Ketika Aku Menjadi Guru

Saya terlahir dan terdidik oleh keluarga yang sederhana dan penuh dengan keterbatasan. Saya pun berasal dari daerah dan lingkungan yang keras, namun memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya pendidikan. Sejak saya SD hingga sekarang, secara formal saya dididik oleh lembaga pendidikan swasta. Walaupun saya berasal dari keluarga yang sederhana, tetapi orang tua dan keluarga saya sungguh menyadari betapa pentingnya pendidikan. Dengan itu, saya dititipkan di lembaga pendidikan yang bermutu dan punya nama baik menurut ukuran orang-orang di daerahku, Manggarai- Flores.

Setiap jenjang pendidikan yang saya lalui, ada begitu banyak pengalaman yang mewarnai kehidupan saya. Saya menyadari bahwa saya memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Namun, langkah demi langkah saya terus mencoba untuk melengkapi kekurangan dan kelemahan saya. Saya yakin dan percaya bahwa semua itu tidak terlepas dari campur tangan Tuhan, orang-orang terdekat saya serta guru-guru yang telah mendidik saya.

Sejak saya SD-SMA, saya dididik oleh lembaga pendidikan dengan didikan yang keras dan saya menyadari bahwa, mungkin sebagian besar didikan guru-guru di daerah saya mendidik secara keras. Saya pun menganggap bahwa, memang budaya mendidik secara keras adalah ciri khas pendidikan di Indonesia bagian Timur. Kini, saya sungguh merasakan perbedaan yang mendalam ketika saya memasuki wilayah Jawa dengan budaya halusnya yang luar biasa. Saya pun merasa bagaikan terbebas dari penjara sistem pendidikan. Saya tidak lagi dipaksa untuk melakukan sesuatu atau tidak lagi ada aturan yang mengharuskan saya untuk berbuat sesuatu.

Hal serupa pula dirasakan oleh beberapa teman saya ketika saya mencoba berbagi cerita tentang pendidikan yang kini sedang saya jalani. Saya pernah bertanya kepada beberapa teman dari Papua tentang metode pendidikan yang pernah mereka alami selama di Papua kemudian membandingkannya dengan metode pendidikan yang dirasakan ketika mereka berada di Jawa. Hampir semua mereka mengaku bahwa mereka tidak terbiasa dengan pendidikan yang halus dan lembut. Namun, mereka juga merasakan pengaruh positif dan negatif dari perbedaan metode tersebut. Sebagian besar berpengaruh terhadap minat belajar serta keterlibatannya dalam perkuliahan karena sudah tidak ada paksaan (budaya keras) untuk melakukan sesuatu.

Namun ketika SMA, saya sungguh merasakan bagaimana peran guru dalam mendidik muridnya. Sekedar berbagi cerita, di sekolah saya dulu dalam sebulan dibuat Corectio fraternal kepada setiap siswa. Dan yang mengambil alih kegiatan ini adalah guru wali kelas. Kemudian, ada guru BK yang mempunyai fungsi sebagai sahabat buat siswa yang ingin curhat dengannya atau siswa yang sering bermasalah. Namun, pendekatan yang dilakukan oleh guru BK di sekolah saya tidak secara langsung memanggil siswa-siswa bermasalah tersebut tetapi dia berusaha untuk dekat dengan mereka kemudian saling curhat. Begitu pun dengan guru kelas, selalu member motivasi kepada para muridnya dan berbagi cerita yang inspiratif.

Dari pengalaman yang saya lihat dan rasakan itu, saya berniat bahwa saya akan melakukan hal yang serupa kepada murid-murid saya ketika saya menjadi guru nanti. Saya akan melakukan itu karena saya telah merasakan manfaatnya bagi perkembangan hidup saya. Namun, secara jujur saya ingin mengatakan bahwa, berbagai teori yang saya dapat dan saya pelajari tentang metode pendekatan kepada siswa dan saya kurang tertarik dengan metode-metode tersebut karena setiap siswa itu memiliki latar belakang, watak dan kepribadian serta kemampuan yang berbeda-beda. Saya pun belum menemukan teori yang tepat untuk mengatasi siswa nakal. Namun, dari pengalaman yang saya dapat dan rasakan serta hasil refleksi pribadi, sudah cukup sebagai pedoman bagi saya ketika menjadi guru nanti.

Saya adalah pribadi yang keras, namun memiliki cukup banyak bakat dalam bidang olahraga dan musik. Saya pernah merefleksi bahwa, mungkin semua itu dapat saya gunakan sebagai metode untuk mendekatkan diri dengan siswa nanti. Saya pun menyadari bahwa saya orang yang keras namun jarang menyimpan rasa dendam. Akan tetapi kekurangan ini merupakan hal yang harus saya jaga-jaga ketika saya menjadi guru nanti. Kini saya bergabung dengan berbagai macam organisasi mulai dari tingkat internal kampus hingga organisasi luar kampus dan di sana saya berhadapan dengan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dengan watak yang bervariasi. Saya pun merasakan banyak hal yang membangun dan meningkatkan daya berpikir serta watak saya. Namun begitu banyak pula kerugian yang saya dapat di sana dan itu saya jadikan sebagai pelajaran dalam hidup saya. Saya menyadari bahwa suatu saat saya adalah orang lapangan, bukan sebagai orang yang bergulat pada konsep tetapi lebih kepada kehidupan yang realistis. Saya pun menemukan hal-hal yang harus saya hadapi ketika saya menjadi guru. Bagaimana menjalin hubungan dengan siswa serta mengatasi persoalan siswa pada umur-umur tertentu serta dari latar belakang yang berbeda-beda.

Seorang anak dilahirkan dengan potensi yang sama, hanya saja kemudian pengembangan potensi itu yang berbeda. Seorang anak yang dari awal sudah diperkenalkan dengan teknologi modern, tentu tidak gagap menghadapi kemajuan zaman. Berbeda dengan anak yang dibesarkan dalam lingkungan natural. Meskipun begitu, anak yang dibesarkan oleh alam tidak berarti memiliki kecerdasan yang lebih rendah ketimbang anak yang akrab dengan teknologi modern. Mereka mempunyai kecerdasan alamiah.

Gerakan peningkatan mutu yang mengharuskan dilakukannya investasi berbasis pada siswa itu harus dilakukan dengan menghormati hak-hak azasi manusia yang diarahkan untuk pembentukan manusia yang berwatak dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan memberikan penggemblengan religiositas, watak, kepribadian dan kesempatan yang luas untuk memilih atau kesempatan untuk ikut berpartisipasi pada pilihan yang dilakukan oleh setiap siswa, atau oleh setiap individu. Mereka harus bebas mengambil jalur pemberdayaan sesuai dengan visi, misi dan kehidupan masa depan yang ingin dinikmatinya.

Ini tidak berarti bahwa setiap siswa boleh seenaknya mengambil pilihan masa depannya dengan membabi buta. Setiap orang tua, guru atau mereka yang dituakan mempunyai kewajiban moril untuk membantu pemberdayaan siswa, termasuk dan terutama anak-anak keluarga kurang mampu, dengan berbagai opsi yang luas dan tidak memihak agar setiap siswa bisa melakukan pilihan secara arif dan bijaksana. Setiap siswa harus bisa mempersiapkan diri untuk mampu memenuhi cita-citanya dengan baik. Setiap siswa harus mempunyai kesempatan mencoba dan melatih dirinya dengan pemberdayaan yang sifatnya menyeluruh agar segala keputusannya tidak menimbulkan kesal atau kekecewaan dimasa yang akan datang.

Para guru, sebagai individu, atau lembaga, yang paling dekat dengan siswa harus diberi kesempatan dan dukungan yang kuat dan luas untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraannya. Lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang akrab dengan masyarakat harus diadakan atau mendapat dukungan agar setiap guru bisa menyegarkan dirinya secara kontinyu sesuai dengan kemajuan zaman dan masyarakatnya.

Sekolah sebagai pusat penggemblengan harus kondusif dan dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan siswa mengembangkan diri dan kemampuan mencipta, menganalisis dan menyumbang untuk masyarakat di sekelilingnya. Mereka harus mendapat kesempatan mengembangkan gagasan yang berguna. Sekolah hendaknya mampu menciptakan output yang kreatif dan inovatif bukan konsumeris dan hedonis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)

Kalimat Efektif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008