psikologi

MOTIVASI

Pengertian Motivasi
Berasal dari bahasa Latin “movere” yang artinya menggerakkan. Pengertian motivasi mengandung pemikiran tentang penggerak perilaku; yang mencakup adanya energi dan arah energi digerakkan, yang muncul melalui perilaku yang tampak (Morgan, 1975; Schönpflug/ Schönpflug, 1983).
Perilaku termotivasi dengan demikian bisa dikenali melalui usaha yang diarahkan pada tujuan, dan karena itu memerlukan pengerahan energi yang selektif dari individu. Individu yang termotivasi akan melakukan aktivitasnya dengan lebih bersemangat, giat dan terbangkitkan atau tergugah, dibandingkan dengan individu yang kurang termotivasi melakukan aktivitas tersebut (Angermeier, 1983).
Morgan (1975) mengemukakan adanya 3 aspek dari motivasi, yaitu (1) keadaan termotivasi pada individu yang mengarah pada tujuan tertentu, (2) munculnya perilaku yang diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan (3) keadaan saat tujuan tercapai. Dijelaskan melalui ketiga aspek yang terangkai dalam satu siklus tersebut, bahwa keadaan termotivasi akan menggerakkan individu untuk berperilaku tertentu yang diarahkan pada tujuan. Setelah tujuan tercapai, motif akan menghilang, minimal untuk sementara hingga timbul keadaan termotivasi lagi.
Serupa dengan pernyataan Morgan, Bindra (1955, dalam Schönpflug/ Schönpflug, 1983) memaparkan bahwa keadaan termotivasi individu untuk melakukan suatu kegiatan, akan tercermin melalui kuatnya kemauan dan kesediaan individu untuk bekerja, serta konsentrasi individu terhadap tugas yang dihadapi. Terlihat disini adanya penekanan pada tujuan yanga akan dicapai, yang memerlukan energi untuk mencapainya, dan yang memerlukan konsentrasi individu untuk mengerahkan dan mengarahkan energi dalam kurun waktu tertentu, sehingga pengerahan energi menjadi terorganisasi (lihat juga Heckhausen, 1977).

Keadaan Tergugah, kebutuhan
Keadaan tergugah atau terbangkitkan yang dialami individu pada pokok bahasan motivasi, seringkali dijelaskan melalui pengertian drive dan need; sebab kedua hal itulah yang dapat menggerakkan individu untuk berperilaku. Drive atau dorongan, biasanya dimunculkan jika pembicaraan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisiologis, seperti lapar, haus dan seks. Need atau kebutuhan seringkali dikenakan pada hal-hal yang bersifat lebih kompleks seperti cinta atau status sosial (Morgan, 1975).
Menurut Drive Theory, baik drive ataupun need ini bisa dimunculkan oleh faktor internal (dalam diri individu), yang merupakan kebutuhan fisiologis dasar.
Sementara itu, Incentive Theory lebih menekankan pada peran kejadian atau obyek eksternal (luar diri individu), sebagai hal yang dapat memunculkan drive atau need individu (Atkinson et al, 1996).
Schönpflug/ Schönpflug (1983) memberi istilah kebutuhan (Bedürfnisse) yang pengertiannya mencakup kedua hal tersebut. Kebutuhan yang dirasakan sebagai keadaan kekurangan oleh individu ini terdiri atas: (1) kebutuhan tubuh (misalnya makan dan minum), (2) kebutuhan sosial (misalnya dihargai), dan (3) kebutuhan kognitif (misalnya keinginan untuk mengetahui sesuatu). Kebutuhan ini memberi warna atau pola (müster) pada gerakan individu dalam mengerahkan energi yang pada awalnya belum terarah. Dengan demikian garakan individu menjadi bertujuan, yaitu untuk memuaskan kebutuhan yang dirasakan. Kebutuhan ini terpuaskan atau terpenuhi melalui obyek atau keadaan yang sesuai dengan kebutuhannya. Pemuasan atau pemenuhan kebutuhan ini begitu penting sebab merupakan upaya individu untuk mempertahankan keseimbangan tubuh (Atkinson et al, 1996). Cara individu dalam memenuhi kebutuhannya bisa dilakukan mengikuti prinsip perbedaan dorongan (Prinzip der Treibreduktion) atau prinsip keseimbangan (Homöostaseprinzip) (Schönpflug/ Schönpflug, 1983).

Kebutuhan Manusia
Maslow (1954, di Hilgard et al., 1975) melalui teorinya yang bersifat keseluruhan-dinamis (ganzheitlich-dynamisch), mengemukakan adanya kebutuhan manusia yang tersusun secara hirarki. Kebutuhan tersebut adalah: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta/dimiliki, kebutuhan akan penghargaan/prestasi, kebutuhan akan sesuatu yang bersifat kognitif dan artistik, serta kebutuhan akan aktualisasi diri, yang diakhiri (1968) dengan kebutuhan akan transedensi (Schönpflug/ Schönpflug, 1983). Model ini masih mengundang perdebatan hingga kini terutama berkenaan dengan dinamikanya; yang mengatakan bahwa perpindahan kebutuhan berlangsung secara bertingkat, sehingga pada akhirnya semua tingkat akan terlalui.
Paparan yang dikemukakan oleh Lewin (1936, dalam Angemeier, 1983) barangkali bisa menjelaskan apa yang dikemukakan Maslow di atas. Teorinya yang didasarkan atas sistem ketegangan (tension, Spannungen) menjelaskan bahwa individu yang mempunyai kebutuhan akan mengalami ketegangan. Ketegangan ini akan reda dengan sendirinya jika tujuan tercapai, yaitu pada saat kebutuhan individu itu terpuaskan atau terpenuhi. Perilaku gelisah, dengan demikian mengindikasikan belum adanya tujuan yang dipandang bisa menurunkan ketegangan yang dialami individu. Tujuan (goal, Ziel) yang mengandung harapan akan menurunkan ketegangan dikatakan memiliki valensi positif; sedangkan tujuan yang dipandang dapat meningkatkan ketegangan dikatakan memiliki valensi negatif (Harriman, 1958; Angemeier, 1983). Melalui teori yang dikemukakan, Lewin menjelaskan pula perilaku individu yang tampil, dalam kaitannya dengan ruang hidup yang sesungguhnya (realita), dan dalam kaitannya dengan ruang lingkup psikologis yang bersifat subyektif. Jika ruang hidup psikologis sebagian besar sesuai dengan ruang hidup yang sesungguhnya nyata, maka individu tersebut relatif dikatakan sehat mental. Semakin sedikit kesesuaian antara ruang hidup psikologis dengan ruang hidup nyata individu, maka individu tersebut semakin jauh dari keadaan sehat mental (Angemeier, 1983).
Tiga hal yang mewarnai perilaku manusia menurut McClelland adalah motif untuk berprestasi, motif untuk menjalin hubungan dengan orang lain, dan motif untuk berkuasa (Heckhausen, 1977; Hilgard, 1975). Selain itu terdapat pula motif untuk menolong (Macaulay/Berkowitz, 1970), dan motif agresi (Geen/O’Neal, 1976) (Heckhausen, 1977).

Proses Motivasi
Dikaitkan dengan pemenuhan atau pemuasan kebutuhan individu, tindakan termotivasi tidak selamanya akan mengantar individu mencapai tujuannya. Ada kemungkinan bahwa tujuan tetap tidak tercapai, meskipun upaya telah dilakukan. Hal ini dikarenakan kebutuhan yang menjadi motif individu bukanlah satu-satunya hal yang menentukan pada proses motivasi. Situasi di luar individu dikatakan turut menentukan tercapainya tujuan.
Terdapat 10 hal yang tersangkut dalam proses motivasi ini; 5 diantaranya berkenaan dengan determinan situasi spesifik (atribusi terhadap situasi yang dihadapi individu; norma yang berlaku/mis: norma sosial atau norma tugas yang dikerjakan; penurunan tujuan ke dalam struktur tertentu terkait dengan waktu; harapan individu akan hasil tindakannya; dan harapan individu akan konsekuensi dari hasil yang dicapai), dan 5 lainnya berkaitan dengan determinan kepribadian spesifik individu (pemaknaan individu terhadap situasi yang dihadapi dikaitkan dengan motif yang dimiliki; penilaian terhadap motif yang dimiliki dikaitkan dengan situasi yang dihadapi; kecenderungan untuk terus mengarahkan diri pada atau menghindar dari tujuan yang ditetapkan; penilaian terhadap diri sendiri melalui standar tertentu; dan kecenderungan pemberian atribusi terhadap kemungkinan keberhasilan). Kesepuluh determinan tersebut berinteraksi sedemikian rupa dalam proses motivasi, yang menentukan apakah tindakan individu yang muncul: (1) terus mengarah pada atau menhindar dari tujuan yang ditetapkan, (2) didukung oleh motivasi yang kuat atau lemah, dan (3) apakah semata-mata untuk kepuasan diri sendiri atau dimaksudkan juga untuk memenuhi keinginan orang lain (Heckhausen, 1977).

Konflik dan Frustrasi
Dalam kehidupan, individu seringkali dihadapkan pada keadaan atau situasi dimana ia harus menentukan pilihan dari beberapa alternatif tujuan yang tersedia untuk memuaskan kebutuhan yang dimiliki. Seseorang dikatakan berada dalam situasi konflik jika ia mengalami kesulitan untuk menetapkan pilihan, karena alternatif tujuan yang harus dipilih bertentangan satu sama lain (Leibniz, 1765, dalam Hofstätter, 1977). Hal ini bisa terjadi jika tujuan-tujuan tersebut memiliki valensi yang relatif sama bagi individu. Jenis konflik yang sering dibicarakan berkaitan dengan teori Lewin adalah approach-approach conflict, approach-avoidance conflict, dan avoidance-avoidance conflict (harriman, 1958; Angemeier, 1983; Valsiner & cairns, 1992).
Jika individu telah menentukan pilihan, maka tindakan yang muncul akan jelas arahnya. Namun demikian, adakalanya individu dihadapkan pada halangan atau rintangan (barrier), saat ia melakukan tindakan menuju tujuan. Bila situasi ini yang dihadapi, berarti individu berada pada situasi frustrasi. Pilihan antara memerangi dan menghindari hambatan akan tercermin melalui tindakan yang dipilih individu.

Aspek Motivasi
Alternatif butir motivasi yang bisa dicantumkan dalam aspek motivasi pada gambaran kepribadian dalam rangka pembuatan laporan mata kuliah kasuistika adalah:
1. Energi: Bagaimana intensitasnya, bagaimana pengerahannya untuk konsentrasi, apakah bisa bertahan lama/ulet, bagaimana kemauannya.
2. Kebutuhan: Kebutuhan apa saja yang mengarahkan pengerahan energi, apakah ada kebutuhan yang mendominasi.
3. Proses Motivasi: Apakah S memiliki tujuan di dalam hidupnya, bagaimana dinamika dalam proses untuk mencapainya.
4. Konflik: Apakah S mengalami konflik, gambaran konflik yang dialami, penyelesaian yang dilakukan.
5. Frustrasi: Apakah S mengalami frustrasi, gambaran frustrasi yang dialami, penyelesaian yang dilakukan.

EMOSI

Pengertian Emosi
Secara harfiah, Oxford English Dictionary menyebutkan emosi sebagai suatu agitasi atau gangguan dalam pikiran, perasaan, nafsu; atau suatu keadaan ketergugahan mental (Goleman, 1995). Bottenberg (1972, dalam Debus, 1977) mengemukakan bahwa emosi merupakan pengalaman atau perilaku yang tidak memiliki pengertian umum yang sama, setiap orang memiliki pandnagan tersendiri mengenai pengertian emosi dan fungsi emosi dalam perilaku manusia.
Sebagai salah satu fungsi psikologis, seringkali emosi dibahas dalam bandingannya dengan motivasi, karena keduanya berakar dari kata yang sama dalam bahasa Latin “movere” yang berarti menggerakkan (Schönpflug/ Schönpflug, 1983). Kecenderungan untuk bertindak yang terkandung dalam pengertian tersebut (Goleman, 1995) membuat emosi senantiasa dikaitkan dengan keadaan tergugah pada individu, dan adanya penggunaan energi (Schönpflug/ Schönpflug, 1983).
Woodworth (1954, dalam Harriman, 1956) mengemukakan adanya 3 konotasi yang termuat dalam pengertian emosi tersebut, yaitu: (1) reaksi perilaku yang ditandai dengan intensitas, (2) perubahan fisiologis internal, dan (3) pengalaman yang diutarakan individu melalui introspeksi.
Schönpflug/ Schönpflug (1983) menandai keadaan tergugah tersebut melalui beberapa hal yaitu: (1) pengalaman subjektif individu yang mengalami, (2) ekspresi verbal, (3) ekspresi nonverbal, (4) kegiatan individu yang terlihat, dan (5) aktivitas fisiologis. Kelima hal tersebut akan menyatu dalam keadaan individu tergugah yang disebut aktivasi.
Atkinson et al. (1996) memaparkan lebih spesifik bahwa emosi terdiri atas beberapa komponen yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu: (1) pengalaman subjektif tentang emosi, (2) respon tubuh internal terutama yang berkaitan dengan sistem saraf otonom, (3) segi kognisi dari emosi dan situasi yang berkaitan dengan emosi, (4) ekspresi wajah, (5) reaksi emosi, dan (6) kecenderungan bertindak.

Keadaan Tergugah dan Pengolahannya
Amygdala dikatakan sebagai bagian otak yang bertanggungjawab atas keadaan tergugah yang dialami individu, karena disitu tersimpan pengalaman emosi individu. Menurut LeDeux (dalam Goleman, 1995), kehidupan awal individu begitu penting untuk kehidupan emosionalnya di masa dewasa, sebab saat itu akan terbentuk cetak biru kehidupan emosional individu yang bersangkutan. Pengalaman yang terutama diperoleh bayi melalui interaksinya dengan pengasuh pada tahun-tahun awal kehidupan, akan tersimpan dalam amygdala dalam bentuknya yang kasar tanpa kata-kata, karena bayi belum mengenal bahasa. Amygdala yang kurang mengalami perangsangan dibandingkan dengan bagian otak lainnya, akan menghasilkan individu yang kurang mampu memberi makna emosional dari kejadian yang dialaminya. Kondisi ini disebut “affective blindness”.
Pada kehidupan selanjutnya, perangsangan yang diterima individu melalui indera akan terkirim pada amygdala di otak melalui 2 cara. Pada cara pertama rangsang yang terkirim ke thalamus, akan melewati neocortex untuk selanjutnya diteruskan ke amygdala jika dianggap perlu. Pada cara ke dua, rangsang yang sampai pada thalamus akan langsung menuju amygdala melalui satu sinaps. Rangsang yangs ampai pada amygdala ini akan memicu aktifasi dari pusat emosional, seperti sekresi hormon tubuh, memobilisasi pusat gerakan, aktifasi sistem kardiovaskuler , dan otot-otot. Demikan rangkaian timbulnya reaksi yang dimunculkan individu, ketika menerima rangsang dari luar. Sementara amygdala memebri bobot emosional, neocortex memberikan bobot pemikiran rasional pada perangsangan yang diterima individu. Dapat dikatakan bahwa pengolahan rangsang, dalam hal ini pemberian makna dan penentuan reaksi individu, terjadi pada kedua struktur otak tersebut.
Dalam perkembangannya, diharapkan individu belajar untuk senantiasa mengikuti jalur yang melewati neocortex, pada pengolahan rangsang yang diterima. Diharapkan dengan demikian, penilaian berikut reaksi yang diberikan individu terhadap rangsang tersebut, memuat alasan yang proporsional antara yang bersifat rasional dan yang bersifat emosional. Alasan dikatakan bersifat rasional jika memuat adanya perencanaan dan organisasi yang mempertimbangkan budaya dan keadaan sosial di tempat individu tinggal. Fungsi faktor kognisi seperti yang dikemukakan Schachter (1959, dalam Hilgard et al., 1975), dengan demikian berlangsung pada neocortex ini. Alasan dikatakan bersifat emosional jika semata-mata didasarkan atas pengalaman emosional yang tersimpan pada amygdala. Apabila jalur yang terlalui rangsang tidak singgah di neocortex, maka bisa dibayangkan bahwa penilaian berikut reaksi individu terhadap rangsang lebih banyak diwarnai oleh alasan emosional yang tersimpan di amygdala. Apabila keadaan yang dikenal dengan kejadian pembajakan atau hijacking ini terjadi, maka reaksi yang dimunculkan individu menjadi tak terkendali dan tampil dalam bentuknya yang kasar, murni, dan tidak terkemas, seperti yang tersimpan dalam amygdala (lihat Goleman, 1995; Atkinson et al., 1996). Dalam kaitannya dengan pekerjaan, keadaan ini cenderung bersifat destruktif karena akan menyebabkan tugas yang dilakukan menjadi kurang terorganisasi dan kurang bertujuan. Hal ini dikenal dengan sebutan emosi yang disorganisasi (Schönpflug/ Schönpflug, 1983).

Reaksi Emosi
Sifatnya yang konstruk hipotetis, menyebabkan emosi hanya bisa disimpulkan dalam keadaan sehari-hari melalui perilaku yang tampak. Dengan demikian, emosi bisa dijelaskan secara beragam sesuai dengan perilaku yang dilihat, yang merupakan reaksi individu dalam keadaan emosional tergugah tersebut , yaitu: yang sifatnya biologis-fisiologis, verbal-kognitif, motorik dan bentuk-bentuk ekspresi tubuh. Reaksi emosi tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembalikan individu pada keadaan semula, tidak tergugah, demi terciptanya keseimbangan (homeostasis) baik secara biologis maupun psikologis (Debus, 1977).

Emosi dalam Kaitannya dengan Proses Biologis dan Fisiologis
Sesungguhnya emosi tidak bisa secara pasti digambarkan melalui perubahan pada satu variabel fisiologis atau lebih. Hal ini dikarenakan arah dan besar perubahan fisiologis tersebut sangat tergantung pada 2 hal, yaitu ‘mekanisme pengaturan’ di dalam dan di antara sistem fisiologis tertentu, serta pada ‘keunikan fisiologis’ individu dalam bereaksi. Namun demikian, upaya untuk menggambarkan emosi melalui proses biologis dan fisiologis ini biasanya dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
1. Sistem Syaraf Pusat
SSP akan tampak misalnya melalui tampilan EEG. Pada keadaan emosi yang kuat, akan terlihat desinkronisasi EEG yang muncul dalam tampilan dengan gelombang beramplitudo kecil hingga menengah (gelombang betha); sedangkan pada keadaan emosi yang lebih menyenangkan dan menenangkan, akan tampak sinkronisasi EEG (gelombang alpha).
2. Sistem Syaraf Vegetatif
a. Sistem Simpatiko-adrenal
Merupakan sistem simpatis bagian dari sistem syaraf vegetatif, yang berperan pada perubahan proses vegetatif dalam rangka mempersiapkan individu untuk bertindak. Hal ini dilakukan dengan membebaskan energi dari penggunaannya pada kegiatan lain, dan mempersiapkan energi tersebut untuk dipergunakan individu dalam melakukan tindakan. Hormon adrenalin dan nonadrenalin banyak ambil bagian pada sistem ini. Konsentrasi kedua hormon akan berbeda untuk setiap jenis emosi.
b. Bagian Parasimpatis dari Sistem Syaraf Vegetatif
Sistem simpatis dan para simpatis pada kenyataaannya berfungsi secara bersamaan pada suatu keadaan emosi tertentu. Namun demikian, fungsi parasimpatis ini berlawanan dari fungsi simpatiko-adrenal, karena ia bekerja pada proses pemulihan. Reaksi parasimpatis dalam suatu keadaan emosional bisa dalam bentuk mengurangi keadaan tergugah (mis mennagis pada saat sedih, vasokongesti saat ketergugahan seksual), atau memperbesar keadaan tergugah (misalnya urinisasi saat mengalami cemas) yang dimunculkan oleh reaksi simpatis.
3. Sistem Endokrin
Sistem hipotalamo-adrenokortikal mengatur pengeluaran kortikosteroid dan adrenokortikotropis hormon (ACTH). Aktivitas kotikosteroid terlihat misalnay pada perubahan kadar gula darah yang berlangsung saat keadaan tergugah, dalam kaitannya dengan mempersiapkan individu untuk bertindak. Kenaikan konsentrasi kortikoid dan metabolismenya ditemukan pada berbagai emosi, dan bagi Selye dikatakan sebagai indikator reaksi stres.
4. Sistem Syaraf Motorik
Ditemukan misalnya pada potensial gerakan otot, dan tremor.

Emosi dalam Kaitannya dengan Perilaku Verbal-Kognitif
Schachter (1959, dalam Hilgard et al., 1975; Schönpflug/ Schönpflug, 1983) mengedepankan kaitan antara faktor kognisi dengan keterbangkitan atau ketergugahan emosi pada individu. Dikemukakan bahwa fungsi kognitif dalam keadaan tergugah ini adalah memberikan label atau nama pada emosi yang dialami individu. Pemberian label atau nama yang tampil melalui ungkapan verbal, memungkinkan penggambaran emosi individu yang tidak terbilang banyaknya. Ungkapan verbal tersebut bisa berbentuk pernyataan langsung dan tidak langsung mengenai emosi yang dialami individu beserta intensitasnya. Emosi juga bisa dibedakan beserta proses yang menyertainya, apakah kemunculannya singkat karena terprovokasi, atau berlangsung relatif agak lama (contohnya suasana hati atau mood). Pernyataan tidak langsung dapat berbentuk simbolisasi, yang mencerminkan emosi yang potensial ada di belakang sebuah perilaku. Pernyataan tidak langsung ini biasanya berkaitan dengan kebudayaan, dan keadaan sosial di lingkungan individu tinggal (Debus, 1977).
Mengenai jenis emosi ini, Titchener (dlam harriman, 1956) yang pada mulanya menyebutnya feeling, mengemukakan adanya 3 dimensi feeling yaitu: (1) agreeable-diagreeable, (2) exciting-subduing, dan (3) straining-relaxing. Pada 1896, Wundt melalui analisis introspektif masih menggunakan sebutan feeling, dan menemukan 3 komponen feeling yaitu: (1) pleasant-unpleasant, (2) strain-relaxion, dan (3) excitement-calm. Di waktu kemudian, secara lebih spesifik Ekman (dalam Goleman, 1995) mengatakan bahwa jenis emosi bisa dibedakan melalui jenis emosi yang mendominasi: seperti rasa marah, sedih, takut, senang. Mengikuti cara pikir Ekman, Goleman (1995) memikirkan penggolongan emosi menurut dimensinya seperti rasa cinta, malu, dsb. Menurut beliau, setiap dimensi tersebut memiliki dasar emosi inti yang sama. Seseorang bisa mengalami lebih dari satu jenis emosi dalam waktu yang bersamaan.

Emosi dalam kaitannya dengan aktivitas motorik
Keadaan tergugah yang dapat muncul dalam aktivitas atau perilaku motorik meliputi aktivitas yang tampak seperti menyerang, melarikan diri atau menghindar daris atu hal; dan aktivitas lain dalam arti luas, seperti pengamatan dan belajar (Debus, 1977).



Emosi dalam Kaitannya dengan Ekspresi
Emosi dapat pula digambarkan melalui ekspresi, dengan semua proses vegetatif dan motorik yang menyertainya. Ekspresi inilah yang dimengerti oleh partner komunikasi sebagai tanda dari emosi tertentu yang dikirimkan oleh seseorang dalam suatu situasi komunikasi. Tergolog dlam ekspresi ini adalah tanda-tanda yang ditangkap atau tampak secara visual, seperti gerakan otot wajah (mimik), gestikulasi, gerakan tubuh keseluruhan (pantomimik), proses vegetatif kulit (misalnya muka memerah), dan gerakan mata (seperti perubahan pupil mata). Selain itu ekspresi juga meliputi tanda-tanda yang ditangkap secara auditif misalnya melalui vokalisasi, yang bisa terlihat dalam wujud tempo, nada atau ritme bicara. Sebagian dari bentuk ekspresi tersebut dibawa sejak lahir, dan sebagian lainnya dipelajari dari lingkunagn individu dibesarkan (misalnya melalui imitasi).

Hal-hal Lain yang Berkaitan dengan Emosi (Debus,1977)
1. Emosi dikenali melalui penilaian atau pemeberian makna (appraisal, Werte) individu yang mengalami, terhadap rangsang yang diterima. Rangsang ini bisa berasal dari dalam atau luar diri individu, dan sangat berkaitan dengan konteks yang dihadapi. Rangsang dapat dikaitkan dengan beberapa keadaan, yaitu rangsang fisik (mis malas, lapar, haus), rangsang sosial (mis benci, cinta, bangga), rangsang perspektif-kognitif (mis harmoni, rasa bersalah, rasa berhasil). Situasi atau konteks yang menimbulkan rangsang tersebut, menurut Morgan (1975) bisa berubah sesuai dengan bertambahnya usia individu. Pada masa dewasa misalnya, situasi sosial seringkali lebih penting dan memberikan banyak perangsangan dibandingkan kondisi fisik individu.
2. Emosi ditandai dengan adanya proses aktivasi yang dapat berlangsung melalui 3 cara: (1) secara verbal, (2) melalui proses fisiologis dan biokimia, dan (3) perilaku motorik (misalnya berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan reaksi).
3. Emosi sering digambarkan sebagai proses perilaku kompleks yang terorganisasi, yang menyangkut keseluruhan aktivitas individu. Perilaku tersebut sebagian terpola secara philogenetis, sebagian lagi dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sosial tempat individu tinggal.
4. Istilah ‘fight-or-flight’ seringkali dikaitkan dengan kecenderungan reaksi emosi individu (Goleman, 1995; Schönpflug/ Schönpflug, 1983).
5. Dalam hubungannya dengan tindakan individu, libatan emosi bisa terjadi sebelum tindakan, menyertai tindakan, dan penilaian sesudah tindakan berlangsung (Schönpflug/ Schönpflug, 1983).
6. Suasana Hati/mood (secara teknis adalah bentuk perasaan yang tidak tampak secara langsung, dan berakhir relatif lebih lama dibandingkan emosi; sebab emosi senantiasa dikaitkan dengan intensitas yang kuat dari keadaan tergugah yang dialami individu), Temperamen (kesiapan tubuh untuk menampilkan emosi atau suasana hati tertentu, yang menyebabkan orang berada dalam keadaan melankoli atau riang misalnya), dan Gangguan Emosi (salah satu jenis gangguan psikologi yang antara lain ditandai oleh adanya kecemasan dan depresi).

Aspek Emosi
Alternatif butir emosi yang bisa dicantumkan dalam aspek emosi pada gambaran kepribadian dalam rangka pembuatan laporan mata kuliah kasuistika adalah:
1. Sensitivitas terhadap aspek emosional dari kejadian yang dihadapi: Apakah ada konteks tertentu yang mendominasi.
2. Jenis Emosi yang dialami individu: Apa saja, apakah ada satu tone emosi tertentu yang mendominasi, apakah ada mood, apakah ada faktor budaya.
3. Intensitas Emosi: berkaitan dengan jenis emosi.
4. Pengolahan Rangsang dengan kandungan emosional: baik saat menerima maupun saat bereaksi dan mengungkapkan emosi.
5. Reaksi Emosional Individu: Golongan mana saja, apakah ada yang dominan, bagaimana kecenderungannya, saat berada pada situasi konflik, frustrasi, tertekan, dsb.
KOGNISI

Pengertian Kognisi
Terdiri dari pemikiran (thoughts), pengetahuan (knowledge), interpretasi (interpretation), pemahaman (understanding), atau gagasan-gagasan (ideas) individu (Atkinson et al., 1996).
Disebut juga aktivitas mental yang berkaitan dengan pengetahuan (knowledge, Wissen); meliputi aktivitas memperoleh, mengorganisasikan dan menyimpan, mengeluarkan kembali atau menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.
Dibahas dalam fungsi psikologi: perseption, memory, learning, thinking, reasoning, dan problem solving.

Aspek Kognisi
Alternatif butir kognisi yang bisa dicantumkan dalam aspek kognisi pada gambaran kepribadian dalam rangka pembuatan laporan mata kuliah kasuistika adalah:
1. Persepsi: Apakah terdapat sensitivitas terhadap obyek atau aspek tertentu, mencakup adanya atensi.
2. Memori: Proses (encoding-storage-retrieval), waktu (short term-long term).
3. Learning: Berkenaan dengan mempelajari keterampilan baru atau kebiasaan baru, membangun respon-respon baru, memerlukan proses akomodasi dan asimilasi, hal yang sederhana berkaitan dengan asosiasi, yang kompleks lebih dari asosiasi, transfer of learning.
4. Thinking: konsep, pengkategorian, ciri-ciri, pemakaian bahasa, angka.
5. Penalaran: deduksi, induksi, analogi.
6. Problem Solving: pemahaman akan masalah, proses pemecahan masalah, kreativitas dalam proses pemecahan masalah, jenis masalah (di tempat kerja atau kehidupan, kerjasama antar atau dalam kelompok, masalah individual seperti kesehatan dan konflik).
7. Kecerdasan


RELASI SOSIAL

Pengertian Relasi Sosial
Berkaitan dengan ‘menjalin hubungan dengan orang lain’. Secara lebih khusus menguraikan bagaimana hubungan itu berlangsung, misalnya: bagaimana seseorang bersama orang lain bercakap-cakap/ngobrol, membina ikatan hubungan yang diwarnai saling percaya, saling simpati, dll. Dapat terlihat pada saat melakukan kontak dengan orang lain yang belum dikenal sebelumnya (orang asing).
Bisa dikenali dari berbagai perilaku sosial, misalnya kontak mata, air muka (mimik), dll. (Heckhausen, 1977, di Hermann et al.)
Proses yang terjadi, misalnya dalam berteman, meliputi: mulai berteman (formation), membina hubungan dengan teman (maintenance), memutuskan hubungan pertemanan (termination) (Hartup, 1992, dalam Shantz & Hartup, 1992).
Lingkungan sosial bisa berlangsung dalam lingkungan organisasi dan institusi, atau lingkungan sosial secara luas (Schönpflug/ Schönpflug, 1983).

Aspek Relasi Sosial
Alternatif butir relasi sosial yang bisa dicantumkan dalam aspek relasi sosial pada gambaran kepribadian dalam rangka pembuatan laporan mata kuliah kasuistika adalah:
1. Kontak yang dilakukan seseorang dengan orang lain: Apakah relatif banyak/sedikit, di lingkungan apa, dengan cara bagaimana.
2. Membina Relasi dengan orang lain: apakah ada upaya yang dilakukan untuk membina relasi yang terjalin, bagaimana hal itu dilakukan, bagaimana empati yang dimiliki, jika terjadi konflik bagaimana penyelesaian yang dilakukan.
3. Dimana dan Bagaimana Relasi Terjalin: Apakah dalam lingkungan organisasi atau institusi dan bersifat formal, atau personal dan informal, atau bentuk lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linguistik Historis Komparatif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)