GERAKAN-GERAKAN MAOIS DI ASIA: Dari ’Perang Rakyat’ ke Republik Termuda di Dunia
PSIRB 301, Marxisme: Religi, Politik & Ideologi. Dosen: George Junus Aditjondro. Handout No. 9:
-----------------------------------------------------------------------------
Oleh George Junus Aditjondro
Every comrade must be helped to understand
That as long as we rely on the people,
believe firmly in the inexhaustible creative power of the masses
and hence trust and identify ourselves with the them,
we can surmount any difficulty,
and no enemy can crush us
while we can crush any enemy.
Wherever our comrades go,
they must build good relations with the masses,
be concerned for them,
and help them overcome their difficulties.
We must unite with the masses;
the more the masses we unite with, the better.
(Quotations from Chairman Mao Tse-tung, 1967: 85)
SALAH satu gerakan kiri yang semakin penting untuk diperhatikan, paling tidak di Asia, adalah gerakan Maois. Perlu dicatat terlebih dahulu bahwa label ”Maois” umumnya diberikan kepada gerakan yang memperjuangkan sosialisme yang mendahulukan kepentingan petani, berbeda dengan Marx dan Engels yang lebih mementingkan perjuangan buruh. Selain itu, label Maois diberikan kepada gerakan kiri yang mengutamakan perjuangan bersenjata. Dalam Selected Military Writings, Mao menegaskan beberapa pelajaran bagi gerilayawan bersenjata di dunia, yakni (a) daerah dan penduduk pedesaan harus direbut terlebih dahulu, untuk mengepung kota; (b) jangan sampai terlibat dalam pertempuran yang berkepanjangan dengan musuh;’ (c). dalam setiap pertempuran dengan musuh, jumlah kekuatan gerilyawan harus melebihi jumlah tentara musuh; (d) faktor waktu selalu menguntungkan gerilyawan.
Pelajaran-pelajaran itu selanjutnya dipertajam oleh Mao Zedong, dengan semboyannya yang terkenal: ”Enemy advances, we retreat; enemy halts, we harass; enemy tires, we attack; enemy retreats, we pursue” (Musuh maju, kita mundur; musuh berhenti, kita gerebeg; musuh mulai capek, kita serang; musuh mundur; kita serang) (Hutchison 1975: 242).
Strategi militer Mao Zedong itu merupakan bagian dari keseluruh strategi perjuangan Mao dalam membangun masyarakat dan negara sosialis, yang terdiri dari perjuangan di tiga front. Pertama, perjuangan politik lewat perang revolusioner. Kedua, perjuangan ekonomi, dengan menjalankan land reform, penelitian tanah, pembangunan kelompok-kelompok saling membantu dan koperasi, peningkatan status perempuan, dan pengembangan kekuatan-kekuatan produktif pertanian dan industri. Serta ketiga, perjuangan budaya dan ideologi (Gurley 1975: 107).
Kekhasan gerakan Maois menyebabkan belakangan ini Asia menjadi lebih penting ketimbang Amerika Latin, karena di anak benua Amerika itu, gerakan-gerakan Maois meninggalkan perjuangan bersenjatanya, tanpa berhasil merebut kekuasaan Negara. Di awal 1990an, Sendero Luminoso (’Jalan Bersinar’) di Peru berhenti bergerak setelah pemimpinnya, Gonzalo, ditangkap, dan setelah aktivis-aktivis Sendero Luminoso mulai menyerang keluarga-keluarga petani pendukung mereka. Sedangkan di Kolombia, setelah tiga dasawarsa bergerilya, EPL (Ejercito Popular de Liberacion, atau Tentara Populer untuk Pembebasan) menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Kolombia, dan masuk ke arena politik sebagai partai kiri yang legal, yang beroposisi terhadap partai yang berkuasa (Shrestha-Schipper 2006).
Sementara itu, gerakan-gerakan kiri di Amerika Latin semakin banyak yang menempuh jalan parlementer, bahkan berhasil merebut kursi kepresidenan, seperti yang terjadi di Brazil, Venezuela, dan Bolivia.
Adapun di Asia, khususnya di Filipina dan India, gerakan-gerakan Maois masih mengandalkan perjuangan bersenjata. Sedangkan di Sri Lanka, Janatha Vimukthi Peramuna (JVP), atau Front Pembebasan Rakyat, yang terlibat dalam perjuangan bersenjata di awal 1970an dan akhir 1980an, kini telah terjun ke gelanggang politik arus utama (idem).
Maois Nepal:
Sehubungan dengan pilihan antara perjuangan bersenjata dan perjuangan parlementer, pengalaman gerakan Maois di Nepal sangat menarik. Pada tanggal 13 Februari 1996, Partai Komunis Nepal – yang ideologinya diilhami oleh gerakan Naxalbari di India dan Sendero Luminoso di Peru -- mulai melancarkan ”perang rakyat”, di bawah pimpinan Puspha Kamal Dahal alias ”Prachandra”. Ini merupakan kelanjutan dari konflik-konflik berdarah antara kelompok-kelompok kiri dan pemerintah, sejak demokrasi diperkenalkan di monarki itu di tahun 1990 (idem).
Sementara itu, represi polisi terhadap kelompok-kelompok kiri semakin meradikalisasi gerakan Maois, yang semakin mendapat dukungan rakyat. Bermula dari dua distrik di Nepal Barat-Tengah, Rolka dan Rukum, gerakan ini cepat meluas ke seluruh Nepal, yang telah menelan korban lebih dari 12 ribu nyawa dari fihak aparat dan gerilyawan. Tidak siap menghadapi arus pasang demokrasi itu, pada tanggal 1 Februari 2005, Raja Gyanandra mengambil alih kekuasaan politik secara nasional. Hal itulah yang mendorong gerakan Maois mendeklarasikan ”perang rakyat” melawan kerajaan (idem).
Setelah mendapat dukungan rakyat, gerakan Maois yang dipimpin oleh Prachandra terjun ke perjuangan elektoral, dan berhasil merebut lebih dari separuh kursi parlemen. Maka, setelah menjadi bagian dari pemerintah transisi selama setahun lebih, kelompok Maois itu, berkoalisi dengan Aliansi Tujuh Partai (Seven Party Alliance) – termasuk Partai Komunis Nepal yang berhaluan Marxis-Leninis (CPN-UML) --, berhasil mendorong parlemen untuk mengakhiri monarki Nepal yang sudah berumur 240 tahun, dan menjadikannya republik termuda di dunia (Shrestha-Schipper 2006; Jha 2008; Karmali, 2008).
Presiden terpilih, Ram Baran Yadav, melantik Prachanda (= yang ditakuti) menjadi Perdana Menteri. Bertolak belakang dengan tradisi, mantan gerilyawan itu bersumpah setia kepada rakyat Nepal, bukan kepada Tuhan. Walaupun memakai jas bergaya Barat, ia memakai kopiah khas Nepal (The Economist, 23-29 Agustus 2008: 23-24).
Dalam platform pemilunya, Partai Maois Nepal menuntut reformasi agraria berdasarkan prinsip tanah untuk penggarap, serta kesetaraan hak-hak perempuan dan kasta-kasta bawah. Namun berbeda dari apa yang dikhawatirkan sebagian orang, partai yang resminya bernama Communist Party of Nepal (CPN), tidak menolak ekonomi pasar. Mereka malah menyatakan era pemerintahannya adalah era ”demokrasi kapitalis” (idem).
Secara pragmatis, parlemen dan pemerintah yang didominasi CPN ingin secepatnya mengatasi kemiskinan di Nepal, di mana pendapatan per kapita US$ 383, yang menyebabkan tujuh juta orang Nepal bermigrasi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan, meninggalkan negara berpenduduk 26 juta jiwa di kaki Pegunungan Himalaya. Ini yang menyebabkan para kapitalis berdarah India di negara yang hidup dalam bayang-bayang ekonomi India tidak buru-buru angkat kaki dari Nepal, setelah kemenangan para Maois dalam pemilu lalu. Binod Chaudury (53 th), pemimpin Chaudhury Group yang berpenghasilan 270 juta dollar AS, malah diangkat menjadi anggota parlemen mewakili CPN-UML, yang dikalahkan oleh para Maois dalam pemilu lalu. Konglomerat ini berencana membangun beberapa PLTA, pabrik semen, dan dua kota baru di luar Kathmandu (Karmali 2008).
Barangkali, pragmatisme para Maois Nepal itu didorong oleh kenyataan bahwa potensi pertanian di negeri yang harus menjaga kawasan hutannya dengan ketat, demi kelestarian sungai-sungai di India, sangat terbatas. Lapangan kerja di luar pertanian juga terbatas pada pariwisata, khususnya menjediakan pemandu bagi para pelancong yang ingin mendaki Mount Everest, gunung tertinggi di dunia. Makanya pemerintah baru Nepal tampaknya ingin cepat-cepat menyadap potensi hydropower negeri itu yang dapat mencapai 84 ribu MegaWatt, guna mendorong industrialisasi di negeri itu (idem).
Namun betulkah kaum miskin di negara itu, yang di masa kejayaan imperium Britania Raya menjadi tentara Gurkha pembela imperialisme Inggris, akan lebih baik nasibnya, setelah Republik Nepal menjalankan politik yang begitu terbuka bagi kapitalisme di negara itu? Nepal memang bukan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang masih mempertahankan sistem partai tunggal. Namun, apakah para Maois Nepal akan belajar dari RRT, bagaimana menjalankan sistem ekonomi campuran yang pada hakekatnya adalah sistem kapitalisme birokratik yang dikendalikan oleh elit Partai Komunis Tiongkok?
Naxalbari di India
Sementara para Maois di Nepal telah berhasil merebut kekuasaan dengan jalan damai, di India kaum Naxalbari atau Naxalites -- nama untuk kelompok Maois yang telah memperjuangkan revolusi sosial sejak zaman penjajahan Inggris – masih terlibat dalam perjuangan bersenjata. Gerakan itu bangkit kembali setelah polisi India menembaki petani bersenjata yang sedang menghadiri rapat akbar di Naxalbari – tempat kelahiran gerakan ini -- di tahun 1967.
Keterlibatan perempuan dalam gerakan ini sangat menonjol. Mereka termasuk korban-korban pertama dalam penembakan polisi tahun 1967. Keterlibatan mereka tercatat sampai dengan tahun 1975 (Schrestha-Schipper 2006).
Selain perempuan, yang banyak terlibat dalam gerakan ini di Bihar Selatan adalah lapisan bawah dalam masyarakat, yakni petani, kaum miskin dan Dalit (idem). Keikutsertaan mereka dalam gerakan ini lebih karena partai Maois itu mendukung perlawanan mereka terhadap para penindas mereka. Bukan karena memahami ideologi Maois, yang lebih merupakan pegangan para pemimpin partai, yang mencita-citakan perebutan kekuasan lewat revolusi (idem).
Dewasa ini, gerakan Naxalbari ini terlibat dalam ’perang saudara’ yang direkayasa pemerintah negara bagian Chhattisgarh. Menghadapi perang gerilya kaum Naxalit yang sudah memasuki kota-kota di India bagian Timur, pemerintah negara bagian itu telah menciptakan Salwa Judum, suatu pasukan milisi yang kebanyakan terdiri dari masyarakat tribal yang digiring ke dalam pasukan milisi itu.
Sepintas lalu, strategi mendirikan atau mendukung milisi sipil itu didorong oleh ketakutan pemerintah menghadapi ekspansi kaum Naxalbari, yang dianggap telah menciptakan suatu ”koridor merah”, mulai dari Nepal sampai dengan negara bagian Bihar dan Andra Pradesh. Namun aktivis-aktivis HAM di India, mencurigai dukungan pemerintah Chhattisgarh sebagai taktik untuk mengosongkan tanah-tanah masyarakat tribal, yang kaya dengan berbagai sumber daya alam.
Sementara itu, kaum Naxalites, yang sejak 2004 sudah memperlebar perang gerilya mereka ke kota-kota, seiring dengan leburnya Maoist Communist Center dan Kelompok Perang Rakyat (the People's War Group) menjadi Communist Party of India (Maoists), semakin terbuka perjuangannya. Seperti kata Muppala Lakshman Rao, yang juga dikenal dengan nama sandinya, Ganapathi, yang baru terpilih kembali sebagai sekjen partai Maois itu:
"The Unity Congress ... resolved to advance the people's war throughout the country, further strengthen the people's army, deepen the mass base of the party, and wage a broad-based militant mass movement against the neo-liberal policies of globalization, liberalization [and] privatization pursued by the reactionary ruling classes under the dictates of imperialism. No more hit and run. Now the time has come to spread in the towns and identify specific targets, hit them precisely and with impunity."
Salah satu sasarannya adalah Sunil Mahato, anggota Parlemen dari negara bagian Jharkhand, yang ditembak oleh para gerilyawan Maois, akhir Februari tahun lalu. Pembunuhan anggota parlemen itu diduga merupakan awal dari serangkaian serangan terhadap orang-orang yang dianggap musuh rakyat di India, baik dari kalangan milisi, tuan tanah, maupun birokrat dan anggota parlemen yang keputusannya merugikan rakyat kecil. Suatu strategi perang rakyat, seperti yang dianjurkan Mao Zedong puluhan tahun yang lalu, dan memang dijalankan di Tiongkok waktu itu (Fahmid 2004; Ramachandran 2007).
Kesimpulan:
TANPA dukungan resmi RRT, bagi gerakan-gerakan Maois di Asia, khususnya di Filipina dan India, buku kecil Mao Zedong (1967) masih mengilhami gerakan-gerakan kiri yang ingin merebut kekuasaan demi transformasi sosial yang mereka cita-citakan. Gerakan kaum Naxalbari di India, merupakan contoh bagaimana gerakan itu semakin kuat, di tengah-tengah laju pembangunan bercorak neo-liberal di negeri itu. Sedangkan kemenangan kaum Maois yang kini ikut memerintah Republik Nepal, merupakan contoh pragmatisme gerakan ini, yang serta merta merangkul kaum kapitalis untuk memberantas kemiskinan di negara itu.
Belajar dari pengalaman RRT, kita masih harus melihat, apakah Nepal di bawah kepemimpinan gerakan Maois akan mengikuti jejak pragmatisme pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan Tentara Pembebasan Nasional (PLA = People’s Liberation Army) yang membuka pintu dan jendela Tiongkok bagi masuknya modal besar, sambil berselingkuh dengan korporasi-korporasi asing? Ataukah pimpinan gerakan Maois Nepal akan tetap mempertahankan komitmen mereka kepada para petani dan rakyat miskin lain yang telah mengorbitkan mereka ke tampuk kekuasaan Republik Nepal?
Yogyakarta, 7 September 2008
Referensi:
Fahmid, Imam Mujahidin (2004). Gagalnya Politik Pangan di bawah RezimOrde Baru: Kajian Ekonomi Politik Pangan di Indonesia. Jakarta: Sandi Kota & ISPEI.
Gurley, John G. (1975). Challengers to Capitalism: Marx, Lenin, and Mao. Stanford, California: Stanford Alumni Association.
Hutchison, Alan (1975). China’s African Revolution. London: Hutchison & Co. (Publishers) Ltd.
Jha, Prasanth (2008). ”Nepal’s Maoist Landslide.” Nepali Times, 16 April.
Karmali, Naazneen (2008). ”Himalayan Vistas.” Forbes Asia, 30 Juni, hal. 20-22.
Mao Tse-tung (1967). Quotations from Chairman Mao Tse-tung. New York: Bantam Books,
Ramachandran, Sudha (2007). ”India’s Maoists take their war to a new level.” Asia Times Online, 20 Maret.
Shrestha-Schipper, Satya (2006). “Maoist Insurgency in Asia and Latin America: Comparative Perspectives.” IIAS Newsletter, Issue 48.
“Almost a dinner party: A guerilla becomes prime minister.” The Economist, 23-29 August 2008, hal. 23-24).
-----------------------------------------------------------------------------
Oleh George Junus Aditjondro
Every comrade must be helped to understand
That as long as we rely on the people,
believe firmly in the inexhaustible creative power of the masses
and hence trust and identify ourselves with the them,
we can surmount any difficulty,
and no enemy can crush us
while we can crush any enemy.
Wherever our comrades go,
they must build good relations with the masses,
be concerned for them,
and help them overcome their difficulties.
We must unite with the masses;
the more the masses we unite with, the better.
(Quotations from Chairman Mao Tse-tung, 1967: 85)
SALAH satu gerakan kiri yang semakin penting untuk diperhatikan, paling tidak di Asia, adalah gerakan Maois. Perlu dicatat terlebih dahulu bahwa label ”Maois” umumnya diberikan kepada gerakan yang memperjuangkan sosialisme yang mendahulukan kepentingan petani, berbeda dengan Marx dan Engels yang lebih mementingkan perjuangan buruh. Selain itu, label Maois diberikan kepada gerakan kiri yang mengutamakan perjuangan bersenjata. Dalam Selected Military Writings, Mao menegaskan beberapa pelajaran bagi gerilayawan bersenjata di dunia, yakni (a) daerah dan penduduk pedesaan harus direbut terlebih dahulu, untuk mengepung kota; (b) jangan sampai terlibat dalam pertempuran yang berkepanjangan dengan musuh;’ (c). dalam setiap pertempuran dengan musuh, jumlah kekuatan gerilyawan harus melebihi jumlah tentara musuh; (d) faktor waktu selalu menguntungkan gerilyawan.
Pelajaran-pelajaran itu selanjutnya dipertajam oleh Mao Zedong, dengan semboyannya yang terkenal: ”Enemy advances, we retreat; enemy halts, we harass; enemy tires, we attack; enemy retreats, we pursue” (Musuh maju, kita mundur; musuh berhenti, kita gerebeg; musuh mulai capek, kita serang; musuh mundur; kita serang) (Hutchison 1975: 242).
Strategi militer Mao Zedong itu merupakan bagian dari keseluruh strategi perjuangan Mao dalam membangun masyarakat dan negara sosialis, yang terdiri dari perjuangan di tiga front. Pertama, perjuangan politik lewat perang revolusioner. Kedua, perjuangan ekonomi, dengan menjalankan land reform, penelitian tanah, pembangunan kelompok-kelompok saling membantu dan koperasi, peningkatan status perempuan, dan pengembangan kekuatan-kekuatan produktif pertanian dan industri. Serta ketiga, perjuangan budaya dan ideologi (Gurley 1975: 107).
Kekhasan gerakan Maois menyebabkan belakangan ini Asia menjadi lebih penting ketimbang Amerika Latin, karena di anak benua Amerika itu, gerakan-gerakan Maois meninggalkan perjuangan bersenjatanya, tanpa berhasil merebut kekuasaan Negara. Di awal 1990an, Sendero Luminoso (’Jalan Bersinar’) di Peru berhenti bergerak setelah pemimpinnya, Gonzalo, ditangkap, dan setelah aktivis-aktivis Sendero Luminoso mulai menyerang keluarga-keluarga petani pendukung mereka. Sedangkan di Kolombia, setelah tiga dasawarsa bergerilya, EPL (Ejercito Popular de Liberacion, atau Tentara Populer untuk Pembebasan) menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Kolombia, dan masuk ke arena politik sebagai partai kiri yang legal, yang beroposisi terhadap partai yang berkuasa (Shrestha-Schipper 2006).
Sementara itu, gerakan-gerakan kiri di Amerika Latin semakin banyak yang menempuh jalan parlementer, bahkan berhasil merebut kursi kepresidenan, seperti yang terjadi di Brazil, Venezuela, dan Bolivia.
Adapun di Asia, khususnya di Filipina dan India, gerakan-gerakan Maois masih mengandalkan perjuangan bersenjata. Sedangkan di Sri Lanka, Janatha Vimukthi Peramuna (JVP), atau Front Pembebasan Rakyat, yang terlibat dalam perjuangan bersenjata di awal 1970an dan akhir 1980an, kini telah terjun ke gelanggang politik arus utama (idem).
Maois Nepal:
Sehubungan dengan pilihan antara perjuangan bersenjata dan perjuangan parlementer, pengalaman gerakan Maois di Nepal sangat menarik. Pada tanggal 13 Februari 1996, Partai Komunis Nepal – yang ideologinya diilhami oleh gerakan Naxalbari di India dan Sendero Luminoso di Peru -- mulai melancarkan ”perang rakyat”, di bawah pimpinan Puspha Kamal Dahal alias ”Prachandra”. Ini merupakan kelanjutan dari konflik-konflik berdarah antara kelompok-kelompok kiri dan pemerintah, sejak demokrasi diperkenalkan di monarki itu di tahun 1990 (idem).
Sementara itu, represi polisi terhadap kelompok-kelompok kiri semakin meradikalisasi gerakan Maois, yang semakin mendapat dukungan rakyat. Bermula dari dua distrik di Nepal Barat-Tengah, Rolka dan Rukum, gerakan ini cepat meluas ke seluruh Nepal, yang telah menelan korban lebih dari 12 ribu nyawa dari fihak aparat dan gerilyawan. Tidak siap menghadapi arus pasang demokrasi itu, pada tanggal 1 Februari 2005, Raja Gyanandra mengambil alih kekuasaan politik secara nasional. Hal itulah yang mendorong gerakan Maois mendeklarasikan ”perang rakyat” melawan kerajaan (idem).
Setelah mendapat dukungan rakyat, gerakan Maois yang dipimpin oleh Prachandra terjun ke perjuangan elektoral, dan berhasil merebut lebih dari separuh kursi parlemen. Maka, setelah menjadi bagian dari pemerintah transisi selama setahun lebih, kelompok Maois itu, berkoalisi dengan Aliansi Tujuh Partai (Seven Party Alliance) – termasuk Partai Komunis Nepal yang berhaluan Marxis-Leninis (CPN-UML) --, berhasil mendorong parlemen untuk mengakhiri monarki Nepal yang sudah berumur 240 tahun, dan menjadikannya republik termuda di dunia (Shrestha-Schipper 2006; Jha 2008; Karmali, 2008).
Presiden terpilih, Ram Baran Yadav, melantik Prachanda (= yang ditakuti) menjadi Perdana Menteri. Bertolak belakang dengan tradisi, mantan gerilyawan itu bersumpah setia kepada rakyat Nepal, bukan kepada Tuhan. Walaupun memakai jas bergaya Barat, ia memakai kopiah khas Nepal (The Economist, 23-29 Agustus 2008: 23-24).
Dalam platform pemilunya, Partai Maois Nepal menuntut reformasi agraria berdasarkan prinsip tanah untuk penggarap, serta kesetaraan hak-hak perempuan dan kasta-kasta bawah. Namun berbeda dari apa yang dikhawatirkan sebagian orang, partai yang resminya bernama Communist Party of Nepal (CPN), tidak menolak ekonomi pasar. Mereka malah menyatakan era pemerintahannya adalah era ”demokrasi kapitalis” (idem).
Secara pragmatis, parlemen dan pemerintah yang didominasi CPN ingin secepatnya mengatasi kemiskinan di Nepal, di mana pendapatan per kapita US$ 383, yang menyebabkan tujuh juta orang Nepal bermigrasi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan, meninggalkan negara berpenduduk 26 juta jiwa di kaki Pegunungan Himalaya. Ini yang menyebabkan para kapitalis berdarah India di negara yang hidup dalam bayang-bayang ekonomi India tidak buru-buru angkat kaki dari Nepal, setelah kemenangan para Maois dalam pemilu lalu. Binod Chaudury (53 th), pemimpin Chaudhury Group yang berpenghasilan 270 juta dollar AS, malah diangkat menjadi anggota parlemen mewakili CPN-UML, yang dikalahkan oleh para Maois dalam pemilu lalu. Konglomerat ini berencana membangun beberapa PLTA, pabrik semen, dan dua kota baru di luar Kathmandu (Karmali 2008).
Barangkali, pragmatisme para Maois Nepal itu didorong oleh kenyataan bahwa potensi pertanian di negeri yang harus menjaga kawasan hutannya dengan ketat, demi kelestarian sungai-sungai di India, sangat terbatas. Lapangan kerja di luar pertanian juga terbatas pada pariwisata, khususnya menjediakan pemandu bagi para pelancong yang ingin mendaki Mount Everest, gunung tertinggi di dunia. Makanya pemerintah baru Nepal tampaknya ingin cepat-cepat menyadap potensi hydropower negeri itu yang dapat mencapai 84 ribu MegaWatt, guna mendorong industrialisasi di negeri itu (idem).
Namun betulkah kaum miskin di negara itu, yang di masa kejayaan imperium Britania Raya menjadi tentara Gurkha pembela imperialisme Inggris, akan lebih baik nasibnya, setelah Republik Nepal menjalankan politik yang begitu terbuka bagi kapitalisme di negara itu? Nepal memang bukan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang masih mempertahankan sistem partai tunggal. Namun, apakah para Maois Nepal akan belajar dari RRT, bagaimana menjalankan sistem ekonomi campuran yang pada hakekatnya adalah sistem kapitalisme birokratik yang dikendalikan oleh elit Partai Komunis Tiongkok?
Naxalbari di India
Sementara para Maois di Nepal telah berhasil merebut kekuasaan dengan jalan damai, di India kaum Naxalbari atau Naxalites -- nama untuk kelompok Maois yang telah memperjuangkan revolusi sosial sejak zaman penjajahan Inggris – masih terlibat dalam perjuangan bersenjata. Gerakan itu bangkit kembali setelah polisi India menembaki petani bersenjata yang sedang menghadiri rapat akbar di Naxalbari – tempat kelahiran gerakan ini -- di tahun 1967.
Keterlibatan perempuan dalam gerakan ini sangat menonjol. Mereka termasuk korban-korban pertama dalam penembakan polisi tahun 1967. Keterlibatan mereka tercatat sampai dengan tahun 1975 (Schrestha-Schipper 2006).
Selain perempuan, yang banyak terlibat dalam gerakan ini di Bihar Selatan adalah lapisan bawah dalam masyarakat, yakni petani, kaum miskin dan Dalit (idem). Keikutsertaan mereka dalam gerakan ini lebih karena partai Maois itu mendukung perlawanan mereka terhadap para penindas mereka. Bukan karena memahami ideologi Maois, yang lebih merupakan pegangan para pemimpin partai, yang mencita-citakan perebutan kekuasan lewat revolusi (idem).
Dewasa ini, gerakan Naxalbari ini terlibat dalam ’perang saudara’ yang direkayasa pemerintah negara bagian Chhattisgarh. Menghadapi perang gerilya kaum Naxalit yang sudah memasuki kota-kota di India bagian Timur, pemerintah negara bagian itu telah menciptakan Salwa Judum, suatu pasukan milisi yang kebanyakan terdiri dari masyarakat tribal yang digiring ke dalam pasukan milisi itu.
Sepintas lalu, strategi mendirikan atau mendukung milisi sipil itu didorong oleh ketakutan pemerintah menghadapi ekspansi kaum Naxalbari, yang dianggap telah menciptakan suatu ”koridor merah”, mulai dari Nepal sampai dengan negara bagian Bihar dan Andra Pradesh. Namun aktivis-aktivis HAM di India, mencurigai dukungan pemerintah Chhattisgarh sebagai taktik untuk mengosongkan tanah-tanah masyarakat tribal, yang kaya dengan berbagai sumber daya alam.
Sementara itu, kaum Naxalites, yang sejak 2004 sudah memperlebar perang gerilya mereka ke kota-kota, seiring dengan leburnya Maoist Communist Center dan Kelompok Perang Rakyat (the People's War Group) menjadi Communist Party of India (Maoists), semakin terbuka perjuangannya. Seperti kata Muppala Lakshman Rao, yang juga dikenal dengan nama sandinya, Ganapathi, yang baru terpilih kembali sebagai sekjen partai Maois itu:
"The Unity Congress ... resolved to advance the people's war throughout the country, further strengthen the people's army, deepen the mass base of the party, and wage a broad-based militant mass movement against the neo-liberal policies of globalization, liberalization [and] privatization pursued by the reactionary ruling classes under the dictates of imperialism. No more hit and run. Now the time has come to spread in the towns and identify specific targets, hit them precisely and with impunity."
Salah satu sasarannya adalah Sunil Mahato, anggota Parlemen dari negara bagian Jharkhand, yang ditembak oleh para gerilyawan Maois, akhir Februari tahun lalu. Pembunuhan anggota parlemen itu diduga merupakan awal dari serangkaian serangan terhadap orang-orang yang dianggap musuh rakyat di India, baik dari kalangan milisi, tuan tanah, maupun birokrat dan anggota parlemen yang keputusannya merugikan rakyat kecil. Suatu strategi perang rakyat, seperti yang dianjurkan Mao Zedong puluhan tahun yang lalu, dan memang dijalankan di Tiongkok waktu itu (Fahmid 2004; Ramachandran 2007).
Kesimpulan:
TANPA dukungan resmi RRT, bagi gerakan-gerakan Maois di Asia, khususnya di Filipina dan India, buku kecil Mao Zedong (1967) masih mengilhami gerakan-gerakan kiri yang ingin merebut kekuasaan demi transformasi sosial yang mereka cita-citakan. Gerakan kaum Naxalbari di India, merupakan contoh bagaimana gerakan itu semakin kuat, di tengah-tengah laju pembangunan bercorak neo-liberal di negeri itu. Sedangkan kemenangan kaum Maois yang kini ikut memerintah Republik Nepal, merupakan contoh pragmatisme gerakan ini, yang serta merta merangkul kaum kapitalis untuk memberantas kemiskinan di negara itu.
Belajar dari pengalaman RRT, kita masih harus melihat, apakah Nepal di bawah kepemimpinan gerakan Maois akan mengikuti jejak pragmatisme pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan Tentara Pembebasan Nasional (PLA = People’s Liberation Army) yang membuka pintu dan jendela Tiongkok bagi masuknya modal besar, sambil berselingkuh dengan korporasi-korporasi asing? Ataukah pimpinan gerakan Maois Nepal akan tetap mempertahankan komitmen mereka kepada para petani dan rakyat miskin lain yang telah mengorbitkan mereka ke tampuk kekuasaan Republik Nepal?
Yogyakarta, 7 September 2008
Referensi:
Fahmid, Imam Mujahidin (2004). Gagalnya Politik Pangan di bawah RezimOrde Baru: Kajian Ekonomi Politik Pangan di Indonesia. Jakarta: Sandi Kota & ISPEI.
Gurley, John G. (1975). Challengers to Capitalism: Marx, Lenin, and Mao. Stanford, California: Stanford Alumni Association.
Hutchison, Alan (1975). China’s African Revolution. London: Hutchison & Co. (Publishers) Ltd.
Jha, Prasanth (2008). ”Nepal’s Maoist Landslide.” Nepali Times, 16 April.
Karmali, Naazneen (2008). ”Himalayan Vistas.” Forbes Asia, 30 Juni, hal. 20-22.
Mao Tse-tung (1967). Quotations from Chairman Mao Tse-tung. New York: Bantam Books,
Ramachandran, Sudha (2007). ”India’s Maoists take their war to a new level.” Asia Times Online, 20 Maret.
Shrestha-Schipper, Satya (2006). “Maoist Insurgency in Asia and Latin America: Comparative Perspectives.” IIAS Newsletter, Issue 48.
“Almost a dinner party: A guerilla becomes prime minister.” The Economist, 23-29 August 2008, hal. 23-24).
Komentar