SOLIDARITAS: DARI KATEGORI SOSIOLOGIS KE KATEGORI MORAL Sdr.Peter C. Aman OFM

Apa yang kini dikenal dengan solidaritas sebenarnya sudah dikenal pada Romawi kuno dalam bidang yuridis dan kemudian berbarengan dengan perubahan sosio-kultural di zaman revolusi indistri solidaritas dengan keadilan sosial. Sekarang ini dalam era individualisme yang berpadanan dengan kapitalisme liberal, visi tradisional tentang manusia sebagai makhluk sosial yang dari dirinya bersekutu dalam suatu komunitas masyarakat juga mengalami krisis.
Inilah konteks sosial yang mendorong sosiolog seperti August Comte (1798-1857) dan Emile Durkheim (1858-1917) menggunakan kata solidaritas lebih dalam perspektif sosiologis, dari perspekjtif etis moral. Pertanyaan pokok Durkheim adalah apakah kewajiban moral manusia terutama diwujudkan dalam hal mengembangkan diri amnesia secara sempurna dan mandiri atau sebagai bagian dari kekseluhan, organisme sosial masyarakat.
Persoalan yang diangkat Durkheim sebenarnya mencoba merumuskan dua ketegangan antara individualisme (kapitalisme liberalI dan kolektivisme ( sosialis-marxis). Untuk menyambung dua ideologi yang berseberangan ini digunakanlah kategori solidaritas; yang kemudian oleh para pemikir Katolik ditempatkan dalam kategori etis-moral sebagaimana digunakan dalam ASG.
Sebagaimana dikatakan Goffi, istilah solidaritas yang pertama kali tampil dalam dunia oksidental menempuh proses transformasi yang panjang.

1. Solidaritas dalam konteks yuridis Romawi
Dalam konteks yuridis masyarakat romawi kuno, solidaritas dimaksudkan sebagai partisipasi dari semakin banyak orang dalam melaksanakan aktivitas bersama demi terpenuhinya kewajiban umum. Setiap orang mesti menjalankan apa yang menjadi bagian tugas dan kewajibannya.
Solidaritas dipahami sebagai tanggungjawab timbal balik antara pribadi dan masyarakat dan juga sebaliknya. Solidaritas bukan suatu nilai pada dirinya, tetapi hanya dalam konteks penegakan hukum dan pelaksanaan sanksi hukum seturut apa yang ditetapkan di sana. Solidartitas juga berarti pemenuhan kewajiban yang mesti dilakukan seseorang. Hanya di sini sudah muncul suatu nuansa khas solidaritas yakni adanya tanggungjawab timbal balik dari pribadi untuk masyarakat dan dari masyarakat untuk prinadi.

2. Solidaritas dalam perspektif sosiologis
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa penggunaan istilah solidaritas pertama kali dilakukan oleh sosiolog terkenal Emile Durkheim. Penggunaan istilah itu terutama terprovokasi oleh realitas sosial-kultural masa itu yang ditandai pertentangan ideologi liberalisme dan kolektivisme.
Refleksi Durkheim berangkat dari realitas pembagian kerja kendati fakta tersebut bukan satu-satunya. Durkheim lantas membedakan antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Solidaritas Mekanis
Solidaritas mekanika dalam pemikiran Durkheim pertama-tama ditemukan dalam masyarakat primitif sebgai klomunitas yang dipersatukan oleh keyakinan serta cita rasa bersama. Wagra masyarakat biasanya membentuk dikap pribadinya sesuai dengan autran yang disertai sanksi, yang biasanya berupa hukuman yang berat.
Ciri pertama dari masyarakat tersebut, di satu pihak, adalah kesamaan atau adanya nurani kolektif, dan dari lain pihak adanya etos masyarakat yang amat mekanis, dalam arti sejalan dengan hukum dan sanksi.
Ciri kedua, solidaritas di sana didasarkan pada adanya kesamaan antara nurani individu dan komunitas, sehingga setiap nurani invidu tidak diperhitungkan, tidak dapat merealisasikan diri sesuau nuraninya, sehingga pribadi sebenarnya tidak punya kntribusi khas pada masyarakat, seperti halnya molekul dri suatu zat non-organik.
Ciri ketiga, kecenderungan dan ide komunitas lebih penting dan berperan dari pada pribadi.
Dapat disimpulkan bahwa solidaritas mekanis dari Durkheim adalah suatu kewajiban moral di mana anggota masyarakat saling peduli dan mengutamakan kepentingan bersama, sesuai dengan nurani kolektif dan tujuan bersama. Nurani pribadi dan kolektif sungguh menyatu. Tetapi bagi Durkheim soldiaritas mekanik lebih merupakan solidaritas transisional karena semakin mesyarakat maju maka solidaritas organik akan lebih berperan dari solidaritas mekanik.
Solidaritas Organik
Solidaritas organik muncul dalam masyarakat yang ditandai adanya pembagian kerja, yakni masyarakat industri. Setiap orang memnbutuhkan yang lain untuk menyelesaikan sesuatu sehingga dibutuhkan manusia spesialis dalam bidang karya tertentu, sehingga saling membutuhkan dan saling memenuhi. Pribadi menjadi semacam organisma otonom tetapi tidak sempurna-lengkap, sehingga membutuhkan pribadi lain.
Solidaritas organik mengandaikan perbedaan antar individu. Pribadi khs dengan pekerjaan yang khas, sehingga nurani dan aturan kolektif sedapat mungkin dikurangi. Ada dua akibat dari soldiaritas organik berdasarkan pembagian kerja: (1) spesialisasi fungsional pribadi dan (2) ketergantungan langsung pribadi dalam hubugan dengan masyarakat. Solidarits terbangun berdasarkan pemajuan peran individu dan berjalannya fungsi masyarakat secara keseluruhan. Semakin pribadi mengembangkan dirinya maka semakin mampu masyarakat secara keseluruhan bergerak harmonis. Jika seorang sungguh mengabdikan diri pada suatu fungsi khas maka masyarakat secara keseluruhan akan makin kuat. Solidaritas ini sama dengan fungsi organisma dalam makhluk hidup.
Kendati dapat disimpulkan bahwa Durkheim segagasan dengan liberalisme kapitalis, sesungguhnya Durkheim tidak sungguh sejalan dengan ide liberalisme. Tetapi juga tidak bisa disederhanakan sebagai suatu kontrak, seolah-olah pribadi dan masyarakat terikat suatu kontrak. Karena menurut dia berperannya fungsi-fungsi individu tidak hanya tergerak oleh hukum atau aturan tetapi oleh moral.
Moral bagi Durkheim adalah keseleluruhan kondisi yang memaksa manusia menyesuaikan perilakunya tidak saja terdorong oleh impuls-impuls egoisme tetapi oleh pribadi-pribadi lain. Pada masyarakat indistri solidaritas terbangun karena ketergantungan pribadi pada pada masyarakat atau pribadi-pribadi lain, jadi suatu motivasi moral. Sehingga pembagian kerja menurut Durkheim tidak saja menghasilkan solidaritas tetapi juga moral.

3. Para Pemikir Katolik
Ada tiga Jesuit Jerman yang menjadi eksponen perdana dalam merefleksikan solidaritas dari perspektif Kristiani. Memreka adalah Heinrich Pesch (1854-1926), Gustav Gundlach (1892-1963) dan Oswald von Neill-Brunning (1890-1991).
Solidarismo menurut Pesch adalah tatanan masyarakat menurut iman Katolik dan alternatif bagi liberalisme dan sosialisme. Hal itu terlihat dari judul bukunya: Liberalismus, Socialismus und Christliche Gesselschaftordnung, Erster Teil, Herder Verlag, Freiburg 1901. Beliau bahkan melihat bahwa sosialisme sesungguhnya merupakan evolusi dari liberalisme. Jadi solidaritas merupakan bagian yang mendiskusikan liberalisme dari sudut tatanan ekonomi dan merupakan dinamika dasar dan wajib dari kehidupan ekonomi.
Mengikuti Pesch, Gundlach mengajukan soldiaritas sebagai dasar tatanan sosial. Solidaritas menurut dia merupakan prinsip interior di atasnya suatu masyarakat dibangun. Dia menggolongkan solidaritas sebagai struktur interior dan solidaritas sebagai struktur eksterior.
Sebagai struktur interior, soldiaritas merupakan dasar formal dari suatu ada dan di atasnya dapat dibangun kesatuan masyarakat. Jadi solidaritas merupakan dasar ontologis dari suatu masyarakat. Bahkan merupakan hakekat inteiror manusia baik sebagai makhluk spiritual maupun sebagai gambar dari pribadi abadi Allah. Di situlah persis terletak dasar dari suatu masyarakat.
Dimensi ganda solidaritas menjadi lebih jelas dalam karya Oswald von Nell Breuning. Solidaritas dan juga subsidiaritas merupakan dua dasar suatu masyarakat, yang merupakan dimensi konstitutif dari pribadi manusia dan norma dasar dari struktur sosial. Hal itu dilihat Breuning sebagai prinsip etis dan yuridis yang menjadi daya dorong perkembangan masyarakat manusia.
Apa yang disampaikan ketika pemikir ini bukan pertama-tama defenisi dari solidaritas. Ketiganya justru memperdalam makna komunitas, nilai-nilai spiritual dan kesejahteraan umum dalam mekanisme kapitalisme liberal yang menekankan milik pribadi, kebebasan berinisiatif, persaingan, pasar, kebebasan berserikat, dll. Mereka mengusulkan bahwa pokok-pokok dari leberalisme tersebut harus ditata berdasarkan prinsip solidaritas, kesejahteraan umum dan subsidiaritas.
Bagi mereka dasar persoalan bukanlah sistem pada dirinya yang pada penenrapannya mengabaikan hukum moral, karena hal yang sama juga terjadi pasa sosialisme. Solidarisme yang mereka ajukan bukanlah suatu kontra terhadap sosialisme atau semacam alternatif terhadapnya, sebagai reaksi atas liberalisme. Karena itu mereka lebih menekankan dimensi moralnya bahwa soldiaritas merupakan prinsip dasar atau hakiki. Selanjutnya hal itu menghasilkan suatu upata mengsistematisiasi perspektif etis-antropologis yang digariskan dalam Reum Novarum Leo XIII dan kemudian diperkaya oleh para penggantinya.

4. Solidaritas dalam ASG
Kata Solidaritas untuk pertama kali digunakan oleh Pius XII. Penggunaan istilah itu sendiri menimbulkan reaksi kontra dalam lingkungan Katolik sendiri. Tetapi sebenarnya, kendati tanpa menggunakan istilah solidaritas, para Paus sebelumnya sudah mengemukan makna istilah tersebut sebagai suatu konsep kristiani dalam membangun tatanan sosial-politik, sebagaimana isi dari konsep solidarisme yang sudah diperkenalkan dalam Gereja. Dalam hal ini pernyataan dari Yohanes Paulus II dalam Centesimus Annus penting disimak: “Demikianlah apa yang sekarang ini disebut ‘prinsip solidaritas’ dan yang daya kekuatannya – baik dalam tatanan sosial setiap bangsa maupun dalam tatanan internasional – telah kami uraikan dalam ensiklik Sollicitudo Rei socialis, dimengerti sebagai salah satu prinsip dasar bgai pandangan kristiani tentang tata-sosial dan tata-politik. Seringkali pula prinsip itu dikemukakan oleh Paus Leo XIII dengan istilah persahabatan, suatu gagasan yang sudah terdapat pada para filsuf Yunani. Paus Pius IX menyebutnya dengan istilah penuh makna ‘cinta kasih sosial’, sedangkan Paus Paulus VI berbicara tentang ‘peradaban cinta kasih’, sambil memperluas faham itu untuk meliputi banyak aspek modern pada masamlah sosial” (CA 10).
Jadi penggunaan eksplisit istilah soldiaritas dalam ajaran sosial sejak Pius XII sebenarnya semakna dengan istilah-istilah lain yang digunakan sebelumnya sebagai suatu konsep bagi poenataan sosial-politik yang dinspirasikan oleh iman kristiani. Sehingga pendalaman makna soldiaritas tidak dapat dilepaskan dari kontinuitas dnegan penggunaan istiilah-istilah serupa sebelumnya.
4.1. Rerum Novarum (1891) dan Quadragesimo Anno (1931).
Menanggapi kontra posisi antara buruh dan majikan, yang didorong oleh gagasan sosialis yakni perjuangan kelas sebagai motor penggerak pembaharuan masyarakat, ensiklik RN menekankan dinamisme injili, sebagai satu-satunya yang mampu memperbaharui kesadaran untuk terbuka tidak saja pada keadilan dan pemanfaatan milik bersama, tetapi keterbukaan terhadap pesaruan persaudaraan dalam eksatuan sejati melalui persahabatan dan kasih persaudaraan (RN 18,21). Inilah gagasan yang kemudian mendorong pembentukan perserikatan sebagai perwujudan persahabatan dan kasih persaudaraan. Selain menggunakan kata ‘persahabatan’ yang digarisbawahi Yohanes Paulis II, RN juga menggunakan kata ‘kesatuan’ untuk mengungkapkan ciri dasar dari tatanan sosial yang sejalan dengan ajaran sosial Gereja.
Apa yang lebih penting, tentu bukan hanya istilah, tetapi dinamika dari RN itu sendiri, di mana kata persahabatan dan kesatuan sebenarnya dekat dengan solidaritas. Persahabatan dapat diliaht sebagai prinsip interior yang umum tetapi juga mendasar dari eksatuan dan harmoni dari macam-macam komponen sosial.
Berhadapan dengan pertentangan kelas, QA menggunakan istilah keadilan dan kasih sosial (QA )5). Kedua prinsip ini merupakan dasar penopang masyarakat dan karenanya juga menopang semua inisiatif pribadi, demi perwujudan kesejahteraan umum. Kedua prinsip ini (keadilan dan kasih sosial) ditekankan kembali olah Pius XI dalam ensikliknya yang secara khusus melawan komunisme (Divini Redemptoris). Kendati tak menggunakan istulah ‘solidaritas’, Pius XI menekankan kesatuan organik antar pribadi dan masyarakat serta kerja sama timbal balik demi perwujudan realisasi diri pribadi setiap individu (DR 29). Jadi amat digarisbawahi martabat pribadi manusia bagi suatu tatanan sosial, yakni subordinasi peraturan sosial demi perwujudan martabat pribadi manusia (DR 30). Diingatkan bahwa msayrakat ada demi pelayanan terhadap kebaikan individu, maka korporatisme harus ditata menurut hirarki nilai demi kesejahteraan umum (DR 32).
Jadi kendati tidak menggunakan kata soldiaritas, Leo XIII dan Pius XI sudah berbicara tentang nilai solidaritas dalam perspektif yang secara ilmiah dikembangkan Pesch, Gundlach dan Nell-Breuning. Kkedua Paus tersebut bahkan memperkaya isi dan bahkan menegaskan bahwa makna solidaritas tidak dapat dilepaskan dari nilai ekadilan dan kasih sosial demi kesejahteraan umum.
4.2. Istilah solidaritas dalam ajaran Pius XII
Istilah solidaritas pertama kali digunakan dalam ajaran resmi Gereja oleh Pius XII . Istilah tersebut digunakan Pius XII dalam Pesan Radio tahun 1952. Di tengah situasi perkembangan ekonomi dengan eforia efisiensi, Paus mempertahankan dimensi pribadi manusia yang kini terancam oleh depersonalisasi, yang juga sudah mulai mengalami pengangguran.
Dalam Pesan Radio tersebut solidaritas ditempatkan dalam hubungan langsung antar manusia sebagai inspirasi dasar bagi manusia sebagai subyek, penjaga dan promotr nilai-nilai pribadi di atas segala nilai lain, juga di atas kemajuan teknik. Solidaritas dimaksudkan untukd iterapkan dalam dunia kerja yang menjamin bagi semua (soldiaritas dilandaskan pada rasa persaudaraan dan kebaikan bersama. Tetapi selain diterapkan dalam dunia kerja, soldiaritas dimaksudkan Pius XII sebagai suatu hal pokok dari usaha-usaha sosial dan dasar kokoh dari masyarakat, yang bertentangan dengan apa yang disebut ‘sistem tidak stabil’, yang dimaksudkan adalah sosialisme dan liberalisme.
Solidaritas adalah suatu kebajikan yang lahir keyakinan nurani dan bukan suatu paksaan. Solidaritas menuntut penghapusan perbedaan yang tajam dalam ekhdiupan semua orang, juga dalam hubungan internasional antara bangsa. Bagi Pius XII solidaritas harus diperluas kepada semua manusia. sEtiap orang harus mengembangkan kemampuan dan emnyumbang pada kemajuan yang lain terutama mereka yang kurang beruntung, bukan hanya dalam hidup tetapi juga kerja.
Solidaritas tidak boleh hanya dibatasi dalam bentuk belaskasih, tetapi juga
menuntut bahwa usaha produktif dan kerja juga terjamin. Solidaritas juga mesti menyumbang pada pribadi manusia dan masyarakat sebagai tumpuan dasar dari mana akan tercapai bukan saja pemenuhan kebutuhan dan pelayanan material tetapi juga kesejahteraan manusia secara utuh.
Dengan demikian, sejalan dengan apa yang dikatakan Para Paus sebelumnya, Pius XII menekankan bahwa solidaritas tidak saja tertuju pada pemenuhan kebutuhan material dari hidup manusia, tetapi bagi perwujudan diri timbal balik antar manusia, baik manusia sebagai pribadi maupun masyarakat secara keseluruhan. Beliau telah merintis jalan menuju prospek mondial yang kemudian oleh para Paus sesudahnya menekankan pentingnya soldiaritas.
4.3. Yohanes XXIII
Dengan memperhatikan fakta bahwa Mater et Magistra mengacu kepada ajaran RN dan QA, benarlah bahwa solidaritas dilihat dalam perspektif yang ditegaskan Peo XIII dan Pius XI, yakni suatu tatanan sosial yang mampu mengatasi persoalan liberalisme dan sosialisme. Solidaritas dikombinasikan dengan gagasan persaudaraan kristiani (MM 155) atau dengan istilah kasih (MM 159) yang telah digunakan kedua Paus tersebut sebelumnya.
Selanjutnya Yohanes XXIII meneruskan perspektif mondial yang sudah dicetruskan Pius XII (MM 155,158,159,160). Soldaritas dilihat sebagai bantuan timbal-balik demi keskamaan dan kesederajatan martabat manusia dari setiap bangsa (MM 155). Solidairitas juga merupakan suatu tanggungjawab semua dan setriap orang, karena nyatanya ada saling ketergantungan antar manusia (MM 158). Solidaritas akhirnya dilihat sebagai kewajiban untuk menolong orang miskin dan mereka yang kurang beruntung (159-160).
Tetapi visi yang lebih berkamnsa dari solidaritas dikemukakan Yohanes XXIII dalam Pacem in Terris. Di sana untuk pertama kalinya dalam ASG solidaritas ditempatkan dalam konteks pemenuhan kesejahteraan bukan saja pada tingkat nasional tetapi bagi semua manusia di dunia (PT 98-102). Kemudian Paus mengemukaka pelbagai macam cara mewujudkan hal itu: menysun rencana dan merancang kekuatan agar tujuan bersama dapat tercapai (MM 99).; pertukaran program kemanusiaan secara adil (100-101), politik ekonomi yang mengabdi kepada kepentingan semua bangsa di dunia (102).
Singkatnya, Yohanes XXII solidaritas diberi makna yang kuat bagi perwujudan kebaikan semua yang mesti menjiwai negara-negara untuk mengatur hubungan mereka menurut kebenaran dan keadilan (MM 98).
4.4. Gaudium et Spes
Istilah solidaritas digunakan dalam GS (32) dalam arti teologis bahwa manusia disempurnakan dan dipenuhi berkat Sabda Menjelma dan diperlihatkan dalam Tubuh Mistik-Nya yakni Gereja. Dalam perspektif ini, kendati tanpa secara eksplisit dikatakan, GS memberikan macam-macam pokok yang amat berarti berhubungan dengan solidaritas, seperti: kesadaran akan ketergantungan dengan yanglain dan karena itu bertanggungjawab terhadap yang lain (GS 1); kesatuan antar pribadi dan masyarakat (GS 23), hekakat komuniter manusia (GS 24), tuntutan keadilan sosial (GS 29); disposisi moral agar berjuang demi kebaikan smeua orang, kebajikan moral dan sosial pribadi, sebagai suatu prinsip pokok (GS 30), juga kesadaran akan martabat manusia dengan akibat adanya tugas dan kewajiban terhadap diri sendiri, sesama dan masyarakat di mana seorang pribadi menjadi anggotanya (GS 31).
Melihat hal-hal tersebut dapat dikatakan bahwa GS meratifikasi apa yang sudah dikemukakan sejak Leo XIII, juga inisiatif pembaharuan yang dilakukan Yohanes XXIII. Tetapi GS juga menegaskan dimensi etis dan antropologis dari solidaritas yang kemudian diperjelas dan diperdalam oleh Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II.
4.5. Sumbangan Paulus VI dan Yohanes Paulus II
Konsep soldiaritas dari kedua Paus ini terutama ditemukan dalam dua ensiklik yang saling ebrhubungan yakni Populorum Progressio (PP,1967) dan Sollicitudo Rei Socialis (SRS, 1987). PP dikenal sebagai ensiklik tentang perkembangan yang integral dan dialektis antar manusia dan masyarakat manusia. Benarlah kalau RenĂ© Ciste menyebutnya sebagai ‘magna charta’ dari humanisme plateria. Ensiklik SRS merupakan suatu ensiklik tentang solidaritas di mana dikonkritkan ide perkembangan dan pembebasan (SRS 42).
Seperti sudah dikutip di atas, dalam dua ensilkik ini, diperdalam ide soldiaritas yang sudah dikemukakan dalam GS. PP mengajukan gagasan bantuan dari negara kaya kepada negara miskin (PP 44, 48), hal itu dimaksudkan sebagai wujud pembangunan integral dan menyatu antar manusia dan masyarakat secara keseluruhan. Suatu bantuan yang berlandaskan pada hormat papda martabat pribadi dan masyarakat. Dalam PP perkembangan tidak hanya dilihat dalam konteks ekonomi tetapi juga dalam konteks perkembangan pribadi dan masyarakat yang berpuncak pada partisipasi pada kesatuan sebagai putera Bapa ilahi (PP 15-21).
Begitulah dimensi antropologis-teologis solidaritas begitu ditekankan dalam ASG melampaui apa yangf ada sebelumnya dalam ASG. Pada saat yang sama, solidaritas jga menjadi matang dalam dimensi universalnya s ebagai suatu unsur penting yang berlandas pada fakta kesaling-tergantungan antar manusia; semua terlibat dalam pembangunan masyarakat, bukan saja dmei keuntungan tetapi juga suatu kewajiban (PP 17).
SRS melanjutkan refleksi ewtis-teologis dari PP dan megemukakan makna solidaritas berlandaskan pada fakta ketergantungan antar manusia, yang juga menjadi landasan dari ensiklik Paulus VI. Solidaritas dilihat sebagai hasil internalisasi makna kesalingtergantungan dalam hati nurani, sehingga solidaritas dilihat sebagai suatu nilai tan tuntutan moral (SRS 38). Solidaritas adalah perilaku moral dan sosial bahkan suatu kebajikan yang berhubungan dengan kesadaran akan kesaling-tergantungan itu.
Jadi, sebagai suatu rangkuman dari seluruh aspek dan isi sebagaimana dikatakan para Paus sebelumnya dari Leo XIII, Yohanes Paulus II untuk pertama kali memberikan defenisi dari solidaritas. Ia mengemukakan bahwa solidaritas adalah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kesejahteraan semua orang dan setiap orang, karena kita ini semua bertanggungjawab atas semua orang (SRS 38).
Ide ini mau diterapkan dalam bidang sosial-ekonomi dalam dunia masa kini. Sambil meneruskan dimensi etis-teologis solidaritas dari GS dan PP, Yohanes Paulus II menggarisbawahi bahwa solidaritas adalah suatu kebajikan kristen yang berhubungan erat dengan kasih dan dimaksudkan untuk berusaha melampaui diri, mengenakan dimensi-dimensi khas kristiani kemurahan hati yang sepenuhnya, pengampunan dan rekonsiliasi (SRS 40). Solidaritas sebagai kebajikan mendorong untuk melihat sesama – pribadi, bangsa atau negara, tidak sebagai sarana, tetapi sebagai sesama, sebagai pembantu (bdk. Kej.2:18-20), untuk menjadi mitra usaha yang sederajat dengan kita pada perjamuan kehidupan, atas undangan Allah yang sama-sama ditujukan kepada semua orang. Oleh karena itu pentinglah membangkitkan lagi kesadaran keagamaan orang-orang maupun bangsa.bangsa (SRS 39).
Di situlah diwujudkan kesadaran akan tanggungjawab kepada mereka yang lebih lemah dan bagaimana berbagi dengan mereka harta dan pelayanan. Tetapi pada saat yang sama menuntut juga bahwa mereka yang lebih lemah juga melakukan apa yang mesti mereka kerjakan demi kebaikan semua.
Sumbangan khas dari SRS adalah pemberian definisi dari solidaritas yang ditempatkan dalam konteks tatanan sosial yang adil, sebagaimana telah diajukan oleh ASG sejak RN. Beliau juga dalam CA menegaskan solidaritas sebagai suatu prinsip dasar dari pandangan kristiani mengenai tatanan sosial dan politik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)

Kalimat Efektif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008