
Contoh kata referensial, meja, kursi (karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabotan).
Contoh nonreferensial, tetapi, dan karena tidak mempunyai referen. Jadi kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3.Makna Denotatif dan Konotatif
Perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh merupakan makna denotatif, tetapi tidak setiap kata mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotattif apabila kata memiliki “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa dikatttakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil obsevasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif sereing disebut makna sebenarnya. Misalnya kata perempuan dan wanita, istri dan bini, gadis dan perawan. Namun kini peremuan dan wanita memiliki nilai rasa yang berbeda perempuan dirasa lebih rendah dibandingkan wanita
Makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli atau makna pusat; dan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak menjadi pesoalan; tetapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat deangan kelompok masyarakat lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norna-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Miasalnya kata ceramah dulu berkonotasi cerewet/negative sekarang berkonotasi baik.

4.Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Perbedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tiadknya hubungan (asosiasi, referensi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi sebenarnya makna konseptual sama dengan makna referensial, makna leksikal, makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang memiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘Suci’ atau ‘kesucian’.
5.Makna Idiomatif dan Peribahada
Idiom adalah satuan ujar yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Contoh, meja hijau dengan makna pengadilan, membanting tulang dengan makna berkeja keras. Namun, perlu diketahui adanya dua macam bentuk idiom dalam bahaa Indonesia yaitu: idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna seperti pada membanting tulang, menjula gigi, dan meja hijau.
Sedangkan pada idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang berarti daftar yang berisi nama-namua orang yang dicurigai/dianggap bermasalah’, dan menunjukkan gigi berarti ‘menunjukkan kekuasaan’. Kata daftar dan menunjukkan pada idiom-idiom tersebut masih memiliki makna leksikal; yaitu ‘daftar’, dan ‘menunjukkan’, yang bermakna idiomatical hanyalah kata-kata hitam, dan gigi dari idiom-idiom tersebut.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa makna idiomatical adalah makna satuan bahasa (entah kata frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuh kata (frase atau kalimat) tidak ada jala lain selain mencainya di dalam kamus.

Makna Peribahasa
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramal, baik secara leksikakl maupun gramatikal, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya. Misalnya, dua orang yang selalu bertengkar dikatakan dalam peribahasa bagai anjing dan kucing. Kucing dan anjing di dalam sejarah kehidupan, kita memang merupakan dua ekor binatang yang tidak pernah rukun.
Oleh karena peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka lazim jiga disebut dengan perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak,laksana dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.

Relasi Makna
Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercangkupan makna (hiponim), kelainan makna (homonim), kelebihan makna (redudansi), dan sebagainya.
1.Sinomim
Nama lain untuk benda atau hal yang sama. Misalnya, bunga, kembang, dan puspa. Ada tiga buah kata yang bersinonim mati, wafat, meninggal dan mampus.
2.Antonim dan Oposisi
Ungkapan (biasanya berupa kata tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya berlawanan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus berantonim buruk. (Verhaar; 1978)
Oposisi, mencangkup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja, kata hidup dan mati merupakan kenyataan yang sangat berlawanan, tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
3.Homonim, Homofon, dan Homografi
4. Hiponim dan Hipernim
5. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yangv memiliki makna lebih dari satu. Misalnya, kepala memiliki makna bagian tubuh leher ke atas, bagian dari sesuatu yang terletak diatas, bagian sesuatu yang berbentuk bulst seperti kepala.

6. Ambiguitas
Ambiguitas sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau dua arti, konsep ini tidak salah tetapi kurang tepat karena tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Sama-sama bermakna ganda hanya kegandaan pada polisemi berasala dari kata sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur garamatikal yang berbeda. Contoh, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagi buku sejarah itu baru terbit, buku itu berisi sejarah zaman baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, DAN PROSEDUR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Teori Psikoanalisis Sastra