MASIH PERLUKAH SEKOLAH? (Sebuah catatan atas buku Lebih Baik Tidak Sekolah)

I. Mengapa harus “Lebih Baik Tidak Sekolah”.
Buku dengan judul Lebih Baik Tidak Sekolah ini ditulis oleh seorang seniman bernama Sujono Samba. Melihat latar belakangnya yang selama ini lebih banyak bergelut dalam dunia seni budaya (meskipun ia juga berprofesi sebagai guru agama) maka lahirnya buku ini tentu memiliki sisi yang cukup menarik untuk dibedah. Buku ini lebih cocok disebut sebagai catatan kritis yang merupakan ekspresi dari keprihatinan penulis terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Oleh karena ini merupakan catatan kritis maka memang tidak banyak konsep – konsep yang ditawarkan. Judul yang dipilih oleh penulis termasuk provokatif, pilihan kalimat yang sesungguhnya merupakan situasi sangat wajar bagi seorang yang terbiasa hidup dalam dunia seni. Dunia yang sangat identik dengan kebebasan berekspresi, dunia dimana segalanya disampaikan secara gamblang dan apa adanya.
Ide yang sama tentang gugatan terhadap institusi sekolah sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Selain ide – ide segar Paolo Freire (seorang pengamat pendidikan asal Brazil) dengan tawaran pendidikan yang membebaskan, gugatan terhadap institusi sekolah secara tegas pernah diungkapkan pada tajun 70-an oleh Ivan Illich seorang sejarawan kelahiran Wina, Austria. Salah satu buku yang cukup terkenal dan fenomenal yang ditulis oleh Ivan Illich adalah Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah). Di Indonesia buku ini sudah diterjemahkan dengan judul Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah.
Menurut Illich sekolah membuat peserta didik tidak mampu membedakan proses dari substansi. Jika dua hal ini –proses dan substansi- dicampuradukkan maka muncul logika yang baru bahwa semakin banyak pengajaran semakin baik hasilnya; atau menambah materi pengetahuan akan selalu menjamin keberhasilan. Sekolah bagi Illich tidak lagi mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki seorang peserta didik. Sekolah sekedar menjadi transfer pengetahuan yang kemudian diseragamkan dalam sebuah kurikulum. Kondisi inilah yang membuat sekolah telah membelenggu peserta didik. Situasi seperti ini telah menciptakan realitas kesadaran dalam masyarakat bahwa sekolah adalah satu –satunya institusi yang akan berhak menjamin keberhasilan dan kualitas sesorang. Realitas kesadaran ini membuat masyarakat tidak pernah lagi berpikir bahwa ada sarana lain yang perlu diciptakan dan menjadi alternatif guna menciptakan sebuah pendidikan yang humanis.
Lahirnya buku Lebih Baik Tidak Sekolah ini juga menggunakan latar belakang yang sepertinya hampir mirip. Jika Ivan Illich membedah kondisi riil pendidikan di Amerika Latin maka penulis buku ini mengkajinya dari realitas pendidikan di Indonesia. Menurut penulis beberapa persoalan pendidikan yang penting dikaji dalam konteks Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Model pendidikan
b. Kualitas pengajar
c. Infrastruktur pendidikan
d. Kapitalisme global
e. Peran hegemonik negara

II. Catatan Kritis Penulis atas Kondisi Pendidikan Indonesia
Dalam buku Lebih Baik Tidak Sekolah ini pada bagian awal penulis mencoba memaparkan kondisi riil pendidikan Indonesia dan yang berhubungan dengan hal tersebut dalam angka – angka.
1. Kualitas SDM Indonesia
Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2005 Indonesia berada pada peringkat 110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura yang sesama negara ASEAN. Data HDI ini diukur dari indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks perekonomian. Pendidikan menjadi faktor penting yang menentukan HDI Indonesia. Pendidikan di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Misalnya, data tentang angka putus sekolah yang mencapai jumlah 1.122.742 anak (DEPDIKNAS 2005), data tentang angka buta aksara mencapai jumlah 15.414.211 orang (DEPDIKNAS 2005), dan data lainnya yang juga memprihatinkan.
Pada tanggal 15 September 2004 , UNDP telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia. Di dalam laporan tahunan ini, Indonesia hanya menduduki peringkat posisi ke 111 dari 177 negara. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga kita, seperti Malaysia dan Singapura.
2. Kualitas Tenaga Pengajar
Keadaan guru di Indonesia juga cukup memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Prosentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002 – 2003 di berbagai satuan pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Guru SD yang layak mengajar 21,07 % (negeri) dan 28,94 % (swasta).
b. Guru SMP yang layak mengajar 54,12 % (negeri) dan 60,99 % (swasta).
c. Guru SMU yang layak mengajar 65,92 % (negeri) dan 64,73 % (swasta)
d. Guru SMK yang layak mengajar 55,94 % (negeri) dan 58,26 % swasta.
Kelayakan mengajar ini tentu berkaitan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh guru itu sendiri.
3. Prestasi Siswa
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003-2004, siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika. Dalam hal ini, prestasi sains berada di ranking ke-37 dari 44 negara. Prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan singapura.
Menurut laporan Bank Dunia (Greaney, 1992), studi Internasional Association for the Evaluation of Educatinal Achievement (IEA) di Asia Timur, menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada tingkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD; 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.
4. Jumlah pengangguran
Angka pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2006, pengangguran mencapai 11,5 – 11,6 persen. Untuk tahun 2004, penganggguran sekitar 9,8 persen dan tahun 2005 berkisar 10,3 persen.
Pada tahun 2007, departemen tenaga kerja dan transmigrasi mencatat, ada 500 ribu tenaga sarjana menganggur baik tingkat diploma maupun sarjana. Pengangguran tersebut mencapai 10 persen dari total seluruh pengangguran. Persoalan ini bersumber dari sistem pendidikan yang lemah. Semestinya perguruan tinggi mempunyai peran penting dalammengelola sunber daya manusia yang terampil, tangguh, mandiri, berwawasan luas, dan beretika. Perguruan tinggi seharusnya juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menyediakan teknologi dengan SDM yang handal.
Bagi penulis buku, kondisi di atas menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia malalui sekolah ternyata hanya melahirkan orang – orang yang lemah. Lemah dalam artian bahwa secara kualitas belum dapat diuji. Sekolah bagi sebahagian besar masyarakat juga hanya dijadikan tempat untuk mencari ijazah, sehingga yang dikejar adalah hasil akhir tanpa memperhatikan proses. Ukuran kualitas keluaran sekolah adalah ketika nilai di ijazahnya tinggi, padahal hal tersebut belum tentu menjamin peserta didik memecahkan persoalan – persoalan di sekitar mereka. Padahal sekolah seharusnya mampu menciptakan manusia – manusia yang bisa memecahkan persoalan terkait dirinya dan kehidupan sosial yang ada disekitarnya. Keluaran peserta didik yang seperti ini harusnya hanya bisa terjadi ketika sekolah memberikan ruang bagi munculnya potensi dan keragaman kemampuan peserta didik.
Di sisi yang lain, dengan suasana hanya beroerientasi pada hasil akhir membuat sekolah ibaratnya sebuah industri baru dalam masyarakat. Sekolah berubah menjadi mesin produksi manusia. Maka sangat wajar jika marak praktik jual beli ijazah, percaloan dan lain sebagainya. Lantas masih perlukah sekolah?

III. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah
Yang menarik dari buku ini selain menelanjangi persoalan pendidikan di Indonesia -khususnya potret sekolah-, penulis kemudian memaparkan satu fenomena “perlawanan’ terhadap kemapanan sekolah. Disebut perlawanan karena fenomena ini melawan arus institusionalisasi serta formalisasi sekolah sebagaimana yang selama ini dikenal masyarakat Indonesia. Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah yaitu Salatiga muncul sebuah model pendidikan (baca : sekolah) alternatif. Model sekolah ini adalah pendidikan Qaryah Thayyibah, sebuah model pembelajaran berbasis komunitas. Qaryah Thayyibah telah berdiri sejak tahun 2002 dan menurut pendirinya didirikan tidak by design namun by accident. Meskipun baru berdiri, qaryah thyyibah telah mendapatkan apresiasi yang luas dari masyarakat. Menariknya jika kita berkunjung kesana maka kita tidak akan menemukan papan nama, gedung sekolah, bunyi bel ataupun anak yang berbaris. Suasana yang terjadi sangat fleksibel dan penuh kegembiraan, benar – benar berbeda dari suasana sekolah model formal yang selama ini ada.
Penjelasan selengkapnya tentang lembaga pendidikan qaryah thayyibah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Latar Belakang
Qaryah Thayyibah menurut pendirinya diawali oleh semangat memberikan fasilitas bagi masyarakat disekitar kelaibening untuk dapat menikmati pendidikan tanpa memperhatikan latar belakang sosial dan kemampuan finansial. Keresahan terhadap realitas bahwa pendidikan tidak berpihak pada masyarakat miskin mendorong Serikat Paguyuban Petani (SPP) di Salatiga mendirikan lembaga pendidikan Qaryah Thayyibah. Berdirinya qaryah thayyibah juga merupakan bentuk protes terhadap model pendidikan yang selama ini terlalu berorientasi pada hasil akhir. Oleh karena itu qaryah thayyibah menerapkan tiga prinsip utama sebagai berikut :
a. Pendidikan dilandasi semangat pembebasan, serta semangat perubahan ke arah lebih baik.
b. Keberpihakan, yang berarti berpihak pada masyarakat miskin
c. Metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembiraan siswa dan guru dalam proses pembelajaran.
d. Mengutamakan partisipasi dan komunikasi yang sehat antara pengelola pendidikan, guru, siswa, masyarakat dan lingkungannya.
2. Pengelola
Pengelola bukanlah birokrat yang mempunyai otoritas dalam membuat kebijakan. Pengelola hanya merupakan salah satu bagian dari team work yang terdiri dari siswa, guru dan masyarakat. Pengelola lebih berfungsi sebagai penjaga agar tim bisa berjalan dengan baik dan optimal.
3. Guru
Tidak sekedar persyaratan legal formal berdasarkan ijazah, namun lebih pada seseorang yang mempunyai semangat tinggi untuk terus belajar, bukan seseorang yang bersemangat selalu ingin menggurui.
4. Siswa
Siswa benar – benar ditempatkan sebagai subyek pembelajaran. Siswa adalah orang yang paling berkepentingan untuk belajar. Siapapun termasuk guru tidak diperbolehkan membuat aturan yang membatasi keinginan siswa untuk belajar.
5. Sarana Penunjang
Meskipun berbasis komunitas, qaryah thayyibah tetap memiliki sarana penunjang yang optimal. Ada perangkat IT yang dapat mengakses internet. Pemanfaatan lingkungan sebagai media belajar serta peran ketokohan membantu siswa mengoptimalkan proses pembelajaran.
6. Kurikulum dan Metode
Kurikulum ditetapkan berdasarkan kebutuhan. Kurikulum nasional hanya menjadi referensi karena kurikulum akan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Belajar dijadikan arena untuk berkarya. Belajar harus berlangsung dalam suasana yang menggembirakan. Proses pembelajaran diarahkan pada penemuan jati diri para siswa.

















IV. Kesimpulan
Buku ini ternyata belum mengungkap secara utuh problem pendidikan di Indonesia. Yang lebih banyak dibahas barulah persoalan output dan metode pembelajaran yang selama ini terhadi dalam institusi sekolah. Ditampilkannya Qaryah Thayyibah dalam rangka mendekonstruksi sekolah lebih pada ekspresi kegusaran dalam melihat realitas sekolah pada umumnya. Belum banyak pembahasan misalnya terkait pertarungan ideologi kapitalisme/sosialisme ataupun peran hegemonik negara yang pada akhirnya berpengaruh pada bentuk sekolah yang ingin diciptakan.
Dengan demikian dapat dimunculkan beberapa catatan penting disekitar gagasan masyarakat tanpa sekolah ataupun lebih baik tidak sekolah. Pertama, apakah memang sekolah tidak lagi diperlukan?. Artinya kita perlu merumuskan model lain guna menerjemahkan semangat pendidikan. Kita tinggal memilih apakah institusionalisasi sekolah diperlukan atau tidak. Jika tidak bentuk seperti apakah yang layak diterapkan. Kedua, sesungguhnya belenggu sekolah sebagaimana yang selama ini terjadi sebenarnya lebih pada persoalan menerjemahkan bentuk pembelajaran yang digunakan. Pelembagaan sekolah sesungguhnya bukanlah persoalan, namun apa isi dari pelembagaan sekolah itulah yang menjadi masalah. Ketiga, perlu lebih mendalam mengkaji pengaruh ideologi serta hegemoni negara dalam pelaksanaan proses pendidikan khususnya sekolah.











DAFTAR PUSTAKA
Samba, Sujono, 2007. Lebih Baik TIDAK SEKOLAH. LKIS. Yogyakarta
Illich, Ivan, 2008. Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah. Yayasan Obor Indonesia.Jakarta
www.kabarindonesia.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linguistik Historis Komparatif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)