Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)
BAB I
ARTI DAN FUNGSI BAHASA JURNALISTIK
A. ARTI DAN DEFENISI BAHASA JURNALISTIK
1. Pengertian Bahasa Jurnalistik
Menurut Drayl L. Frazel dan George Tuck, dua pakar pers Amerika dalam Principles of Editing, A Comprehensive Guide for Student and Journalis (1996: 122-123), pembaca berharap, apa yang dibacanya dalam media massa adalah yang bisa dimengerti tanpa bantuan pengetahuan khusus. Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan ilmuwan, perihal hubungna-hubungan internasional kepada mereka yang bukan diplomat, dan masalah-masalah politik kepada para pemilih yang awam (to explanain science to no scienctists, international relations to nondiplomats, and polotics to ordinary voters) (Dewabrata 2004:20).
2. Defenisi Bahasa Jurnalistik
Secara etimologis jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secra sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari (Sumadiria, 2005:2). Dalam kamus jurnalistik diartiakan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya (Assegaff, 1983:9). Dalam leksikon komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi (Kridalaksana, 1977:44).
Setelah memperhatikan dan menyelami pendapat para pakar lain, maka dapat didefenisikan jurnalistik sebagai berikut: secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3)
Menurut Jus Badudu, bahasa jurnalistik tunduk pada bahsa baku. Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengruhnya dan paling besar wibawanya.
Dengan berpijak pada pendapat para pakar dan uraian tersebut, maka dalam buku ini bahasa jurnalistik didefenisikan sebagai bahsa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengolah media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayang berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.
B. FUNGSI UTAMA BAHASA
1. Alat untuk menyataklan ekspresi diri
2. Alat komunikasi
3. Alat mengadakan dan adaptasi social
4. Alat mengadakan control social:
(1) Fungsi pemersatu,
(2) Fungsi pemberi kekhasan,
(3) Fungsi pembawa kewibawaan,
(4) Fungsi sebagai kerangka acuan.
C. KARAKTERISTIK BAHASA JURNALISTIK
Karakteristik bahasa jurnalistik adalah,
(1) Sederhana,
(2) Singkat,
(3) Padat,
(4) Lugas,
(5) Jelas,
(6) Jernih,
(7) Menarik,
(8) Demokratis,
(9) Populis,
(10) Logis,
(11) Gramatikal,
(12) Menghindari kata tutur,
(13) Menghindari kata dan istilah asing,
(14) Pilihan kata (diksi) yang tepat,
(15) Mengutamakan kalimat aktif,
(16) Menghindari kata atau istilah teknis,
(17) Tunduk kepada kaidah etika.
D. KEBIJAKAN REDAKSIONAL MEDIA
Setiap media biasanya memiliki buku pedoman atau panduan-panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik. Buku pedoman tersebut harus berpijak kepada empat factor, yaitu:
(1) Filosofi media,
(2) Visi media,
(3) Misi media, dan
(4) Kebijakna redksional media.
BAB II
KATA DAN DIKSI JURNALISTIK
A. MAKNA KATA JURNALISTIK
1. Pengertian makna
Menurut kamus, makna adalah arti atau maksud sesuatu kata (Anwar, 2002:285). Menurut seorang pakar bahasa, makna adalah hubungan antara bahasa dan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger, 1981: 108 dalam Aminuddin, 2003:153).
2. Makna denotative
Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-peraan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasonal, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional.
3. Makna konotatif
Makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum, dinamakan makna konotatif atau konotasi.
B. DIKSI DALAM BAHASA JURNALISTIK
Menurut Gorys Keraf, pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan pemkaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah diterima atau merusak suasan yang ada. (Keraf, 2004:24). Jadi pilhan kata atau diksi harus pula senantiasa memp[ertimbangkan dimensi psikologis suatu masyarakat. Masalah pemakaian kata dalam bahasa jurnalistik, adalah sebagai berikut:
(1) Kata bersinonim,
(2) Kata bernilai rasa,
(3) Kata konkret,
(4) Kata abstrak,
(5) Kata umum,
(6) Kata khusus, dan
(7) Kata lugas.
C. KAIDAH DIKSI JURNALISTIK
1. Dua persoalan pokok
1) Ketepatan Pemilihan kata 2) Kesesuaian atau kecocokan
2. Syarat ketepatan diksi
Gorys Keraf (2004:88-89) mengingatkan, kita harus memperhatikan sepuluh hal kalau ingin mencapai ketepatan dalam pilihan kata atau diksi adalah, sabagai berikut:
1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi
2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hamper bersinonim
3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya
4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri
5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing
6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatic
7) Membedakan kata umum dan kata khusus
8) Menggunakan kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus
9) Memperhatikan perubahan makna
10) Memperhatikan kelangsungan pemilihan kata
D. PERUBAHAN KOSA KATA JURNALISTIK
Karakter atau sifat dinamis memungkinkan kosa kata dalam bahasa jurnalistik mengalami,
(1) Penyempitan makna,
(2) Perluasan kata,
(3) Penguasaan kata aktif,
(4) Pengaktifan kosa kata: lebih sering menggunakan kata tertentu, mempertajam pengertian kata, dan menerbitkan pemakaian kata yang khas,
(5) Ameliorasi,
(6) Peyorasi, dan
(7) Metafora
BAB III
KARAKTERISTIK KALIMAT JURNALISTIK
A. CIRI KALIMAT JURNALISTIK
Cirri-ciri kalimat jurnlistik, yaitu
(1) Benar dan logis,
(2) Dimulai huruf capital,
(3) Sederhana dan ringkas,
(4) Menarik dan lugas, dan
(5) Deklaratif dan informatif.
BAGIAN-BAGIAN KALIMAT JURNALISTIK
Bagian-bagian kalimat jurnalistik adalah sebagai berikut:
(6) Subjek,
(7) Predikat,
(8) Objek,
(9) Pelengkap,
(10) Keterangan,
(11) Perangkai,
(12) Modalitas.
B. JENIS-JENIS KALIMAT JURNALISTIK
Menurut Yan sehandi Yohanes, (1991:14-28) jenis-jenis kalimat jurnalistik adalah sebagai berikut: (1) Jumlah kata, (2) ada-tidaknya klausa, (3) jumlah klausa, (4) nuilai komunikatif, (5) sifat hubungan, (6) Unsur negasi, (7) Respons atau Tanggapan, (8) Langsung tidaknya pengutipan, (9) Kedudukan kalimat.
C. KALIMAT EFEKTIF JURNALISTIK
Menurut para pakar bahasa, (Akhdiah, Arsjad, Ridwan, 1991:116, dan Yohanes 1991:29-34), ciri-ciri kalimat efektif, yaitu: (1) Kesatuan atau kesepadanan, (2) Kepaduan atau koherensi, (3) Kesejajaran atau keparalelan, (4) Penekanan atau titik berat, dan (5) Kelogisan atau kenalaran.
D. VARIASI KALIMAT JURNALISTIK
Menurut beberapa pakar bahasa, (Akhdiah, Arsjad, Ridwan, 1991:128-135, dan Yohanes 1991:36-40) variasi kalimat dapat dilakukan dengan cara: (1) Subjek pada awal kalimat, (2) Predikat pada awal kalimat, (3) Kata modal pada awal kalimat, (4) Frasa pada awal kalimat, (5) Panjang-pendek kalimat, (6) Mengubah kalimat aktif, (7) Menggunakan kalimat langsung, (8) Menggunakan kata bersinonim, dan (9) Menggunakan kata negasi.
E. KALIMAT GOYAH JURNALISTIK
1. Penempatn kata
2. Penekanan frasa
F. KALIMAT HEMAT JURNALISTIK
Kehematan tidak berarti kata yang diperlukan atau yang menambah kejelasan makna kalimat boleh d9ihilangkan (Akhdiah, Arsjad, Ridwan, 1991:125-126). Unsure-unsur kehematan yang harus diperhatikan dalam kalimat jurnalistik efektif, antara lain:
(1) Pengulangan subjek kalimat,
(2) Hiponim,
(3) Pemakaian kata depan,
(4) Pemakaian kata sambung,
(5) Pemakaian kata mubazir,
(6) Kata dan kalimat rancu:
a) Kerancuan kalimat karena, kurang menguasai penggunaan bahasa yang tepat, dan terjadi dengan tidak sengaja saat menuliskan atau mengucapkan sesuatu,
b) Kerancuan suku kata, dan
c) Kerancuan bentuk kata.
d) Pemakaian akronim.
BAB IV
MENULIS PARAGRAF JURNALISTIK
A. ARTI DAN DEFENISI PARAGRAF JURNALISTIK
1. Pengertian paragraph jurnalistik
Paragraph sering disebut pula alinea. Secra fisik visual, sebuah paragraph atau alinea ditandai dengan penulisan kata awal kalimat yang menjorok ke dalam beberapa ketukan. Biasanya cukup lima sampai tujuh ketukan. Inilah yang lazim dinamakan baris baru atau ganti baris. Sebuah paragraph terdiri atas beberapa kalimat, bisa pula hanya sebuah kalimat.
2. Defenisi paragraph jurnalistik
Pakar bahasa Djago Tarigan mendefenisikan paragraph sebagai berikut: paragraph adalah seperangkat kalimat tersusun logis-sistematis yang merupakan satu kesatuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok yang tersirat dalam keseluruhan karangan (Tarigan, 1981:11). Sedangkan guru besar Gorys Keraf menjelaskan, paragraph atau alinea tidak lain dari sautu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Ia merupakan himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalinan dalam suatu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan. Dalam alinea itu gagasan tadi menjadai jelas oleh uraoian-uaraian tambahan, yang maksudnya tidak lain untuk menampikan pokok pikiran tersebut secara lebih jelas (Keraf, 2000:62).
Dengan merujuk kepada defenisi Djago Tarigan tentang paragraph, maka defenisi paragraph jurnalistik sebagai berikut: paragraph jurnalistik adalah seperangkat kalimat tersusun logis-sistematis yang merupakan satu kestuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok yang tersirat dalam keseluruhan paparan materi jurnalistik tertentu.
B. KARAKTERISTIK PARAGRAF JURNALISTIK
Ada lima cirri atau karakteristik paragraphjurnalistik:
(1) Setiap paragraph mengandiung makna, pesan, pikiran, atau ide pokok yang relevan dengan ide pokok keseluruhan karangan,
(2) Umumnya paragraph dibangun oleh sejumlah kalimat,
(3) Paragraph adlah satu kesatuan ekspresi pikiran,
(4) Paragraph adalah kesatuan yang koheren dan padat, dan
(5) Kalimat-kalimat paragraph tersusun secara logis-sistenmatis (tarigan, 1981:11).
C. FUNGSI PARAGRAF JURNALISTIK
Sebuah paragraph memiliki empat fungsi (jsama dengan paragraph jurnalistik):
(1) Sebagai penampung dari sebagian kecil jalan pikiran atau ide pokok keseluruhan karangan,
(2) Memudahkan pemahaman jalan pikiran atau ide pokok pengarang,
(3) Memungkinkan pengrang melahirkan jalan pikirannya secara sitematis, dan
(4) Mengarahkan pemabaca dalam mengikuti alur pikiran pengarang setrta memahaminya (tarigan, 1981:11-12).
D. UNSUR-UNSUR PARAGRAF JURNALISTIK
Alat bantu untuk menciptakan susunan logis-sistematis itu ialah elemen-elemen paragraph yang mencakup empat unsure (demikian pula pada paragraph jurnalistik):
(1) Transisi (transition),
(2) Kaliamat topic (topic sentence),
(3) Kalimat pengembang (development sentence), dan
(4) Kalimat penegas (punch line).
Keempat unsure paragraph ini kadang-kadang bersama-sama, kadang-kadang hanya sebagian tampil dalam suatu paragraph (Tarigan, 1981:13).
E. JENIS-JENIS PARAGRAF JURNALISTIK
Paragraph, berdasarkan jenisnya, dikelompokkan ke dalam: (1) paragraph dedukti, (2) paragraph induktif, (3) paragraph campurtan, (4) paragraph perbandingan. (5) paragraph p[ertanyaan, (6) paragraph sebab-akibat, (7) paragraph contoh, (8) paragraph pengulangan, dan (9) paragraph defenisi (Tarigan, 1981 30-34). Paragraph jurnalistk tidak terkecuali. Setiap penulis atau jurnalis, bebas untuk memilih jenis paragraph mana yang disukai serta yang paling cocok dengan jalan cerita yang disajikannya. Terpenting, setiap paragraph jurnalistik yang disusunnya harus efektif dan variatif.
F. KUALITAS PARAGRAF JURNALISTIK
Menurut seorang pakar bahasa, kriteria kualitas paragraf menunjukkan kepada enam hal, yaitu (1) isi paragraf berpusat hanya pada satu hal saja, (2) isi paragraf relevan dengan isikarangan, (3) paragraph harus menyatu dan padu, (4) kalimat topik harus dikembanghkan dengan jelas dan sempurna, (5) struktur paragraf harus bervariasi, (6) pargraf tertulis dalam bahasa Indonesia yang benar dan baik (Tarigan, 1981:36), dalam buku ini sesuai dengan perspektif jurnalistik ditambahkan menjadi Sembilan yaitu, (7) singkat dan padat, (8) logis danm sistematis, dan (9) memiliki karakter yang khas.
BAB V
EYD DALAM BAHASA JURNALISTIK
A. PENULISAN HURUF KAPITAL
Dalam penulisan huruf kapital, sebagian penulis dan jurnalis kerap terkecoh dengan beberapa ketentuan yang diatur dalam pedoman EYD. Kata yang seharusnya tidak ditulis dengan huruf kapital pada huruf pertama malah ditulis dengan huruf kapital.
1. Jabatan tidak diikuti nama orang
2. Huruf pertama nama bangsa
3. Nama geografi sebagai nama jenis
4. Setiap unsure bentuk ulang sempurna
5. Penulisan kata depan dan kata sambung
B. PENULISAN HURUF MIRING
Dalam pedoman EYD, ketentuan penulisan huruf miring hanya menunjuk kepada tiga hal saja, yakni penulisan nama buku dan surat kabar, penegasan atau pengkhususan kata, dan penulisan kata nama ilmiah.
C. PENULISAN KATA TURUNAN
Pedoman EYD tentang kata dasar dan kata turunan mengingatkan, kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Sedanghkan imbuhan berupa awalan, siispan, akhiran, ditulis serangkai dengan kata dasarnya. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, maka awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya.
1. Gabungan kata dapat awalan akhiran
2. Gabungna kata dalam kombinasi
D. PENULISAN GABUNGAN KATA
Penulisan gabungan kata menegaskan, gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah. Ketentuan ini sudah banyak dipatuhi para pemakai bahasa jurnalistik. Sebagian kecil saj yang tidak mengindahkan. Itu pun karena ketidaktahuan, bukan karena unsure kesengajaan.
1. Penulisan gabungan kata istilah khusus
2. Penulisan gabungna kata serangkai
E. PENULISAN PARTIKEL
Pedoman EYD menetapkan, ketentuan penulisan partikel terbagi atas tiga jenis. Pertama, terntang penulisab particle –lah, -kah, dan –tah. Kedua mengenai penulisan partikel pun. Ketiga, berkaitan dengan penulisan partikel per. Dari ketiga ketentuan penulisan partikel ini, dua ketentuan yang terakhir sering dilanggar.
F. PENULISAN SINGKATAN
Pedoman EYD menegaskan, singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Singkatan nama rsmi lemabag pemerintah dan ketatanegaraan, bada organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf capital dan tidak diikuti dengan tanda titik. Dalam penulisan singkatan terdapat dua hal yangsering merisaukan para pemerhati juyrnalistik. Pertama, penulisan singkatan umu yang terdiri atas tiga huruf atau lebih. Kedua, penulisan singkatan lambing kimia, satuan ukuran, timbanan, dan mata uang.
G. PENULIS AKRONIM
Menurut pedoman EYD, akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Dalam penulisan akronim ini, bahasa jurnalistik mengingatkan dua jenis akronim agar tidak tertuka satu sama lain. Pertama, akronim nama diri berupa gabungan suku kata. Kedua, akronim yang bukan nama diri berupa gabungan huruf.
H. PENULISAN ANGKA
Pedoman EYD menetapkan empat jenis penulisan angka. Pertama, angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi. Kedua, angka digunakan untuk menyatakan (1) ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (2) satuan waktu, (3) nilai uang, dan (4) kuantitas. Ketiga, angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apertemen, atau kamar pada alamat. Keempat, angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
I. PENULISAN LAMBANG BILANGAN
1. Penulisan lambang bilangan satu-dua kata
2. Penulisan lambang bilangan awal kalimat
3. Penulisan lambing bilangan utuh
4. Penulisan lambing bilangan angka-huruf
BAB VI
MENULIS UNTUK RADIO
A. KARAKTERISTIK RADIO SIARAN
Gaya radio timbul karena timbul karena dua hal: sifat radio siaran, dan sifat pendengar radio (Effendy, 1978: 84-85).
1. Sifat pendengar radio:
(a) Heterogen,
(b) Pribadi,
(c) Aktif, dan
(d) Selektif
2. Sifat radio siaran:
(a) Auditif,
(b) Mengendung gangguan, dan
(c) Akrab.
B. BAHASA JURNALISTIK RADIO
Berdasarkan sifat-sifat radio siaran yang auditif, mengandung gangguan, dan akrab, maka menurut penulisan bahsa radio siaran (radio writng) harus memenuhi lima syarat: kata-kata yang sederhana, angka-angka yang dibulatkan, kalimat-kalimat yang ringkas, susunan kalimat yang rapih, dan susunan kalimat yang bergaya percakapan.
Sedangkan berdsarkan sifat pendengan radio yang heterogen, pribadi, aktif, dan selektif, maka penulisan bahasa radio siaran harus terdiri atas: kata-kata yang umum dan lazim diapakai, kata-kata yang tidak melangggar kesopanan, kata-kata yang mengesankan, pengulangan kata-kata yang penting, dan susunan kalimat yang logis (Effendy. 1983: 81).
C. ASAS PENULISAN BERITA RADIO
Hasan A. Oramahi menyebutkan, terdapat lima asas yang senantiasa harus diingat bila menulis untuk telinga, yakni diucapkan (it’s spoken), sekarang dan bersifat langsung (it’s emmidiate), antarorang (it’s person to person), tedengar hanya satu kali (it’s heard only once), dan hanya merupakan bunyi (it’s sound) (Oramahi, 2003: 37-43).
D. KIAT MENULIS UNTUK RADIO
Walter K. Kingson, Rome Cowgill, dan Ralph Levy dalam Broadcasting, television and radio (script), yakni kejelasan (clarity), kelincahan (vividness), dan keaneka ragaman (variety) (Effendy, 1978: 92-93), bahasa tutur, KISS, global, imajnatif, dan berceritera.
BAB VII
MENULIS UNTUK TELEVISA
A. KARAKTER TELEVISI
Sebagai media massa, televise memiliki empat cirri pokok: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati mdia tekns, (2) bersifat saru arah, artinya tidka ada interaksi antara peserta-peseerta komunikasi, (3) bersifat terbuka, artuinya ditujukan kepada public yang tidak terbatas da anonym,dan (4) mem[punyai public yang secara geografis tersebar (Elizabeth-Noelle Neuman, 1973:92 dalam Rakhmat, 1988:189). Seorang praktyis prertelevisian, menembahg satu lagi, yaitu (5) bersifat selintas (Wahyudi, 1986:3-4).
B. PRINSIP MENULIS UNTUK TELEVISI
Bahasa televisi, dirancang secara teknis untuk memadukan gambar, kata-kata dan suara sekaligus pada saat bersamaan dan simultan. Para pakar media massa, untuk itu telah membuat sejumlah pedoman, asas, prinsip, dan kiat-kiat praktis cara menulis untuk televisi.
Morissan dalam jurnalistik Mutakhir memaparkan 15 prinsip penulisan naskah berita televisi agar sesuai dengan kaidah bahasa jurnalistik, yaitu (1) Gaya ringan bahasa sederhana, (2) Gunakan prinsip ekonomi kata, (3) Guanakan ungkapan lebih pendek, (4) Gunakan kata sederhana, (5) Gunakan kata sesuai konteks, (6) Hindari ungkapan bombastis, (7) Hindari istilah teknis tidak dikenal, (8) Hindari ungkapan klise dan eufemisme, (9) Gunakan kalimat tutur, (10) Reporter harus objektif, (11) Jangan mengulangi informasi, (12) Istilah harus diuji kembali, (13) Harus kalimat aktif dan terstruktur, (14) Jangan terlalu banyak angka, dan (15) Hati-hatilah mencantumkan jumlah korban.
C. KODE ETIK TELEVISI
Dalam The Television Code of the National Ascociation of Broadcasters seperti dikutip Hardjowiorogo Marbangun (1984), cukup banyak ditemukan ketentuan yang bersifat pelarangan. Sebagai contoh, kata-kata tidak senonoh, kurang sopan, cabul atau kasar harus dilarang dalam program televisi, walaupaun mungkin hanya dipahami oleh sebgaian penonton. Kata-kata kasar, terutama sekali yang berbentuk slang, adalah terlarang untuk diucapkan. Stasiun televisi, harus menghindari pemaparan yang terlalu perinci atau yang dapat menimbulkan sensasi, yang sebenarnya bukan bagian esensi dari suatu berita, khususnya dalam berita mengenai kejahatan dan seks. Pemberitahuan harus bersifat faktual, jujur, dan tanpa prasngka. Gambar berita harus cermat dan tidak ditampilkan dengan cara yang bisa menimbulkan salah tafsir (Morissan, 2005:297-298).
1. Prinsip Jurnlaistik
Pada pasal 9 dikemukakan dua hal. Pada ayat (1) ditegaskan, lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan , dan ketidakberpihakan (imparsialitas). Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan, lembaga penyiaran wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik tertulis maupau lisan ,khusunya dalam program berita bahasa Indonesia.
2. Akurasi
Soal akurasi diatur dalam pasal 10 yang mencakup Sembilan ayat. Dari sembilan ayat itu, ada tujuh yang relevan. Ayat pertama tentang akurasi, ayat kedua tentang cek ulang, dan ayat ketiga tentang penjelasan pada khalayak. Pada ayat keempat, kelima, dan keenam, ditekankan tentang sumber materi siaran, tentang verifikasi, dan tentang kewajiban koreksi.
3. Adil
Tema adil tertuang dalam pasal 11 yang meliputi enam ayat. Ayat pertama, kedua, dan ketiga , masing-masing berbicara tentang informasi tidak lengkap, potongan gambar dan suara, dan tentang kewajiban memberi penjelasan kepada khalayak saat pengambilan potongan gambar dan suara. Ayat keempat, kelima, dan keenam, masing-masing berbicara tentang penyebutan terhadap orang-orang berperkara dalam hukum, kewajiban menyamarkan identitas tersangka, dan kewajiban media televisi menyiarkan hak jawab seseorang yang merasa dirugikan akibat tayangan suatu program acara.
4. Tidak berpihak (netral)
Tema tentang tidak berpihak atau sikap netral ini tertuang dalam pasa 12 yang mencakup tiga ayat, namun hany dua ayat yang dibahas duisini. Ayat yang pertam bernbicara mengenai fakta obyektit, dan ayat yang kedua menyinggung tentang independensi pimpinan redaksi tanpa tekanan ketika menyiarkan suatu berita.
5. Privasi
Tema ini tertuang dalm pasal 19. Bunyinya: lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi (atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi) subyek dan objek berita.
6. Pencegatan (Doorstoping)
Tema ini dituangkan dalam pasakl 22 tanpa dijabarkan dalam ayat-ayat.
7. Eksploitasi teks
Tema ini tertuang dalam p-asal 44 yang mencakup empat ayat. Namun hanya tiga ayat yang digunakan disini dan dianggap yang relevan. Ayat pertama menyinggung tentang lagu dan klip bermuatan seks, ayat kedua berkaitan dengan adegan tarian atau lirik sensual, dan ayatketiga mempersoalkan adegan atau lirik yang bernada merendahkan perempuan.
8. Kata-kata kasar dan makian
Tema ini tertuang dalam pasal 52 yang mencakup dua ayat. Ayat yang pertama tentang penggunaan kata-kata kasar, dan ayat yang kedua mengenai cakupan bahasa yang menyiarkan kata-kata kasar dan makian itu, baik secara verbal maupun nonverbal.
9. Suku dan Ras
Tema ini tertuang dalam pasal 55 yang terdriri dari dua ayat, yang pertama berbicara tentang pelecehan suku dan ras. Ayat kedua mengenai larangan penayangan kata atau perilaku yang merendahkan suku dan ras tertentu.
10. Judi
Tema ini tertuang dalam pasal 60. Bunyinya sebagai berikut: lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat berita, bahasan atau tema yang mengandung pembenaran terhjadap perjudian.
BAB VIII
GAYA BAHASA JURNALISTIK
A. GAYA BAHASA PERBANDINGAN
Menrut Henry Gunntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa p[erbandingan mencakup sepuluh jenis: (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6) antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) kereksio (epanortosis) (Tarigan, 1985: 15-34).
B. GAYA BAHASA PERTENTANGAN
Menurut Henry Gunntur Tarigan, gaya bahasa pertentangan semuanya terdiri Dari 20 jenis. Namun hanya 12 yang digunakan, yaitu: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, satire, innuendo, antifarsis, paradoks, antiklimaks, sinisme, dan sarkasme (Tarigan, 1985: 55-82).
C. GAYA BAHASA PERTAUTAN
Menurut Henry Gunntur Tarigan, gaya bahasa pertautan ada 13, namun hanya sbelas yang dibahas disini, yaityu: metonomia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, dan asideton.
D. GAYA BAHASA PERULANGAN
Gaya bahasa perulangan terbagi atas 12 jenis, namun hanya 10 yang dibahas, yakni: aliterasi asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anaphora, simploke, epanalepsis, dan andiplosis.
BAB IX
ETIKA BAHASA JURNALISTIK
A. DIMENSI ETIKA DAN MORAL
1. Arti dan defenisi etika
Secara etimologis, etik berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika dan moral sama pengertiannya. Moral atau moralitas untuk perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika untuk pengkajian system nilai-nilai yang berlaku. Menurut Ki Hajar dewantara, etika ialah ilmu yang mempelajari segal soal kebaikan dan keburukan dio dalm hidup manusia semuanya, teristimewah yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangn dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
2. Arti dan defenisi Moral
Secara etimologis moral sama dengan etika, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Moralitas, dari kata sifat latin moralis, mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhanm asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Dalam KBBI (1988) terdpat kata amoral yang dijelaskan sebagai “tiodak bermoral, tidak berakhlak”.
B. DIMENSI ETIKA DAN ETIKET
1. Dua persamaan etika-etiket
Persamaan antra etiket dan etika. Pertama etika dan etiket menyangkut perilaku mnusia. Kedua baik Etika dann etiket mengatur perilaku manusia secara normatif (Bertens, 100:8-9).
2. Empat perbedaan etika-etiket
1) Etiket menyangkut cara suatu perbuiatan manusia harus dilakukan manusia. Etika tidak terbatas pada cara yang dilakukannya suatu perbuatan.
2) Etiket hanya berlaku dalampergaulan. Etika selalu berlaku.
3) Etiket bersifat relatif, etika jauh lebih absolute.
4) Etiket memandang manusia dari segi lahiriah. Etika menyangkut manusia dari segi dalam.
C. SISTEMATIKA ETIKA
Secara umum misalnya, etika dibagi menjadi dua jenis: etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu etika individual, dan etika social (Keraf, 1993: 41 dalam Ruslan, 2002: 32-33).
D. TIGA PENDEKATAN ETIKA
Dalam kerangka ini, menurut K. Bertens, terdapat tioga pendekatan yang bisa memberikan penjelasan secara sistematis: etiak deskriptif, etika normative, dan metaetika (Bertens, 200:15-20)
E. ETIKA BAHASA JURNLISTIK
1. Pengertian etika bahasa jurnalistik
Etika bahasa jurnalistik adalah, salah satu pemilik atau penghuni kamara dari etka profesi itu. Para pelaku atau subjek etika bahasa jurnalistik adalh semua orang yang bersentuhn dlam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan segalah hal yang berkaitan dengan aktivitas jurnalistik sejak peliputan samapai dengan penyajian , pemuatan, penyairan, atau penayangannya dalam media masaa.
2. Defenisi dan pedoman etika bahasa jurnalistik
Dalam buku ini etika bahasa jurnalistik diartikan seabagai pedoman etis dalam penulisan dan penyajian semua jenis dan bentuk karya jurnalistik seperti tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel, kolom, surat pembaca, berita langsung (staright news), berita mendalam, (depth news), berita penyelidikan (news investigative). Wawancara berita, (news interviewing), teks foto (caption) dan cerita khas berwarna (feature).
F. PEDOMAN BAHASA JURNALISTIK
1. Pedoman pemakaian bahasa dalam pers
Ada sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers, yaitu:
1) Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan.
2) Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim.
3) Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefix.
4) Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek.
5) Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka.
6) Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
7) Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif dengan bentuk aktif.
8) Wartawan hendaknya menghilangkan kata-kata asing dan istilah-istilah terlalu teknis ilmiah dalam berita.
9) Wartawan hendaknya sedapat mungkin menataati kaidah tata bahasa.
10) Wartawanhendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai darin tiga aspek yaitu, isi, bahasa, dan teknik persembahan.
2. Pedoman penulisan teras berita
Ada sepuluh pedoman penulisan teras berita, sebagai berikut:
1) Teras berita pada alinea pertama mencerminkan pokok terpenting berita.
2) Teras berita dengan mengingat sifat bahasa Indonesia, jangan mengandung lebih dari antara 30 sampai 40 perkataan.
3) Teras harus ditulis dengan : mudah ditangkap dan cepat dimengerti, mudah diucapkan di depan radio dan televise dan mudah dimengerti, kalimat-kalimatnya singkat, sederhana susunannya dengan mengindahkan bahasa baku serta ekonomi bahasa, menjauhkann kata-kata mubazir, satu gagasan dalam satun kalimat, tidak mendomplengkan unsure 3A dan 3M, boleh lebih dari unsure itu.
4) Hal sabagai pelengkap dimuat dalam berita.
5) Teras berita mengutamakan unsure yang terjadi. Misalnya persoalan apa yang terjadi.
6) Dapat dimulai dengan unsure siapa.
7) Jarang menggunakan unsure bilamana.
8) Urutan tempat baru disusul urutan waktu.
9) Unsur bagaimana dan mengapa di uraikan dalam badan berita.
10) Dapat dimulai dengan kutipan pernyataan seseorang, asal kutipan itu tidak panjang.
3. Pedoman penulisan bidang hukum
4. Pedoman penulisn bidang agama
5. Pedoman penulisan bidang koperasi
6. Pedoman penulisan bidang pertanian dan perburuhan
ARTI DAN FUNGSI BAHASA JURNALISTIK
A. ARTI DAN DEFENISI BAHASA JURNALISTIK
1. Pengertian Bahasa Jurnalistik
Menurut Drayl L. Frazel dan George Tuck, dua pakar pers Amerika dalam Principles of Editing, A Comprehensive Guide for Student and Journalis (1996: 122-123), pembaca berharap, apa yang dibacanya dalam media massa adalah yang bisa dimengerti tanpa bantuan pengetahuan khusus. Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan ilmuwan, perihal hubungna-hubungan internasional kepada mereka yang bukan diplomat, dan masalah-masalah politik kepada para pemilih yang awam (to explanain science to no scienctists, international relations to nondiplomats, and polotics to ordinary voters) (Dewabrata 2004:20).
2. Defenisi Bahasa Jurnalistik
Secara etimologis jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secra sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari (Sumadiria, 2005:2). Dalam kamus jurnalistik diartiakan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya (Assegaff, 1983:9). Dalam leksikon komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi (Kridalaksana, 1977:44).
Setelah memperhatikan dan menyelami pendapat para pakar lain, maka dapat didefenisikan jurnalistik sebagai berikut: secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3)
Menurut Jus Badudu, bahasa jurnalistik tunduk pada bahsa baku. Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengruhnya dan paling besar wibawanya.
Dengan berpijak pada pendapat para pakar dan uraian tersebut, maka dalam buku ini bahasa jurnalistik didefenisikan sebagai bahsa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengolah media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayang berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.
B. FUNGSI UTAMA BAHASA
1. Alat untuk menyataklan ekspresi diri
2. Alat komunikasi
3. Alat mengadakan dan adaptasi social
4. Alat mengadakan control social:
(1) Fungsi pemersatu,
(2) Fungsi pemberi kekhasan,
(3) Fungsi pembawa kewibawaan,
(4) Fungsi sebagai kerangka acuan.
C. KARAKTERISTIK BAHASA JURNALISTIK
Karakteristik bahasa jurnalistik adalah,
(1) Sederhana,
(2) Singkat,
(3) Padat,
(4) Lugas,
(5) Jelas,
(6) Jernih,
(7) Menarik,
(8) Demokratis,
(9) Populis,
(10) Logis,
(11) Gramatikal,
(12) Menghindari kata tutur,
(13) Menghindari kata dan istilah asing,
(14) Pilihan kata (diksi) yang tepat,
(15) Mengutamakan kalimat aktif,
(16) Menghindari kata atau istilah teknis,
(17) Tunduk kepada kaidah etika.
D. KEBIJAKAN REDAKSIONAL MEDIA
Setiap media biasanya memiliki buku pedoman atau panduan-panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik. Buku pedoman tersebut harus berpijak kepada empat factor, yaitu:
(1) Filosofi media,
(2) Visi media,
(3) Misi media, dan
(4) Kebijakna redksional media.
BAB II
KATA DAN DIKSI JURNALISTIK
A. MAKNA KATA JURNALISTIK
1. Pengertian makna
Menurut kamus, makna adalah arti atau maksud sesuatu kata (Anwar, 2002:285). Menurut seorang pakar bahasa, makna adalah hubungan antara bahasa dan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger, 1981: 108 dalam Aminuddin, 2003:153).
2. Makna denotative
Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-peraan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasonal, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional.
3. Makna konotatif
Makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum, dinamakan makna konotatif atau konotasi.
B. DIKSI DALAM BAHASA JURNALISTIK
Menurut Gorys Keraf, pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan pemkaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah diterima atau merusak suasan yang ada. (Keraf, 2004:24). Jadi pilhan kata atau diksi harus pula senantiasa memp[ertimbangkan dimensi psikologis suatu masyarakat. Masalah pemakaian kata dalam bahasa jurnalistik, adalah sebagai berikut:
(1) Kata bersinonim,
(2) Kata bernilai rasa,
(3) Kata konkret,
(4) Kata abstrak,
(5) Kata umum,
(6) Kata khusus, dan
(7) Kata lugas.
C. KAIDAH DIKSI JURNALISTIK
1. Dua persoalan pokok
1) Ketepatan Pemilihan kata 2) Kesesuaian atau kecocokan
2. Syarat ketepatan diksi
Gorys Keraf (2004:88-89) mengingatkan, kita harus memperhatikan sepuluh hal kalau ingin mencapai ketepatan dalam pilihan kata atau diksi adalah, sabagai berikut:
1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi
2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hamper bersinonim
3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya
4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri
5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing
6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatic
7) Membedakan kata umum dan kata khusus
8) Menggunakan kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus
9) Memperhatikan perubahan makna
10) Memperhatikan kelangsungan pemilihan kata
D. PERUBAHAN KOSA KATA JURNALISTIK
Karakter atau sifat dinamis memungkinkan kosa kata dalam bahasa jurnalistik mengalami,
(1) Penyempitan makna,
(2) Perluasan kata,
(3) Penguasaan kata aktif,
(4) Pengaktifan kosa kata: lebih sering menggunakan kata tertentu, mempertajam pengertian kata, dan menerbitkan pemakaian kata yang khas,
(5) Ameliorasi,
(6) Peyorasi, dan
(7) Metafora
BAB III
KARAKTERISTIK KALIMAT JURNALISTIK
A. CIRI KALIMAT JURNALISTIK
Cirri-ciri kalimat jurnlistik, yaitu
(1) Benar dan logis,
(2) Dimulai huruf capital,
(3) Sederhana dan ringkas,
(4) Menarik dan lugas, dan
(5) Deklaratif dan informatif.
BAGIAN-BAGIAN KALIMAT JURNALISTIK
Bagian-bagian kalimat jurnalistik adalah sebagai berikut:
(6) Subjek,
(7) Predikat,
(8) Objek,
(9) Pelengkap,
(10) Keterangan,
(11) Perangkai,
(12) Modalitas.
B. JENIS-JENIS KALIMAT JURNALISTIK
Menurut Yan sehandi Yohanes, (1991:14-28) jenis-jenis kalimat jurnalistik adalah sebagai berikut: (1) Jumlah kata, (2) ada-tidaknya klausa, (3) jumlah klausa, (4) nuilai komunikatif, (5) sifat hubungan, (6) Unsur negasi, (7) Respons atau Tanggapan, (8) Langsung tidaknya pengutipan, (9) Kedudukan kalimat.
C. KALIMAT EFEKTIF JURNALISTIK
Menurut para pakar bahasa, (Akhdiah, Arsjad, Ridwan, 1991:116, dan Yohanes 1991:29-34), ciri-ciri kalimat efektif, yaitu: (1) Kesatuan atau kesepadanan, (2) Kepaduan atau koherensi, (3) Kesejajaran atau keparalelan, (4) Penekanan atau titik berat, dan (5) Kelogisan atau kenalaran.
D. VARIASI KALIMAT JURNALISTIK
Menurut beberapa pakar bahasa, (Akhdiah, Arsjad, Ridwan, 1991:128-135, dan Yohanes 1991:36-40) variasi kalimat dapat dilakukan dengan cara: (1) Subjek pada awal kalimat, (2) Predikat pada awal kalimat, (3) Kata modal pada awal kalimat, (4) Frasa pada awal kalimat, (5) Panjang-pendek kalimat, (6) Mengubah kalimat aktif, (7) Menggunakan kalimat langsung, (8) Menggunakan kata bersinonim, dan (9) Menggunakan kata negasi.
E. KALIMAT GOYAH JURNALISTIK
1. Penempatn kata
2. Penekanan frasa
F. KALIMAT HEMAT JURNALISTIK
Kehematan tidak berarti kata yang diperlukan atau yang menambah kejelasan makna kalimat boleh d9ihilangkan (Akhdiah, Arsjad, Ridwan, 1991:125-126). Unsure-unsur kehematan yang harus diperhatikan dalam kalimat jurnalistik efektif, antara lain:
(1) Pengulangan subjek kalimat,
(2) Hiponim,
(3) Pemakaian kata depan,
(4) Pemakaian kata sambung,
(5) Pemakaian kata mubazir,
(6) Kata dan kalimat rancu:
a) Kerancuan kalimat karena, kurang menguasai penggunaan bahasa yang tepat, dan terjadi dengan tidak sengaja saat menuliskan atau mengucapkan sesuatu,
b) Kerancuan suku kata, dan
c) Kerancuan bentuk kata.
d) Pemakaian akronim.
BAB IV
MENULIS PARAGRAF JURNALISTIK
A. ARTI DAN DEFENISI PARAGRAF JURNALISTIK
1. Pengertian paragraph jurnalistik
Paragraph sering disebut pula alinea. Secra fisik visual, sebuah paragraph atau alinea ditandai dengan penulisan kata awal kalimat yang menjorok ke dalam beberapa ketukan. Biasanya cukup lima sampai tujuh ketukan. Inilah yang lazim dinamakan baris baru atau ganti baris. Sebuah paragraph terdiri atas beberapa kalimat, bisa pula hanya sebuah kalimat.
2. Defenisi paragraph jurnalistik
Pakar bahasa Djago Tarigan mendefenisikan paragraph sebagai berikut: paragraph adalah seperangkat kalimat tersusun logis-sistematis yang merupakan satu kesatuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok yang tersirat dalam keseluruhan karangan (Tarigan, 1981:11). Sedangkan guru besar Gorys Keraf menjelaskan, paragraph atau alinea tidak lain dari sautu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Ia merupakan himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalinan dalam suatu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan. Dalam alinea itu gagasan tadi menjadai jelas oleh uraoian-uaraian tambahan, yang maksudnya tidak lain untuk menampikan pokok pikiran tersebut secara lebih jelas (Keraf, 2000:62).
Dengan merujuk kepada defenisi Djago Tarigan tentang paragraph, maka defenisi paragraph jurnalistik sebagai berikut: paragraph jurnalistik adalah seperangkat kalimat tersusun logis-sistematis yang merupakan satu kestuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok yang tersirat dalam keseluruhan paparan materi jurnalistik tertentu.
B. KARAKTERISTIK PARAGRAF JURNALISTIK
Ada lima cirri atau karakteristik paragraphjurnalistik:
(1) Setiap paragraph mengandiung makna, pesan, pikiran, atau ide pokok yang relevan dengan ide pokok keseluruhan karangan,
(2) Umumnya paragraph dibangun oleh sejumlah kalimat,
(3) Paragraph adlah satu kesatuan ekspresi pikiran,
(4) Paragraph adalah kesatuan yang koheren dan padat, dan
(5) Kalimat-kalimat paragraph tersusun secara logis-sistenmatis (tarigan, 1981:11).
C. FUNGSI PARAGRAF JURNALISTIK
Sebuah paragraph memiliki empat fungsi (jsama dengan paragraph jurnalistik):
(1) Sebagai penampung dari sebagian kecil jalan pikiran atau ide pokok keseluruhan karangan,
(2) Memudahkan pemahaman jalan pikiran atau ide pokok pengarang,
(3) Memungkinkan pengrang melahirkan jalan pikirannya secara sitematis, dan
(4) Mengarahkan pemabaca dalam mengikuti alur pikiran pengarang setrta memahaminya (tarigan, 1981:11-12).
D. UNSUR-UNSUR PARAGRAF JURNALISTIK
Alat bantu untuk menciptakan susunan logis-sistematis itu ialah elemen-elemen paragraph yang mencakup empat unsure (demikian pula pada paragraph jurnalistik):
(1) Transisi (transition),
(2) Kaliamat topic (topic sentence),
(3) Kalimat pengembang (development sentence), dan
(4) Kalimat penegas (punch line).
Keempat unsure paragraph ini kadang-kadang bersama-sama, kadang-kadang hanya sebagian tampil dalam suatu paragraph (Tarigan, 1981:13).
E. JENIS-JENIS PARAGRAF JURNALISTIK
Paragraph, berdasarkan jenisnya, dikelompokkan ke dalam: (1) paragraph dedukti, (2) paragraph induktif, (3) paragraph campurtan, (4) paragraph perbandingan. (5) paragraph p[ertanyaan, (6) paragraph sebab-akibat, (7) paragraph contoh, (8) paragraph pengulangan, dan (9) paragraph defenisi (Tarigan, 1981 30-34). Paragraph jurnalistk tidak terkecuali. Setiap penulis atau jurnalis, bebas untuk memilih jenis paragraph mana yang disukai serta yang paling cocok dengan jalan cerita yang disajikannya. Terpenting, setiap paragraph jurnalistik yang disusunnya harus efektif dan variatif.
F. KUALITAS PARAGRAF JURNALISTIK
Menurut seorang pakar bahasa, kriteria kualitas paragraf menunjukkan kepada enam hal, yaitu (1) isi paragraf berpusat hanya pada satu hal saja, (2) isi paragraf relevan dengan isikarangan, (3) paragraph harus menyatu dan padu, (4) kalimat topik harus dikembanghkan dengan jelas dan sempurna, (5) struktur paragraf harus bervariasi, (6) pargraf tertulis dalam bahasa Indonesia yang benar dan baik (Tarigan, 1981:36), dalam buku ini sesuai dengan perspektif jurnalistik ditambahkan menjadi Sembilan yaitu, (7) singkat dan padat, (8) logis danm sistematis, dan (9) memiliki karakter yang khas.
BAB V
EYD DALAM BAHASA JURNALISTIK
A. PENULISAN HURUF KAPITAL
Dalam penulisan huruf kapital, sebagian penulis dan jurnalis kerap terkecoh dengan beberapa ketentuan yang diatur dalam pedoman EYD. Kata yang seharusnya tidak ditulis dengan huruf kapital pada huruf pertama malah ditulis dengan huruf kapital.
1. Jabatan tidak diikuti nama orang
2. Huruf pertama nama bangsa
3. Nama geografi sebagai nama jenis
4. Setiap unsure bentuk ulang sempurna
5. Penulisan kata depan dan kata sambung
B. PENULISAN HURUF MIRING
Dalam pedoman EYD, ketentuan penulisan huruf miring hanya menunjuk kepada tiga hal saja, yakni penulisan nama buku dan surat kabar, penegasan atau pengkhususan kata, dan penulisan kata nama ilmiah.
C. PENULISAN KATA TURUNAN
Pedoman EYD tentang kata dasar dan kata turunan mengingatkan, kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Sedanghkan imbuhan berupa awalan, siispan, akhiran, ditulis serangkai dengan kata dasarnya. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, maka awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya.
1. Gabungan kata dapat awalan akhiran
2. Gabungna kata dalam kombinasi
D. PENULISAN GABUNGAN KATA
Penulisan gabungan kata menegaskan, gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah. Ketentuan ini sudah banyak dipatuhi para pemakai bahasa jurnalistik. Sebagian kecil saj yang tidak mengindahkan. Itu pun karena ketidaktahuan, bukan karena unsure kesengajaan.
1. Penulisan gabungan kata istilah khusus
2. Penulisan gabungna kata serangkai
E. PENULISAN PARTIKEL
Pedoman EYD menetapkan, ketentuan penulisan partikel terbagi atas tiga jenis. Pertama, terntang penulisab particle –lah, -kah, dan –tah. Kedua mengenai penulisan partikel pun. Ketiga, berkaitan dengan penulisan partikel per. Dari ketiga ketentuan penulisan partikel ini, dua ketentuan yang terakhir sering dilanggar.
F. PENULISAN SINGKATAN
Pedoman EYD menegaskan, singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Singkatan nama rsmi lemabag pemerintah dan ketatanegaraan, bada organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf capital dan tidak diikuti dengan tanda titik. Dalam penulisan singkatan terdapat dua hal yangsering merisaukan para pemerhati juyrnalistik. Pertama, penulisan singkatan umu yang terdiri atas tiga huruf atau lebih. Kedua, penulisan singkatan lambing kimia, satuan ukuran, timbanan, dan mata uang.
G. PENULIS AKRONIM
Menurut pedoman EYD, akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Dalam penulisan akronim ini, bahasa jurnalistik mengingatkan dua jenis akronim agar tidak tertuka satu sama lain. Pertama, akronim nama diri berupa gabungan suku kata. Kedua, akronim yang bukan nama diri berupa gabungan huruf.
H. PENULISAN ANGKA
Pedoman EYD menetapkan empat jenis penulisan angka. Pertama, angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi. Kedua, angka digunakan untuk menyatakan (1) ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (2) satuan waktu, (3) nilai uang, dan (4) kuantitas. Ketiga, angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apertemen, atau kamar pada alamat. Keempat, angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
I. PENULISAN LAMBANG BILANGAN
1. Penulisan lambang bilangan satu-dua kata
2. Penulisan lambang bilangan awal kalimat
3. Penulisan lambing bilangan utuh
4. Penulisan lambing bilangan angka-huruf
BAB VI
MENULIS UNTUK RADIO
A. KARAKTERISTIK RADIO SIARAN
Gaya radio timbul karena timbul karena dua hal: sifat radio siaran, dan sifat pendengar radio (Effendy, 1978: 84-85).
1. Sifat pendengar radio:
(a) Heterogen,
(b) Pribadi,
(c) Aktif, dan
(d) Selektif
2. Sifat radio siaran:
(a) Auditif,
(b) Mengendung gangguan, dan
(c) Akrab.
B. BAHASA JURNALISTIK RADIO
Berdasarkan sifat-sifat radio siaran yang auditif, mengandung gangguan, dan akrab, maka menurut penulisan bahsa radio siaran (radio writng) harus memenuhi lima syarat: kata-kata yang sederhana, angka-angka yang dibulatkan, kalimat-kalimat yang ringkas, susunan kalimat yang rapih, dan susunan kalimat yang bergaya percakapan.
Sedangkan berdsarkan sifat pendengan radio yang heterogen, pribadi, aktif, dan selektif, maka penulisan bahasa radio siaran harus terdiri atas: kata-kata yang umum dan lazim diapakai, kata-kata yang tidak melangggar kesopanan, kata-kata yang mengesankan, pengulangan kata-kata yang penting, dan susunan kalimat yang logis (Effendy. 1983: 81).
C. ASAS PENULISAN BERITA RADIO
Hasan A. Oramahi menyebutkan, terdapat lima asas yang senantiasa harus diingat bila menulis untuk telinga, yakni diucapkan (it’s spoken), sekarang dan bersifat langsung (it’s emmidiate), antarorang (it’s person to person), tedengar hanya satu kali (it’s heard only once), dan hanya merupakan bunyi (it’s sound) (Oramahi, 2003: 37-43).
D. KIAT MENULIS UNTUK RADIO
Walter K. Kingson, Rome Cowgill, dan Ralph Levy dalam Broadcasting, television and radio (script), yakni kejelasan (clarity), kelincahan (vividness), dan keaneka ragaman (variety) (Effendy, 1978: 92-93), bahasa tutur, KISS, global, imajnatif, dan berceritera.
BAB VII
MENULIS UNTUK TELEVISA
A. KARAKTER TELEVISI
Sebagai media massa, televise memiliki empat cirri pokok: (1) bersifat tidak langsung, artinya harus melewati mdia tekns, (2) bersifat saru arah, artinya tidka ada interaksi antara peserta-peseerta komunikasi, (3) bersifat terbuka, artuinya ditujukan kepada public yang tidak terbatas da anonym,dan (4) mem[punyai public yang secara geografis tersebar (Elizabeth-Noelle Neuman, 1973:92 dalam Rakhmat, 1988:189). Seorang praktyis prertelevisian, menembahg satu lagi, yaitu (5) bersifat selintas (Wahyudi, 1986:3-4).
B. PRINSIP MENULIS UNTUK TELEVISI
Bahasa televisi, dirancang secara teknis untuk memadukan gambar, kata-kata dan suara sekaligus pada saat bersamaan dan simultan. Para pakar media massa, untuk itu telah membuat sejumlah pedoman, asas, prinsip, dan kiat-kiat praktis cara menulis untuk televisi.
Morissan dalam jurnalistik Mutakhir memaparkan 15 prinsip penulisan naskah berita televisi agar sesuai dengan kaidah bahasa jurnalistik, yaitu (1) Gaya ringan bahasa sederhana, (2) Gunakan prinsip ekonomi kata, (3) Guanakan ungkapan lebih pendek, (4) Gunakan kata sederhana, (5) Gunakan kata sesuai konteks, (6) Hindari ungkapan bombastis, (7) Hindari istilah teknis tidak dikenal, (8) Hindari ungkapan klise dan eufemisme, (9) Gunakan kalimat tutur, (10) Reporter harus objektif, (11) Jangan mengulangi informasi, (12) Istilah harus diuji kembali, (13) Harus kalimat aktif dan terstruktur, (14) Jangan terlalu banyak angka, dan (15) Hati-hatilah mencantumkan jumlah korban.
C. KODE ETIK TELEVISI
Dalam The Television Code of the National Ascociation of Broadcasters seperti dikutip Hardjowiorogo Marbangun (1984), cukup banyak ditemukan ketentuan yang bersifat pelarangan. Sebagai contoh, kata-kata tidak senonoh, kurang sopan, cabul atau kasar harus dilarang dalam program televisi, walaupaun mungkin hanya dipahami oleh sebgaian penonton. Kata-kata kasar, terutama sekali yang berbentuk slang, adalah terlarang untuk diucapkan. Stasiun televisi, harus menghindari pemaparan yang terlalu perinci atau yang dapat menimbulkan sensasi, yang sebenarnya bukan bagian esensi dari suatu berita, khususnya dalam berita mengenai kejahatan dan seks. Pemberitahuan harus bersifat faktual, jujur, dan tanpa prasngka. Gambar berita harus cermat dan tidak ditampilkan dengan cara yang bisa menimbulkan salah tafsir (Morissan, 2005:297-298).
1. Prinsip Jurnlaistik
Pada pasal 9 dikemukakan dua hal. Pada ayat (1) ditegaskan, lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan , dan ketidakberpihakan (imparsialitas). Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan, lembaga penyiaran wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik tertulis maupau lisan ,khusunya dalam program berita bahasa Indonesia.
2. Akurasi
Soal akurasi diatur dalam pasal 10 yang mencakup Sembilan ayat. Dari sembilan ayat itu, ada tujuh yang relevan. Ayat pertama tentang akurasi, ayat kedua tentang cek ulang, dan ayat ketiga tentang penjelasan pada khalayak. Pada ayat keempat, kelima, dan keenam, ditekankan tentang sumber materi siaran, tentang verifikasi, dan tentang kewajiban koreksi.
3. Adil
Tema adil tertuang dalam pasal 11 yang meliputi enam ayat. Ayat pertama, kedua, dan ketiga , masing-masing berbicara tentang informasi tidak lengkap, potongan gambar dan suara, dan tentang kewajiban memberi penjelasan kepada khalayak saat pengambilan potongan gambar dan suara. Ayat keempat, kelima, dan keenam, masing-masing berbicara tentang penyebutan terhadap orang-orang berperkara dalam hukum, kewajiban menyamarkan identitas tersangka, dan kewajiban media televisi menyiarkan hak jawab seseorang yang merasa dirugikan akibat tayangan suatu program acara.
4. Tidak berpihak (netral)
Tema tentang tidak berpihak atau sikap netral ini tertuang dalam pasa 12 yang mencakup tiga ayat, namun hany dua ayat yang dibahas duisini. Ayat yang pertam bernbicara mengenai fakta obyektit, dan ayat yang kedua menyinggung tentang independensi pimpinan redaksi tanpa tekanan ketika menyiarkan suatu berita.
5. Privasi
Tema ini tertuang dalm pasal 19. Bunyinya: lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi (atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi) subyek dan objek berita.
6. Pencegatan (Doorstoping)
Tema ini dituangkan dalam pasakl 22 tanpa dijabarkan dalam ayat-ayat.
7. Eksploitasi teks
Tema ini tertuang dalam p-asal 44 yang mencakup empat ayat. Namun hanya tiga ayat yang digunakan disini dan dianggap yang relevan. Ayat pertama menyinggung tentang lagu dan klip bermuatan seks, ayat kedua berkaitan dengan adegan tarian atau lirik sensual, dan ayatketiga mempersoalkan adegan atau lirik yang bernada merendahkan perempuan.
8. Kata-kata kasar dan makian
Tema ini tertuang dalam pasal 52 yang mencakup dua ayat. Ayat yang pertama tentang penggunaan kata-kata kasar, dan ayat yang kedua mengenai cakupan bahasa yang menyiarkan kata-kata kasar dan makian itu, baik secara verbal maupun nonverbal.
9. Suku dan Ras
Tema ini tertuang dalam pasal 55 yang terdriri dari dua ayat, yang pertama berbicara tentang pelecehan suku dan ras. Ayat kedua mengenai larangan penayangan kata atau perilaku yang merendahkan suku dan ras tertentu.
10. Judi
Tema ini tertuang dalam pasal 60. Bunyinya sebagai berikut: lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat berita, bahasan atau tema yang mengandung pembenaran terhjadap perjudian.
BAB VIII
GAYA BAHASA JURNALISTIK
A. GAYA BAHASA PERBANDINGAN
Menrut Henry Gunntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa p[erbandingan mencakup sepuluh jenis: (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6) antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) kereksio (epanortosis) (Tarigan, 1985: 15-34).
B. GAYA BAHASA PERTENTANGAN
Menurut Henry Gunntur Tarigan, gaya bahasa pertentangan semuanya terdiri Dari 20 jenis. Namun hanya 12 yang digunakan, yaitu: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, satire, innuendo, antifarsis, paradoks, antiklimaks, sinisme, dan sarkasme (Tarigan, 1985: 55-82).
C. GAYA BAHASA PERTAUTAN
Menurut Henry Gunntur Tarigan, gaya bahasa pertautan ada 13, namun hanya sbelas yang dibahas disini, yaityu: metonomia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, dan asideton.
D. GAYA BAHASA PERULANGAN
Gaya bahasa perulangan terbagi atas 12 jenis, namun hanya 10 yang dibahas, yakni: aliterasi asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anaphora, simploke, epanalepsis, dan andiplosis.
BAB IX
ETIKA BAHASA JURNALISTIK
A. DIMENSI ETIKA DAN MORAL
1. Arti dan defenisi etika
Secara etimologis, etik berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika dan moral sama pengertiannya. Moral atau moralitas untuk perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika untuk pengkajian system nilai-nilai yang berlaku. Menurut Ki Hajar dewantara, etika ialah ilmu yang mempelajari segal soal kebaikan dan keburukan dio dalm hidup manusia semuanya, teristimewah yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangn dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
2. Arti dan defenisi Moral
Secara etimologis moral sama dengan etika, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Moralitas, dari kata sifat latin moralis, mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhanm asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Dalam KBBI (1988) terdpat kata amoral yang dijelaskan sebagai “tiodak bermoral, tidak berakhlak”.
B. DIMENSI ETIKA DAN ETIKET
1. Dua persamaan etika-etiket
Persamaan antra etiket dan etika. Pertama etika dan etiket menyangkut perilaku mnusia. Kedua baik Etika dann etiket mengatur perilaku manusia secara normatif (Bertens, 100:8-9).
2. Empat perbedaan etika-etiket
1) Etiket menyangkut cara suatu perbuiatan manusia harus dilakukan manusia. Etika tidak terbatas pada cara yang dilakukannya suatu perbuatan.
2) Etiket hanya berlaku dalampergaulan. Etika selalu berlaku.
3) Etiket bersifat relatif, etika jauh lebih absolute.
4) Etiket memandang manusia dari segi lahiriah. Etika menyangkut manusia dari segi dalam.
C. SISTEMATIKA ETIKA
Secara umum misalnya, etika dibagi menjadi dua jenis: etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu etika individual, dan etika social (Keraf, 1993: 41 dalam Ruslan, 2002: 32-33).
D. TIGA PENDEKATAN ETIKA
Dalam kerangka ini, menurut K. Bertens, terdapat tioga pendekatan yang bisa memberikan penjelasan secara sistematis: etiak deskriptif, etika normative, dan metaetika (Bertens, 200:15-20)
E. ETIKA BAHASA JURNLISTIK
1. Pengertian etika bahasa jurnalistik
Etika bahasa jurnalistik adalah, salah satu pemilik atau penghuni kamara dari etka profesi itu. Para pelaku atau subjek etika bahasa jurnalistik adalh semua orang yang bersentuhn dlam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan segalah hal yang berkaitan dengan aktivitas jurnalistik sejak peliputan samapai dengan penyajian , pemuatan, penyairan, atau penayangannya dalam media masaa.
2. Defenisi dan pedoman etika bahasa jurnalistik
Dalam buku ini etika bahasa jurnalistik diartikan seabagai pedoman etis dalam penulisan dan penyajian semua jenis dan bentuk karya jurnalistik seperti tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel, kolom, surat pembaca, berita langsung (staright news), berita mendalam, (depth news), berita penyelidikan (news investigative). Wawancara berita, (news interviewing), teks foto (caption) dan cerita khas berwarna (feature).
F. PEDOMAN BAHASA JURNALISTIK
1. Pedoman pemakaian bahasa dalam pers
Ada sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers, yaitu:
1) Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan.
2) Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim.
3) Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefix.
4) Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek.
5) Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka.
6) Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
7) Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif dengan bentuk aktif.
8) Wartawan hendaknya menghilangkan kata-kata asing dan istilah-istilah terlalu teknis ilmiah dalam berita.
9) Wartawan hendaknya sedapat mungkin menataati kaidah tata bahasa.
10) Wartawanhendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai darin tiga aspek yaitu, isi, bahasa, dan teknik persembahan.
2. Pedoman penulisan teras berita
Ada sepuluh pedoman penulisan teras berita, sebagai berikut:
1) Teras berita pada alinea pertama mencerminkan pokok terpenting berita.
2) Teras berita dengan mengingat sifat bahasa Indonesia, jangan mengandung lebih dari antara 30 sampai 40 perkataan.
3) Teras harus ditulis dengan : mudah ditangkap dan cepat dimengerti, mudah diucapkan di depan radio dan televise dan mudah dimengerti, kalimat-kalimatnya singkat, sederhana susunannya dengan mengindahkan bahasa baku serta ekonomi bahasa, menjauhkann kata-kata mubazir, satu gagasan dalam satun kalimat, tidak mendomplengkan unsure 3A dan 3M, boleh lebih dari unsure itu.
4) Hal sabagai pelengkap dimuat dalam berita.
5) Teras berita mengutamakan unsure yang terjadi. Misalnya persoalan apa yang terjadi.
6) Dapat dimulai dengan unsure siapa.
7) Jarang menggunakan unsure bilamana.
8) Urutan tempat baru disusul urutan waktu.
9) Unsur bagaimana dan mengapa di uraikan dalam badan berita.
10) Dapat dimulai dengan kutipan pernyataan seseorang, asal kutipan itu tidak panjang.
3. Pedoman penulisan bidang hukum
4. Pedoman penulisn bidang agama
5. Pedoman penulisan bidang koperasi
6. Pedoman penulisan bidang pertanian dan perburuhan
Komentar