Cinta Universal By: Ary Janu
Malam tak seberapa larutnya, suara penghuni alam mulai tenggelam dalam gelapnya malam.
Paduan suara dan melodi binatang malam mulai redup. Bulan pun seakan enggan memberikan cahayanya, menerangi gelapnya malam. Angin malam mulai berhembus, seakan membawa pesan pada suasana malam yang sungguh tenang tak bersuara. Sebuah kamar kecil yang biasanya melantunkan pujian malam dengan alunan musik-musik klasik, malam ini tak terdengar lagi. Sungguh malam yang begitu asing dirasakan dalam tiap detakan jantung. Yang terlihat hanyalah cahaya redup lampu pijar dari kamar Jhon.
Di atas sebuah kursi plastiklah Jhon mulai merangkaikan kata menjadi sebuah kalimat tunggal yang tercetak tebal dengan menggunakan spidol snowman berwarna merah. Jhon menuliskan kalimat itu pada sebuah buraman biru muda dan dimasukan pada sebuah anflop putih tak bernoda. Perasaan bimbang menyelimutinya dari dinginnya malam itu. Diambilnya anflop itu, diamatinya, seiring dengan teguran ayam yang berkokok. Itu menandakan air laut naik dan waktu di weker tuanya sudah menunjukan pukul 00.00. Diamatinya anflop yang berisi sebuah kalimat itu perlahan sambil melangkahkan kakinya ke ranjang dan menghantarnya tidur.
Weker tua pun berdering, membangunkan Jhon dari tidur lelapnya. Waktu telah menunjukan pukul 04.30 pagi. Sebuah anflop yang menemani tidurnya masih digenggam erat kemudian diletakkannya di atas sebuah Alkitab. Dia pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang tidak jauh dari ranjangnya. Dikenakannya juba putih yang tergantung di belakang pintu kamarnya dan beranjak ke kapela untuk mengikuti misa pagi yang menjadi rutinitasnya.
Sepulangnya dari kapela, Jhon langsung kembali ke kamarnya yang berada sekitar 20 meter dari kapela itu. Dengan penuh semangat Jhon menyambut datangnya hari baru yang cerah pada pagi itu. Sambil bersiul dia melepaskan jubah dari tubuhnya dan menyalakan computer di meja belajarnya. Diputarkannya lagu boomerang yang berjudul bungaku.
Bungaku………
Kudengar panggilmu…
Bungku…….
Aku pun rindu…
Maafkan….
Kuharus pergi..
Mengejar semua mimpi yang berapi
Cobalah tuk hayati artimu….
Penggalan lagu itu diikutinya selama menyiram bunga-bunga di taman kecil depan kamarnya. Seiring dengan lagu itu juga, Handphone dalam kantong celananya pun bergetar menandakan ada satu pesan baru. Diletakkannya gayung penyiram bunga di atas sebuah batu tempat biasanya dia duduk di pagi dan sore hari sambil menikmati kopi panas. Raut wajahnya yang penuh dengan keceriaan memainkan ibu jarinya untuk membuka SMS itu. Sambil tersenyum dia membacakan isi SMS itu yang isinya, “Fraterku sayang...mat menyambut hari barumu… jangan lupa minum obatnya agar lekas sembuh..I LOVE U FULL….” Entah apa balasannya, tapi ekspresi wajahnya yang ceria perlahan padam dan terhanyut bersama angin pagi.
##########
Waktu bergulir begitu cepat dan tak terasa saat yang dinantikan Jhon pun tiba. Jawaban yang tersimpan indah dalam anflop belum dibukakannya. Pada sebuah batu Jhon duduk termangu. Sesaat kemudian, matanya berpaling ke sudut gerbang pastoran. Dengan menyipitkan mata, dia memandang dan ingin tahu siapa yang datang. Jantungnya berdetak begitu cepat bagaikan bunyi Drumband saat upacara bendera. Tamu yang dating pun semakin dekat dengan pandangannya dan ternyata yang dinantikannya selama empat tahun kini hadir dalam denyutan nadinya, melumpuhkan getaran dalam dadanya.
Dari kejauhan, senyuman khas yang tidak asing lagi bagi Jhon menyapanya. Jhon pun menjulurkan tangannya ke arah tamu itu. Dia adalah Tia, teman dekatnya sejak SMA. Bukan hanya itu, Tia juga adalah orang yang special dalam hidupnya. Kedua tangan yang saling menggenggam erat tanpa ada kata yang keluar dari mulut mereka.
“Silakan masuk Tia.”
“iy.. frater ma kasih.”
Suasana baru yang tak pernah hadir dalam kehidupan Jhon kini hadir di saat yang dinantikannya bertahun-tahun.
“Bagaimana rencananya setelah kuliah ini, Istirahat dulu atau langsung cari kerja?” Tanya Jhon, sambil melemparkan senyuman kea rah Tia.
“Rencananya langsung cari kerja Kak.”
“wah..hebat. aku kan terus mendukungmu”
“terima kasih”
Keduanya pun terdiam dan terhanyut dalam nikmatnya kopi hangat buatan Jhon. Belum ada sepatah kata cinta,layaknya sepasang kekasih yang keluar dari mulut mereka. Dalam keheningan itu, keraguan akan cintanya Jhon menyelimuti hati Tia. Tetapi pikiran itu dibantah Tia karena dia tahu siapa Jhon yang sebenarnya. Dia yakin bahwa cinta yang bersemi begitu lama tidak mungkin hilang begitu saja dan itu terbukti ketika setiap kali mereka saling kontak melelui telepon. Tia pun menerobos keheningan raitu.
“kak, nanti setelah TOP (Tahun Orientasi Pastoral) wisuda ya?”
“iy..sayang.”sambar Jhon memecahkan suasana.
Senyum lebar nan mempesona memberikan keharuman sampai ke sudut kamar itu. Raut wajah Tia yang tadinya dihantui kebimbangan dan terasa begitu formal berubah drastis menjadi romantis. Senyuman yang tak henti-hentinya mengiringi perbincangan mereka. Tawa dan candaria menggema sampai ke sudut-sudut kamar kecil itu. Nostalgia kembali hadir dalam kamar itu dan seakan memberikan kesempatan kepada keduanya untuk tersenyum lebar dan bahkan sampai terbahak-bahak. Sungguh indah dirasakan, apalagi melepas rasa kangen yang bertahun-tahun lamanya. Keduanya saling membagi cerita dan seiring dengan itu, cakrawala pun membatasi obrolan hangat itu dan malam kian mendekat menjemput cakrawala tuk kembali ke peraduannya. Suara penghuni alam malam menjemput datangnya malam dan memaksa Tia untuk pulang karena sudah waktunya tia harus pulang.
Waktu terus berputar, tidak terasa masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) sudah selesai. Itulah saat-saat yang menggetarkan hati Jhon. “Lanjut ke Diakon atau berhenti?” itulah tanda Tanya besar yang menggantung di pikiran Fr. Jhon. Namun, perasaan Jhon sungguh berbeda jauh dengan apa yang menghiasi pikiran Tia. Harapan Tia untuk menjadikan Jhon sebagai pasangan hidupnya sangat besar apalagi orang tua dari keduanya sudah mengetahui hubungan mereka. Tia sungguh yakin dengan perasaannya karena hubungan mereka telah berlangsung begitu lama. Ekspresi Jhon pun sungguh meyakinkan Tia dan keluarga dari keduanya. Hubungan mereka sangat disetujui oleh orang tua mereka.
Hari berganti hari, bulan pun bergulir begitu cepat. Tibalah waktunya Jhon untuk menentukan pilihannya. Waktu telah menunjukan pukul 17.00, seperti biasanya lagi-lagi Tia beranjak ke tempat Jhon. Keduanya begitu akrab. Yang ada hanyalah tawa dan canda. Di tengah keceriaan itu, Tia pun melemparkan sebuah pertanyaan kepada Jhon.
“Sayang, kita harus merencanakan pernikahan kita nanti.” Kata Tia. Dengan melemparkan senyuman kekhasannya, Jhon menjawab, “Itu gampang sayang… jangan buru-buru ya?” jawab Jhon meyakinkan. “Buru-buru bakal buruk..hehehehe..” Sambung Jhon.
“Tapi, aku ingin tahu yang sebenarnya Jo.” Jawab Tia.
“maksudnya?” Sambung Jhon.
“Kamu memilih untuk memakai baju pengantin atau Jubah? Hehehe… memilih aku kan?” Tanya Tia. “Ah…itu tidak perlu ditanyakan” Jawab Jhon. Keduanya pun tersenyum.
“Aku butuh jawaban yang pasti Jo.” Sambung Tia, bercanda.
“hehehe… jawabannya sudah tersimpan di sini” sambar Jhon sambil menunjukann mata hatinya.
“Esok Pagi, kamu datang lagi. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan” Sambung Jhon. Tia pun merespon dengan senyuman yang sungguh asing bagi Jhon. Jantung Tia berdetak begitu cepat, mengiringi detakan detik jam yang tertidur lemas di samping bantal Jhon. Waktu sudah menunjukan pukul 20.00, waktunya Tia untuk segera pulang. Malam itu adalah malam pertama yang dirasakan Tia dalam hidupnya. Sungguh terasa sepi dan sunyi. Seakan memberikan waktu bagi Tia untuk menenangkan hatinya. Perasaan kacau menghiasi hati dan pikiran Tia. Tidak terasa, ayam pun berkokok menyambut pagi yang indah. Tia beranjak ke kamar mandi, mempersiapkan diri dan beranjak ke tempat Jhon untuk menerima jawaban pasti dari Jhon. Jantungnya bergetar tak menentu karena penasaran dengan jawaban itu. di depan kamar Jhon, Tia mengetuk pintu beribu kali banyaknya. Namun, tidak ada jawaban yang menyapanya. Sejam lamanya Tia menunggu lalu Jhon membukakan Tia pintu. Setelah keduanya duduk,Jhon pun membuka pembicaraan.
“Hubungan kita sudah berlangsung sangat lama. Kisah cinta kita berjalan tanpa noda.yang ada hanyalah tawa dan canda. Hingga saat ini, aku masih mencintai kamu.” Kata Jhon. Tia pun tersenyum legah. Jhon membukakan sebuah anflop surat yang telah lama disimpannya.
“bukalah anflop itu” lanjut Jhon. Tia pun membukanya dan ternya di dalamnya bertuliskan “cinta universal”. Tia sangat bingung dan tidak mengerti maksud dari tulisan itu. Jhon mengetahui perasaan Tia.
“Tia, aku sangat mencintai kamu. Karena besarnya cintaku padamu maka aku memilih kamu sebagai sahabat yang terbaik. Aku lebih memilih panggilanku. Maafkan aku, terima kasih atas segala kebaikanmu. Aku tidak ingin kamu kecewa nanti. aku kangker otak dan hanya menunggu waktunya.” Jelas Jhon. Tidak terasa, air mata Tia mengalir begitu deras. Dia tidak menyangka jawaban itu yang akan diikeluarkan dari mulut Jhon. Tia sangat sedih.
Keesokan harinya, Tia bersama keluarganya mengikuti upacara Thabisan Diakon. Air mata Jhon belum berhenti dan merasa bahwa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Tetapi dia juga bangga melihat Jhon dithabiskan menjadi diakon walaupun hatinya sakit bagai tertusuk duri. Dia hanya mampu berpasrah dan menanti perjalanan hidup barunya. Misa penthabisan pun selesai, Tia langsung menyodorkan tangannya ke arah Jhon untuk mengucapkan selamat walau air mata tidak pernah berhenti mengalir. Senyuman pun kembali hadir dalam suasana kelam itu. sesaat kemudian, Jhon kelihatan pucat dan langsung jatuh pingsan. Semua orang kaget melihat apa yang terjadi. Jhon langsung di antar ke rumah sakit terdekat oleh keluarganya dan keluarga Tia pun mengikutinya karena mereka telah menganggap Jhon adalah bagian dari keluarga mereka.
Di rumah sakitlah Jhon berbaring. Wajahnya pucat dan lemah gemulai. Air mata Tia semakin deras menglir sampai ke dagunya. Dipegangnya tangan Jhon, namun tak ada kata yang terungkap. Dengan lemahnya Jhon memandang sekelilingnya lalu berkata, “Aku mencintai kalian semua, ini adalah jalanku. Aku memilih untuk mencintai semua orang agar kalian tidak kecewa. Maafkan aku...” sambil menghembuskan nafas terakhirnya..
Paduan suara dan melodi binatang malam mulai redup. Bulan pun seakan enggan memberikan cahayanya, menerangi gelapnya malam. Angin malam mulai berhembus, seakan membawa pesan pada suasana malam yang sungguh tenang tak bersuara. Sebuah kamar kecil yang biasanya melantunkan pujian malam dengan alunan musik-musik klasik, malam ini tak terdengar lagi. Sungguh malam yang begitu asing dirasakan dalam tiap detakan jantung. Yang terlihat hanyalah cahaya redup lampu pijar dari kamar Jhon.
Di atas sebuah kursi plastiklah Jhon mulai merangkaikan kata menjadi sebuah kalimat tunggal yang tercetak tebal dengan menggunakan spidol snowman berwarna merah. Jhon menuliskan kalimat itu pada sebuah buraman biru muda dan dimasukan pada sebuah anflop putih tak bernoda. Perasaan bimbang menyelimutinya dari dinginnya malam itu. Diambilnya anflop itu, diamatinya, seiring dengan teguran ayam yang berkokok. Itu menandakan air laut naik dan waktu di weker tuanya sudah menunjukan pukul 00.00. Diamatinya anflop yang berisi sebuah kalimat itu perlahan sambil melangkahkan kakinya ke ranjang dan menghantarnya tidur.
Weker tua pun berdering, membangunkan Jhon dari tidur lelapnya. Waktu telah menunjukan pukul 04.30 pagi. Sebuah anflop yang menemani tidurnya masih digenggam erat kemudian diletakkannya di atas sebuah Alkitab. Dia pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang tidak jauh dari ranjangnya. Dikenakannya juba putih yang tergantung di belakang pintu kamarnya dan beranjak ke kapela untuk mengikuti misa pagi yang menjadi rutinitasnya.
Sepulangnya dari kapela, Jhon langsung kembali ke kamarnya yang berada sekitar 20 meter dari kapela itu. Dengan penuh semangat Jhon menyambut datangnya hari baru yang cerah pada pagi itu. Sambil bersiul dia melepaskan jubah dari tubuhnya dan menyalakan computer di meja belajarnya. Diputarkannya lagu boomerang yang berjudul bungaku.
Bungaku………
Kudengar panggilmu…
Bungku…….
Aku pun rindu…
Maafkan….
Kuharus pergi..
Mengejar semua mimpi yang berapi
Cobalah tuk hayati artimu….
Penggalan lagu itu diikutinya selama menyiram bunga-bunga di taman kecil depan kamarnya. Seiring dengan lagu itu juga, Handphone dalam kantong celananya pun bergetar menandakan ada satu pesan baru. Diletakkannya gayung penyiram bunga di atas sebuah batu tempat biasanya dia duduk di pagi dan sore hari sambil menikmati kopi panas. Raut wajahnya yang penuh dengan keceriaan memainkan ibu jarinya untuk membuka SMS itu. Sambil tersenyum dia membacakan isi SMS itu yang isinya, “Fraterku sayang...mat menyambut hari barumu… jangan lupa minum obatnya agar lekas sembuh..I LOVE U FULL….” Entah apa balasannya, tapi ekspresi wajahnya yang ceria perlahan padam dan terhanyut bersama angin pagi.
##########
Waktu bergulir begitu cepat dan tak terasa saat yang dinantikan Jhon pun tiba. Jawaban yang tersimpan indah dalam anflop belum dibukakannya. Pada sebuah batu Jhon duduk termangu. Sesaat kemudian, matanya berpaling ke sudut gerbang pastoran. Dengan menyipitkan mata, dia memandang dan ingin tahu siapa yang datang. Jantungnya berdetak begitu cepat bagaikan bunyi Drumband saat upacara bendera. Tamu yang dating pun semakin dekat dengan pandangannya dan ternyata yang dinantikannya selama empat tahun kini hadir dalam denyutan nadinya, melumpuhkan getaran dalam dadanya.
Dari kejauhan, senyuman khas yang tidak asing lagi bagi Jhon menyapanya. Jhon pun menjulurkan tangannya ke arah tamu itu. Dia adalah Tia, teman dekatnya sejak SMA. Bukan hanya itu, Tia juga adalah orang yang special dalam hidupnya. Kedua tangan yang saling menggenggam erat tanpa ada kata yang keluar dari mulut mereka.
“Silakan masuk Tia.”
“iy.. frater ma kasih.”
Suasana baru yang tak pernah hadir dalam kehidupan Jhon kini hadir di saat yang dinantikannya bertahun-tahun.
“Bagaimana rencananya setelah kuliah ini, Istirahat dulu atau langsung cari kerja?” Tanya Jhon, sambil melemparkan senyuman kea rah Tia.
“Rencananya langsung cari kerja Kak.”
“wah..hebat. aku kan terus mendukungmu”
“terima kasih”
Keduanya pun terdiam dan terhanyut dalam nikmatnya kopi hangat buatan Jhon. Belum ada sepatah kata cinta,layaknya sepasang kekasih yang keluar dari mulut mereka. Dalam keheningan itu, keraguan akan cintanya Jhon menyelimuti hati Tia. Tetapi pikiran itu dibantah Tia karena dia tahu siapa Jhon yang sebenarnya. Dia yakin bahwa cinta yang bersemi begitu lama tidak mungkin hilang begitu saja dan itu terbukti ketika setiap kali mereka saling kontak melelui telepon. Tia pun menerobos keheningan raitu.
“kak, nanti setelah TOP (Tahun Orientasi Pastoral) wisuda ya?”
“iy..sayang.”sambar Jhon memecahkan suasana.
Senyum lebar nan mempesona memberikan keharuman sampai ke sudut kamar itu. Raut wajah Tia yang tadinya dihantui kebimbangan dan terasa begitu formal berubah drastis menjadi romantis. Senyuman yang tak henti-hentinya mengiringi perbincangan mereka. Tawa dan candaria menggema sampai ke sudut-sudut kamar kecil itu. Nostalgia kembali hadir dalam kamar itu dan seakan memberikan kesempatan kepada keduanya untuk tersenyum lebar dan bahkan sampai terbahak-bahak. Sungguh indah dirasakan, apalagi melepas rasa kangen yang bertahun-tahun lamanya. Keduanya saling membagi cerita dan seiring dengan itu, cakrawala pun membatasi obrolan hangat itu dan malam kian mendekat menjemput cakrawala tuk kembali ke peraduannya. Suara penghuni alam malam menjemput datangnya malam dan memaksa Tia untuk pulang karena sudah waktunya tia harus pulang.
Waktu terus berputar, tidak terasa masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) sudah selesai. Itulah saat-saat yang menggetarkan hati Jhon. “Lanjut ke Diakon atau berhenti?” itulah tanda Tanya besar yang menggantung di pikiran Fr. Jhon. Namun, perasaan Jhon sungguh berbeda jauh dengan apa yang menghiasi pikiran Tia. Harapan Tia untuk menjadikan Jhon sebagai pasangan hidupnya sangat besar apalagi orang tua dari keduanya sudah mengetahui hubungan mereka. Tia sungguh yakin dengan perasaannya karena hubungan mereka telah berlangsung begitu lama. Ekspresi Jhon pun sungguh meyakinkan Tia dan keluarga dari keduanya. Hubungan mereka sangat disetujui oleh orang tua mereka.
Hari berganti hari, bulan pun bergulir begitu cepat. Tibalah waktunya Jhon untuk menentukan pilihannya. Waktu telah menunjukan pukul 17.00, seperti biasanya lagi-lagi Tia beranjak ke tempat Jhon. Keduanya begitu akrab. Yang ada hanyalah tawa dan canda. Di tengah keceriaan itu, Tia pun melemparkan sebuah pertanyaan kepada Jhon.
“Sayang, kita harus merencanakan pernikahan kita nanti.” Kata Tia. Dengan melemparkan senyuman kekhasannya, Jhon menjawab, “Itu gampang sayang… jangan buru-buru ya?” jawab Jhon meyakinkan. “Buru-buru bakal buruk..hehehehe..” Sambung Jhon.
“Tapi, aku ingin tahu yang sebenarnya Jo.” Jawab Tia.
“maksudnya?” Sambung Jhon.
“Kamu memilih untuk memakai baju pengantin atau Jubah? Hehehe… memilih aku kan?” Tanya Tia. “Ah…itu tidak perlu ditanyakan” Jawab Jhon. Keduanya pun tersenyum.
“Aku butuh jawaban yang pasti Jo.” Sambung Tia, bercanda.
“hehehe… jawabannya sudah tersimpan di sini” sambar Jhon sambil menunjukann mata hatinya.
“Esok Pagi, kamu datang lagi. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan” Sambung Jhon. Tia pun merespon dengan senyuman yang sungguh asing bagi Jhon. Jantung Tia berdetak begitu cepat, mengiringi detakan detik jam yang tertidur lemas di samping bantal Jhon. Waktu sudah menunjukan pukul 20.00, waktunya Tia untuk segera pulang. Malam itu adalah malam pertama yang dirasakan Tia dalam hidupnya. Sungguh terasa sepi dan sunyi. Seakan memberikan waktu bagi Tia untuk menenangkan hatinya. Perasaan kacau menghiasi hati dan pikiran Tia. Tidak terasa, ayam pun berkokok menyambut pagi yang indah. Tia beranjak ke kamar mandi, mempersiapkan diri dan beranjak ke tempat Jhon untuk menerima jawaban pasti dari Jhon. Jantungnya bergetar tak menentu karena penasaran dengan jawaban itu. di depan kamar Jhon, Tia mengetuk pintu beribu kali banyaknya. Namun, tidak ada jawaban yang menyapanya. Sejam lamanya Tia menunggu lalu Jhon membukakan Tia pintu. Setelah keduanya duduk,Jhon pun membuka pembicaraan.
“Hubungan kita sudah berlangsung sangat lama. Kisah cinta kita berjalan tanpa noda.yang ada hanyalah tawa dan canda. Hingga saat ini, aku masih mencintai kamu.” Kata Jhon. Tia pun tersenyum legah. Jhon membukakan sebuah anflop surat yang telah lama disimpannya.
“bukalah anflop itu” lanjut Jhon. Tia pun membukanya dan ternya di dalamnya bertuliskan “cinta universal”. Tia sangat bingung dan tidak mengerti maksud dari tulisan itu. Jhon mengetahui perasaan Tia.
“Tia, aku sangat mencintai kamu. Karena besarnya cintaku padamu maka aku memilih kamu sebagai sahabat yang terbaik. Aku lebih memilih panggilanku. Maafkan aku, terima kasih atas segala kebaikanmu. Aku tidak ingin kamu kecewa nanti. aku kangker otak dan hanya menunggu waktunya.” Jelas Jhon. Tidak terasa, air mata Tia mengalir begitu deras. Dia tidak menyangka jawaban itu yang akan diikeluarkan dari mulut Jhon. Tia sangat sedih.
Keesokan harinya, Tia bersama keluarganya mengikuti upacara Thabisan Diakon. Air mata Jhon belum berhenti dan merasa bahwa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Tetapi dia juga bangga melihat Jhon dithabiskan menjadi diakon walaupun hatinya sakit bagai tertusuk duri. Dia hanya mampu berpasrah dan menanti perjalanan hidup barunya. Misa penthabisan pun selesai, Tia langsung menyodorkan tangannya ke arah Jhon untuk mengucapkan selamat walau air mata tidak pernah berhenti mengalir. Senyuman pun kembali hadir dalam suasana kelam itu. sesaat kemudian, Jhon kelihatan pucat dan langsung jatuh pingsan. Semua orang kaget melihat apa yang terjadi. Jhon langsung di antar ke rumah sakit terdekat oleh keluarganya dan keluarga Tia pun mengikutinya karena mereka telah menganggap Jhon adalah bagian dari keluarga mereka.
Di rumah sakitlah Jhon berbaring. Wajahnya pucat dan lemah gemulai. Air mata Tia semakin deras menglir sampai ke dagunya. Dipegangnya tangan Jhon, namun tak ada kata yang terungkap. Dengan lemahnya Jhon memandang sekelilingnya lalu berkata, “Aku mencintai kalian semua, ini adalah jalanku. Aku memilih untuk mencintai semua orang agar kalian tidak kecewa. Maafkan aku...” sambil menghembuskan nafas terakhirnya..
Komentar