EKSISTENSI UU GURU DAN DOSEN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN NASIONA

Abstrak
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia mendapat roh baru dalam pelaksanaannya sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh DPR pada hari Selasa, 6 Desember 2005. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka Visi pembangunan pendidikan nasional adalah “Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif dan Berakhlak Mulia”. Bagian yang perlu mendapat sambutan positif dari masyarakat terhadap UU Guru dan Dosen menyangkut: (1) Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi; (2) Hak dan kewajiban; (3) Pembinaan dan pengembangan; (4) Penghargaan; (5) Perlindungan; (6) Organisasi profesi dan kode etik. Meski demikian, ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan, yaitu: (1) standarisasi penyelenggaraan pendidikan dan standarisasi kompetensi guru; (2) kesejahteraan atau tunjangan; (3) organisasi profesi dan dewan kehormatan; (4) perlindungan hukum, profesi dan keselamatan kerja.
Kehadiran UU Guru dan Dosen hendaknya menjadi spirit baru bagi pencerahan kehidupan pendidikan nasional sebab sudah banyak pemikiran yang menegaskan pentingnya kedudukan guru/dosen dalam perbaikan manajemen pendidikan. Sejalan dengan itu, iktikad baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para guru/dosen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perbaikan kualitas bangsa. Keberadaan UU Guru dan Dosen tidak akan membawa perubahan yang berarti bagi dunia pendidikan, bila pemerintah daerah tidak mampu membaca serta memaknai keinginan UU tersebut. Pemerintah daerah harus mempunyai komitmen yang sama dengan pemerintah pusat, sehingga tercapai kebijakan yang sinergis antara pusat dan daerah. Pengesahan UU Guru dan Dosen berimplikasi terhadap anggaran, pengembangan kompetensi dan kualifikasi guru, persiapan lembaga LPTK, serta kebijakan di tingkat provinsi/kota/kabupaten. Hal ini sangat tergantung kepada political will dan good will pemerintah. Semoga dengan lahirnya UU Guru dan Dosen ini terbitlah terang di langit Indonesia, setelah sekian tahun terpuruk dalam krisis, yang membuat kehidupan bangsa ini semakin susah.

Kata kunci: problem dunia pendidikan, guru, kualitas pendidikan, Undang-undang guru dan dosen, kinerja tenaga kependidikan, spirit baru, mengkritisi UU Guru dan Dosen, kualitas pendidikan nasional.




A. Pendahuluan

Kabar gembira bagi guru dan dosen, berhembus dari gedung DPR. Dari sana muncul secercah harapan positif bagi perbaikan kualitas pendidikan nasional yang terbersit dalam persetujuan DPR-RI terhadap RUU Guru dan Dosen pada hari Selasa, 6 Desember 2005. Hal ini merupakan bagian penting dalam sejarah pendidikan bangsa karena produk yuridis ini merupakan hak inisiatif anggota legislatif. Persetujuan DPR-RI terhadap RUU Guru dan Dosen ini sekaligus menjadi penangkal stigma negatif yang selama ini melekat dalam tubuh institusi yang merupakan perwakilan rakyat (Kusmin, 2005:1).
Kegembiraan ini juga harus tetap terinspirasi oleh kemauan dan tekad untuk meningkatkan kualitas pembangunan bangsa sebab bangsa yang “besar” berawal dari prestasi yang tinggi dalam bidang pendidikan. Walaupun ditemukan satu-dua siswa ataupun guru di Indonesia yang berprestasi internasional, tetapi jumlah tersebut belum dapat dikatakan mewakili seluruh eksistensi pendidikan nasional. Masih banyak ditemukan berbagai kegagalan yang dalam sistem pendidikan yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Faktor yang paling menonjol dianggap sebagai penyebab utama kelemahan sistem pendidikan nasional adalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru (Kusmin, 2005:1). Meski demikian, menurut penulis, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu faktor mentalitas dan etos kerja. Dalam konteks Indonesia, aspek mentalitas (lebih tepatnya moralitas) sangat berkaitan erat dengan etos kerja. Mentalitas yang rendah akan menghasilkan etos kerja yang tidak dapat dibanggakan. Tragisnya, mentalitas yang sedemikian itu bertebar hampir di setiap bagian wilayah pendidikan di republik ini. Jika demikian, bagaimana pula mengelola pendidikan agar lebih efektif? Hal ini merupakan persoalan krusial yang perlu dibahas untuk perbaikan kualitas bangsa.
Mentalitas untuk membangun bangsa ini masih belum memadai untuk mewujudkan pendidikan yang bermartabat. Masih terlalu banyak "onak" dan "duri" untuk mempersiapkan generasi penerus yang handal dalam proses pendidikannya. Mentalitas menjadi kendala besar yang semestinya mendapat atensi yang serius dari berbagai pihak, bukan hanya praktisi pendidikan, tetapi juga aparat penegak hukum. Etos kerja para penyelenggara yang terkait di dalam lembaga pendidikan adalah garansi dalam peningkatan kualitas pendidikan.
UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan berbagai perangkat derivasi yuridisnya lahir untuk peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan. Terlepas dari berbagai polemik muncul tentang eksistensi UU tersebut, yang perlu dipertegas adalah penegakan disiplin. Peningkatan kualitas berhubungan erat dengan disiplin. Peningkatan kesejahteraan yang setinggi apa pun tanpa adanya penegakan disiplin yang konsisten dan konsekuen, tidak akan akan berkontribusi positif bagi perbaikan kualitas pendidikan. Tegasnya, jika dilaksanakan perbaikan tingkat kesejahteraan yang tinggi bagi para tenaga kependidikan, maka penegakan disiplin yang ketat juga menjadi barometer yang harus selalu dipergunakan. Di sini letak "benang merah" antara kesejahteraan dengan perbaikan kualitas pendidikan nasional. Hal ini merupakan tantangan berat bagi semua pihak, terlebih bagi para guru untuk mampu mengubah perilaku dari etos kerja yang biasa-biasa menjadi etos kerja yang sangat luar biasa tingginya.

B. Problem Klasik Dunia Pendidikan
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia mendapat roh baru dalam pelaksanaannya sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka Visi pembangunan pendidikan nasional adalah “Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif dan Berakhlak Mulia”. Beberapa indikator yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam pembangunan pendidikan nasional: (1) Sistem pendidikan yang efektif, efisien; (2) Pendidikan Nasional yang merata dan bermutu; (3) Peran serta masyarakat dalam pendidikan (Naja, 2005:1).
Permasalahan klasik di dunia pendidikan Indonesia yang sampai saat ini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya yaitu:
1. Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan.
Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas di tingkat sekolah dasar.
2. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataanya tidak hanya dipengaruhi oleh keterbatasan lapangan kerja tetapi juga dipengaruhi oleh kesiapan lulusan pendidikan memasuki dunia kerja. Ada perbedaan yang besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.
3. Rendahnya mutu pendidikan.
Untuk indikator rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari tingkat prestasi siswa yang meliputi kemampuan membaca, pelajaran IPA dan Matematika. Studi The Third International Mathematic and Science Study Repeat TIMSS-R pada tahun 1999 menyebutkan bahwa diantara 38 negara prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika (Naja, 2005:1).

C. Guru dan Kualitas Pendidikan
Kita semua tentu pernah mendengar pepatah: “Guru Kencing berdiri, murid kecing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan. Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dan lain-lain. Secara umum pendidik merupakan faktor sangat menentukan tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi strategis pendidik untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dan lain-lain. Khusus guru, di Indonesia untuk tahun 2005 saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218.838 (menurut data direktorat tenaga kependidikan).
Tabel 1
Kekurangan Guru Tahun 2004-2005

TINGKAT 2004 2005 KEBUTUHAN
KEBUTUHAN PENSIUN KEBUTUHAN PENSIUN
TK 893 187 1,080 260 1,340
SD 63,144 20,399 83,543 23,918 107,461
SMP 57,537 4,707 62,244 6,270 68,514
SMU 26,120 1,498 27,618 1,685 29,303
SMK 9,972 1,073 11,045 1,175 12,220
TOTAL 157,666 27,864 185,530 33,308 218,838
Sumber : Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah kekurangan guru yang cukup besar. Dengan kondisi seperti itu, sulit rasanya untuk kita berharap akan terwujud kualitas pendidikan yang lebih baik. Selain itu, masalah distribusi guru juga tidak merata, baik distribusi guru di daerah maupun di sekolah. Dalam banyak kasus, ada SD yang hanya memiliki tiga hingga empat orang guru sehingga mereka harus mengajar secara paralel dan simultan. Kondisi ini semakin jauh dari harapan kita jika dikaitkan dengan prasyarat akademis, yang menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian latar belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Masih cukup banyak guru SMA/SMK yang belum berkualifikasi pendidikan sarjana (S1) seperti yang disyaratkan dalam UU Guru dan Dosen.
Tabel 2
Guru Menurut Ijasah Tertinggi Tahun 2002/2003
No Pendidikan Jumlah
Guru Ijazah Tertinggi i(dalam %)
1 TK 137.069 90.57 5.55 - 3.88 -
2 SLB 8.304 47.58 - 5.62 46.35 0.45
3 SD 1.234.927 49.33 40.14 2.17 8.30 0.05
4 SMP 466.748 11.23 21.33 25.10 42.03 0.31
5 SMA 230.114 1.10 1.89 23.92 72.75 0.33
6 SMK 147.559 3.54 1.79 30.18 64.16 0.33
7 PT 236.286 - - - 56.54 43.46
Sumber : Balitbang 2004
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi akademisnya cukup besar. Untuk tingkat SMA, yang memenuhi kualifikasi S1 sebesar 72,75% sedang sisanya yang mencapai angka 27% belum mencapai kualifikasi. Demikian pula untuk strata satu (S1) hampir sebagian besar dosennya hanya mempunyai kualifikasi sarjana, padahal kualifikasi tersebut seharusnya adalah master atau doktor. Selain masalah kualifikasi akademis, guru juga sangat jarang diikutsertakan dalam berbagai pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuannya. Padahal seorang guru, secara garis besar harus mempunyai kemampuan untuk: (1) membuat perencanaan proses belajar-mengajar; (2) menyampaikan materi/bahan ajar; (3) melaksanakan proses belajar-mengajar; (4) menggunakan media dan sumber pelajaran; (5) mengevaluasi proses dan hasil belajar; (6) memberikan program penyuluhan dan bimbingan dan lain-lain.

D. UU Guru dan Dosen
Sehubungan dengan pembahasan UU Guru dan Dosen, pertanyaan paling sering muncul adalah: “ Untuk siapa UU Guru dan Dosen tersebut ?”. Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh kekuatiran bahwa UU tersebut tidak dapat memayungi seluruh guru. Dengan kata lain, dikuatirkan adanya proses diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta. Kekuatiran ini cukup beralasan karena posisi guru swasta selama ini seolah-olah tidak dipayungi oleh UU yang ada meskipun secara eksplisit sudah tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari sudut UU kepegawaian jelas tidak menkhususkan untuk guru, karena yang diatur adalah pegawai pemerintah (PNS) sedangkan dari sudut UU Ketenagakerjaan juga akan sangat sulit karena penyelenggara pendidikan adalah yayasan. Guru tidak dapat dikatagorikan sebagai tenaga kerja atau buruh. Bisa dikatakan sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, guru-guru tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Yang memang mengatur segala sesuatu secara khusus yang menyangkut guru, seperti halnya dengan UU Tenaga Kerja dan UU Kepegawaian (Naja, 2005: 3).
UU Guru dan Dosen mendapatkan sambutan yang hangat, terutama dari kalangan pendidik. UU ini dianggap bisa menjadi payung hukum unuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda antara guru negeri dan swasta. Meskipun di beberapa bagian masih sangat hangat diperbincangkan dan menjadi perdebatan yang sangat seru. UU Guru dan Dosen secara gamblang dan jelas mengatur secara detail aspek-aspek yang selama ini belum diatur secara rinci, misalnya tentang kedudukan, fungsi dan tujuan dari guru, hak dan kewajiban guru, kompetensi dan lain-lain.
Bagian yang perlu mendapat sambutan positif dari masyarakat terhadap UU Guru dan Dosen adalah hal-hal yang menyangkut: (1) Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi; (2) Hak dan kewajiban; (3) Pembinaan dan pengembangan; (4) Penghargaan; (5) Perlindungan; (6) Organisasi profesi dan kode etik (Naja, 2005: 4). Enam indikator tersebut sebelum adanya UU Guru dan Dosen ini belum diatur secara rinci, sehingga sangat sulit untuk mengharapkan profesionalitas guru-guru di Indonesia. Meski demikian, ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah:
1. Standardisasi
Standarisasi terkait dengan dua hal yaitu: standarisasi penyelenggaraan pendidikan dan standarisasi kompetensi guru. Secara lebih spesifik kedua standarisasi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a) Standardisasi penyelenggaraan pendidikan
Sampai saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart mutu pendidikan yang diharapkan. Cukup banyak penyelenggara pendidikan yang terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan, sehingga sarana dan prasarana pendidikannya jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik dan lain-lain. Penyelenggara pendidikan seperti itu cukup besar jumlahnya di Indonesia. Eksistensi UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu negeri maupun swasta.
b) Standardisasi kompetensi guru
Standarisasi kompetensi guru tercantum dalam pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik yang berbunyi sebagai berikut:”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Banyak pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK yang ditunjuk oleh pemerintah) nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan. Masalah baru yang potensial muncul adalah terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa. Padahal semangat dasar dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik itu sendiri, serta berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Program sertifikasi diharapkan dapat menjadi sarana untuk lebih menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
2. Kesejahteraan atau Tunjangan
Bentuk penghargaan pemerintah dan masyarakat kepada guru dirinci menjadi 11 item Hak Guru yang tercantum pada pasal 14 UU Guru dan Dosen. Indikator penghasilan guru PNS sudah diatur Pasal 15 ayat 1. Guru berhak untuk mendapatkan: (1) Tunjangan profesi; (2) Tunjangan Fungsional; (3) Tunjangan Khusus. Tiga jenis tunjangan tersebut diatur dalam pasal 16, 17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan profesi diberikan kepada guru baik guru PNS maupun guru swasta yang telah memiliki sertifikat pendidik. Selain tunjangan tersebut, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang tercantum dalam pasal 19 UU Guru dan Dosen. Maslahat Tambahan tersebut meliputi: (1) Tunjangan pendidikan; (2) Asuransi pendidikan; (3) Beasiswa; (4) Penghargaan bagi guru; (4) Kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan; (5) Pelayangan kesehatan; (6) Bentuk kesejahteraan lain.

3. Organisasi profesi dan dewan kehormatan
Kehadiran UU Guru dan Dosen ini diharapkan segera disusul oleh organisasi profesi yang mewadahi guru dan menjalankan fungsinya sebagai organisasi profesi yang independen serta benar-benar memperjuangkan nasib guru. Demikian pula fungsi dewan kehormatan yang menjadi bagian dari organisasi profesi yang independen itu diharapkan menjadi pengawas pelaksanaan kode etik guru.

4. Perlindungan
Setiap guru berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Perlindungan tersebut termanifestasi dalam wujud: (1) Perlindungan hukum yang mencakup perlindungan atas tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil; (2) Perlindungan profesi yang mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pelecehan terhadap profesi serta pembatasan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas; (3) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja atau resiko lain.

E. Kinerja Tenaga Kependidikan
Salah satu indikator keberhasilan bidang pendidikan adalah kemampuan dalam mengukur kinerja tenaga kependidikan yang menjadi pioner terdepan yang mengusung aspek moralitas bangsa. Tenaga kependidikan menjadi garansi baik-buruknya moralitas anak bangsa ini ke depan. Kinerja yang positif merupakan implikasi atas kompensasi kesejahteraan yang diberikan. Dengan demikian, kinerja yang lebih meningkat tersebut harus selalu ditunjukkan oleh mereka yang mendapatkan peningkatan kesejahteraan tersebut. Hal ini menjadi parameter layak tidaknya seseorang mendapatkan peningkatan kesejahteraan.
Pada sisi lain, kinerja juga dipengaruhi faktor kesehatan dan usia. Dengan kondisi fisik dan mental yang sehat akan lebih mudah untuk menunjukkan kinerja yang baik. Demikian juga dengan faktor usia. Lazimnya, usia produktif akan menunjukkan kinerja yang positif sehingga adalah wajar jika usia produktif juga menjadi perhatian dari berbagai pihak. Dalam kaitan dengan hal di atas, UU Guru dan Dosen menyatakan bahwa usia pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) guru 60 tahun dan usia dosen lebih dari itu. Tentang batasan usia tersebut, jika guru dan dosen masih sanggup mengabdikan dirinya silahkan berbuat yang terbaik untuk kemajuan pendidikan. Mereka bisa menjadi konsultan pendidikan. Bagi mereka yang berkualitas pintu swasta juga pasti akan membuka diri selebar mungkin.

F. Spirit Baru
Kehadiran UU Guru dan Dosen hendaknya menjadi spirit baru bagi pencerahan kehidupan pendidikan nasional sebab sudah banyak pemikiran yang menegaskan pentingnya kedudukan guru/dosen dalam perbaikan manajemen pendidikan. Semoga dengan terangkatnya harkat dan martabat guru/dosen baik secara moral dan material, profesi guru menjadi incaran dan dambaan para generasi muda. Dengan demikian, para siswa yang cerdas sebagian besar akan tertarik untuk terjun menggeluti profesi guru/dosen. Selama ini profesi pendidik tidak bisa dikatakan sebagai profesi yang menjanjikan sehingga para siswa yang cerdas sebagian besar tidak tertarik untuk menjadi tenaga pendidik.
Perbaikan kualitas pendidikan bangsa hanya akan dapat dilaksanakan dengan perbaikan kualitas guru/dosen. Ini merupakan aksioma normatif yang dapat dipergunakan untuk membangun konsep bangsa yang handal. Sejalan dengan itu, iktikad baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para guru/dosen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perbaikan kualitas bangsa. Semoga dengan lahirnya UU Guru dan Dosen ini terbitlah terang di langit Indonesia, setelah sekian tahun terpuruk dalam krisis, bahkan dekadensi, yang membuat kehidupan bangsa ini semakin susah.

G. Mengkritisi UU Guru dan Dosen
Keberadaan UU Guru dan Dosen tidak akan membawa perubahan yang berarti bagi dunia pendidikan, bila pemerintah daerah tidak mampu membaca serta memaknai keinginan UU tersebut. Pemerintah daerah harus mempunyai komitmen yang sama dengan pemerintah pusat, sehingga tercapai kebijakan yang sinergis antara pusat dan daerah. Pengesahan UU Guru dan Dosen berimplikasi terhadap anggaran, pengembangan kompetensi dan kualifikasi guru, persiapan lembaga LPTK, serta kebijakan di tingkat provinsi/kota/kabupaten. Pemda harus memiliki kecukupan dana mewujudkan UU Guru dan Dosen tersebut. Hal ini sangat tergantung kepada political will dan good will pemerintah.
Implikasi yang dirasakan langsung oleh pengelola pendidikan dari disahkannya UU Guru dan Dosen adalah munculnya gugatan guru terhadap lembaga pendidikan, yayasan, pimpinan sekolah, atau pimpinan perguruan tinggi. Secara kasat mata, dengan disahkannya UU tersebut, para guru beranggapan gajinya akan naik. Padahal tidak demikian, karena PP untuk itu saja belum ada. Di lain pihak, kalangan guru swasta menilai bahwa UU tersebut masih sangat sangat diskriminatif, dan kurang memperhatikan nasib guru non-PNS atau swasta. Dalam UU itu sebutkan, gaji guru PNS akan dinaikkan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Sedangkan untuk guru non-PNS, akan diberi disubsidi oleh pemerintah daerah setempat. Hal ini sangat tergantung pada komitmen pemerintah daerah setempat.
Akta IV yang menjadi dasar kompetensi guru saat ini menjadi kehilangan maknanya. Kalau Akta IV ini diputihkan, dan guru harus mengikuti sistem kompetensi yang digariskan UU tersebut, maka hal itu bisa menjadi musibah bagi para guru. Untuk mendapatkan kembali persyaratan kualifikasinya, guru harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Dalam konteks itu, kalau guru harus mengikuti kewajiban persyaratan seperti itu, butuh waktu yang cukup lama agar para guru bisa sejahtera.

E. Penutup
UU Guru dan Dosen mungkin masih harus diperdebatkan dalam rangka memperbaikinya di masa yang akan datang. Apalagi ada beberapa hal memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat tergantung pada anggaran pemerintah. Ketika anggaran pendidikan belum mencapai 20% dari APBN maka pemberian tunjangan kepada guru sesuai UU Guru dan Dosen akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian pula dengan program sertifikasi, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Meski demikian kita dapat menggantungkan harapan besar pada dua undang-undang yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Guru dan Dosen untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional secara simultan dan komprehensif.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Arief. 2004. Quo Vadis, Pendidikan IPS di Indonesia ? Homepage Pendidikan Network. Download internet, 5 Juni 2006.

Gunawan, Ki. 2002. Mengkritisi RUU Sisdiknas. Homepage Pendidikan Network. Download internet, 6 Juni 2005.

Hermawan, Iwan. 2005. UU Guru dan Dosen Butuh Komitmen Daerah. Homepage Pendidikan Network. Download internet, 7 Juni 2005.

Irawan, Ade. 2005. Quo Vadis Pendidikan Nasional. Koran Tempo. 25 November 2005.

Kusmin. 2005. Perbaikan Kualitas Guru/Dosen. Waspada Online.

Naja, A. Hakam. 2005. UU Guru dan Dosen: Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan. Jakarta: IKAYAPI.

Riyadi, Ahmad Ali. 2006. Politik Pendidikan, Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

UU Guru dan Dosen.

www.depdiknas.go.id

www.kompas.com

www.penulislepas.com

www.tempointeraktif.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)

Kalimat Efektif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008