DASAR-DASAR TEORI KEBUDAYAAN MARX & ENGELS

PSIRB 301, Marxisme: Religi, Politik & Ideologi. Dosen: George J. Aditjondro
Handout 5:



1. DASAR FILOSOFIS:
Filsafat Marx tidak dapat dikatakan “murni” idealis maupun “murni” materialis, sebab sampai akhir hayatnya, Marx digerakkan oleh ide-ide, yaitu semacam humanisme, yang bersumber dari filsafat, yang dia usahakan untuk wujudkan melalui dan bersama gerakan buruh di Inggris dan Jerman waktu itu. Memang, seperti kata Marx: “Ideas can never lead beyond an old world order but only beyond the ideas of the old world order. Ideas cannot carry out anything at all. In order to carry out ideas men are needed who can exert practical force” [ide-ide tidak dapat membawa masyarakat keluar dari tatanan dunia yang lama, tapi hanya keluar dari ide-ide dunia lama itu. Ide-ide tidak dapat berbuat apapun. Supaya ide-ide dapat terwujud, harus ada orang-orang yang melaksanakan ide-ide itu dengan usaha nyata mereka] (lihat Price 1986: 21). Tapi mengapa Marx, yang berasal dari kelas menengah, dengan latar belakang borjuisnya, memikirkan nasib kaum proletar dengan begitu gigih? Mengapa bukan orang lain? Mengapa Marx tidak memilih jalan hidup yang lebih gampang? Sang filsuf itu juga mengatakan bahwa “it is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social being that determines their consciousness” [bukan kesadaran orang yang menentukan keberadaan [sosialnya], tapi sebaliknya, keberadaan sosialnya yang menentukan keberadaannya] (Price 1986: 9).

Selanjutnya, Marx percaya bahwa manusia mendambakan hubungan yang setara, yang timbal balik, dan ini yang penting, yang tidak dapat dibeli dengan uang, misalnya cinta. Seperti kata Marx dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi dan Filsafat yang ditulisnya tahun 1944:
“Assume man to be man and his relationship to the world to be a human one: then you can exchange love only for love, trust for trust, etc. If you want to enjoy art, you must be an artistically-cultivated person; if you want to exercise influence over other people, you must be a person with a stimulating and encouraging effect on other people. Every one of your relations to man and to nature must be a specific expression, corresponding to the object of your will, of your real individual life. If you love without evoking love in return – that is, if your loving as loving does not produce reciprocal love; if through a living expression of yourself as a loving person you do not make yourself a loved person, then your love is impotent – a misfortune” (1961: 141).

2. PENGERTIAN KEBUDAYAAN MENURUT MARX & ENGELS:
Bagaimana konsep Marx dan Engels tentang kebudayaan? Seperti yang dijelaskan oleh Raymond Williams, Marx, seperti juga para filsuf lain di abad ke18 dan ke19, mengaitkan konsep “kebudayaan” dengan konsep “peradaban” (civilization ), sesuai dengan semangat Pencerahan (Enlightment ) bahwa perkembangan dan kemajuan sejarah mengantarkan manusia Eropa ke suatu “kondisi penghalusan dan tertib yang diperoleh” (achieved condition of refinement and order ) (lihat Price 1986: 55). Marx sendiri misalnya, dalam Manuskrip-manuskrip Ekonomi dan Filsafat tahun 1944 menulis tentang dampak negatif dari hak milik pribadi (private property ) sebagai berikut:
“How little this annulment of private property is really an appropriation is in fact proved by the abstract negation of the entire world of culture and civilization, the regression to the unnatural simplicity of the poor and crude man who has few needs and who has not only failed to go beyond private property, but has yet even reached it.” (dalam Price 1986: 55).

Sahabat, kolaborator dan juga sponsornya, Engels, setahun kemudian berbicara tentang kaum proletar dalam bukunya, The Condition of the Working Class in England sebagai “ras yang sama sekali berbeda dari kaum borjuis Inggris” (a race wholly apart from the English bourgeoisie), yang “berbicara dengan menggunakan logat lain, punya pikiran dan gagasan lain, kebiasaan dan prinsip-prinsip moral lain, agama yang berbeda dan politik yang berbeda ..” (speak other dialects, have other thoughts and ideals, other customs and moral principles, a different religion and other politics) (dalam Price 1986: 55). Jadi secara implisit, Engels di sini membedakan kebudayaan kaum borjuis dari kebudayaan kaum proletar. Atau, menggunakan bahasa sekarang, Engels berbicara tentang “subkultur” borjuis dan “subkultur” proletar.

Karena bertolak dari analisis kelas dan konflik kelas, yang menekankan pemerasan proletar oleh borjuis, Marx juga menyoroti dialektika antara kedua subkultur itu. Dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi dan Filsafat tahun 1844, Marx menggambarkan bagaimana kebudayaan kaum proletar yang tidak cuma berbeda, tapi juga dianggapnya lebih rendah dari kebudayaan kaum borjuis, seringkali justru memperkaya kaum borjuis. Dua bidang yang disorotinya dalam naskah-naskah tahun 1844 itu, yakni perumahan dan alkoholisme kaum proletar. Perumahan lantai kolong (cellar dwellings) yang ditempat kaum miskin di London menghasilkan uang kontrakan yang jauh lebih besar dari pada istana-istana di ibukota kerajaan Inggris itu. Itu merupakan sumber kekayaan yang luarbiasa bagi para pemilik rumah (landlord). Demikian pula alkoholisme kaum proletar, yang merupakan sumber kemakmuran bagi para pemilik toko-toko gin Inggris. Karena itu satu-satunya hiburan kaum proletar di hari-hari Minggu, polisi Inggris bersikap cukup toleran terhadap para peminum itu. Makanya Marx menyimpulkan, bahwa di balik dikotomi budaya borjuis yang dianggap lebih terpoles (refined) dibandingkan budaya proletar yang kasar (crude), peradaban (civilization) kaum borjuis itu ditopang oleh barbarisme ‘kebutuhan’ kaum proletar untuk memperbodoh diri mereka sendiri (self-stupefaction). Juga ia mengingatkan pembacanya, bahwa kebutuhan kaum buruh yang ‘kasar’ itu menghasilkan lebih banyak keuntungan bagi masyarakat ketimbang kebutuhan kaum borjuis yang ‘halus’ (lihat Marx 1961: 122).

Bagaimana kebudayaan yang ideal? Marx, seperti juga Paulo Freire di kemudian hari, menganggap bahwa kebudayaan yang ideal tercapai apabila alam sekitar (nature) dan kelima indra manusia sudah mengalami sosialisasi, dalam arti, ‘diolah’ untuk kepentingan sesama manusia. Dalam bahasa Marx, sudah mengalami “obyektifikasi”, kosokbali dari “alienasi”, dan ini terjadi apabila manusia sudah mengalami emansipasi (pembebasan) dari cengkeraman hak milik pribadi. Untuk jelasnya, saya akan kutip secara lengkap bagian itu dari Manuskrip-Manuskrip Ekonomi dan Filsafat Marx tahun 1844:
“The transcendence of private property is therefore the complete emancipation of all human senses and attributes; but it is this emancipation precisely because these senses and attributes have become, subjectively and objectively, human. The eye has become a human eye, just as its object has become a social, human object – an object emanating from man for man. The senses have become directly in their practice theoreticians. They relate themselves to the thing for the sake the thing, but the thing itself is an objective human relation to itself and to man, and vice versa. Need or enjoyment have consequently lost their egotistical nature, and nature has lost is mere utility by use becoming human use.
In the same way, the senses and enjoyments of other men have become my own appropriation, Besides these direct organs, therefore, social organs develop in the form of society; thus, for instance, activity in direct association with others, etc., has become an organ for expressing my own life, and a mode of appropriating human life.
It is obvious that the human eye gratifies itself in a way different from the crude, non-human eye; the human ear different from the crude ear, etc.
To recapitulate; man is not lost in his object only when the object becomes for him a human object or objective man. This is possible only when the object becomes for him a social object, he himself a social being, just as society becomes a being for him in this object.
On the one hand, therefore, it is only when the objective world becomes everywhere for man in society the world of man’s essential powers – human reality, and for that reason the reality of his own essential powers – that all objects become for him the objectification of himself, become objects which confirm and realise his individuality, become his objects: that is, man himself becomes the object. The manner in which they become his depends on the nature of the objects and to the nature of the essential power corresponding to it; for it is precisely the determinateness of this relationship which shapes the particular, real mode of affirmation. To the eye an object comes to be other than it is to the ear. The peculiarity of each essential power is precisely its peculiar essence, and therefore also the peculiar mode of its objectification, of its objectively actual living being. Thus man is affirmed in the objective world not only in the act of thinking, but with all his senses.
On the other hand, looking at this in its subjective aspect: just as music alone awakens in man the sense of music, and just as the most beautiful music has no sense for the unmusical ear – is no object for its, because my object can only be the confirmation of one of my essential powers and can therefore only be so for me as my essential power is present for itself as a subjective capacity, because the sense of an object for me goes only so far as my senses go (has only sense for a sense corresponding to that object) – for this reasons the senses of the social man are other senses than those of the non-social man. Only through the objectively unfolded richness of man’s essential being is the richness of subjective human sensibility (a musical ear, an eye for beauty of form – in short, senses capable of human gratifications, senses confirming themselves as essential powers of man) either cultivated or brought into being. For not only the five senses but also the so-called mental senses – the practical senses (will, love, etc.) – in word, human sense – the humanness of the senses – comes to be by virtue of humanised nature. The forming of the five senses is the labour of the entire history of the world down to the present.
The sense caught up in crude practical need has only a restricted sense. For the starving man, it is not the human form of food that exists, but only its abstract being as food; it could just as well be there in its crudes form, and it would be impossible to say wherein this feeding activity differs from that of animals. The care-burdened man in need has no sense for the finest play; the dealer in minerals sees only the mercantile value but not the beauty and the unique nature of the mineral: he has no mineralogical sense. Thus, the objectificatjon of the human essence both in its theoretical and practical aspects is require to make man’s sense human, as well as to create the human sense corresponding to the entire wealth of human and natural substance.
Just as resulting from the movement of private property, of its wealth as well as its poverty – or of its material and spiritual wealth and poverty – the budding society finds to hand all the material of this development: so established society produces man in this entire richness of his being – produces the rich man profoundly endowed with all the senses as its enduring reality.” (Marx 1961: 107-9).

Ini semua dipertegas dalam kesimpulannya tentang dialetiktika antara alam sekitar (nature) dan sejarah. “The nature which comes to be in human history – the genesis of human society – is man’s real nature; hence nature as it comes to be through industry, even though in an estranged form, is true anthropological nature” [Alam sekitar yang ‘menjadi’ dalam sejarah manusia – kejadian masyarakat manusia – adalah sejatinya alam sekitar manusia; makanya alam sekitar yang ikut dibentuk oleh kegiatan manusia, walaupun dalam bentuk yang mengalami keterasingan, adalah sejatinya alam sekitar buatan manusia]. Selanjutnya, tentang sejarah Marx menyimpulkan, bahwa: “All history is the preparation for “man” to become the object of sensuous consciousness, and for the needs of “man as man” to become [natural, sensuous] needs. History itself is a real part of natural history – of nature’s coming to man” [Seluruh sejarah menyiapkan manusia menjadi insan yang punya kesadaran penuh akan apa yang dapat dirasakannya, dan untuk menyadari apa yang dibutuhkan oleh dirinya dan sesama manusia. Sejarah sendiri adalah bagian yang nyata dari sejarah alam sekitar, yakni proses pertemuan alam sekitar dengan manusia] (lihat Marx 1961: 111).

3. POKOK-POKOK TEORI KEBUDAYAAN MARX & ENGELS:
Jadi dari semua keterangan itu, serta dari literatur Marxis yang lain dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan menurut Marx dan Engels, meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Kebudayaan meliputi usaha-usaha ke arah kemajuan dan peradaban.
b. Kebudayaan meliputi beberapa subkultur, khususnya subkultur borjuis dan proletar, atau dengan kata lain, kelas-kelas dapat dibedakan dari subkulturnya, yang pada gilirannya meliputi cara makan, cara berpakaian, cara berbicara, kebiasaan-kebiasaan, prinsip-prinsip moral, agama yang dianut, politik yang diikuti, seni yang disukai.
c. Subkultur borjuis didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang sudah diperhalus, sedangkan subkultur proletar didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ‘kasar’, seperti perumahan yang sangat tidak layak, serta alkoholisme yang semakin memperbodoh mereka sendiri.
d. Kebutuhan kaum proletar yang ‘kasar’ itu, menghasilkan keuntungan yang luarbiasa bagi kaum borjuis, dan sumbangannya lebih besar buat seluruh masyarakat ketimbang kebutuhan kaum borjuis.
e. Karena ide yang dominan dalam suatu masyarakat adalah ide kelas yang dominan, maka kebudayaan kelas yang dominan itu biasa dianggap sebagai kebudayaan yang dominan pula.
f. Kepekaan untuk dapat mengapresiasi kesenian tertentu, memerlukan latihan atau pembiasaan.
g. Panca-indera manusia dapat dilatih untuk dapat menikmati keindahan karya seni tertentu; latihan atau pembiasaan itu merupakan peristiwa sosial, bukan peristiwa individual; peristiwa sosial itu adalah bagian dari usaha menjadi manusia insan sosial; dengan demikian, orang yang punya apresiasi seni yang tinggi, karena panca indera dan perasaannya sudah terlatih, juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
h. Pembudayaan alam sekitar serta humanisasi kaum miskin dapat terwujud secara maksimal, apabila institusi hak milik pribadi dihapus. Dengan demikian, estetika karya-karya seni juga dapat dinikmati oleh mereka yang saat ini untuk memenuhi kebutuhan fisik minimalnya masih sangat sulit.
i. Kebudayaan kapitalis ditandai dengan pemberhalaan atau pemujaan komoditi buatan pabrik, di mana kaum kapitalis terus diperkaya dengan merampas nilai lebih yang semestinya diterima oleh buruh.

4. KARYA SENI SEBAGAI KODIFIKASI KEBUDAYAAN DOMINAN:
Didasarkan pada epistomologi Marxis, ahli pendidikan radikal Brazil, Paulo Freire, mengajukan konsep “kodifikasi” sebagai representasi dari realitas sosial yang nyata. Kodifikasi itu dapat berupa citra (image), simbol, ide, konsep atau kata. Proses pendidikan radikal yang diciptakannya bersama para petani buta huruf di Brazil Timur Laut yang miskin, berusaha membongkar apa yang tersurat dan tersirat di balik kodifikasi itu. Proses itu disebutnya, de-kodifikasi. Proses itu berangsur-angsur bergerak dari penggalian “struktur permukaan” (surface structure) kodifikasi itu, di mana apa yang dapat diamati dengan sekejap, ke “struktur dalam” (deep structure) kodifikasi itu (lihat Matthews 1980: 88-91). Misalnya, dalam dekodifikasi terhadap peristiwa bom Bali baru-baru ini, dengan menggunakan foto-foto atau film bom Bali sebagai kodifikasi, kita bergerak berangsur-angsur dari keterkejutan terhadap kehebatan bom, kesadisan si peledak bom, dan parahnya keadaan para korban, ke renungan yang lebih mendalam terhadap budaya kekerasan yang sudah melanda masyarakat kita, siapa yang melestarikan budaya kekerasan itu, dan apa manfaat yang dapat mereka petik dari kekerasan itu.

Setiap karya seni dapat dipandang sebagai suatu kodifikasi dari kebudayaan (dominan maupun tandingan) di negeri kita. Estetika karya seni itu, dapat dipandang sebagai bagian dari diskusi tentang “struktur permukaan” karya seni itu. Kemudian, rangkaian diskusi selanjutnya, untuk mencoba memahami apa yang ingin dikatakan oleh sang pencipta karya seni melalui karya seni itu, diskusi sudah mulai memasuki “struktur dalam” karya seni itu. Selanjutnya, diskusi tentang bagaimana karya seni itu diciptakan, secara perorangan atau kolektif, untuk dinikmati atau digunakan sendiri, atau untuk orang lain, apakah “orang lain” itu adalah konsumen yang tak bernama, ataukah orang kaya, orang berpangkat, atau orang yang berstatus sosial tinggi, bermanfaat untuk menggali derajat obyektifikasi versus alienasi karya itu. Juga dapat bermanfaat untuk menentukan, apakah kegiatan kesenian itu, bersifat mendukung status quo, yakni mendukung hirarki dan stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat, ataukah bagian dari usaha perlawanan dan pembebasan, dengan memberdayakan suatu kelas subaltern di negeri kita.

5. TUBUH SEBAGAI KODIFIKASI, TUBUH SEBAGAI ARENA PERGUMULAN BUDAYA DOMINAN DAN ALTERNATIF:
Dalam berbagai bidang kesenian, karya seni dapat dilepaskan dari tubuh sang seniman, dan dapat diamati, dikupas, dibahas, dicabik-cabik, dibakar, dan dipecahkan. Tapi ada juga bidang kesenian, yang tidak dapat dilepaskan dari tubuh sang seniman atau seniwati, yakni dalam seni pertunjukan, yang meliputi seni drama, membaca puisi, dan, tentu saja, seni tari. Di sini kita memasuki satu bidang kesenian, atau kebudayaan dalam arti yang lebih luas, di mana peranan tubuh sangat penting. Suatu bidang kesenian, di mana tubuh menjadi kodifikasi yang utama.

Apakah Marx pernah berbicara tentang hal itu? Tentu saja, sebab dengan berbicara tentang peranan panca-indera, Marx tidak saja berbicara tentang bagaimana manusia memahami dan meng-manusia-kan alam sekitar, tapi secara tidak langsung juga berbicara tentang dialektika antara alam dan tubuh manusia. Marx berbicara tentang alam yang sudah di-manusia-kan, dan manusia yang sudah di-alam-kan. Atau dalam bahasa Paulo Freire, Marx di situ berbicara tentang pembongkaran dikotomi antara alam (nature) dan kebudayaan (culture), digantikan oleh dialektika antara nature dan culture, yang berbeda secara diametral dengan pemahaman berbagai kelompok lingkungan yang lebih memusatkan perhatian mereka kepada “alam yang masih perawan”, alam yang seolah-olah masih belum disentuh oleh tangan-tangan manusia, alam yang penuh dengan fauna dan flora yang masih buas (wildlife).

Dialektika antara manusia dengan tubuhnya yang utuh dalam alam sekitar, bahkan dengan dunia nyata, yang penuh dengan pergumulan politik, menjadi fokus dari filsafat Merleau-Ponty, filsuf Perancis yang berangkat dari Marxisme tapi kemudian berpisah dengan Marxisme untuk lebih mengembangkan filsafat eksistensialisme, bersama Jean-Paul Sartre dan kekasihnya, Simone de Beauvoir. Berusaha betul-betul setia pada materialisme Marx, Merleau-Ponty menegaskan bahwa pengalaman asasi manusia dalam mengenal dunia sekitarnya adalah melalui tubuhnya, yang disebutnya “perceptive knowledge”, untuk membedakan dengan pengetahuan rasional yang diperoleh melalui pikiran. Ini terutama dijelaskannya secara panjang lebar dalam bukunya, Phenomenology of Perception, yang ditulisnya tahun 1945, ketika ia mulai memangku jabatan sebagai gurubesar filsafat di Universitas Lyon, Perancis. Dalam perjalanan hidup manusia, pengetahuan lewat persepsi pancaindera itu kemudian diintegrasikan dengan pengetahuan rasional hasil olah pikiran. Atau dalam bahasa Merleau-Ponty, “’spoken cogito’ are grounded in and sustained by the ‘tacit cogito’ “ (lihat Kruks 1981: 11).

Diilhami oleh Nietzsche dan Merleau-Ponty serta studinya yang mendalam tentang sejarah penjara, kegilaan dan seksualitas, Foucault juga berkesimpulan bahwa, dalam konteks Eropa modern, “realitas sosial terkonstruksi dari suatu lapangan perselisihan di mana terjadi saling crossing atau fabrikasi antara pengetahuan, kekuasaan dan tubuh (individu). Dalam lapangan perselisihan ini muncul dminasi-dominasi. Tapi apa yang disebut dominasi tersebut tak lagi termanifestasi dalam bentuk hubungan-hubungan a prioriasi atau kepemilihan kekuatan sederhana macam antara: penguasa dan terkuasai, tuan dan budak yang dapat dengan mudah lokasinya diidentifikasi pada tempat khusus tertentu. Dominasi yang terjadi dalam lapangan perselisihan itu menurut Foucault mengemuka dalam relasi-relasi disposi, manuver-manuver, taktik-taktik yang mengakibatkan tubuh pada berbagai pluralitas jaringan lokasi terperangkap dalam hubungan-hubungan procedural yang cermat dan teliti (meticulous procedures) yang penuh pemaksaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban”…..Tubuh dipandang Foucault merupakan tempat di mana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro (most minute) mempertautkan dirinya dengan sirkulasi kekuasaan impersonal dalam skala besar” (lihat Suyono 2002: 196-202).

Pentingnya peran tubuh untuk menginternalisasi budaya dominan, juga ditekankan oleh Brian Fay, ilmuwan kritis dari AS, yang menyebutnya embodiment (1987: 146), dalam ilmu sosial kritis yang dikembangkannya. Gemblengan fisik tidak cuma dijalankan dalam pendidikan militer, tapi juga dalam pendidikan umum di AS, bahkan juga dalam berbagai budaya lain. Kata Fay: “To be American – or Balinese or Chinese – is to have a repertoire of bodily attitudes and responses, a co-ordinated reflex of hands, legs, bowels, spinal cord, arms, and fingers. One might say that becoming a member of a particular culture is in part becoming a certain sort of body “ (1987: 148). Ia menyebut cara belajar yang begini, somatic learning, dan mengecam para peneliti pendidikan yang hanya memusatkan perhatian mereka pada berbagai ketrampilan dan pengetahuan intelektual dan psikologis yang diperoleh anak didik dari para pendidik dan dari sesama anak didik. Katanya, “close attention to the physicality of schools reveals that the learning that goes on in them involves the physical bodies of students and teachers as much as their minds. Indeed, one might even go so far as to say that in school the education of bodies is every bit as important as the eduction of minds” (1987: 147).

Jadi ringkasnya, tubuh juga merupakan suatu (arena) kodifikasi, yang mengundang dekodifikasi untuk memahami pergumulan antara budaya dominan dan budaya-budaya alternatif. Ini jelas berlaku dalam seni tari, misalnya dalam seni tari klasik Jawa, di mana berbagai pantangan yang menyangkut tatapan mata serta tingginya gerak lengan serta lebarnya sudut selangkangan dalam melangkah atau menggerakkan kaki punya fungsi melestarikan hirarki sosial antara bangsawan dan orang kebanyakan, serta hirarki gender antara laki-laki dan perempuan. Tapi prinsip tentang tubuh sebagai kodifikasi, juga berlaku bagi hal-hal yang sehari-hari, seperti tata rambut, busana, body art, volume suara dalam berbicara dengan orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya, cara menunjuk, maupun cara melecehkan lawan bicara. Kaos-kaos anak muda sekarang yang bergambar Che Guevara, pejuang radikal berdarah Spanyol dari Argentina, dan bukan Tan Malaka yang berkulit coklat atau Frantz Fanon yang berkulit hitam, bukan hanya menunjukkan pengetahuan umum tentang tokoh-tokoh perjuangan berhaluan kiri, tapi, barangkali, rasialisme implisit di benak pemakai kaos-kaos itu. Semua hal itu dapat merupakan bahan mentah untuk suatu menyusun suatu strategi penciptaan budaya alternatif, yang lebih demokratis, yang lebih sosialistis, dan yang lebih gender- dan racially friendly (lihat skema di halaman berikut).

6. KARYA SENI SEBAGAI KOMODITI & PENDONGKRAK STATUS SOSIAL:
Dalam moda produksi kapitalis, karya seni lebih sering menjadi komoditi yang diperjualbelikan, mengikuti fluktuasi permintaan di pasar. Lukisan yang dari pelukisnya “hanya” berharga beberapa ratus rupiah, di bursa kolektor ada yang dapat memetik harga sampai satu milyar rupiah. Makanya beberapa perusahaan balai lelang internasional, seperti Sotheby dan Christie, punya perwakilan di Indonesia, berkongsi dengan anak-anak milyarder yang dekat dengan keluarga Soeharto. Belum lagi balai-balai lelang domestik, seperti Larasati, Masterpiece, Balindo, dan Borobudur.

Jelas bahwa dalam bisnis karya seni begini, fungsi seniman/seniwati tidak lebih dari seorang buruh, sedangkan para pedagang lukisanlah yang mendapat keuntungan berlipat ganda dari hasil jualannya. Mengapa kolektor yang sungguh-sungguh kolektor mau membeli lukisan dengan harga setinggi itu? Jawabannya ada tiga: pertama, lukisan atau karya seni yang mahal-mahal itu merupakan tempat “mencuci uang” (money laundering ), seperti yang dilakukan oleh keluarga Marcos di Filipina dan keluarga Soeharto di Indonesia. Imelda Marcos, di masa-masa jaya suaminya, menyimpan lukisan-lukisan antik yang mahal-mahal itu di apartemennya yang mewah di Manhattan, New York. Jawaban kedua, kepemilikan karya-karya seni yang mahal-mahal, karya seniman/wati terkenal, pendongkrak status simbol pemiliknya, seolah-olah para pemilik karya seni tersebut merupakan “orang yang berselera tinggi”. Atau, pemilik karya seni itu merupakan orang kaya yang tetap merupakan “pencinta rakyat kecil”, apabila lukisan-lukisan itu bertema kehidupan rakyat kecil di kampung kota maupun di desa.

Jawaban ketiga, ada juga orang yang membeli lukisan mewah untuk dijual kembali, sehingga dijuluki “kolektor (dol)”, kolektor dan penjual lukisan, Bisnis ini biasanya digarap berbarengan dengan bisnis lain, mulai dari perdagangan tembakau, rokok kretek (Gudang Garam, Djarum, Sampoerna), dealer mobil dan motor, perusahaan suku cadang karoseri, rumah makan, pabrik s/d perbankan. Pembelian lukisan lewat berbagai jalur. Ada yang langsung dibeli dari pelukis di studionya, ada yang melalui art dealer, galeri, balai lelang di dalam dan di luar negeri, dan di antara kolektor sendiri. Jual beli lukisan ada yang dilakukan secara tertutup melalui sistem perkerabatan dan melalui jalur teman dan mitra kerja.

Di antara lingkaran tertutup pembeli dan penjual lukisan-lukisan mahal itu termasuk seorang bankir swasta top di Indonesia, yang lebih banyak berada di AS daripada di Indonesia. Juga ada seorang anggota keluarga pemilik salah satu pabrik rokok kretek top di Indonesia, yang punya hubungan bisnis yang erat dengan keluarga keraton Yogya. Yang terakhir ini berkongsi dengan keluarga keraton dalam pabrik rokok merek Keraton, serta ikut menanam modal dalam mal Ambarukmo Plaza yang sedang dibangun di bekas lokasi Hotel Ambarukmo. Anggota sindikat jual-beli lukisan mahal itu ada yang pernah membeli sebuah lukisan sampai seharga satu milyar rupiah. Hal itu tidak terlalu aneh, mengingat ada anggota sindikat itu yang setiap bulan memetik bunga deposito bank sampai senilai sembilan milyar rupiah. Teori Marx tentang pemujaan (fethisisme) komoditi betul-betul berlaku di sini.

Itu tadi tentang lukisan dan jalur pemasarannya. Sekarang soal gamelan Jawa, yang dianggap merupakan benda budaya Jawa yang tersohor di seluruh dunia. Konsultan-konsultan asing yang pernah bertugas di Indonesia di proyek-proyek Bank Dunia atau US-AID, tidak jarang membawa pulang gamelan Jawa ke rumah mereka di mancanegara. Atau, apabila sudah menikah dengan perempuan Indonesia, gamelan itu digelar di ruang tamu di rumah mewah mereka di kota-kota besar di Indonesia. Harap diingat bahwa seperangkat gamelan Jawa dapat bernilai sampai Rp 150 juta. Kalau sang konsultan itu seorang ethno-musicologist, gamelan itu masih dapat dianggap sebagai bagian dari bidang ilmunya. Tapi kalau ia konsultan bidang pengairan, pengairan pedesaan lagi, dan bukan pemain gamelan, dapat dibayangkan besarnya gaji seorang konsultan Bank Dunia atau US-AID, sehingga dapat membeli gamelan pendongkrak status sosialnya.

Sementara itu, bagaimana nasib seniman atau seniwati penghasil karya seni yang mahal-mahal tersebut? Kecuali satu dua orang pelukis, pematung atau penari kelas internasional, para seniman dan seniwati di Indonesia umumnya bukan orang kaya. Sementara para pedagang karya seni, khususnya lukisan, umumnya orang kaya. Dari situ dapat diduga bahwa para seniman dan seniwati umumnya mengalami alienasi yang cukup tinggi.

Yogyakarta, Senin, 24 Oktober 2005


Referensi:
Bottomore, T.B. & Maximilien Rubel (eds). (1973). Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. Hammondsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd.
Fay, Brian (1987). Critical Social Science: Liberation and its Limits. Ithaca: Cornell University Press.
Kamenka, Eugene (1986). “Marx, Communism and Anarchism,” dalam David Muschamp (ed). Political Thinkers. Melbourne: The Macmillan Company of Australia Pty. Ltd, hal. 194-212.
Kruks, Sonia (1981). The Political Philosophy of Merleau-Ponty. Sussex & New Jersey: The Harvester Press & Humanities Press.
Matthews, Michael R. (1980). The Marxist Theory of Schooling: A Study of Epistomology and Education. Sussex & New Jersey: Harvester Press & Humanities Press.
Melkonian, Markar (1996). Marxism: A Post-Cold War Primer. Boulder, CO: Westview Press.
Roderick, Rick (1986). Habermas and the Foundations of Critical Theory. London: Macmillan Publishers Ltd.
Price, R.F. (1986). Marx and Education in Late Capitalism. Totowa, NJ: Barnes & Noble Books.
Suyono, Seno Joko (2002). Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault Atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Lanskap Zaman & Pustaka Pelajar.
Tucker, Robert C. (1978). The Marx-Engels Reader. Second Edition. New York: W.W. Norton & Company.
Wilczynski, J. (1984). An Encyclopedic Dictionary of Marxism, Socialism and Communism. London: The Macmillan Press Ltd.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)

Kalimat Efektif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008