MENGGAPAI KESEJAHTERAAN UMUM DALAM PUSARAN GLOBALISASI (Pergerakan Rakyat/Buruh dalam Era Globalisasi)

“Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap tinggal dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh. 3:17-18).
Globalisasi dewasa ini, yang dijiwai spirit ideologi ekonomi neo-liberal, telah membuat kehidupan sosial manusia, baik pada skala global maupun lokal, kembali ke kondisi yang digambarkan oleh Thomas Hobbes sebagai “homo homini lupus” (manusia menjadi serigala bagi manusia lain); yang kuat memangsa yang lemah; yang kuat akan terus makin kuat, sedangkan yang lemah akan terus tersingkir dalam persaingan yang dicirikan oleh ‘darwinisme sosial’ dalam kehidupan manusia. Karena itu patut dipertanyakan: masih wajarkah memimpikan kesjehateraan umum dalam era globalisasi ini?

Paradoks Globalisasi
Kita cenderung berpikir bahwa globalisasi mempersatukan dunia; dunia menjadi satu kampung (a global village); ada begitu banyak hal yang dapat disyeringkan bersama; bahkan ada cita-rasa bersama. Pertanyaannya, betulkah globalisasi mempersatukan? Ataukah hanya sekedar menyeragamkan kepentingan, cita-rasa, mode, persepsi atau konsepsi tentang sesuatu? Yang jelas globalisasi tidak saja menebarkan harapan tetapi juga kecemasan, bukan hanya optimisme tapi juga ketakutan. Kalau globalisasi mempersatukan, dalam arti apa globalisasi mempersatukan? Apakah masyarakat dunia semakin solider, sehingga dapat berbagi dalam mewujudkan keadilan sosial serta kesejahteraan bersama? Apakah solidaritas dan kesejahteraan bersama masyarakat dunia dapat diharapkan terealisasi sebagai buah dari proses yang disebut globalisasi? Jawabnya: TIDAK. Yang terjadi adalah semakin melebarnya jurang kaya dan miskin: 358 orang terkaya memiliki harta sebanyak yang dimiliki 2,5 miliar orang; 1/5 negara-negara dunia menguasai 84,7 persen GNP, mengkonsumsi 85% kayu, 75% logam dan 70% energi dunia. Yang terjadi bukanlah pengingkatan mutu hidup dan kemajuan kesejahteraan umum melainkan disintegrasi, kerusakan ekologi dan degenerasi kultural .
Sosiolog Roland Robertson cenderung melihat bahwa esensi globalisasi itu berwajah ganda: menyeragamkan tetapi juga menegaskan perbedaan; ada fenomena yang mengarah kepada persatuan tetapi juga ada fenomena yg menegaskan identitas-identitas yang berbeda-beda, terbatas dan lokal. Yang terjadi bukan hanya globalisasi tetapi juga “glokalisasi”: artinya kecenderungan globalisasi yang bermuara pada penegasan perbedaan serta identitas-identitas lokal (baik nasional maupun etnik), yang mengandung potensi mengexklusikan kelompok yang satu dari yang lainnya. Globalisasi pun di satu sisi mempertegas represi (pemerintah-pemerintah, badan-badan internasional) terhadap masyarakat-masyarakat lokal. Munculnya globalisasi memperlihatkan bahwa ‘ideal dunia’ yang dicanangkan globalisasi gagal diwujudkan. Karena itu wacana umum yang dikembangkan sekarang adalah: another world is possible.
Ketika negara-negara industri maju (G8) bertemu untuk merancang kebijakan ekonomi global, serentak pada saat yang sama komunitas-komunitas lokal tampil sebagai antitesis dan mencanangkan paradigma dunia yang lain. World Economic Forum (WEF) berhadapan dengan World Social Forum (WSF). Realitas ini memperlihatkan bahwa globalisasi memang berwajah ganda: mempersatukan tetapi juga memecah-belah; memenangkan suatu kepentingan, tetapi mengalahkan kepentingan yang lain; ada yang menang dan ada yang kalah. Dalam kenyataannya, alih-alih mempersatukan globalisasi sebenarnya lebih memecah-belah masyarakat dunia antara kelompok pemenang dan kelompok yang kalah. Globalisasi menyimpan potensi yang membahayakan komunitas masyarakat global.
Salah satu varian (bahkan varian utama) dari isyu globalisasi adalah ekonomi-neo-liberal, yang oleh David Korten disebut sebagai upaya “mengintegrasikan ekonomi-ekonomi nasional menjadi ekonomi tunggal global dengan membongkar/meniadakan batas-batas negara, sehingga terbentuk suatu korporasi ekonomi raksasa yang bergerak bebas memasarkan barang dan uang ke mana saja di dunia ini sambil mengeruk keuntungan besar tanpa campur tangan pemerintah negara-negara. Atas nama efisiensi maka aliansi-aliansi korporasi ekonomi raksasa itu akan memprivatisasi pelayanan-pelayanan publik”. Sejalan dengan David Korten, sosiolog Inggeris Zygmund Brauman berupaya membongkar topeng retorika globalisasi dengan mengatakan: sambil menggarong kekayaan alam negara-negara, mereka memprogandakan ekonomi bebas; sambil menjarah kekayaan keluarga-keluarga serta komintas-komunitas masyarakat mereka memprogandakan rasionalisasi.
Apa itu globalisasi? Kita sudah melansir sejumpah point berkaitan dengan globalisasi, tetapi apa persis globalisasi per defenitionem? Globalisasi pertama-tama mengacu kepada suatu proses di mana volume serta intensitas transportasi, komunikasi dan hubungan perdagangan lintas batas berkembang pesat . Globalisasi tidak memedulikan batas-batas negara tetapi mengintensifkan efektivitas kegiatan ekonomi, sosial dan politik lintas batas bagi masyarakat antar negara. Banyak masalah yang sekarang menerobos batas-batas teritorial. Semakin banyak hal serta peristiwa yang terjadi simultan di seluruh dunia, dirasakan di mana-mana dalam tempo yang semakin singkat bahkan bersamaan.
Defenisi ini dapat diidentifikasi lewat data-data berikut. Semakin besar jumlah mahasiswa yang mengikuti program setudi luar negeri tanpa harus ke luar negeri; setiap enam jam ada sekitar 4 ratus miliar dollar uang beralih tangan; jumlah pekerja migran terus bertambah; sekarang ini ada sekitar 30 juta pekerja yang sah dan diperkirakan jumlah pekerja tak sah (illegal) sekitar dua kali lipat; jumlah pengungsi membubung melampaui jumlah tersebut; pengiriman uang dari pekerja migran ke negeri asalnya juga bertambah besar; tiap tahun 3 miliar dolar uang masuk ke India dan juga Mesiko (hanya dari pekerja migran di California) melalui pekerja imigran tersebut. Bahkan sudah ada keluarga global, seperti contoh banyak orang Filipina atau Indonesia yang sebagian anggota keluarganya bekerja di luar negeri. Sekarang ini ada 50.000 LSM berbadan hukum di dunia ini, dan 90 prsen dari jumlah tersebut muncul sejak tahun 1970. Demikian juga lembaga-lembaga riset sudah melibatkan tim internasional. Banyak isyu atau masalah tidak lagi hanya dihadapi oleh satu bangsa/negara, seperti soal narkoba, perdagangan senjata, terorisme, pencucian uang, polusi, pengungsi, sumber alam, serta penyakit, dllsb.
Globalisasi terutama dipacu oleh proyek integrasi ekonomi dalam pasar dunia serta teknologi, terutama teknologi informasi (komuikasi), sehingga tidak ada yang luput dari terpaan globalisasi. Begitu banyak kepentingan serta jaringan informasi mengalir cepat ke pelbagai penjuru; internet membantu menggalang kekuatan global untuk menolak atau melawan proyek-proyek besar pemodal kuat yang mengancam kepentingan kelompok-kelompok lokal di dunia ketiga. Hubungan yang begitu cepat pada skala global merupakan sumbangan besar dari teknologi informasi sehingga Roland Robertson menggambarkan globalisasi sebagai berkembang pesatnya komunikasi yang membantu meningkatnya kesadaran bersama pada tingkat global; manusia menjadi komunitas besar dengan kesadaran akan nasib serta tanggungjawab yang sama; juga jika nanti proyek ekonomi neoliberal akan gagal, globalisasi tetap akan menjadi isyu nyata terutama menyangkut pemanasan global, internet, budaya pop maupun terrorisme serta penyakit berskala global. Dengan globalisasi maka “geografi” sebagai rentang jarak antar tempat menjadi sirna; batas teritorial menjadi kehilangan makna. Globalisasi berarti de-teritorialisasi .



Globalisasi: Positif dan Negatif
Globalisasi membawa dampak positif dan negatif bagi manusia – dirayakan dan diratapi. Hal positif yang paling utama adalah meningkatnya kecepatan komunikasi yang pada gilirannya membantu bertumbuhnya kesadaran bersama akan satu dunia (only one world). Informasi tersedia serta isyu-isyu mengenai hak asasi manusia menyebar luas ke tingkat kesadaran global.
Kendati demikian globalisasi juga menyisahkan sejumlah hal negatif:
Pertama, globalisasi tidak sensifit terhadap penderitaan manusia. Fernando Franko antara lain menegaskan bahwa globalisasi di masa depan tidak diingat karena perannya memajukan teknologi informasi tetapi akan dikenang sebagai suatu periode perubahan ekonomi dan politik yang traumatik. Kedua, globalisasi (melalui kekuatan multikorposasi ekonomi) merusak lingkungan hidup; ketiga, polarisasi ekonomi dan politik antara pelbagai masyarakat; jurang kaya-miskin bukannya dipersempit tetapi semakin lebar menganga. Dalam dunia internet misalnya: kurang dari 1% masyarakat Afrika mengenal/menggunakan internet; dan kota Tokyo memiliki lebih banyak jaringan telepon dibandingkan dengan seluruh Afrika. 40% rakat Amerika Latin buta huruf. Ilmuwan Sosial Kanada Pierre Hamel mengatakan: perkembangan yang tidak merata membuat globalisasi hanya menjadi hanya suatu bayangan .... katanya globalisasi, tetapi nyatanya kita hidup di dunia yang terpecah. Kita memimpikan dunia yang bersatu, nyatanya kita tidak hidup di dunia seperti itu. Dunia selatan yang miskin akan semakin terlempar keluar (termarjinalisasi); jadi akan ada bagian dunia yang makin bersatu tetapi juga akan ada apartheid global. Yang terakhir, adalah mengikisnya peran serta fungsi negara dalam memberikan jaminan keamanan sosial, ekonomi dan politik bagi warganya sebagaimana diimpikan dari teori negara tradisional.
Globalisasi menghadapkan masyarakat dunia pada 10 tantangan: (1) pemanasan global; (2) instabilitas keuangan; (2) penyakit-penyakit: malaria dan aids, dll; (3) konflik-konflik; (4) akses ke pendidikan; (5) instabilitas keuangan; (6) korupsi dan good-governance; (7) gizi buruk dan kelaparan; (8) migrasi; (9) akses terhadap kesehatan dan air bersih; (7) subsidi dan hambatan perdagangan .
Ke sepuluh persoalan atau tantangan ini membantu kita untuk mencermati pencapaian globalisasi melalui tiga indikator berikut ini : Pertama, proses globalisasi yang didorong oleh privatisasi ternyata tidak memenuhi janjinya untuk mendistribuksikan kesejahteraan secara lebih baik kepada dunia khususnya yang miskin. Sebagian besar pengeluaran publik justru dinikmati oleh mereka yang secara ekonomi lebih baik. Pelayanan publik gagal menjangkau kepentingan sebagian besar rakyat miskin.
Indikator kedua adalah sejumlah kondisi memperihatinkan sebagaimana dilaporkan World Development Report 2005, yang mencakup:
Kesenjangan yang makin melebar : Pendapatan rata-rata 20 negara terkaya sekarang 37 kali lebih tinggi dari 20 negara termiskin; Konflik semakin parah: semakin banyak negara terlibat dalam konflik, terutama konflik sipil. Sebagian besar negara yang terlibat konflik adalah negara-negara miskin; Polusi udara : ratusan kota di negara berkembang memiliki tingkat polusi udara yang melampaui ambang batas; Kelangkaan air bersih: sepertiga penduduk dunia kesulitan mendapatkan akses air bersih, padahal air bersih yang bisa diminum sekarang ini tinggal 1 persen saja; kehancuran hutan dan padang yang makin meluas; semuanya terjadi di negara berkembang yang miskin di mana antara tahun 1980 – 1995 ada sekitar 200 juta ha hutan punah; makin berkurangnya keragaman hayati dan perikanan. Indikator-indikator ini memperlihatkan bahwa globalisasi secara signifikan gagal dan bersifat kontraproduktif terhadap upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian kita sampai pada indikator ketiga yakni bahwa Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Develeopment Goals/MDG) terancam gagal, karena ternyata jumlah orang miskin tidak berkurang, malah semakin bertambah; harapan bahwa semakin banyak anak, terutama anak pertempuan menyelesaikan pendidikan dasar serta tingkat kematian balita ternyata tidak tercapai sesuai target. Pencapaian yang minimal ini memperlihatkan bahwa proses globalisasi sekarang ini tidak mendukung komitmen global untuk meningkatkan kemajuan dan kualitas hidup masyarakat miskin di dunia berkembang. Ada kesenjangan antara komitmen dan praktek global yang tidak disertai dengan sikap kritis terhadap situasi dan kondisi seperti ini.
IMF telah mendorong Indonesia membuka pasar pertanian, mengambil kebijaksanaan liberalisasi arus uang dan Bank Dunia berserta Asian Development Bank memfasilitasi privatisasi air dan listrik. Dampaknya jelas bahwa para petani kita dan keluarganya semakin dimiskinakan; negara terbeban utang; negara kehilangan kemampuan memberikan pelayanan publik secara memadai; kualitas pelayanan listrik yang tidak makin baik, kriminalitas dan konflik sosial yang terus meningkat dan hilangnya hak rakyat atas air bersih. Dengan demikian distribusi kesejahteraan yang diharapkan akan tercapai ternyata tidak tercapai, karena memang spirit globalisasi yakni ideologi neo-liberal tidak mencanangkan kesejahteraan umum sebagai sasaran yang mesti dicapai.
Pertanyaan pokok kita adalah bagaimana membuat globalisasi menjadi lebih manusiawi sehingga globalisasi memberi rasa aman dan jaminan bagi hidup manusia serta kemanusiaan seluruhnya. Ada pelbagai upaya untuk menjawab pertanyaan ini. Hans Küng misalnya mempromosikan etika global . Sesungguhnya globalisasi tidak pada dirinya jahat, tergantung bagaimana proses ini mesti diarahkan kepada pemenuhan keadilan dan kesejahteraan bersama dari masyarakat dunia yang kini semakin menjadi satu kampung ini (a global village) .

Optimalisasi Modal Sosial
Menyikapi globalisasi sebagai fakta yang dirayakan dan diratapi sekaligus. Konfrensi Uskup Jerman mengajukan standart etika sosial yang diharapkan dapat memandu proses globalisasi sehingga akan lebih diarahkan pada pencapaian kesejahteraan umum. Mereka mengajukan dua standar dasar dari etika sosial tersebut; pertama, martabat manusia. Penghargaan terhadap martabat manusia mewajibkan - secara etis-moral – rakyat harus tetap menjadi pusat (subyek) setiap upaya pembangunan atau perkembangan. Pokok ini perlu diperhatikan karena ternyata globalisasi berjalan tanpa subyek yang dapat diidentifikasikan. Oritentasi dari prinsip ini terutama diarahkan pada kelompok marjinal, mereka yang miskin yang kehilangan peran dalam, proses pembangunan. Pokok kedua adalah bahwa pembangunan serta perkembangan (ekonomi, pasar, tekonologi, komunikasi, dll) tidak bertujuan pada dirinya tetapi pada perkembangan dan peingkatan mutu hidup manusia serta kesejahteraannya secara sosial, ekonomi dan politik. Kesejahteraan umum adalah tujuan akhir dari setiap perkembangan dan pembangunan.
Perwujudan bonum comune ini hanya mungkin dicapai melalui kerja sama dari seluruh komponen masyarakat serta membentuk jaringan-jaringan sosial. Inilah yang disebut sebagai modal sosial. Modal ssosial dapat menjadi kekuatan yang mengendalikan dan mengarahkan globalisasi menuju tujuan yang manusiawi dan adil.
Modal sosial berakar atau bersumber pada manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sosial. Kekuatan modal sosial bersumber pada manusia pribadi, sehingga modal manusia dan modal sosial merupakan satu kesatuan. Bagaimana mengoptimalkan modal sosial sehingga memberi sumbangan bagi pemanusiaan globalisasi? Modal sosial diharapkan dapat menjadi kekuatan yang mengikat unsur-unsur yang ada dalam masyarakat, menjembatani kelompok-kelompok dalam masyarakat sehingga terhubungkan satu sama lain dan tidak saling mengeksklusikan, membentuk jaringan demi pencapaian kesejahteraan bersama secara menyeluruh.
Modal sosial memiliki empat fungsi: pertama, fungsi sosial budaya, menjembatani perbedaan dan bahkan konflik nilai-nilai akibat benturan nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru yang diperkenalkan oleh globalisasi. Mencegah imperalisme budaya, membantu terciptanya budaya hukum yang menjamin martabat dan kebebasan individu, serta pertisipasi masyarakat dan pribadi dalam proses politik dan pembangunan. Modal sosial menjembatani partikularisme dan universalisme budaya.
Kedua, fungsi politik. Membantu menciptakan pranata pemerintahan yang demokratis, tata hukum yang baik dan adil serta menjamin hak-hak asasi manusia. Dengan demikian setiap warga terjamin keamanannya dan kaum miskin serta terpinggirkan memiliki akses dalam proses pembangunan dan membuat keputusan.
Ketiga, fungsi sosial. Menjamin bahwa orang miskin memiliki akses pada pelayanan sosial. Modal sosial memungkinkan bahwa semua merasa bertanggungjawab untuk semua; jadi menjamin solidairtas antar pribadi.
Keempat, fungsi ekonomi. Memungkinkan interaksi yang lebih erat dalam rangka tanggungjawab sosial. Modal sosial membuat ekonomi pasar terarah kepada tujuan sosial yakni kebaikan dan kesejahteraan umum.
Dalam rangka mengoptimalisasikan peran dan fungsi modal sosial ini, Konfrensi Uskup Jerman mengajukan tujuh hal yang secara etis tidak boleh diabaikan:
1. Kemiskinan: kemiskinan tidak hanya dimengerti sebagai kemiskinan material, tetapi juga kurangnya peluang pengembangan diri dan partisipasi akses pada pelayanan sosial. Ketika suatu masyarakat mulai kehilangan solidaritas, maka di sana penderitaan manusia semakin terasa. Modal sosial menjadi amat penting dalam situasi seperti itu, juga penting bagi masyarakat yang ingin bebas dari pengawasan, eksploitasi dan ketergantungan.
2. kelompok minoritas: umumnya menjadi tersingkir dan kehilangan peluang serta akses ke dalam partisipasi baik untuk pengambilan keputusan maupun berperan dalam pembangunan. Untuk itu dibutuhkan pokok berikut ini.
3. Partisipasi : mengambil bagian dalam menentukan dan membentuk langkah-langkah politis, program bantuan dan kondisi kehidupan mereka sendiri.
4. keadilan jender : peran perempuan harus dioptimalkan (melalui pendidikan dan pemberdayaan) karena punya peran sentral dalam menciptakan jaringan sosial dan pengentasan kemiskinan.
5. pemberdayaan : bantuan harus diberikan agar yang dibantu diberdayakan, dan bukan menciptakan ketergantungan. Untuk itu prinsip subsidiaritas menjadi amat penting.
6. Solidaritas dan subsidiaritas .
7. keadilan antar generasi: sumber-sumber alam harus dijaga demi generasi yang akan datang.

Komunitas-komunitas agama dan modal sosial
Komunitas agama sebenarnya merupakan penyangga dan sekaligus representasi dari modal sosial. Komunitas agama amat berperan dalam pembentuk tingkah laku dan komunikasi dalam perilaku sosial. Komunitas agama memiliki norma-norma serta energi spiritual yang mendorong seseorang untuk peduli dan memperhatikan sesamanya, terutama mereka yang berkekurangan dan miskin.
Komunitas agama dapat membentuk suatu solidaritas yang konkrit dan efektif. Sehingga komunitas-komunitas agama mestinya memainkan peran besar dalam mengentaskan kemiskinan. Kerja sama antar komunitas agama-agama serta membangun jaringan berskala global akan efektif menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam komunitas agama dapat terbentuk kekuatan masyarakat madani (civil society) yang menjadi faktor penting dalam pembentukan modal sosial.
Untuk itu perlu dihargai kebebasan beragama sebagai prasyarat terciptanya damai di antara komunitas agama-agama, yang pada gilirannya menyokong pembentukan modal sosial dan kerja sama lintas agama. Hal penting lainnya adalah optimalisasi peran perempuan sehingga budaya partisipasi bertumbuh subur dalam komunitas agama.
Komunitas agama-agama akan efektif menjawab persoalan globalisasi yang melindas orang miskin bila secara konkret menjalankan aksi-aksi seperti: jaminan sosial artinya terciptanya perangkat dan prasarana sosial yang menjamin partisipasi dan keamanan sosial bagi kaum miskin; pendidikan, selain sektor formal sekolah, juga pendidikan non-formal yang membantu peserta didik mamu memahami dan menjawab tantangan globalisasi; perempuan dan kesempatan yang sama; komunikasi, agar mereka yang miskin dapat mengakses pengetahuan; tata hukum dan perlindungan HAM; pencegahan krisis dan penyelesaian konflik-konflik.

Penutup
Globalisasi telah menjadi tanda-tanda zaman, yang mesti dicermati dan ditafsirkan dalam cahaya kebenaran dan prinsip keadilan untuk semua. Globalisasi tidak negatif pada dirinya, manusia sebagai subyek dan pelaku perkembangan dan pembangunan dengan modal sosial yang dimilikinya mesti meluruskan arus globalisasi ke arah yang akan menjamin kesejahteraan untuk semua. Ambivalensi dan paradoks globalisasi adalah niscaya, tetapi semuanya bukanlah fakta tanpa pelaku. Dibutuhkan pembacaan fakta tersebut agar memahaminya dengan tepat serta dengan modal sosial mulai melakukan perubahan menuju globalisasi yang berwajah manusiawi dan adil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linguistik Historis Komparatif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)