GRAMSCI & ALTHUSSER, DUA TOKOH NEO-MARXIS YANG SANGAT KONTRAS, TAPI JUGA KOMPLEMENTER

PSIRB 301: Marxisme: Religi, Politik & Ideologi. Dosen: G.J. Aditjondro. Handout No. 7:

--------------------------------------------------------------------------------------------
George Junus Aditjondro

Pengantar:
ADA berbagai aliran filsafat dan ilmu-ilmu social yang dapat digolongkan sebagai ’neo-Marxis’. George Ritzer, gurubesar sosiologi di Universitas Maryland, AS, mengidentifikasi enam aliran neo-Marxis, yakni (a). determinisme ekonomis, yang lebih banyak mengacu pada penafsiran Engels terhadap pemikiran Marx, khususnya Marx sebagai kritikus terhadap ekonomi politik kapitalisme di zamannya; (b). Marxisme Hegelian, yang lebih banyak mengacu pada pengaruh pemikiran Hegel terhadap Marx ; (c). Teori Kritis, yang berkembang dari mazhab Frankfurt yang lebih banyak memusatkan perhatian pada perkembangan kapitalisme lanjut di bidang media dan budaya; (d). Marxisme struktural, yang ingin membebaskan Marxisme dari semua pengaruh Hegel, humanisme, dan agency para aktor; (e). sosiologi ekonomi neo-Marxis, yang menekankan analisis kelas terhadap disiplin itu; dan (f). Marxisme historis, seperti Immanuel Wallerstein dan Theda Skocpol (Ritzer 1992, Chapter 8, hal. 274-325).

Sementara itu, ada peneliti yang tidak menggunakan istilah ’neo-Marxis’, melainkan ’Marxisme Barat’ (Western Marxism). Begitu istilah yang digunakan ahli Gramsci, Joseph Femia, dalam buku terbaru tentang Marxisme abad ke-21, suntingan Daryl Glaser & David M. Walker (2007). Hanya empat aliran yang digolongkan oleh Femia (2007)di bawah kategori ’Marxisme Barat’, yakni (a). Marxisme Hegelian; (b). Mazhab Frankfurt; (c). Marxisme Eksistensial, yang ditokohi oleh Jean-Paul Sartre; dan (d). Marxisme Struktural.

Pada mulanya, istilah ‘Marxis Barat’ digunakan oleh Maurice Merleau-Ponty untuk membedakan filsuf-filsuf Marxis independen, yakni Georg Lukacs (1885-1971), Karl Korsch (1886-1961, dan Leon Trotsky (1879-1940) dari pengikut aliran Leninis dan Marxisme Soviet. Sedangkan Foster-Carter menggunakan istilah ‘neo-Marxis’ untuk Paul A. Baran, Paul M. Sweezy, Harry Magdoff, Pierre J. Jalee, Arghiri Emmanuel, Samir Amin, Charles Bettelheim, Hamza Alavi, Robin Jenkins, A. Buchanan, Reginald H. Green, Giovanni Arrighi, Andre Gunder Frank, David Horowitz, Malcolm Caldwell, Teodor Shanin, John Gerassi, Regis Debray, Mao Zedong, Ho Chi Minh, Kim Il Sung, Fidel Castro, Ernesto ‘Che’ Guevara, dan Frantz Fanon (Kubalkova & Cruickshank 1989: 205).

Pada prinsipnya, kedua istilah itu digunakan untuk merujuk para Marxis yang pemikirannya tidak terpenjara oleh tafsiran resmi negara dan partai yang mengklaim diri beraliran Komunis. Makanya, boleh dikata, kategorisasi ‘neo-Marxis’ yang digunakan oleh George Ritzer yang paling lengkap, walaupun pemikiran Antonio Gramsci sampai puluhan tahun setelah kematiannya, masih mempengaruhi kebijakan Partai Komunis Italia. Namun bersama Lukacs dan Korsch, Gramsci digolongkan sebagai Marxis Hegelian.

Kategorisasi ’Marxis Barat’ juga dapat dimengerti, untuk membedakan dari Marxisme ’resmi’ negara-negara Blok Timur, khususnya Uni Soviet, di mana interpretasi resmi terhadap pemikiran Marx, Engels, dan Lenin ditentukan secara pribadi oleh Sekjen PKUS, sewaktu Stalin masih berkuasa. Baru setelah naiknya Nikita Kruschev sebagai Sekjen PKUS, proses de-Stalin-isasi mulai digalakkan. Dominasi dan kediktatoran Stalin itulah yang mendorong banyak Marxis di Eropa Barat keluar dari partai-partai komunis negaranya, dan mengembangkan filsafatnya sendiri, seperti yang terjadi pada Michel Foucault (Fillingham 2001: 24).

Dalam kuliah selama dua minggu ini, kita hanya akan membahas sumbangan dua orang pemikir yang digolongkan sebagai ‘neo-Marxis’ dan sekaligus, ’Marxis Barat’, yakni Antonio Gramsci (lahir, 22 Januari 1891 di Ales, Sardinia; meninggal di Roma, 27 April 1937), dan Louis Pierre Althusser (lahir, 16 Oktober 1918 di Birmendreis, Aljazair; meninggal di Paris, 22 Oktober 1990), karena konsep-konsep kedua orang ini sangat penad (relevan) bagi kajian budaya (cultural studies).

Sekilas riwayat hidup Antonio Gramsci:
LAHIR pada tanggal 22 Januari 1891 di Ales, sebuah kota kecil di Pulau Sardinia di Italia Selatan yang lebih dominan agraris, Antonio Gramsci adalah pemikir Marxis yang sampai di masa dewasanya dan selama karier politiknya berjuang untuk membangun aliansi buruh dan petani, dan dengan demikian, membangun poros Utara (kawasan industri maju dengan kelas proletarnya yang militan) dan Selatan (kawasan pertanian, yang didominasi oleh tuan-tuan tanah besar dan para intelektual pendukungnya) (lihat Gramsci 1995).

Berangkat ke Turin tahun 1911 dengan beasiswa dari Universitas Turin untuk mahasiswa miskin dari Sardinia, dengan cepat Gramsci terlibat dalam gerakan sosialis yang mendukung perjuangan buruh di kota Turin, walaupun dalam kondisi sakit-sakitan karena kecilnya beasiswa yang diterimanya. Turin, yang merupakan tempat kedudukan pabrik mobil FIAT (Fabrica Italiana Automobilii Torino), merupakan pusat gerakan buruh di Italia. Perang Dunia pertama tahun 1914-15, di mana Italia mengambil sikap netral, sangat menguntungkan para industrialis di Turino. Di akhir perang, FIAT menjadi produser traktor terbesar di Eropa, dan juga mengekspor mobil lapis baja dan pesawat terbang ke negara-negara sahabat Italia. Tahun 1918, buruh pabrik itu sudah meningkat hingga 20 ribu orang.

Komunitas buruh FIAT menjadi ’laboratorium’ bagi gerakan sosialis yang dibangun oleh Gramsci dkk di PSI (Partito Socialista Italiano = Partai Sosialis Italia), dari mana kemudian PCI (Partito Comunista Italiano = Partai Komunis Italia) memisahkan. Sekjen PCI mulai dijabat oleh Gramsci sejak 1924 sampai saat ia dijebloskan ke dalam penjara, ”supaya otak ini berhenti berfikir selama 20 tahun”. Begitu kata jaksa penuntut umum sambil menunjuk ke Gramsci, pada tanggal 4 Juni 1928. Nyatanya, selama di penjara ia menulis 33 buku catatan setebal 2,848 halaman tulisan tangan, yang berhasil diselundupkan ke luar klinik penjara dan keluar negeri, sesudah kematiannya pada usia 46 tahun, pada tanggal 27 April 1937 di klinik Quissana di kota Roma. Ia meninggalkan seorang isteri, Julia, yang sakit-sakitan karena sakit syaraf di klinik-klinik di Moskow dan dua orang anak, di mana yang bungsu belum pernah dilihatnya, karena lahir sesudah ia ditahan. Sambil mengurus penguburan Gramsci, Tatiana, kakak iparnya, menyelundupkan catatan-catatan Gramsci ke Moskow lewat diplomatic bag, suatu bukti bahwa otaknya tidak pernah mati dan telah memelihara semangat hidup Gramsci selama di penjara (Gramsci 1998: xviii-xix, lxxxix, xc, xciv).

Empat dasawarsa sesudah kematiannya, pemikiran Gramsci masih tetap mengilhami gerakan kiri di Italia, dengan populernya gerakan ’Euro-komunis’ di Eropa Selatan. Gerakan itu, berusaha membuat platform bersama di antara partai-partai kiri – Sosialis dan Komunis – di Eropa Selatan, yang dirintis oleh Partai Komunis Perancis (PCF), Partai Komunis Italia (PCI), dan Partai Komunis Spanyol (Partido Comunista Espanha ; PCE), sesudah berakhirnya kediktatoran militer di Yunani, Portugal, dan Spanyol (Urban 1978; Simon 2007).

Konsep-konsep Gramsci yang dipakai dalam kajian budaya, kajian media, dan pendidikan radikal:
= ‘dewan-dewan pabrik ‘ (factory councils; atau consigli de fabbrica), yang dibangun di lingkungan FIAT dan pabrik-pabrik lain di Turino, yang dipupuk semangatnya lewat tulisan-tulisan di media buruh, L’Ordine Nuevo, yang diasuh bersama-sama oleh Gramsci dan para aktivis PSI dan para pemimpin buruh. Gerakan ini telah mencetuskan serangkaian aksi-aksi buruh di Turín, yang memperjuangkan kontrol dan pengalihan kepemimpinan pabrik ke tangan buruh (lihat Gramsci 1998: 286). Gerakan ini dihadapi oleh para industrialis dengan kekerasan, dengan meminjam tangan aparat-aparat penindasan;

= dewan-dewan pabrik itu merupakan embrio dari soviet-soviet yang akan membangun masyarakat Italia yang sosialis, melalui suatu federasi buruh-dan-tani, dan merupakan jawaban, penangkal, terhadap bahaya Amerikanisme dan Fordisme;

= Amerikanisme = dominasi pola industrialisasi a la Amerika Serikat di Eropa, pasca Perang Dunia II; khususnya:
Fordisme = pola produksi pabrik yang dirintis oleh Henry Ford di AS dan ditiru oleh pabrik FIAT di Italia; studi Gramsci terhadap perubahan sosio-psikologis yang dialami oleh para buruh dalam sistem ban berjalan yang diperkenalkan oleh Frederick Taylor, di mana buruh sekedar menjadi ”gorilla terlatih” (trained gorilla), istilah Taylor (lihat Gramsci 1998: 302), merupakan uraian lebih lanjut dan jauh lebih terinci dari konsep alienasi dari Marx. Kritik Gramsci terhadap ’Fordisme’ ini mengingatkan kita pada kritik Marx terhadap industrialisasi, dengan bahasa yang lebih keras dan empiris, misalnya:

”It is from this point of view that one should study the ”puritanical” initiative of American industrialists like Ford. It is certain that they are not concerned with the “humanity” or the “spirituality” of the worker, which are immediately smashed. This “humanity and spirituality” cannot be realized except in the world of production and work in productive “creation”. They exist most in the artisan, in the “demiurge” [Greek: handicraftsman; in Platonic philosophy, “creator of the world”] , when the worker’s personality was reflected whole in the object created and when the link between art and labour was still very strong. But it is precisely against this “humanism” that the new industrialism is fighting. “Puritanical” initiatives simply have the purpose of preserving, outside of work, a certain psycho-physical equilibrium which prevents the physiological collapse of the worker, exhausted by the new method of production” (Gramsci 1998: 303).

= Selain mengadopsi sistem ban berjalan dari Taylor, Henry Ford punya perhatian yang sangat pribadi terhadap para buruhnya, sampai pada aktivitas seksual mereka, bukan karena pertimbangan moral, tapi karena kekhawatiran bahwa aktivitas seksual buruh dapat mengurangi produktivitas mereka (Gramsci 1998: 296-7);

= negara, melindungi kepentingan para pemodal, tidak hanya dengan kekerasan (coercion), tapi juga dengan bantuan para intelektual tradisional, membangun ’persetujuan’ (consent), yakni membangun suatu ideologi, hegemoni, yang dihayati oleh rakyat tanpa perlu difikirkan kembali;

= Hegemoni (egemonia), menurut Rupert Woodfin & Oscar Zarate (2008: 122), dapat dikarakterisasikan dalam berbagai cara, sebagai berikut:
• Kesepakatan dari mayoritas masyarakat terhadap ‘gambaran hidup’ yang disuguhkan oleh mereka yang berkuasa;
• Nilai-nilai, baik nilai moral maupun nilai politik, yang termasuk dalam kesepakatan itu, secara meluas akan menjadi milik mereka yang berkuasa;
• Ideologi dilihat sebagai ’sesuatu yang masuk akal’ (common sense) oleh mayoritas rakyat, yang menjadi sesuatu yang ‘alami’ untuk berfikir semacam itu;
• Persetujuan berada dalam suasana yang penuh damai, tetapi kekuatan fisik dapat digunakan untuk melawan sekelompok minoritas yang membangkang, selama persetujuan mayoritas ada.

Tulis Woodfin & Zarate lebih lanjut (2008: 123):
“Hegemoni bisa berubah setiap saat, ketika ia disesuaikan dengan kondisi yang sedang berubah. Hegemoni merupakan produk dari negosiasi antara kelas yang dominan dan kelas yang dikuasai mengenai apa yang musti diyakini dan tidak, oleh kelas yang dikuasai”.

Itu semua didasarkan pada pandangan Gramsci, bahwa berbeda dengan pandangan Marxisme klasik, ideologi tidak selalu ditentukan oleh ekonomi, atau moda produksi masyarakat yang bersangkutan, tetapi bersifat otonom dan krusial (Woodfin & Zarate 2008: 120).

= selain intelektual tradisional yang dilahirkan, dan merupakan bagian dari kelas yang berkuasa, ada intelektual organik, yang secara organik muncul dari setiap kelas, atau intelektual tradisional yang secara sadar meninggalkan posisi mereka yang diuntungkan oleh sistem politik dan ekonomi yang dominan dan bergabung dengan kelas-kelas yang tertindas;

= konsep intelektual tradisional dan intelektual organik, didukung oleh pandangan Gramsci bahwa perbedaan antara kerja ’otak’ (mental) dan ’otot’ (manual) tidak sepantasnya dijadikan dasar untuk perbedaan kelas;

= subaltern classes, adalah kelas-kelas yang dimarjinalisasi oleh kelas yang dominan, yang seringkali hanya memprioritaskan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, seperti komune-komune di Italia (Gramsci 1998: 52-5);

= perjuangan mewujudkan sosialisme perlu menggabungkan ’perang benteng’ (war of manouvre; frontal attack) dengan ’perang parit’ (war of position); war of manouvre = perjuangan merebut kekuasaan atas suprastruktur negara (parlemen, birokrasi); sementara war of position = perjuangan kekuatan-kekuatan progresif menciptakan hegemoni tandingan (budaya alternatif; kosmologi alternatif; ilmu-ilmu alternatif);

= common sense, good sense and philosophy: ----- Berfilsafat = kerja kolektif mengubah common sense menjadi good sense.

“Common sense, suggests Geoffrey Nowell-Smith, is ‘the way a subordinate class lives its subordination” (Chandler 2008a)

“For a mass of people to be led to think coherently and in the same coherent fashion about the real present world, is a “philosophical” event far more important and “original” than the discovery by some philosophical “genius” of a truth which remains the property of small groups of intellectuals” (Gramsci 1998: 325).

“Philosophy is intellectual order, which neither religion nor common sense can be. It is to be observed that religion and common sense do not coincide either, but that religion is an element of fragmented common sense. Moreover common sense is a collective noun, like religion: there is not just one common sense, for that too is a product of history and a part of the historical process. Philosophy is criticism ad the superseding of religion and “common sense”. In this sense it coincides with “good” as opposed to “common” sense” (Gramsci 1998: 325-6).

…. a philosophical movement properly so called when it is devoted to creating a specialized culture among restricted intellectual groups, or rather when, and only when, in the process of elaborating a form of thought superior to “common sense” and coherent on a scientific plane, it never forgets to remain in contact with the “simple” and indeed finds in this contact the sources of the problems is sets out to study and resolve? Only by this contact does a philosophy becomes “historical”, purifies itself of intellectualistic elements of an individual character and becomes “life”.*)

*) Perhaps it is useful to make a “practical” distinction between philosophy and common sense in order to indicate more clearly the passage from one moment to the other. In philosophy the features of individual elaboration of though are the most salient: in common sense on the hand it is the diffuse, uncoordinated features of a generic form of thought common to a particular period and a particular popular environment. But every philosophy has a tendency to become the common sense of a fairly limited environment (that of all the intellectuals). It is a matter therefore of starting with a philosophy which already enjoys, or could enjoy, a certain diffusion, because it is connected to and implicit in practical life, and elaborating it so that it becomes a renewed common sense possessing the coherence and the sinew of individual philosophies. But this can only happen if the demands of cultural contact with the “simple” are continually felt.” (Gramsci 1998: 330).

= mengetahui (knowing) dan merasakan (feeling) harus sejalan, supaya para cendekiawan tidak menjadi ’kasta baru’:

”The popular element ”feels” but does not know or understand; the intellectual element ”knows” but does not always understand and in particular does not feel. The two extremes are therefore pedantry and philistinism on the one hand and blind passion and sectarianism on the other. Not that the pedant cannot be impassioned; far from it. Impassioned pedantry is every bit as ridiculous and dangerous as the wildest sectarianism and demagogy. The intellectual’s error consists in believing that one can know without understanding and even more without feeling and being impassioned (not only for knowledge in itself but also for the object of knowledge): in other words that the intellectual can be an intellectual (and not a pure pedant) if distinct and separate from the people-nation, that is, without feeling the elementary passions of the people, understanding them and therefore explaining and justifying them in the particular historical situation and connecting them dialectically to the laws of history and to a superior conception of the world, scientifically and coherently elaborated – i.e. knowledge. One cannot make politics-history without this passion, without this sentimental connection between intellectuals and people-nation. In the absence of such a nexus the relations between the intellectual and the people-nation are, or are reduced to, relationships of a purely bureaucratic and formal order; the intellectuals become a case, or a priesthood (so-called organic centralism)” (Gramsci 1998: 418).

“The philosophy of praxis does not tend to leave the “simple” in their primitive philosophy of common sense, but rather to lead them to a higher conception of life. If it affirms the need for contact between intellectuals and simple it is not in order to restrict scientific activity and preserve unity at the low level of the masses, but precisely in order to construct an intellectual-moral bloc which can make politically possible the intellectual progress of the mass and not only of small intellectual groups” (Gramsci 1998: 332-3).

Sekilas riwayat hidup Louis Althusser:
LOUIS PIERRE ALTHUSSER lahir pada tanggal 16 Oktober 1918 di Birmendreis, sebuah kota kecil dekat Algiers, ibukota Aljazair, yang waktu itu masih merupakan jajahan Perancis. Ia termasuk sejumlah intelektual Perancis, yang punya hubungan akrab dengan Aljazair, entah karena merupakan tempat lahir mereka, karena memilih untuk mengajar di sana, atau karena mendukung perjuangan kemerdekaan negeri itu dari penjajahan Perancis. Selain Althusser, filsuf post-modernis Jacques Derrida juga lahir di Aljazair; Fernand Braudel pernah mengajar di Aljazair kemudian kembali untuk penelitian tesis doktornya tentang wilayah Laut Tengah; Pierre Bourdieu mengajar saat berdinas militer di Aljazair; Philippe Sollers pura-pura menderita skizofrenia untuk menghindarkan wajib militer di sana; sedangkan Marguerite Duras, filsuf feminis dan Jean-Francois Lyotard , filsuf post-modernis, aktif berkampanye menentang perang Aljazair (Lechte 2001: 66, 79, 146, 169, 344, 359, 372).

Namun bukan tempat kelahirannya, yang juga tempat kelahiran pemain sepakbola Perancis kenamaan (dan sedikit controversial, sic!), Zinedin (= Zainuddin) Zidane, yang membawa pengaruh pada kepribadian Althusser. Menurut otobiografinya, ia diberi nama “Louis” oleh ibunya, menurut nama adik ayahnya, karena sesungguhnya ibunya mencintai Louis Althusser Sr itu. Namun karena Louis gugur dalam Perang Dunia kedua, ibunya mengawini abangnya. Ibunya tetap memproyeksikan rasa cintanya kepada yang sudah meninggal itu, kepada anak laki-lakinya. Ini menimbulkan gangguan jiwa kepada anak muda itu, yang kemudian berkembang menjadi seorang filsuf yang genius (Wikipedia 2008).

Sesudah kematian ayahnya, bersama ibu dan adik perempuannya, Althusser pindah ke Marseilles di Perancis Selatan, di mana ia melewatkan masa bocahnya. Setamat dari Lycee du Parc di Lyon, ia diterima di universitas bergengsi, Ecole Normale Superieure (ENS) di Paris, tapi terpaksa ikut angkat senjata dulu melawan Jerman dalam Perang Dunia kedua. Tertangkap oleh tentara Jerman, Althusser menjadi tawanan perang Jerman sampai perang berakhir. Masa tahanan itulah awal pergeseran ideologinya ke Marxisme.

Sesudah perang berakhir, barulah ia bisa mulai kuliah di ENS, tapi kesehatan fisik dan mentalnya telah sangat merosot, sehingga tahun 1947 ia mulai menerima terapi electroconculsive. Sejak saat itu, ia terus diganggu gejolak-gejolak gangguan kejiwaan, sehingga ENS mengizinkan ia bermukim di kampus, di mana ia mendapatkan kamar di klinik rumah sakit itu. Waktu itu ia sudah menikah dengan Helene Rytman, seorang pejuang revolusioner Yahudi-Lithuania yang delapan tahun lebih tua dari Althusser. Perempuan itu tinggal mendampingi Althusser, sampai suaminya membunuh dia dengan mencekiknya – konon dalam keadaan tidak sadar – pada tanggal 16 November 1980. Althusser sendiri meninggal dunia di Paris, 22 Oktober 1990 (Ritzer 1992: 297).

Walaupun sering terombang-ambing antara keadaan waras dan sakit jiwa, selama mengajar di ENS selima empat dasawarsa (1960an, 1970an, 1980an, dan 1990an), Althusser pernah mengajar beberapa orang pemikir Marxis yang juga terkenal, seperti Regis Debray, aktivis-peneliti revolusi Cuba, filsuf-filsuf post-modernis Jacques Derrida dan Michel Foucault, ahli psiko-analisa Lacanian, Jacques-Allain Miller, serta sosiolog Marxis Yunani, Nicos Poulantzas.

Banyak pemikiran Althusser telah diadopsi atau mengilhami pemikiran pakar-pakar lain. Konsep interpellation nya diadopsi dan dipopulerkan oleh filsuf feminis Judith Butler; konsep Ideological State Apparatuses (ISAs) telah menarik perhatian filsuf asal Slovenia Slavoj Zizek; pandangannya tentang sejarah sebagai proses tanpa subyek dikembangkan oleh Jacques Derrida; konsep historical materialism nya dikembangkan oleh filsuf Marxis analitis, G.A. Cohen; pandangan strukturalisnya dikembangkan oleh Anthony Gidden dengan teori strukturasinya, sedangkan kadernya, yang juga teman penulis Althusser yang paling akrab, adalah Etienne Balibar (Wikipedia 2008; Ritzer 1992: 300-3, 569-74, 638-9; Barrett 1991: 95).

Boleh jadi, pengalaman pribadinya – yakni selalu harus memberontak terhadap persepsi salah ibunya terhadap dirinya – membuat ia memilih untuk selalu bersikap berbeda dari para pemikir Marxis lainnya. Misalnya, tahun 1948, Althusser secara resmi menyatakan bergabung dengan Partai Komunis Perancis (PCF), pada saat sejumlah pemikir kiri lainnya – seperti Maurice Merleau-Ponty – mulai kehilangan simpati pada partai yang waktu itu masih mendukung Stalinisme di Uni Soviet (Wikipedia 2008).

Selanjutnya, setelah Kongres PKUS ke-20 di tahun 1956, Sekjen PKUS Nikita Kruschev memulai proses de-Stalin-isasi di Uni Soviet, Althusser semakin bersemangat ’kembali ke khittah’ Marxisme ’ilmiah’ atau ’struktural’, dan menolak pandangan Sartre maupun teoretikus Partai Komunis Perancis (PCF), Roger Garaudy, yang menyambut proses de-Stalin-isasi itu dengan menggali akar-akar humanis dalam pemikiran Marx, serta membangun dialog antara para Marxis, sosialis moderat, eksistensialis dan para pemikir Kristen. Althusser juga berusaha mendekatkan diri dengan pemikiran Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Tiongkok waktu itu, walaupun tidak mau dianggap seorang Maois (Wikipedia 2008; Kelly, Fallaize & Ridehalgh 1995: 130).

Pengaruh pemikiran Mao ini dapat dilihat dari konsep ’over-determination’ Althusser yang banyak diilhami oleh teori Mao tentang kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi masyarakat Tiongkok dalam membangun sosialisme (Mao 1967: 25-31).

Selain pengaruh pemikiran Mao, di antara para Marxis Barat, Althusser juga yang paling serius menyelami pemikiran Lenin (Althusser 2007 [1971]).

Secara garis besar, Althusser berpandangan bahwa ada epistemological break antara Marx Muda yang humanis, yang belum bebas dari pandangan Hegel, dan pemikirannya terkulminasi dalam Manuskrip-Manuskrip Paris 1844, yang menekankan peranan manusia sebagai aktor, yang ingin mengaktualisasikan species beingnya; dan Marx yang sudah mencapai kematangan pemikirannya sebagai kritikus terhadap ekonomi politik klasik, yang lebih terfokus pada struktur-struktur penindasan yang terwujud melalui moda produksi kapitalis. Marxisme, di mana peranan individu-individu manusia tidak penting. Yang penting hanyalah struktur-struktur penindasan, sehingga Marxisme yang sejati, menurut Althusser, adalah yang tertuang dalam karya-karya pasca-1845, dan mencapai puncaknya dalam maha karya Marx, yakni Das Kapital.

Tentang proyek Althusser ini, Carl Boggs menulis:

In purging the concepts of alienation, humanism, and historicism from Marxist discourse, Althusser sought to establish a theory essentially free of various “subjective” or prescientific components, which would bring it closer to positivist (although nonempiricist) canons of scholarly work. Such work would necessarily be the province of “intellectuals of very high quality”. And the roots of its theoretical elaboration go back to Marx, since the “opposition between science and ideology and the notion of an ‘epistemological break’ that helps us to think its historical character refer to a thesis that …. Marx’s discovery is a scientific discovery without historical precedent, in its nature and effects.”

The result, both in substance and form, was a framework ideally suited for a merger of radical claims and academic professionalism. The Althusserian scheme reproduced the classic division between theory and practice, subject and object that corresponds to positivist assumptions. It is shaped by an epistemology grounded in an isolated academic learning process with little validation outside its own self-referential discourse. The theory is cut off from the mundane universe of social conflicts and the human agencies that enter it; real history marked by disruption and change is pushed aside in favor of a fetishized (and more or less static) external reality held intact by a pseudoscientific ideology (Boggs 1993: 130-1).

Juga, berbeda dengan kebanyakan pemikir kiri di Perancis yang menyatakan simpatinya dengan pemberontakan mahasiswa Paris di bulan Mei 1968, berdasarkan prinsip kesatuan antara teori dan praxis, Althusser bersikap pasif. Ia juga ikut mendukung kritik PCF yang menuduh para mahasiswa menjadi korban ”infantile leftisme” (Wikipedia 2008; Ritzer 1992: 297 ).

Konsep-konsep Althusser yang dipakai dalam kajian budaya, kajian media, dan pendidikan radikal:
= tentang intelektual Marxis, Althusser berpendapat bahwa peranannya harus sebagai berikut:
”The founders of historical and dialectical materialism were intellectuals (Marx and Engels), their theory was developed by intellectuals .... Neither at the beginning, nor long afterwards, could it have been otherwise, neither now nor in the future …. on the one hand, the “spontaneous” ideology of the workers, if left to itself, could only produce utopian socialism, trade unionism, anarchism, and anarcho-syndicalism; on the other hand, Marxist socialism, presupposing as it does the massive theoretical labor … of a science and philosophy without precedent, could only be the work of men with a thorough historical, scientific, and philosophical formation, intellectuals of very high quality” (Boggs 1993: 130).

= interpellation =
the acts of attracting attention (hailing), forcing the individuals to generate meaning (interpretation) and making them participate in the practice (Vaknin, n.d.);

All ideologies constitute a subject, even though he or she may differ according to each particular ideology. .. Althusser illustrates this with the concept of “hailing” or “interpellation”. He uses the example of an individual walking in a street: upon hearing a policeman shout “Hey you there!”, the individual responds by turning around and in this simple movement of the body he is transformed into a subject. The person being hailed recognizes himself that is being hailed. This recognition is a mis-recognition in that it is working retroactively: a material individual is always-already an ideological subject, even before he is born. The “transformation” of an individual into a subject has always-already happened; Althusser acknowledges here a debt toward Spinoza’s theory of immanence. …. For Althusser, we acquire our identities by seeing ourselves mirrored in ideologies, and it is by subjecting ourselves that we become subjects (Wikipedia 2008).

= relative autonomy:
Althusserian Marxists propose the relative autonomy of the superstructure with respect to the base ….[and] the reciprocal action of the superstructure on the base. … According to this view ideological practices such as the mass mediua are relatively autonomous from economic determinism (Chandler 2008b).

= levels and practices:
The advantage of levels and practices over individuals as a starting point is that although each practice is only a part of a complex whole of society, a practice is a whole in itself in that it consists of various kinds of parts; economic practice, for example, contains raw materials, tools, individual persons, etc. all united in a process of production. Althusser conceives of society as an interconnected collection of all these wholes – economic practice, ideological practice and politico-legal practice – which, although relatively autonomous, together make up one complex structured whole (social formation) (Wikipedia 2008).

= overdetermination:
…… Marx’s explanation of social change is more complex than to see it as the result of a single contradiction between the forces and the relations of production. The differences between the events in Russia and Western Europe highlight that a contradiction between forces and relations of production may be necessary, but not sufficient to bring about revolution. The circumstance that produced revolution in Rusia, … were heterogenous, and cannot be seen to be aspects of one large contradiction. Each was a contradiction within a particular social totality, at a different structural level of social practice. From this, Althusser draws the conclusion that Marx’s concept of contradiction is inseparable from the concept of complex structured social whole. In order to emphasize that changes in social structure relate to numerous contradictions, Althusser describes these changes as “overdetermined”, using a term taken from Sigmund Freud. This interpretation allows us to account for how many different circumstances may play a part in the course of events, and furthermore permits us to grasp how these states of affairs may combine to produce unexpected social changes, or “ruptures” (Wikipedia 2008).

= ideologi:
Ideology, for Althusser ‘represents the imagery relationship of individuals to their real conditions of existence …. Ideology transforms human beings into subjects, leading them to see themselves as self-determining agents when they are in fact shaped by ideological processes (Chandler 2008c).

Ideology has a material existence. [this] second thesis posits that ideology does not exist in the form of “ideas” or conscious “representations” in the “minds” of individuals. Rather, ideology consists of the actions and behaviours of bodies governed by their disposition within material apparatuses. Central to the view of individuals as responsible subjects is the notion of an explanatory link between belief and action, that every ‘subject’ endowed with a ‘consciousness’ and believing in the ‘ideas’ that his ‘consciousness’ inspires in him and freely accepts, must ‘act according to his ideas’, must therefore inscribe in his own practice as a free subject in the actions of his material practice (Wikipedia 2008).

= ideological state apparatuses (ISAs) dan repressive state apparatuses (RSAs):
In Althusser’s view, our values, desires and preferences are inculcated in us by ideological practice, the sphere which has the defining property of consulting individuals as subjects. Ideological practice consists of an assortment of institutions called Ideological State Apparatuses (ISAs), which include the family, the media, religious organizations and, most importantly, the education system, as well as the received ideas they propagate. There is, however, no single ISA that produces in us the belief that we are self-conscious agents. Instead, we derive this belief in the course of learning what it is to be a daughter, a schoolchild, black, a steelworker, a councilor, and so forth (Wikipedia 2008).

Althusser also recognized the role played by what he termed “Repressive State Apparatuses”. At times when individuals and groups pose a threat to the dominant order the state invokes Repressive State Apparatuses. The most benign of the RSAs are the systems of law and courts where putatively public contractual language is invoked in order to govern individual and collective behaviour. As threats to the dominant order mount, the state turns to increasingly physical and severe measures: incarceration, police force and ultimately military intervention are used in response (Wikipedia 2008).




Perbedaan dan komplementaritas di antara ide-ide Gramsci & Althusser:
DILIHAT dari dialetika antara agency versus struktur (lihat Ritzer 1992: 567-9), maka teori Gramsci lebih menekankan agency, sementara teori Althusser lebih menekankan struktur.

Dilihat dari sudut hubungan antara intelektual dan massa, pandangan Gramsci lebih melihat pentingnya kerjasama di antara keduanya, untuk menaikkan tingkat pengetahuan dan kesadaran massa, ketimbang pandangan Althusser tentang peranan intelektual, yang sangat elitis. Perbedaan pandangan keduanya dipengaruhi oleh perbedaan posisi keduanya, yakni Gramsci sebagai pejuang yang langsung berjuang di gelanggang kepartaian, sedangkan Althusser sebagai dosen hanya berjuang dari panggung akademis.

Posisi yang berbeda membawa kepentingan yang berbeda. Posisi Gramsci sebagai pemimpin partai, sebagai pendidik publik, juga melahirkan pemikiran yang lebih mendalam bagaimana mengembangkan kesadaran kritis di antara massa, ketimbang posisi Althusser, yang lebih mementingkan bangunan makro kapitalisme, di mana peranan buruh praktis diabaikan karena semangat anti-humanismenya.

Selanjutnya, walaupun Althusser mengklaim dirinya ingin mengembalikan posisi Marx sebagai kritikus terhadap kapitalisme, ia tidak banyak berbicara tentang kapitalisme yang berlangsung di Perancis. Berbeda halnya dengan Gramsci, yang justru secara sangat mendalam mengupas tentang proses ’domestikasi’ buruh oleh Henry Ford, dengan berpangkal pada scientific management Frederick Taylor, suatu studi yang dapat melengkapi studi awal Engels tentang lahirnya kelas pekerja di Inggris, yang mendahului karya akbar Marx, Das Kapital.

Sementara contoh-contoh di atas berbicara tentang kontras di antara kedua pemikir neo-Marxis itu, ada juga pemikiran mereka yang komplementer. Pemikiran Gramsci bahwa negara menguasai rakyat dengan dua strategi, yakni consent dan coercion, sejalan dengan pemikiran Althusser tentang ISA dan RSA.

Kedua pemikir neo-Marxis itu sefaham, bahwa ideologi bukan sekedar cerminan dari ekonomi, atau basis material, atau moda produksi, melainkan bersifat otonom. Hal ini tampaknya yang membuat Althusser mengakui, dalam bukunya, For Marx (London, 1969: 114), bahwa satu-satunya orang yang telah menngikuti eksplorasi Marx dan Engels adalah Gramsci, karena Gramsci tidak membebek pada materialisme dialektik vulgar dari Bukharin, pemikir Bolshevik yang utama waktu itu, yang melihat suprastruktur masyarakat sekedar merupakan cerminan dari kekuatan-kekuatan ekonomi dalam masyarakat tersebut (Joll 1977: 7).

Selanjutnya, ada kesejajaran antara konsep hegemoni menurut Gramsci, dan ’overdetermination’, menurut Althusser, yakni pengaruh dari berbagai kontradiksi sekaligus (Wikipedia 2008).

Althusser dan Gramsci juga sama-sama kritis terhadap para filsuf akademis. Althusser dengan meminjam pemikiran Lenin (2007 [1971]), sedangkan Gramsci dengan membedakan antara peranan intelektual tradisional dan intelektual organik.

Kedua pemikir neo-Marxis itu juga punya perhatian besar terhadap peranan pendidikan dengan perbedaan bahwa Gramsci lebih menyoroti proses pedagoginya, dengan tekanan pada pendidikan alternatif untuk menciptakan masyarakat sosialis, sementara Althusser menyoroti lembaga pendidikan, sebagai aparat ideologis negara (ISA) yang paling penting dalam mendukung kapitalisme.

Akhirnya, dengan bantuan konsep interpelasi Althusser, kita dapat membaca bagaimana strategi Ford menginterpelasi kehidupan buruh industri mobil di AS, yang ditiru oleh FIAT di Italia, sebagaimana diuraikan oleh Gramsci dalam bagian tentang Amerikanisme dan Fordisme dalam Catatan dari Penjara.

Yogyakarta, 3 November 2008.







Referensi:
Althusser, Louis (2007 [1971]). Filsafat sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta: Resist Book,
Barrett, Michele (1991). The Politics of Truth: From Marx to Foucault. Chapter 4: ‘Ideology, Politics, Hegemony: From Gramsci to Laclau and Mouffe’, hal. 51-80.
Boggs, Carl (1993). Intellectuals and the Crisis of Modernity. Albany, NY: State University of New York Press.
Callinicos, Alex (1978). Althusser’s Marxism. London: Pluto Press.
Chandler, Daniel (2008a). Marxist Media Theory: Gramsci and Hegemony. http://www.aber.ac.ud/media/Documents/marxism/marxism10.html, diakses tanggal 25 Okt. 2008.
------------ (2008b). Marxist Media Theory: Base and superstructure. http://www.aber.ac.ud/media/Documents/marxism/marxism02.html, diakses tanggal 25 Okt. 2008.
------------- (2008c). Marxist Media Theory: Althusser.
http://www.aber.ac.ud/media/Documents/marxism/marxism09.html, diakses tanggal 25 Okt. 2008.
Davidson, Alastair (1968). Antonio Gramsci, The Man, His Ideas. Sydney: Australian Left Review Publications.
Fakih, Mansour (2004). ‘Gramsci di Indonesia: Pengantar’. Kata Pengantar untuk Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar, hal. v s/d xx.
Femia, Joseph (2007). ’Western Marxism.’ Dalam Daryl Glaser & David M. Walker (eds). Twentieth-Century Marxism: A Global Introduction. London: Routledge, hal. 95-117.
Fillingham, Lydia Alex (2001). Foucault Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Gramsci, Antonio (1995). The Southern Question. Diterjemahkan di diberi kata pengantar oleh Pasquale Verdicchio. West Lafayette, Indiana: Bordighera Inc.
------------ (1998). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith. London: Lawrence & Wishart.
Jessop, Bob (1985). Nicos Poulantzas: Marxist Theory and Political Strategy. London: MacMillan.
Joll, James (1977). Gramsci. Glasgow: Fontana Paperbacks.
Kelly, Michael, Elizabeth Fallaize, Anna Ridehalgh (1995). ‘Crises of Modernization (1945-1967)’. Dalam Jill Forbes & Michael Kelly (eds). French Cultural Studies: An Introduction. New York: Oxford University Press, hal. 99-139.
Kubalkova, Vendulka & Albert Cruickshank (1989). Marxism and International Relations. Oxford: Oxford University Press.
Lechte, John (2001). 50 filsuf kontemporer: Dari strukturalisme sampai postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Mao Tse-tung (1967). Quotations from Chairman Mao Tse-Tung. Introduction by A. Doak Barnett. New York: Bantam Books.
Radice, Lucio Lombardo (1978). ‘Communism with an Italian Face?’ Dalam G.R. Urban (ed). Euro-communism: Its roots and future in Italy and elsewhere. London: Maurice Temple Smith Ltd., hal. 32-57.
Ritzer, George (1992). Sociological Theory. Singapore: McGraw-Hill.
Sassoon, Anne Showstack (1987). Gramsci’s Politics. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Simon, Roger (2004). Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar.
Simon, Rick (2007). ’Eurocommunism.’ Dalam Glaser & Walker (eds), op. cit., hal. 81-94.
Urban, G.R. (ed). (1978). Euro-communism: Its roots and future in Italy and elsewhere. London: Maurice Temple Smith Ltd.
Vaknin, Sam (n.d.). Althusser – A Critique: Competing Interpellations and the Third Text. http://samvak.tripod.com/althusser.html, diakses tanggal 25 Oktober 2008.
Wikipedia (2008). Louis Althusser. Diakses tanggal 25 Oktober 2008.
Wolff, Richard (n.d.). Ideological State Apparatuses. http://dogma.free.fr/txt/RW-IdeologicalApparatuses.htm, diakses tanggal 25 Oktober 2008.
Woodfin, Rupert & Oscar Zarate (2008). Marxisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)

Kalimat Efektif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008