KEBIJAKAN PENDIDIKAN INDONESIA SALAH ARAH
Oleh Pranowo
Paradigma pendidikan yang selama ini dianggap benar adalah bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Indikator manusia yang berkualitas ditandai dengan (a) dimilikinya kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan (b) dimilikinya kemampuan menciptakan ilmu dan teknologi untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Lebih dari 30 tahun Indonesia mendidik bangsanya dengan bertolak dari paradigma seperti itu dengan keyakinan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa modern. Untuk mewujudkan manusia modern, Indonesia telah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah yang dikeluarkan melalui APBN atau APBD untuk mendanai pendidikan. Namun, hasil terbaik pendidikan kita hanyalah mencetak distributor, operator dan konsumen ilmu dan teknologi bangsa maju. Kita gagal mencetak peneliti, penggali, dan pencipta ilmu dan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsanya sendiri.
Dengan demikian, selama ini bangsa Indonesia tidak lebih dari sekedar tenaga kerja yang harus melayani kepentingan bangsa maju guna menjadi distributor, operator, dan konsumen hasil teknologi bangsa dari negara maju. Bangsa Indonesia sekedar sebagai intrumen ekonomi bagi kepentingan pemasaran hasil teknologi bangsa maju. Jika paradigma pendidikan seperti itu masih dipertahankan, bangsa Indonesia tidak akan pernah memiliki jati diri sebagai bangsa yang bermartabat untuk mengangkat derajat bangsanya sendiri. Bangsa Indonesia akan terus menjadi bangsa yang tersubordinasi oleh bangsa lain. Ternyata, dengan paradigma seperti itu kita tidak sadar bahwa negara maju telah mempolitisasi pendidikan untuk kepentingan mereka. Pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kualitas SDM telah dipersempit maknanya.
Manusia yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi hanya dimiliki oleh negara-negara yang telah memiliki tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi beratus-ratus tahun lamanya. Sementara manusia di negara berkembang seperti Indonesia mustahil dapat mengikuti kemajuan manusia di negara maju. Akibatnya, dengan paradigma seperti itu, manusia Indonesia hanya mampu mendidik distributor, konsumen dan operator ilmu dan teknologi negara maju.
Agar negara maju dapat memasarkan ilmu dan teknologi hasil ciptaannya akan terus berjuang sekuat tenaga untuk mengkondisikan bahwa bangsa lain sangat membutuhkan ilmu dan teknologi hasil ciptaannya. Bahkan stigma bahwa suatu bangsa tidak akan maju jika tidak memanfaatkan ilmu dan teknologi ciptaannya terus berkumandang dalam benak ilmuwan, politisi dan birokrat Indonesia. Usaha bangsa lain mengkondisikan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa konsumen telah cukup berhasil karena kita selalu berpikir bahwa semua bangsa yang ingin disebut modern harus memiliki teknologi seperti yang dimiliki oleh bangsa di negara maju.
Meskipun bangsa Indonesia merasa harus memanfaatkan ilmu dan teknologi ciptaan bangsa maju, tidak sedikit bangsa kita yang masih terbelakang. Akibatnya, ilmu dan teknologi bangsa maju hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil dari manusia Indonesia. Dengan masih sedikitnya bangsa kita yang dapat mengkonsumsi ilmu dan teknologi bangsa maju, perjuangan mereka untuk mengkondisikan bahwa manusia tidak lagi dapat hidup tanpa ilmu dan teknologi canggih terus dilakukan dengan gencar. Dan celakanya lagi, kita juga termakan promosi bisnis seperti itu. Akibatnya, bangsa kita dalam menangani masalah pendidikan dengan dana miliaran rupiah hanya berhasil mendidik manusia Indonesia menjadi konsumen dan operator ilmu dan teknologi bangsa lain. Dengan kondisi pendidikan seperti itu, di mana letak kesalahan pendidikan kita? Ada dua kesalahan besar yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam menangani masalah pendidikan.
Pertama, bangsa Indonesia salah dalam memilih paradigma. Paradigma pendidikan yang kita pilih adalah paradigma pendidikan sebagai pengembang SDM untuk mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Implikasi dari paradigma seperti itu dalam praktiknya harus dicapai secara bertahap, yaitu (1) pendidikan harus mempelajari ilmu dan teknologi yang sudah ada. Hal ini dilakukan mulai dari jenjang pendidikan terendah hingga jenjang pendidikan tertinggi, (2) pendidikan harus menciptakan ilmu dan teknologi, dan (3) pendidikan harus mampu mengangkat harkat dan martabat manusia sehingga mereka memiliki jati diri sebagai bangsa.
Pendidikan pada tahap awal harus mempelajari ilmu dan teknologi yang telah ada. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tumbuh pola pikir ilmiah sehingga lama kelamaan dapat tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya. Bila suatu bangsa telah tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya, bangsa itu akan sangat mudah memasuki pendidikan tahap kedua, yaitu menciptakan ilmu dan teknologi. Pada tahap ini, suatu bangsa di samping telah memiliki tradisi berpikir ilmiah sekaligus sudah dapat belajar menciptakan ilmu dan teknologi. Bila suatu bangsa telah berhasil memasuki tahap penciptaan ilmu dan teknolgi, mereka dapat memikirkan ilmu dan teknologi mana yang harus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Pada tahap inilah bangsa kita baru dapat dikatakan dapat memanfaatkan hasil kemajuan bangsa lain.
Tahap ketiga, pendidikan harus dapat mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Jika bangsa Indonesia telah dapat menguasai ilmu dan teknologi dan telah dapat menciptakan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, berarti mereka telah dapat berkompetisi dengan bangsa lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Ketika bangsa Indonesia berkompetisi dengan bangsa lain itulah kesadaran bahwa setiap bangsa harus memiliki jati diri sehingga harkat dan martabatnya sejajar dengan bangsa lain.
Namun dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih berada pada tahap pertama, yaitu belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Pendidikan pada tahap pertama ini pun ternyata masih tertinggal jauh karena perkembangan ilmu dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa maju begitu cepat berkembang. Akibatnya, bangsa kita terus-menerus berkutat pada tahap pertama, yaitu belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Hasil konkret yang dicapai hanyalah operator dan konsumen ilmu dan teknologi negara maju. Pada tingkat para ahli, para sarjana Indonesia tidak lebih sekedar sebagai distributor ilmu dan teknologi bangsa maju untuk dijual kepada konsumen di Indonesia.
Tentu dengan kondisi pendidikan seperti itu kita tidak puas. Kita ingin memiliki bangsa yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat agar memiliki kedudukan sejajar dengan bangsa lain. Namun, dari sisi mana bangsa Indonesia harus membenahi pendidikan agar tidak hanya dapat mencetak operator, distributor, dan konsumen ilmu dan teknologi bangsa lain?
Dengan paradigma seperti itu, sistem pendidikan di Indonesia salah secara politis. Kebijakan politis kita adalah bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Interpretasi kebijakan politis itu menjadi salah arah di lapangan. Bunyi kebijakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dimaknai bahwa setiap warga negara memiliki keleluasaan memilih pendidikan menurut kemauannya. Padahal, setiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dengan demikian, seharusnya pengertian berhak memperoleh pendidikan harus dijelaskan berdasarkan kemampuan yang dimiliki.
Karena tidak ada pembatasan yang jelas, setiap peserta didik memilih pendidikan yang disenangi tanpa harus memperhitungkan kemampuan yang dimiliki. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada anak yang memiliki kemampuan bagus baik secara kognitif, psikomotorik, dan afektif. Namun, kita juga harus jujur bahwa tidak sedikit anak yang memiliki tingkat kemampuan terbatas. Oleh karena itu, bila pelayanan terhadap peserta didik dilakukan secara sama, masing-masing justru akan dirugikan.
Bagi anak yang potensinya besar, sebenarnya mereka dapat belajar secara maksimal sehingga dapat mengimbangi atau bahkan melebihi kemampuan peserta didik bangsa lain yang lebih maju. Namun, karena implementasi pendidikan kita tidak memungkinkan, akhirnya peserta didik yang potensinya besar tetap harus menunggu peserta didik lain yang potensinya lemah. Sementara itu, peserta didik yang potensinya terbatas, mereka dituntut untuk belajar lebih yang sebenarnya di luar jangkauan kapasitasnya. Akibatnya, mereka justru tersiksa dan bahkan gagal.
Implementasi kebijakan polistis seperti itu harus diubah dan memberikan ruang yang memadai bagi setiap peserta didik sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Bagi anak-anak cerdas, berikan ruang seluas-luasnya untuk berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Jika seorang anak memang memiliki kecerdasan dalam bidang eksakta, biarkan mereka belajar secara maksimal dalam bidang eksakta. Sediakan fasilitas yang lengkap agar mereka berkembang semaksimal mungkin. Bagi peserta didik yang memang memiliki potensi besar dalam bidang seni, berikanlah ruang dan fasilitas selengkap-lengkapnya agar mereka berkreasi seni semaksimal mungkin. Bagi peserta didik yang memang memiliki potensi besar dalam bidang psikomotorik, berikan ruang dan fasilitas selengkap-lengkapnya agar mereka dapat berkembang secara maksimal dalam bidang psikomotorik.
Dengan kebijakan politis seperti itu, setiap lembaga pendidikan dapat melaksanakan tugas kependidikannya sesuai dengan potensi peserta didik. Jika masing-masing dapat berkembang secara maksimal berdasarkan potensi yang dimiliki, setiap warga negara akan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan secara maksimal.
Oleh karena itu, tanpa harus menyalahi kebijakan politis, pendidikan di Indonesia sejak awal harus sudah diarahkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Peserta didik yang memiliki potensi eksakta, sosial, seni harus memperoleh pendidikan secara maksimal di bidangnya. Sementara itu, peserta didik yang memang tidak memiliki potensi khusus diberi pendidikan ketrampilan praktis agar mereka dapat hidup secara layak. Semua ini dilakukan tanpa harus membedakan katar belakang eknonomi. Meskipun anak miskin jika mereka memiliki potensi bagus harus tetap mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensinya. Begitu juga sebaliknya, jika anak itu memang tidak memiliki potensi, biarkan mereka masuk ke lembaga pendidikan ketrampilan agar mereka dapat hidup layak dengan profesinya. Jika semua ini dapat dilakukan dengan benar, bangsa Indonesia pelan-pelan pasti akan dapat menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia..
_____________
Dr. Pranowo, M.Pd. dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Paradigma pendidikan yang selama ini dianggap benar adalah bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM). Indikator manusia yang berkualitas ditandai dengan (a) dimilikinya kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan (b) dimilikinya kemampuan menciptakan ilmu dan teknologi untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Lebih dari 30 tahun Indonesia mendidik bangsanya dengan bertolak dari paradigma seperti itu dengan keyakinan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa modern. Untuk mewujudkan manusia modern, Indonesia telah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah yang dikeluarkan melalui APBN atau APBD untuk mendanai pendidikan. Namun, hasil terbaik pendidikan kita hanyalah mencetak distributor, operator dan konsumen ilmu dan teknologi bangsa maju. Kita gagal mencetak peneliti, penggali, dan pencipta ilmu dan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsanya sendiri.
Dengan demikian, selama ini bangsa Indonesia tidak lebih dari sekedar tenaga kerja yang harus melayani kepentingan bangsa maju guna menjadi distributor, operator, dan konsumen hasil teknologi bangsa dari negara maju. Bangsa Indonesia sekedar sebagai intrumen ekonomi bagi kepentingan pemasaran hasil teknologi bangsa maju. Jika paradigma pendidikan seperti itu masih dipertahankan, bangsa Indonesia tidak akan pernah memiliki jati diri sebagai bangsa yang bermartabat untuk mengangkat derajat bangsanya sendiri. Bangsa Indonesia akan terus menjadi bangsa yang tersubordinasi oleh bangsa lain. Ternyata, dengan paradigma seperti itu kita tidak sadar bahwa negara maju telah mempolitisasi pendidikan untuk kepentingan mereka. Pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan kualitas SDM telah dipersempit maknanya.
Manusia yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi hanya dimiliki oleh negara-negara yang telah memiliki tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi beratus-ratus tahun lamanya. Sementara manusia di negara berkembang seperti Indonesia mustahil dapat mengikuti kemajuan manusia di negara maju. Akibatnya, dengan paradigma seperti itu, manusia Indonesia hanya mampu mendidik distributor, konsumen dan operator ilmu dan teknologi negara maju.
Agar negara maju dapat memasarkan ilmu dan teknologi hasil ciptaannya akan terus berjuang sekuat tenaga untuk mengkondisikan bahwa bangsa lain sangat membutuhkan ilmu dan teknologi hasil ciptaannya. Bahkan stigma bahwa suatu bangsa tidak akan maju jika tidak memanfaatkan ilmu dan teknologi ciptaannya terus berkumandang dalam benak ilmuwan, politisi dan birokrat Indonesia. Usaha bangsa lain mengkondisikan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa konsumen telah cukup berhasil karena kita selalu berpikir bahwa semua bangsa yang ingin disebut modern harus memiliki teknologi seperti yang dimiliki oleh bangsa di negara maju.
Meskipun bangsa Indonesia merasa harus memanfaatkan ilmu dan teknologi ciptaan bangsa maju, tidak sedikit bangsa kita yang masih terbelakang. Akibatnya, ilmu dan teknologi bangsa maju hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil dari manusia Indonesia. Dengan masih sedikitnya bangsa kita yang dapat mengkonsumsi ilmu dan teknologi bangsa maju, perjuangan mereka untuk mengkondisikan bahwa manusia tidak lagi dapat hidup tanpa ilmu dan teknologi canggih terus dilakukan dengan gencar. Dan celakanya lagi, kita juga termakan promosi bisnis seperti itu. Akibatnya, bangsa kita dalam menangani masalah pendidikan dengan dana miliaran rupiah hanya berhasil mendidik manusia Indonesia menjadi konsumen dan operator ilmu dan teknologi bangsa lain. Dengan kondisi pendidikan seperti itu, di mana letak kesalahan pendidikan kita? Ada dua kesalahan besar yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam menangani masalah pendidikan.
Pertama, bangsa Indonesia salah dalam memilih paradigma. Paradigma pendidikan yang kita pilih adalah paradigma pendidikan sebagai pengembang SDM untuk mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Implikasi dari paradigma seperti itu dalam praktiknya harus dicapai secara bertahap, yaitu (1) pendidikan harus mempelajari ilmu dan teknologi yang sudah ada. Hal ini dilakukan mulai dari jenjang pendidikan terendah hingga jenjang pendidikan tertinggi, (2) pendidikan harus menciptakan ilmu dan teknologi, dan (3) pendidikan harus mampu mengangkat harkat dan martabat manusia sehingga mereka memiliki jati diri sebagai bangsa.
Pendidikan pada tahap awal harus mempelajari ilmu dan teknologi yang telah ada. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tumbuh pola pikir ilmiah sehingga lama kelamaan dapat tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya. Bila suatu bangsa telah tumbuh tradisi berpikir ilmiahnya, bangsa itu akan sangat mudah memasuki pendidikan tahap kedua, yaitu menciptakan ilmu dan teknologi. Pada tahap ini, suatu bangsa di samping telah memiliki tradisi berpikir ilmiah sekaligus sudah dapat belajar menciptakan ilmu dan teknologi. Bila suatu bangsa telah berhasil memasuki tahap penciptaan ilmu dan teknolgi, mereka dapat memikirkan ilmu dan teknologi mana yang harus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Pada tahap inilah bangsa kita baru dapat dikatakan dapat memanfaatkan hasil kemajuan bangsa lain.
Tahap ketiga, pendidikan harus dapat mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Jika bangsa Indonesia telah dapat menguasai ilmu dan teknologi dan telah dapat menciptakan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, berarti mereka telah dapat berkompetisi dengan bangsa lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Ketika bangsa Indonesia berkompetisi dengan bangsa lain itulah kesadaran bahwa setiap bangsa harus memiliki jati diri sehingga harkat dan martabatnya sejajar dengan bangsa lain.
Namun dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih berada pada tahap pertama, yaitu belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Pendidikan pada tahap pertama ini pun ternyata masih tertinggal jauh karena perkembangan ilmu dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa maju begitu cepat berkembang. Akibatnya, bangsa kita terus-menerus berkutat pada tahap pertama, yaitu belajar menguasai ilmu dan teknologi yang sudah ada. Hasil konkret yang dicapai hanyalah operator dan konsumen ilmu dan teknologi negara maju. Pada tingkat para ahli, para sarjana Indonesia tidak lebih sekedar sebagai distributor ilmu dan teknologi bangsa maju untuk dijual kepada konsumen di Indonesia.
Tentu dengan kondisi pendidikan seperti itu kita tidak puas. Kita ingin memiliki bangsa yang dapat menciptakan ilmu dan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat agar memiliki kedudukan sejajar dengan bangsa lain. Namun, dari sisi mana bangsa Indonesia harus membenahi pendidikan agar tidak hanya dapat mencetak operator, distributor, dan konsumen ilmu dan teknologi bangsa lain?
Dengan paradigma seperti itu, sistem pendidikan di Indonesia salah secara politis. Kebijakan politis kita adalah bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Interpretasi kebijakan politis itu menjadi salah arah di lapangan. Bunyi kebijakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dimaknai bahwa setiap warga negara memiliki keleluasaan memilih pendidikan menurut kemauannya. Padahal, setiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dengan demikian, seharusnya pengertian berhak memperoleh pendidikan harus dijelaskan berdasarkan kemampuan yang dimiliki.
Karena tidak ada pembatasan yang jelas, setiap peserta didik memilih pendidikan yang disenangi tanpa harus memperhitungkan kemampuan yang dimiliki. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada anak yang memiliki kemampuan bagus baik secara kognitif, psikomotorik, dan afektif. Namun, kita juga harus jujur bahwa tidak sedikit anak yang memiliki tingkat kemampuan terbatas. Oleh karena itu, bila pelayanan terhadap peserta didik dilakukan secara sama, masing-masing justru akan dirugikan.
Bagi anak yang potensinya besar, sebenarnya mereka dapat belajar secara maksimal sehingga dapat mengimbangi atau bahkan melebihi kemampuan peserta didik bangsa lain yang lebih maju. Namun, karena implementasi pendidikan kita tidak memungkinkan, akhirnya peserta didik yang potensinya besar tetap harus menunggu peserta didik lain yang potensinya lemah. Sementara itu, peserta didik yang potensinya terbatas, mereka dituntut untuk belajar lebih yang sebenarnya di luar jangkauan kapasitasnya. Akibatnya, mereka justru tersiksa dan bahkan gagal.
Implementasi kebijakan polistis seperti itu harus diubah dan memberikan ruang yang memadai bagi setiap peserta didik sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Bagi anak-anak cerdas, berikan ruang seluas-luasnya untuk berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Jika seorang anak memang memiliki kecerdasan dalam bidang eksakta, biarkan mereka belajar secara maksimal dalam bidang eksakta. Sediakan fasilitas yang lengkap agar mereka berkembang semaksimal mungkin. Bagi peserta didik yang memang memiliki potensi besar dalam bidang seni, berikanlah ruang dan fasilitas selengkap-lengkapnya agar mereka berkreasi seni semaksimal mungkin. Bagi peserta didik yang memang memiliki potensi besar dalam bidang psikomotorik, berikan ruang dan fasilitas selengkap-lengkapnya agar mereka dapat berkembang secara maksimal dalam bidang psikomotorik.
Dengan kebijakan politis seperti itu, setiap lembaga pendidikan dapat melaksanakan tugas kependidikannya sesuai dengan potensi peserta didik. Jika masing-masing dapat berkembang secara maksimal berdasarkan potensi yang dimiliki, setiap warga negara akan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan secara maksimal.
Oleh karena itu, tanpa harus menyalahi kebijakan politis, pendidikan di Indonesia sejak awal harus sudah diarahkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Peserta didik yang memiliki potensi eksakta, sosial, seni harus memperoleh pendidikan secara maksimal di bidangnya. Sementara itu, peserta didik yang memang tidak memiliki potensi khusus diberi pendidikan ketrampilan praktis agar mereka dapat hidup secara layak. Semua ini dilakukan tanpa harus membedakan katar belakang eknonomi. Meskipun anak miskin jika mereka memiliki potensi bagus harus tetap mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensinya. Begitu juga sebaliknya, jika anak itu memang tidak memiliki potensi, biarkan mereka masuk ke lembaga pendidikan ketrampilan agar mereka dapat hidup layak dengan profesinya. Jika semua ini dapat dilakukan dengan benar, bangsa Indonesia pelan-pelan pasti akan dapat menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia..
_____________
Dr. Pranowo, M.Pd. dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Komentar