INTISARI PEMIKIRAN ANTONIO GRAMSCI

PENGANTAR
Sekalipun pemikiran-pemikiran kritisnya dipresentasikan dengan tidak sistematis dan tersebar-sebar dalam 33 buku notes (notebook) itu, Gramscsi menyumbang banyak ide dan wawasan kritis bagi pergerakan sosialisme di seluruh dunia. Secara khusus kontribusinya memang sangat penting bagi Italia dan pergerakan sosialisme di Eropa, namun bukan berarti tidak berguna bagi kita di sini.
Gramsci adalah filsuf yang secara kritis mengkaji ulang marxisme. Sama seperti pemikir sosialis Jerman, Eduard Bernstein, ia bukanlah pengikut buta ideologi marxisme. Misalnya, ia menolak pandangan determinisme ekonomi dari Marxisme (sebuah pandangan yang didasarkan pada prakonsepsi bahwa sejarah pasti akan bergulir menuju satu arah yang ditentukan oleh perkembangan kecenderungan-kecenderungan dan
kondisi-kondisi ekonomi).
Gramsci meyakini bahwa sistem ekonomi dan sosial tidak semata-mata didasarkan pada kontrol ekonomi dan paksaan fisik, seperti yang diucapkan Marx. Tapi lebih dari itu. Sistem yang kompleks itu juga didasarkan pada hegemoni (dominasi kepemimpinan) dari kelas berkuasa. Hal itu adalah sarana kelas berkuasa untuk mempersuasi mayoritas populasi untuk menerima sistemnya, nilai-nilainya, perilaku-perilakunya, dan keyakinan keyakinannya untuk mendukung tatanan sosial yang ada (status quo). Ia juga menyakini adanya sejumlah perbedaan penting dalam perjuangan revolusioner mencapai sosialisme di Barat, maupun di wilayah lain. Setiap masyarakat punya situasi dan kondisi yang berbeda, karenanyalah jalur perjuangan menuju sosialisme pun berbeda. Revolusi tidak bisa melulu didasarkan pada gagasan atas sebuah krisis di depan mata, ataunpenggulingan dengan secepatnya pada bangsa yang otokratik dan stagnan seperti pada Imperium Rusia sebab adanya perbedaan watak di masing masing bangsa. Gramsci mencontohkan bagaimana industrialisasi di Eropa Barat lebih membuka banyak peluang perubahan daripada harus menjungkir-balikkannya sama sekali. "Revolusi" semata-mata hanyalah sebuah proses ideologis di mana sebuah kontra-hegemoni (dominasi kepemimpinan dari suatu pandangan yang berbeda) akan memimpin transformasi kesadaran masyarakat, tanpa harus melibatkan aspek-aspek kekerasan di dalamnya. Yang terjadi adalah perubahan gradual semua hubungan sosial: ekonomi, politik, dan sosial. Secara khusus Gramsci menekankan peran (dan mengkampanyekan pentingnya) politik dalam perjuangan merebut kepemimpinan itu. Para intelektual harus mengambil peran dengan mempersiapkan perubahan dalam negara, partai harus mengambil peran memimpin dan mendidik masyarakat mengenai perjuangan tersebut.
Penting dicatat di sini, membaca karya-karya Gramsci bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, bentuk aslinya adalah surat-surat lepas yang ditulisnya dari dalam penjara, karenanya disusun sangat abstrak dan penuh sandi untuk menghindari sensor para sipir. Misalnya, marxisme disebutnya sebagai "filsafat praksis", lalu term "kelas" digantinya dengan "kelompok sosial dominan dan bawahan (subaltern)", partai revolusioner disimbolkannya sebagai "Pangeran Modern", dan sebagainya. Malah banyak pengkaji Gramsci sendiri mengaku belum bisa sepenuhnya memahami gagasan-gagasan Gramsci sekalipun telah mengupas seluruh surat-suratnya.
Sekedar Intisari Ada 3 konsep pokok yang bisa dianggap sebagai aplikasi Gramsci atas marxisme dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut. Pertama, gagasan mengenai masyarakat sipil. Dalam pandangan Gramsci, kelas penguasa di Barat tidak hanya mendominasi masyarakat dengan memanfaatkan Negara–birokrasi politik, polisi, angkatan bersenjata, dan pengadilan. Namun menurutnya, kapitalisme Barat ditandai oleh keberagaman masyarakat sipil–termasuk sekolah, partai-partai politik, media massa, gereja, dan organisasi-organisasi lain-yang dimanfaatkan sepenuhnya oleh kelas penguasa untuk memperluas pengaruhnya dalam masyarakat.
Dalam catatan-catatannya, Gramsci berkali-kali menekankan bahwa institusi-institusi masyarakat sipil memainkan peran yang lebih vital ketimbang Negara dalam mengamankan kekuasaan kaum borjuis. Gagasan ini membuka jalan bagi gagasan berikutnya, yakni perihal hegemoni.
Dalam cermatan Gramsci, di Barat, kelas kapitalis tidak lagi terlalu menggantungkan dirinya pada praktik kekerasan dan intimidasi. Namun lebih berkonsentrasi pada merebut perhatian dan pengaruh warga yang diperintahnya. Kelas penguasa berupaya mendirikan suatu kepemimpinan moral dan ideologi, atau hegemoni, atas masyarakat dengan menanamkan nilai-nilainya kepada orang banyak. Itu artinya, menurut Gramsci, sebuah perjuangan revolusioner tidak hanya menaruh perhatian pada upaya menggulingkan negara. Tapi juga harus memenangkan pengaruh mayoritas anggota masyarakat dengan menawarkan nilai-nilai dan keyakinan baru setelah sebelumnya meruntuhkan dominasi intelektual dan kultural kelas penguasa. Sebuah pergerakan revolusioner juga harus menyusun suatu strategi kontra-hegemoni. Artinya, harus dibangun sebuah pergerakan sosialis dengan lembaga kebudayaan dan para
intelektualnya sendiri.
Melalui hal itulah Gramsci mengintroduksi gagasan ketiganya, "perang
posisi". Di Rusia, kata Gramsci, saat rejim Czar tengah dilanda krisis, tugas pokok gerakan kaum proletar di sana adalah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk merobohkan negara. Hal itulah yang dinamainya sebagai "perang manuver" –serangkaian taktik kompleks yang dirancang untuk melakukan serangan saat pihak lawan berada dalam posisi guncang. Namun, pendekatan itu tidak bisa dilakukan bila kelas penguasa lebih memerintah dengan "persetujuan" ketimbang kekerasan dan paksaan. Dalam situasi seperti itu, dalam pandangan Gramsci, pergerakan marxis harus dilakukan dalam gelar "perang posisi" dalam masyarakat –sebuah kampanye pembangunan sistem saluran-saluran politik yang kompleks dengan melibatkan surat kabarm lembaga-lembaga kebudayaan, serikat dagang, organisasi-organisasi perempuan, petani, dan pemuda—yang memungkinkan gerakan revolusi sosialis melemahkan hegemoni kelas penguasa sekaligus mulai membangun budaya politiknya yang baru dalam masyarakat yang sama. Sekalipun tidak menolak upaya-upaya penggulingan negara dalam tahapan pencapaian revolusi sosialis, Gramsci menilai dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun suatu gerakan massa revolusioner yang menjadi prakondisi bagi hal tersebut.
Gramsci yakin, gagasan-gagasan lama yang hegemonis pastilah akan tetap dipegang kukuh oleh sebagian orang yang menyaksikan krisis dalam masyarakat layaknya kilat di tengah badai, dan menganggap gerakan revolusioner tampil secara maya dari negeri antah berantah untuk menggulingkan rejim yang lama. Gramsci menamai situasi itu sebagai "mistisisme historis" yang menantikan "pencerahan". Kapitalisme modern, berikut masyakat sipilnya yang kompleks, tidaklah begitu saja bisa
dibayangkan pasti akan mengalami merosotan drastis yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh gerakan revolusioner untuk mengambil alih kekuasaan. Dengan jaringan institusi institusi yang kompleks dan partai-partai politik, kelas penguasa di Barat boleh dibilang nyaris telah mengendalikan sebagai sumber daya yang memungkinkannya melakukan klaim-klaim vital. Karenanyalah, ketimbang sekadar mentransfer strategi revolusioner yang telah digelar pada 1848 di Prancis atau 1917 di Rusia, para marxis Barat membutuhkan strategi yang lebih canggih. Salah satunya ditujukan untuk membangun gerakan massa revolusioner sejati sebelum terjadinya krisis ekonomi dan sosial. Karenanya kemudian Gramsci menyusun sebuah model partai revolusioner
yang baru dan lebih kompleks bagi masyarakat kapitalis lanjutan.
Namun tidak berarti Gramsci menganjurkan bahwa yang harus dilakukan hanyalah semata "perang" intelektual dan kultural terhadap hegemoni kapitalis. Tidak sekalipun ia menganjurkan agar para seniman atau intelektual bisa sekadar memproduksi lukisan-lukisan, buku-buku, drama-drama, film-film, dan seterusnya sebagai cara paling ampuh menumbangkan kapitalisme. Ia tetap bersikeras bahwa partai politik adalah "laboratorium sejarah" untuk membangun sebuah kontra-hegemoni. Partai revolusioner adalah persimpangan tempat bertemunya teori dan praktik. Membangun sebuah tipe partai massa revolusioer haruslah menjadi komitmen pokok dari setiap marxis yang serius.
Pada saat yang sama, Gramsci juga menyadari bahayanya bila para pemimpin partai sosialis mungkin menjadi konservatif dan berpandangan birokratis, merea mungkin menjadi "terjinakkan" lantaran terlalu sering memandang persoalan semata dari jenderal kantor partainya dan kehilang kontak dengan pengalaman aktual kaum tertindas. Partai politik, menurut Gramsci, punya kecenderungan bakal mengalami "mumifikasi" dan anakronistik. Karenanya vital bagi partai sosialis sejati untuk secara organisasional terhubung dengan pengalaman keseharian massa keras pekerja. Itu artinya, para intelektual partai–juru-juru bicaranya, para wartawan, dan organisator-organisator lainnya—harus "mencelupkan" dirinya dalam pengalaman keseharian gerakan kelas buruh. Itu juga berarti partai harus mengembangkan tipe pemikir-pemikir baru yang Gramsci namai sebagai intelektual organic –mereka yang kehidupan intelektual dan pandangan-pandangannya dibentuk oleh keterlibatan organik mereka dalam perjuangan kaum tertindas.
Gramsci meyakini bahwa intelektual-intelektual organik-lah yang akan menyediakan "peralatan" bagi massa untuk bisa memahami situasi ketertindasan, sebab ia percaya kekuatan negara modern juga sangat disokong oleh ideologi. Belajar dari bangkitnya fasisme di Italia tahun 1920-an, Gramsci menitipkan harapan yang besar bagi para intelektual organik untuk mampu menawarkan sebuah cara pandang baru yang lebih progresif hingga "…setiap orang bisa intelektual bagi dirinya sendiri, dan bukan lagi domba yang patuh digembalai kaum fasis." Kesadaran kelas tidak bisa menjadi suatu kesadaran politik yang sejati kecuali massa pekerja dilatih dan dididik untuk bereaksi pada setiap bentuk tirani, penindasan, kekerasan, dan pelecehan dalam sebuah cara pandang sosial demokratik (revolusioner sosialis).
Kesadaran kelas tidak akan sejati kecuali kaum buruh belajar, dari seluruh peristiwa dan fakta-fakta politik, mengamati polah kelas-kelas sosial lainnya sebagai manifestasi kehidupan intelektual, etis, dan politisnya. Ia hanya akan sejati bila kaum buruh telah mampu menerapkan analisis materialis pada seluruh aspek kehidupan. Pendidikan politik itu tidak mungkin datang dari serikat-serikat buruh, atau organisasi organisasi reformis, namun dari terbentuknya sebuah partai revolusiober. Sebab, serikat buruh tidak dimungkinkan menawarkan komposisi dan tata cara perekrutan anggota dan penuntasan program revolusioner, sekalipun keberadaannya juga tidak bisa digantikan begitu saja oleh partai.
Pada titik ini Gramsci mengusulkan sebuah interaksi yang dekat antara pergerakan kelas pekerja yang "spontan" dan "kepemimpinan" politik dari sebuah partai revolusioner. Baginya, gerakan-gerakan spontan, kapan dan bagaimanapun terjadinya, tidak boleh diabaikan. Adalah tugas bagi sebuah partai sosialis untuk menjadi bagian dari perjuangan itu, sementara di sisi lain berupaya mendorong mereka ke tahapan yang lebih tinggi–membebaskan mereka dari nasionalisme sempit, diskriminasi seksual, dan gagasan-gagasan tradisional lainnya—dan memanfaatkan gerakan itu untuk menunjukkan kepada massa bahwa mereka memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menjadi "pencipta" nilai-nilai baru, "pendiri" sebentuk masyarakat baru.
Gramsci membayangkan interaksi yang berlangsung antara gejolak pergerakan hari demi hari dengan berbagai aktivitas edukatif yang dirancang untuk menciptakan dasar dari sebuah budaya politik sosialis. Kedua elemen itu –perlawanan perlawanan yang sesegera serta pendidik politik dan kultural—sama esensialnya. Bersatunya kedua elemen itu hanya bisa dicapai dalam sebuah gerakan politik yang mengarahkan dirinya untuk melakukan swa-mobilisasi dan swa-edukasi pada kelas pekerja.
Gramsci memang tidak mewarisi sebuah buku resep untuk membangun gerakan revolusioner dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut, ia pun bukan seorang pencipta dogma baru. Bukunya, Prison Notebooks seringkali juga samar sama dan semata-mata menganjurkan, selain itu ada teramat banyak perkembangan dalam masyarakat kapitalis lanjutan yang saat ini terjadi di luar batas imajinasinya. Namun selagi di balik jeruji besi
penjara, Gramsi merefleksikan pengalaman-pengalamannya dengan kelas pekerja dan para pemimpin gerakan-gerakan sosialis. Termasuk pengalaman pahitnya saat gagalnya revolusi sosialis yang tengah dirancangnya hingga membuka jalan bagi tampilnya fasisme. Di dalamnya ia memaparkan sejumlah jalan yang bisa ditempuh sebuah gerakan sosialis untuk berurusan dengan bentuk-bentuk budaya dan ideologi dalam masyarakat
yang didominasi kapitalis.
Sekalipun hanya sekadar pengantar dan anjuran, ide-ide Gramsci merupakan sumber tidak ternilai bagi mereka yang ingin melanjutkan tugas pengorganisasian sosialisme dari bawah saat ini. Sebab sosialisme tidak mungkin dipaksakan dari atas oleh agen-agen negara. Ia harus dibangun dari bawah dengan terus-menerus memperluas partisipasi masyarakat di bidang politik, termasuk melakukan perobakan mendasar pada banyak kelaziman dan kesadaran massa.Kritik atas Gramsci Kritik terpenting terhadap pemikiran Gramsci datang dari kaum Kiri ortodoks. Mereka mengganggap pada dasarnya pemikiran-pemikiran pokok Gramsci tidak orisinal, hanya melengkapi sejumlah argumen yang telah ditegaskan oleh Marx dan Lenin pada masa sebelumnya. Misalnya, kepeloporan Gramsci pada suatu interpretasi non-ekonomistik atas Marxisme, sesungguhnya adalah semangat yang telah tumbuh sejak Internasionalle Kedua, bahkan juga dikembangkan oleh Marx, Lenin, dan Trotsky. Hal yang sama juga tampak pada klaim orisinalitas ide bahwa kaum borjuis berkuasa juga atas kesadaran –selain memanfaatkan kekerasan—yang seolah-olah tak disadari oleh Marx. Lalu, penekanan Gramsci atas pentingnya penciptaan intelektual-intelektual organik yang berjuang bersama dan dari kaum buruh untuk memenangkan perjuangan kelasnya, dianggap sekedar merumuskan ulang atas apa yang telah dilakukan Lenin dan kawan-kawannya separtainya menuju RevolusiBolshevik. Begitu pula halnya dengan penegasan Gramsci bahwa setiap masyarakat memiliki jalur revolusionernya sendiri menuju sosialisme sesuai dengan watak kapitalisme yang berkembang di sana. Menurut para pengkritik Gramsci, gagasan yang dilontarkannya untuk merespon rekan-rekannya di PCI yang berkeyakinan mungkin mengulang sukses Revolusi Bolshevik di Italia itu, sesungguh telah dilakoni oleh Lenin sendiri. Sedari tahun 1890-an, Lenin menghabiskan masa-masa awal karir politiknya untuk mengkaji watak kapitalisme Rusia yang sama sekali berbeda dengan kapitalisme di Eropa, yang lalu dituangkannya dalam State and the development of Capital. "Bukankah perjuangan selama lebih 20 tahun yang dilakukan Lenin dan kawan-kawan merupakan contoh terbaik dari keberhasilan upaya pencarian jalan revolusioner menuju sosialisme sesuai dengan watak kapitalisme yang berlaku dalam suatu masyarakat?," begitu tanya mereka retoris.Kritik atas Para Pengikut Gramsci Para Gramscian sendiri banyak dikritik keras lantaran gagal sepenuhnya mengikuti jalan revolusioner yang ditempuh Gramsci dalam hidupnya. Mereka diolok-olok hanya mengobral gagasan-gagasan Gramsci di jurnal-jurnal kiri tanpa pernah melakukan pengorganisasian dan berjuang di sisi massa kelas pekerja. Mereka dianggap pengecut dan peragu lantaran selalu menolak berkonfrontasi dengan tegas pada
kekuatan-kekuatan kapitalisme dengan sibuk "bermain" siasat lewat cara-cara yang "keras". Dalihnya, mereka percaya pada perjuangan gradualistik hegemoni ideologis melalui medium aliansi lintas-kelas yang lebih luas. Tapi mereka justru dianggap telah mengkhianati Gramsci lantaran semata-mata menganggapnya sebagai "nabi" teoritis dari
komunisme Eropa yang menolak strategis perebutan kekuasaan yang dipakai kaum Leninis. Singkatnya, pemikiran-pemikiran Gramsci justru dijadikan justifikasi untuk meninggalkan politik revolusioner.


Civil Society dalam pemikiran Antonio Gramsci
Dalam kosakata politik kontemporer, civil society termasuk salah satu frasa atau jargon yang paling popular dan paling banyak sirkulasinya. Bahkan, bisa dikatakan bahwa bersama jargon lain seperti globalisasi, istilah ini kerap beredar tanpa kejelasan makna dan batasan. Namun, semenjak jatuhnya rezim Uni Soviet di Polandia dan rezim-rezim otoriter lain, istilah dan konsep ini kian popular. Yang menarik, disamping popularitas istilah ini, hingga sekarang belum ada terjemahan yang dirasa betul-betul pas dalam bahasa Indonesia. Usulan untuk menerjemahkannya menjadi masyarakat madani sempat bergaung cukup keras untuk kemudian diam lagi. Terjemahan itu pun dirasa kurang pasa karena memang isitilah ini bukan sekedar istilah melainkan sarat makna dan lahir dalam formasi serta proses historis tertentu. Demikian pula terjemahan lain yang lazim dipergunakan – seperti misalnya masyarakat sipil – yang tidak mendapat penerimaan cukup kuat dalam masyarakat karena tidak mewakili makna yang pas sebagaimana terkandung dalam istilah ini.
Lepas dari masalah penerjemahan konsep, popularitas isitilah dan konsep ini sebagaimana ada sekarang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Antonio Gramsci. Bahkan, dapat dikatakan, penggunaan istilah dan konsep ini – dalam hubungannya dengan Negara – berhutang banyak pada pemikir ini.
1. Sekilas Riwayat Hidup Gramsci
Gramsci lahir pada 22 Januari 1891 di Ales di propinsi Cagliari di Sardinia, sebuah pulau yang terletak di sebelah barat semenanjung Italia. Ia adalah anak keempat dari tujuh anak pasangan Frnascesco Grmasci dan Giusppina Marcias. Hubungan Antonio dengan ayahnya tidak pernah dekat namun ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya. Daya tahan, bakat bercerita dan rasa humornya meninggalkan bekas mendalam pada dirinya.
Pada tahun 1897, ayah Antonio diskors dari pekerjaannya, kemudian ditangkap dan dipenjara selama 5 tahun atas tuduhan penyalahgunaan administrative. Dalam situasi Sardinia pada waktu itu, hal seperti itu mudah terjadi karena Italia pada waktu itu kental dengan praktek persaingan kekuasaan yang kotor. Tak lama kemudian, Giuseppina membawa anak-anaknya pindah ke Ghilarza, dimana Antonio menyelesaikan pendidikan dasarnya. Gramsci rupanya terkena penyakit Pott yang merusak pertumbuhan jasmaninya. Tingginya tidak lebih dari satu setengah meter.
Tahun 1911 adalah tahun yang penting dalam hidup Gramsci muda. Setelah lulus dari Lyceum Cagliari, ia memenangkan beasiswa ke Universitas Turin. Beasiswa ini diperuntukan bagi mahasiswa-mahasiswa tak mampu dari propinsi yang dulunya adalah Kerajaan Sardinia. Antonio masuk di Fakultas Sastra. Di Universitas ini ia bertemua Angelo Tasca dan beberapa orang yang menjadi teman seperjuangannya di Partai Sosialis Italia dan kemudian setelah perpecahan yang terjadi pada bulan Januari 1921 di Partai Komunis Italia.
Di universitas, Antonio menderita karena hal-hal yang disebabkan oleh kekurangan uang; makanan yang tidak bergizi, tempat tinggal tanpa panas dan kelelahan saraf terus menerurs karena kondisi fisiknya. Meski begitu, ia tetap mengikuti kuliah dengan antusias, baik dalam humaniora maupun ilmu social dan linguistic. Bidang terakhir ini menjadi minat pribadinya yang serius.
Ia menjadi editor dari Avanti edisi Turin dan ulasan teaternya dibaca secara luas dan mempunyai pengaruh. Secara teratur ia berbicara dalam kelompok-kelompok belajar pekerja tentang berbagai topic seperti misalnya tentang novel-novel Romain Rolland, Komune Paris, revolusi Perancis dan Italia serta tulisan-tulisan Karl Marx. Pada saat inilah, ketika perang berlangsung dan ketika intervensi Italia berakibat buruk, Gramsci mengambil sikap yang agak ambivalen. Posisi dasarnya adalah bahwa kelompok sosialis Italia harus menggunakan intervensi Italia sebagai kesempatan untuk membangkitkan sentiment nasional Italia secara revolusioner daripada secara chauvinistic. Pada saat-saat ini juga – yaitu tahun 1917 dan 1919 – ia mulai menyadari perlunya integrasi tindakan politik dan ekonomis dengan kerja budaya yang mengambil bentuk asosiasi budaya proletariat di Turin.
Pecahnya revoluasi Bolshevik pada bulan Oktober 1917 lebih jauh mendorong gairah revolusionernya dan selama sisa masa perang ini dan pada tahun-tahun sesudahnya, Gramsci mengidentifikasikan dirinya (meskipun secara kritis) dengan metode dan tujuan kepemimpinan revolusioner Rusia dan dengan tujuan transformasi sosialis di dunia kapitalis maju. Pada musim semi 1919, bersama Angelo Tasca, Umberto Terracini dan Togliatti, ia mendirikan L’Ordine Nouvo: Rassegna Settimanale di Cultura Socialista (Tatanan Baru: Sebuah Ulasan Mingguan atas Budaya Sosialis), yang menjadi sebuah majalah berpengaruh – yang diterbitkan pada awalnya sekali seminggu dan kemudian dua minggu sekali – dikalangan kelompok radikal dan revolusioner di Italia.
Periode dari tahun 1921 sampai 1926 merupakan periode penting dalam hidup Gramsci. Ia tinggal dan hidup di Moskow sebagai perwakilan Italia pada Komunis Internasional dari bulan Mei 1922 sampai November 1923, anggota Kamar Wakil pada bulan April 1924, dan pada posisinya sebagai sekretaris jenderal Partai Komunis Italia. Hidup pribadinya juga penuh pengalaman-pengalaman penting. Salah satunya adalah pertemuan dan pernikahannya dengan Julka Schucht (1896-1980), seorang pemain biola dan anggota Partai Komunis Rusia yang ia kenal selama tinggal di Rusia.
Pada malam 8 November 1926 Gramsci ditangkap di Roma dan sejalan dengan serangkaian Undang-Undang Eksepsional yang diberlakukan oleh pembuat undang-undang Italia yang didominasi oleh kelompok fasis, ia dimasukan ke dalam tahanan soliter di penjara Regina Coeli. Peristiwa ini menjadi awal dari periode penjara sepuluh tahun pada kematiannya karena pendarahan otak pada tanggal 27 April 1937.
Yang menarik justru dalam periode penjara inilah Gramsci justru menghasilkan sumbangan terbesarnya terhadap baik khazanah pemikiran Marxisme maupun teori atas peristiwa ekonomi, politik dan budaya Italia serta perjuangan Partai Komunis Italia. Catatan-catatan ini ia sembunyikan di berbagai sel.
Setelah divonis 20 tahun 4 bulan dan 5 hari di penjara pada tanggal 4 Juni 1928 bersama dengan pemimpin-pemimpin komunis Italia lainnya, Gramsci dikirim ke sebuah penjara di Turi yang terletak di propinsi Bari. Setelah masa-masa ini, ia ada dalam pengawasan polisi di sebuah klinik di Formia. Pada bulan Agustus 1935, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Quisisana di Roma. Disanalan ia menghabiskan dua tahun terakhir dalam hidupnya.
2. Genealogi Singkat Gagasan dan Istilah Civil Society.
Gagasan modern yang kita kenal mengenai civil society berawal dari surutnya pengaruh Gereja Katolik dalam masyarakat luas, lahirnya perlawanan terhadap feodalisme dan tumbuhnya kelas borjuis baru di Eropa yang lahir bersamaan dengan zaman Rennaisance.
Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin untuk warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas. Istilah ini menunjuk pada pembedaan mendasar antara penduduk kota yang terikat satu sama lain secara social dan secara politis oleh ikatan kewarganegaraan dan penduduk yang hidup sebagai petani di luar kota. Pada Abad Pertangahan, kota memiliki makna social, cultural dan politis distingtif. Secara jasmani, kota dibangun sebagai suatu kantung perlindungan yang kerap dikelilingi oleh benteng-benteng . imajinasi dualistis ini menghuni alam pikir periode ini: penghuni kota – petani (dalam bahasa Jerman: burgher/bauer dan bahasa Italia Borghese/peasano). Keanggotaan dalam suatu komunitas dirumuskan secara legal, kontitusional dan politis yang terwujudkan dalam gagasan tentang warganegara dan kewarganegaraan. Gagasan ini kemudian dirumuskan secara intelektual dalam karya Niccolo Machiavelli (1469-1527) dan Francesco Guicciardini (1433-1540).
Karya politik yang menandai ‘perpisahan’ilmu politik tentang kekuasaan dan lepas dari moralitas adalah karya Machiavelli Il Principe (1532). Pada saat yang kurang lebih bersamaan, munculah gagasan kontrak social tentang masyarakat dan Negara yang berangkat dari suatu keadaan alamiah manusia. Hokum kodrat dan hak kodrati tidak lagi dibangun atas dasar teori hokum kodrat Thomas Aquinas di Abad Pertangahan. Baik Hugo Grotius (1583-1645), Thomas Hobbes, maupun John Locke antara lain mengajukan konsepsi yang berbeda: hokum kodrat dan hak kodrati dipahami dalam konteks bahasa teori kontrak, individualism, kebebasan dan teori tentang hak milik pribadi. Perbedaan ini menandai transisi dari Abad Pertengahan kea lam pikir politik modern dan transisi dari masyarakat tradisioanl – feudal ke masyarakat modern dan borjuis.
Baik Hobbes maupun Locke menggambarkan kondisi pra-sosial atau keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Bagi Hobbes, keadaan alamiah adalah perang atau terkenallah ungkapannya ‘perang melawan semua’. Ia menggambarkan keadaan alamiah dimana manusia ada dalam individualism ekstrim dan hidup sosialnya pada dasarnya merupakan hubungan konfliktual. Kedaulatan mutlak individu ini harus diimbangi dengan bangunan Negara yang kuat untuk menjamin adanya tatanan social yang menciptakan keamanan dan kepastian bagi individu. Kemungkinan civil society berasal dari dan dijamin oleh Negara atau “Leviathan”. Sementara itu Locke memandang Negara dan civil society memiliki hubungan yang positif. Dalam pemikiran Locke, transisi dari keadaan alamiah ke civil society tidak dicapai melalui pengaturan tatanan oleh Negara yang dominan. Sebaliknya, civil society terbentuk melalui kontrak antara individu-individu yang merdeka, yang pada akhirnya membentuk Negara demi kepentingan mereka sendiri. Terbentuknya civil society ditandai dengan dikenalkannya uang (sebagai tanda pesetujuan). Dalam banyak hal hubungan Negara – civil society ditentukan oleh kegiatan ekonomi dan kekuatan pasar. Pada Locke, negaralah yang tergantung pada civil society. Terlihat bahwa peran Negara sangat minim – yaitu Negara sebagai ‘penjaga malam’. Civil society dipandang sebagai ruang asosiasi bebas, independen dan otonom.
Sebagai istilah yang kita kenal sekarang – meski dengan sedikit perbedaan arti – istilah ‘civil society’ digunakan mungkin paling awal dalam tulisan Adam Ferguson (1723-1816). Ferguson tidak membuat pembedaan antara Negara dan masyarakat. Dalam pemikirannya, civil society dicirikan oleh perdagangan, hak milik, keadilan, kedaulatan hokum, transparansi pemerintah dan akumulasi pengetahuan dalam seni, ilmu pengetahuan dan moral. Ia tidak mengemukakan asosiasi bebas sebagai karakterisktik civil society namun memandang berkumpulnya para warga kota di tempat umum sebagai karakteristik dari kesejahteraan tiap masyarakat. Pada pemikirannya, civil society tidak dilawankan terhadap Negara. Yang penting baginya adalah persamaan antara warga kota dan kebebasan yang mereka nikmati. Hal-hal yang membedakan civil society – dan tatanan politis yang memungkinkannya – dari tirani dan penindasan.
Menurut Hegel, relasi-relasi social dalam civil society juga merupakan ekspresi dari konflik akibat relasi-relasi ekonomis. Dalam bahasa Hegel, civil society adalah “sphere of necessity” yang berisi “system of needs” seperti keinginan, selera, insting, kebutuhan ekonomisnya. Dalam karyanya Elements of the Philosophy of Right, Hegel menempatkan civil society (dalam bahasa Hegel “buergerliche Gesselschaft”, kemudian sekarang dirujuk sebagai Zivilgesselschaft) sebagai suatu tahap dalam hubungan dialektis tahap-tahap berlawanan dalam pemikiran Hegel, yaitu antara komunitas makro Negara dan komunitas mikro keluarga. Negara dalam konsepsi Hegel menyelesaikan sekaligus mentransendensikan kontradiksi yang terjadi dalam civil society. Tahap perkembangan ini memuncak pada Negara yang dipandang sebagai suatu tahap etis sebagai puncak dari perkembangan perjalanan Roh (rasional universal) yang menjelma. Civil society mendapatkan maknanya dan tujuannya melalui dan dalam Negara.
Konsepsi Hegel tentang hubungan civil society dan Negara ini dipandang tidak memadai oleh Marx . bagi Marx, civil society adlaah lokasi kekuasaan borjuis dan tidak berdiri sendiri dan Negara tak lain adalah alat bagi kekuasaan borjuis, bukan momen dimana konflik akibat relasi ekonomis diselesaikan dan diatasi. Civil society didominasi oleh lembaga-lembaga pasar dan organisasi-organisasi kelasnya yang terkait. Negara bukanlah pemenuhan rasionalitas universal namun sekedar merupakan agen kelas dominan yang pemenuhan kepentingannya dipertahankan melalui kekerasan terorganisir oleh Negara.
Terhadap latar belakang seperti ini, lalu apa keistimewaan konsep Gramsci tentang civil society? Sampai dengan Marx, kita tidak melihat civil society sebagai entitas yang memiliki hubungan oposisi dengan Negara. Sebaliknya, civil society tergantung pada Negara. Untuk memahami dengan baik konsepsi Gramsci ini, kita akan melalui pembahasan sebagai berikut.
3. Lokasi Civil Society Dalam Pemikiran Gramsci
Gramsci adalah pemikir Marxist; artinya kita tidak dapat memahami pemikirannya dan konsepsinya tentang civil society sepenuhnya di luar konteks kerangka pemikiran Marxist. Meski begitu, konsepsinya tentang civil society banyak dikenal diluar lingkaran Marxist. Hal ini, sebagaimana akan kita lihat, terjadi karena konsep itu memungkinkan suatu analisa yang akan lebih kaya daripada yang dimungkinkan oleh konsepsi-konsepsi civil society sebelumnya yang telah kita lihat dalam pembahasan tentang genealogi gagasan civil society diatas. Bahkan, menurut seorang penulis, popularitas dan pentingnya gagasan civil society dewasa ini berkaitan dengan konsepsi Gramsci tentang hal tersebut, lebih daripada terkait dengan konsepsi-konsepsi lainnya tersebut.
Meski dikenal sebagai pemikir Marxist, pokok-pokok pikirannya justru merupakan kritik yang kuat terhadap batang tubuh pemikiran ortodoks Marxisme yang tumbuh subur di kalangan partai-partai komunis di Italia dan di Negara-negara industry maju di Eropa Barat. Dan pokok-pokok pikiran itu juga ikut membentuk konsepsinya tentang civil society.
Gramsci memulai proyek teoritis, historis dan politisnya sebagai konsekuensi dari kemenangan fasisme dan kekalahan sosialisme di Italia. Pertanyaan – mengapa fasisme menang dan mengapa gerakan kiri kalah – menjadi motif utama bagi proyek intelektual-politisnya semasa ia dipenjara. Ringkas kata, kemenangan fasisme di Italia dan Jerman menunjukan suatu kelemahan fundamental dalam masyarakat-masyarakat ini. Kelemahan ini tidak terdapat di masyarakat Barat Liberal yang sudah maju. Pada masyarakat Barat liberal yang sudah maju ini terdapat Negara liberal yang relative cukup kuat dan punya daya tahan karena didukung oleh lembaga-lembaganya dan berakar dalam suatu masyarakat yang kuat.
Dengan begitu, analisa Gramsci atas suatu momen politis tidak berhenti pada variable-variable politis semata-mata sebagaimana dilakukan dalam ilmu politik konvensional, namun (juga) mencakup momen dan proses social yang merupakan kondisi-kondisi kemungkinan dari momen politis. Disinilah lokasi konsepsi Gramsci tentang civil society.
Momen social ini juga mencakup (juga) ranah budaya yang selama itu oleh para pemikir Marxist (dan juga pemikir ilmu politik pada umumnya) diabaikan dan dipandang sebagai sesuatu yang kontingen dan marginal dibandingkan dengan ranah ekonomis dan politis. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa yang ‘politis’ (the political) diperluas untuk mencakup ‘yang budaya’ (the cultural) juga. Yang budaya, yang sehari-hari dianggap memiliki nilai politis dank arena itu, punya nilai strategis.
Pandangan ini yang melahirkan – antara lain – studi budaya dan studi-studi lain yang menghargai keseharian. Dalam penghargaan akan keseharian dan yang marginal ini, Gramsci member perhatian pada kemungkinan politis dari kelompok-kelompok subaltern – kelompok yang menjadi subordinat dari kelompok pemegang sarana produksi. Kebih jauh, ini juga yang mendorong lahirnya studi subaltern di India dan Amerika Latin.
4. Konsepsi Gramsci tentang Hegemoni dan civil society
Konsep sentral dalam pemikiran Gramsci adalah hegemoni, yang kerap dirumuskan sebagai kepemimpinan moral dan intelektual suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain. Pengaruh modal dan intelektual ini yang pada gilirannya membangkitkan dukungan (consent) dan persetujuan pada kelompok yang hegemonic. Consent adalah satu sisi dari dua sisi kekuasaan. Kekuasaan adalah consent yang didukung dan diperkuat oleh koesi (coercion) atau kekerasan.
Civil society memiliki beberapa karakterisktik utama. Pertama, civil society adalah lokus bagi konflik politis dan pergulatan sosio-ekonomis. Kompetisi untuk keuntungan dan pasar juga sedang terjadi dalam civil society. Oleh karena itu, civil society pada dasarnya terbagi ke dalam berbagai kelompok dan faksi dimana keselarasan dan komunitas lebih merupakan sesuatu yang ideal daripada kenyataan social sesungguhnya. Menurut Gramsci, “supremasi sebuah kelompok social terwujud dalam dua cara sebagai ‘dominasi’ dan sebagai ‘kepentingan intelektual dan moral’ atau ‘hegemoni’. Sebuah kelompok social itu dominan atas kelompok-kelompok yang dipimpinnya jika ia memiliki pengaruh yang mendorong munculnya consent atau persetujuan dari kelompok-kelompok tersebut hingga mereka memberika dukungan sukarela.
Kedua, civil society teutama merupakan lokus hegemoni. Ia juga merupakan arena untuk membangun dan merebut hegemoni. Hegemoni sendiri mengambil banyak bentuk dan digunakan dengan berbagai cara. Pertama, proses pembangunan hegemoni atau hegemonisasi adalah gerakan dari kepentingan korporat-ekonomis particular atau kepentingan kelas tertentu kedalam kepentingan universal umum; atau dari kehendak khusus ke kehendak umum. Dalam proses ini terjadilah pembentukan aliansi yang dilandaskan pada kepemimpinan moral dan intelektual. Kelompok yang memimpin harus membangun kepentingan dan nilai yang cukup umum dan luas untuk menarik dukungan kelompok-kelompok lain. Jadi, pembangkitan dan pembentukan consent mengandaikan kesebangunan kepentingan ekonomis dan formulasi serta diseminasi cara hidup dan pandangan dunia ke masyarakat.
Dengan begitu, civil society memiliki posisi sentral dalam pemikiran Gramsci. Dalam civil society-lah terletak momen social-kultural yang harus ada secara mantap sebelum momen politis dilancarkan. Dalam bahasa teknis Gramsci, sebelum perang gerakan (misalnya tindakan militer untuk merebut kekuasaan pemerintah pusat) dilancarkan, hegemoni harus dibangun melalui perang posisi. Perang posisi tak lain adalah proses menjadikan akal sehat particular menjadi alat sehat universal dan umum yang bisa menarik dukungan dari kelompok-kelompok lain. Hal ini dikemudian hari dikembangkan oleh pemikir seperti Slavoj Zizek yang berpendapat bahwa dasar umum yang paling efektif adalah yang paling berresonansi dengan penderitaan manusia.
Baru ketika ada hegemoni, tindakan militer dan politis bisa mendapatkan justifikasi dan referensi makna yang solid sehingga tidak memancing gerakan reaktif dan tindakan balas dari kelompok yang telah dihancurkan atau ditaklukan. Di Barat – contohnya yang sering digunakan Gramsci adalah Perancis ada waktu Revolusi Perancis – bentuk kesadaran baru mendahului (dan dengan begitu mempersiapkan) gerakan militer dan politis. Perang posisi mendahului perang gerakan. Hegemoni yang kuat menjadi landasan yang bagus untuk Negara.
Memahami apa yang berlangsung dalam civil society menjadi hal yang imperative bagi semua orang yang hendak melakukan perubahan social, apalagi perubahan politis. Kesalahan Partai Komunis Italia terletak disitu: mengabaikan momen social karena beranggapan bahwa momen politis akan dating dengan sendirinya. Membangun hegemoni dalam civil society merupakan langkah imperative dalam konteks perjuangan politis. Ini menjelaskan, misalnya, mengapa Gramsci memberi perhatian begitu banyak pada analisa atas dunia pendidikan, dunia kehidupan individual, social dan cultural pekerja, studi bahasa[1] serta posisi intelektual dalam rejim ekonomi-politis. Paulo Freire, misalnya belajar banyak dari Gramsci dalam mengembangkan teori konsientisasi pendidikannya.
5. Berbagai kemungkinan hubungan civil society dan Negara
Dalam konteks pemikiran Marxist – dimana realita dibedakan antara struktur (ranah relasi-relasi produksi) dan superstruktur (ranah kesadaran termasuk budaya) dan dimana superstruktur ditentukanoleh struktur – konsep Gramsci tentang civil society ini menjadi terobosan yang hebat.
Jika pada Marx, civil society diletakkan pada relasi produksi, pada Gramsci ia ditempatkan pada superstruktur. Perbedaan utamanya: sementara pada Marx superstruktur dianggap ditentukan oleh struktur, pada Gramsci civil society yang merupakan bagian dari superstruktur (bersama dengan political society) justru dianggap memiliki agency (=mampu menginisiasi perubahan); bahkan ia dianggap sebagai lokus untuk membangun conditions of possibility bagi momen militer dan politis.
Berdasarkan pemahaman sejauh ini, maka kita bisa lihat ada beberapa kemungkinan scenario dalam hubungan Negara dan civil society:
1. Kelompok X dominan dan civil society sudah kuat dan mapan. Kelompok X merebut Negara secara paksa sehingga Negara menjadi entitas yang asing dari civil society. Negara direbut secara paksa (biasanya secara militer) oleh kekuatan militer yang memang superior. Akibatnya, Negara (lebih sempit lagi: pemerintah) dipandang sebagai ‘musuh’ masyarakat dan mengalami kesulitan untuk menjustifikasi tindakannya. Ketika ini terjadi, Negara justru mendapat kritik dan civil society menunjukan kekuatannya. Contoh yang baik barangkali Polandia yang bangkit dalam kepemimpinan Lech Walesa dan Paus Yohanes Paulus II. Dalam hal ini ada hubungan oposisi antara Negara dan civil society.
2. Kelompok X hegemonic dan civil society sudah kuat dan mapan. Kelompok X merebut Negara pada waktunya sehingga Negara menjadi entitas yang diterima oleh civil society yang sudah mapan. Ia mendapatkan dukungan dan tidak mengalami kesulitan menjelaskan tindakannya. Ini yang oleh Gramsci dilihat ada pada masyarakat Barat yang sudah maju. Contohnya adalah ketika revolusi Perancis.
3. Kelompok X dominan dan civil society masih belum kuat,baru mulai dan terpecah-pecah. Kelompok X mendominasi civil society dan merebut Negara ke dalam genggamannya melalui prosedur-prosedur legal melalui berbagai manipulasi. Meskipun berbagai elemen civil society tidak mendukung rejim ini, tak banyak yang bisa dilakukan selain melakukan resistensi diam-diam dan sporadic. Ini yang terjadi di Italia dan Jerman ketika rejim fasis naik ke panggung kekuasaan. Penggunaan kekuatan militer menjadi warna dominasi dalam paket Negara & masyarakat seperti ini.
Menurut Gramsci, “[Di Timur] Negara adalah segalanya, civil society merupakan sesuatu yang primordial dan tidak mantap; di Barat ada hubungan yang proper antara Negara dan civil society, dan ketika Negara terguncang, tersingkaplah struktur civil society yang kokoh. Negara hanyalah parit luar; dibaliknya terdapatlah system benteng dan garis pertahanan yang kuat.”
6. Kesimpulan : Konsep civil society Gramsci dan gagasan tentang ruang public
Berdasarkan konsep civil society Gramsci seperti diatas, civil society tidak pernah merupakan suatu arena netral dimana orang bisa melakukan perdebatan isu-isu public dan dengan begitu membentuk opini public; sebaliknya, civil society merupakan arena pergulatan yang sarat dengan kepentingan. Dalam pergulatan itu, tak terhindarkan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan akan memproyeksikan akal sehat mereka sebagai akal sehat universal guna menarik dukungan dari pihak-pihak yang hendak ditariknya atau yang dukungannya diperlukan.
Konsep civil society ini tentu tidak sejalan dengan konsep tentang ‘ruang public’ sebagaimana dikemukakan oleh Juergen Habermas pada tahun 1961, yang memandang civil society sebagai ruang public dimana deliberasi dan diskusi rasional berlangsung dan dimana hasrat, selera dan kepentingan dipandang tidak ada. Konsep Habermasian tentang civil society mengesampingkan semua bentuk kekuasaan. Dalam hal ini, Habermas justru mengikuti paham consensus liberal Locke yang memandang civil society semata-mata dalam kaitan dengan persuasi dan consensus.
Diatas itu semua, konsep ruang public seperti itu bersandar pada suatu konsep diri sebagai individu yang otonom. Ini berbeda secara radikal daripada konsep Gramsci yang memandang individu sebagai ensemble of social relations meski individu tetap memiliki otonomi relative terhadap hubungan-hubungan social. Bagi Gramsci, individu tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya (bahkan secara hipotetis dan teoritis) dari konteks dan jalinan social yang membentuk dirinya. Dengan kata lain, dalam proses social cultural dan politis yang ia jalani dalam civil society pastilah kepentingan, selera dan hasrat serta seluruh historisitasnya memainkan pengaruh signifikan pada dirinya dan pada proses yang ia jalankan dan jalani.
Lebih daripada itu semua, suatu gagasan seperti gagasan ruang public yang dipandang sebagai sesuatu yang bisa vakum dari kekuasaan, justru akan dipandang dan dicurigai sebagai proyeksi akal sehat kelas tertentu sebagai akal sehat universal. Ini terkait dengan peran intelektual tradisional yang memandang dirinya ada diatas arus sejarah yang penuh kepentingan dan konflik dan yang karenanya memandang pikiran-pikirannya sebagai sesuatu yang bisa universal dan transhistoris.










SUPER STRUKTUR IDIOLOGIS MENURUT GRAMSCI DAN MAO ZEDONG


Oleh: Nigel Todd. Journal of The History of Ideas. Vol XXXV.

No l. Januari-Maret l974.University of Lancester.England


Perkembangan utama dalam pemikiran modern New Left (Kiri Baru) adalah munculnya
pendekatan-pendekatan berdasarkan ide, ideologi dan budaya dalam menganalisa
masyarakat. Titik perhatian para intelektual Kiri Baru tersebut bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana sebuah Kekuasaan di Barat mampu mempertahankan lingkaran
kekuasaannya sekaligus memberi legitimasi pada kekuasaan borjuis.1 Marx, Engels
dan Lenin juga berusaha menjelaskan tentang superstruktur ideologis. Marx dalam
German Ideology (hlm. 39) menyatakan "Ide-ide kelas penguasa, dalam setiap
jaman, yang mendominasi kekuatan material dalam masyarakat pada saat yang
bersamaan adalah sama dengan kekuatan dominan intelektual." Engels dalam
suratnya pada J.Block pada tanggal 21 September l890 menulis, refleksi dari
semua perjuangan aktual (kelas) dalam benak semua para pejuang--politik,
legal,dan teori filsafat, ide-ide religius, dan perkembangan mereka yang lebih
jauh dalam sebuah sistem dogma--juga mencoba pengaruh mereka atas!
sebab dari perjuangan sejarah dan dalam banyak kasus telah dilebih-lebihkan
dalam mencerminkan bentuk mereka (preponderate in determining their form. Dan
Lenin dalam beberapa karyanya, misalnya dalam bulan April l9l7 menyatakan
"sebagian besar dari tentara dan para pekerja Rusia tetap yakin, tentang ketidak
percayaan mereka pada bentuk pemerintahan kapitalis."1

Beberapa referensi dalam karya-karya pokok Marxis, telah cukup menjelaskan
tentang para pemimpim Komunis seperti diatas, terutama tentang pengaruh Antonio
Gramsci (Italia) dan Mao Zedong (Cina) dalam Kiri Baru. Baik Gramsci maupun Mao
Tse-Tung mencoba menganalisa secara mendalam tentang superstruktur ideologis
selama Perang Dunia.

George Thomson menulis dalam tahun l957: "bila Mao Tse-Tung menempatkan dirinya
untuk menjelaskan kebenaran-kebenaran umum dari Marxisme atas Revolusi
Cina...maka Gramsci mencoba kebenaran tersebut dalam Revolusi Italia... menurut
Gramsci kesatuan dari teori dan praktek bukanlah merupakan fakta mekanik tapi
merupakan proses sejarah yang akan terjadi. Ini persis seperti apa kata Mao
Zedong ...untuk lebih mengerti tentang ilmu pengetahuan dan memulainya dengan
ilmu pengetahuan yang rasional (konseptual dan teoritikal) aktivitas harus
mengarah langsung pada praktek Revolusi, artinya mengubah dunia subyektif dan
obyektif. John Cammet, penulis Biografi Gramsci, memperlihatkan "Teori pekerjaan
Komunis Cina yang dikembangkan oleh Mao Zedong, terkadang mempunyai persamaan
dengan karakter Gramsci. Sekitar tahun l920-30-an Gramsci dan Mao Tse-tung
merupakan figur dalam Gerakan Komunis--Gramsci menjadi marginal karena harus
mendekam dalam penjara--sedangkan Mao Zedong karena letak geogra!
fis dan tempat yang diberikan padanya dalam politik luar negeri dari Uni
Soviet."3 Meskipun beberapa tulisan pernah dibuat (tentang kedua tokoh
tersebut), tapi tidak ada sebuah tulisan Marxis yang pernah membahas (tentang
kedua tokoh ini secara bersamaan). Tujuan dari tulisan ini adalah membuat sebuah
studi awal tentang karya kedua pemimpin tersebut, dengan penekanan pada sebuah
superstruktur ideologis (Ideoligical Superstructure). Untuk perbandingan
tersebut dipergunakan karya-karya awal Mao Zedong yang dihasilkan sekitar tahun
l920 sampai l945. Perioede ini bersamaan dengan tahun-tahun Gramsci ketika
menjadi seorang aktivis (Partai Komunis dari Perang Dunia II sampai pertengahan
l930-an). Juga akan dibandingkan kegiatan-kegiatan praktis antara keduanya dalam
situasi pra-revolusi. Mao setelah tahun l949 masih menulis tentang situasi
(Cina) pasca Revolusi; sedangkan Gramsci tidak mempunyai pengalaman langsung
dalam lingkungan pasca Revolusi. (Ia meninggal di Penjara pada tahun!
l932)

Sudah pasti ada beberapa konsepsi, permasalahan dan solusi antara keduanya yang
berdiri dalam jangkauan posisi yang berbeda. Di Italia Gramsci terlibat dalam
perjuangan Partai menghadapi Sektarian Kiri pimpinan Bordiga, Sekertaris Umum
pertama dari Partai Komunis Italia (Italian Communist Party/PCI). Kelompok
Bordiga telah 'memecahkan' dilema tradisionil dalam sosialisme Italia (turut
berpartisipasi dalam Parlemen dan politik negara borjuis atau menyerap sebuah
posisi tak terlibat (absentionist position) dengan menolak 'keikut sertaan'
untuk mengikuti garis non-koperasi. Akibat dari kebijaksanaan yang diambil
tersebut, adalah tidak mungkin bagi Partai Komunis Italia untuk menarik
perlawanan umum terhadap fasisme. Bordiga menyatakan, bahwa fasisme semata-mata
merupakan bentuk lain dari politik borjuis dan tidak mempunyai bahaya khusus
dalam Gerakan Revolusioner.

Sementara Gramsci tetap yakin bahwa Fasisme merupakan serangan paling berbahaya
bagi pertumbuhan gerakan komunis Italia. Dan cara paling efektif untuk
melawannya adalah dengan mengeluarkan sektarian dari tubuh PCI. Gramsci
mengambil tindakan oposisi terhadap kelompok Bordiga. Oposisi ini berlaku atas
dua hal. pertama, Gramsci mengkritik kelaziman penggunaan determinisme historis
dalam banyak tulisan kaum Marxis. Ia mengkritik Gagasan 'hukum besi' (Iron law)
sejarah sebagai sesuatu yang 'tak dapat dihindari'(inevitably) yang akan membawa
kekuatan proletariat secara otomatis, bagaikan malam mengikuti siang. Gramsci
mengkritik karya N. Buckharin Historical Materialism: A New System of Sociology
(l929). Sebuah buku yang mencoba untuk mengembalikan Marxisme kedalam ilmu
ramalan seperti ilmu-ilmu alam dan akhirnya Gramsci merumuskan konsep tentang
sejarah hukum-hukum dan tendensi-tendensi (laws and tendencies): perkembangan
sejarah harus dirawat dan dipelihara mengikuti sebuah petun!
juk, tapi kesimpulan akhirnya adalah mempertahankan harkat kemanusiaan dari arah
tendensi dan apa yang harus dilakukan manusia untuk menciptakan
petunjuk-petunjuk tersebut.

Terakhir, Gramsci menarik solusinya terhadap pertanyaan 'keikut sertaan' atau
'ketidak ikut sertaan' dengan menekankan, bahwa proletariat harus memulai usaha
untuk merebut kekuasaan negara dari kelas penguasa Italia: dan seperti sisi
lainnya dari mata uang ia diikuti dengan gerakan eloborasi atas struktur dan
politik untuk menuntut kekuasaan negara. Gramsci membuat rumusan, bahwa kaum
borjuis Italia mempunyai sebuah bentuk kekuatan sosial yang mampu memblok
dominasi dari kelas sub-ordinat dalam segala hal, terutama atas proletariat di
Italia Utara. Kekuatan social bloc terletak pada pemisahan kaum tani di Italia
Selatan dan para pekerja di Italia Utara. Tiang penyangga dari pemisahan ini
menurut pengamatannya terletak pada kekuatan para intelektual di bagian Selatan.
Para Intelektual dari Selatan merupakan strata penting dalam kehidupan negara
Italia, karena tiga-lima persen birokrasi negara merupakan ciptaan orang-orang
Selatan4. Kekuasaan para intelektual dari Selatan merupa!
kan dasi bagi ideologi para petani dan kekuasaan administrtif dari para tuan
tanah dan borjuis. Sebuah revolusi yang dipimpin oleh kelas proletariat, jika
ingin berhasil harus membentuk formasi alternatif rulling bloc yang dapat
menyatukan kaum pekerja dan kaum tani. Dan tugas utama dari Partai Komunis
adalah merekrut para intelektual dan menghancurkan ideologi pegangan dari kelas
penguasa atas kaum tani. Analisa Gramsci tersebut memberikan jawaban bahwa
ideologi dan budaya mempunyai posisi penting--sejak itu para intelektual dari
Selatan dirasa begitu berharga.

Di Cina, para intelektual memainkan peranan sentral dalam perkembangan partai
Komunis Cina, suatu hal yang tidak pernah terjadi di Italia. Kaum intelektual
merupakan cikal-bakal dari PKC (Chinesse Communnist Party). Kaum intelektual
mendirikan PKC yang menjadi begitu berpengaruh sebagai basis kelas pekerja dalam

Partai. Pada akhir tahun l926 sekitar 66 % dari anggota PKC adalah para pekerja,
intelektual 22 % dan kaum tani 5 %5. Pada tahun l928, presentase kelas pekerja
menurun lebih dari 4-5 %, dan laporan para kader menyatakan bahwa "Partai tidak
mempunyai cikal-bakal di sekitar para pekerja industri"6. Partai mencatat pada
tahun l928, kelas pekerja hanya merupakan l0 % dari seluruh anggota, 3 % ditahun
l929, 2,5 % pada bulan Maret l930, l,6 % pada bulan September tahun yang sama
dan menjadi tak satupun pada akhir tahun7 Sebagai kelas pekerja dalam PKC, Mao
dan para pengikutnya membangun kekuatan dalam Partai dan pemikiran Mao mempunyai
pengaruh kecil pada proletariat.

Dengan tidak adanya kelas pekerja, Kaum intelektual Komunis menyerap Marxisme
dengan latar belakang masyarakt Cina. Para intelektual melihat kaum tani sebagai
pengganti dari kelas proletariat. Dan masih jauh untuk dapat mendifinisikan kaum
tani sebagai semi-proletariat 8. Kewajiban intelektual merupakan mata-rantai
dalam perjuangan kaum tani, sebagaimana ditulis oleh Meisner dari Li Tao-Chao
(Salah seorang dari dua pendiri PKC, dan seorang intelektual), para intelektual
mempunyai tugas membawa "pencerahan dan kepemimpinan dalam gerakan massa"9
Persoalan-persoalan di sekitar ideologi tampak semakin meluas dalam PKC;

Pertama, kebutuhan para intelektual untuk memenangkan revolusi. kedua, karena
peran intelektual sebagai pembawa pencerahan.

Mao dan Gramsci, meskipun berada dalam posisi yang berbeda, mempunyai persamaan
dalam beberapa permasalahan dan beberapa solusi untuk memecahkannya. Keduanya
berpendapat, bahwa kelas penguasa mengontrol semua masyarakat bukan hanya
menggunakan kekerasan dan kekuatan pisik, tapi juga menutupi perhatian massa
untuk menentukan berbagai hal: yang menjadi pegangan ideologi borjuis, yang
harus dihancurkan oleh Komunis. Sebelum itu semua dihancurkan, tidak akan ada
oposisi yang efektif untuk menyerang kelas penguasa, seperti ditulis oleh Mao:


Dalam perkembangan sejarah sebagai suatu keseluruhan, aspek material merupakan
pembentuk sesuatu yang spiritual dan merupakan eksistensi sosial yang determinan
atas kesadaran sosial, yang pada saat yang bersamaan kita juga harus mengenal
reaksi dari kesadaran sosial pada eksistensi sosial dan reaksi dari
superstruktur pada fondasi ekonomi... Ketika superstruktur (politik, budaya dll)
merintangi perkembangan pondasi ekonomi--politik, budaya, reformasi menjadi
faktor yang prinsipil dan menentukan.10


Sementara Gramsci juga melihat "pendidikan, budaya dan berbagai penguasaan
organisasi pengetahuan dan pengalaman...(sebagai sarana) bagi kemerdekaan massa
dari para intelektual", untuk membebaskan diri dari manipulasi realitas oleh
intelektual dan kepentingan kelas penguasa Gramsci mengatakan:


"...Proletariat, sejauh ditaklukan oleh kekuatan politik dan ekonomi, juga harus
mengambil sikap pada masalah penaklukan kekuatan para intelektual, harus
dipikirkan untuk mengorganisisr dirinya dalam politik dan ekonomi, juga berpikir
untuk mengorganisir dirinya dan kebudayaan "11


Dalam konteks ini Gramsci merumuskan konsepnya yang disebut dengan Hegemoni.
Hegemoni menurut Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik,
dalam terminologinya 'moment.' dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat
menyatu dalam keadaaan seimbang: Dominasi merupakan konsep dari realitas yang
menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan,
pengaruh dari 'roh' ini berbentuk morallitas, adat, religi, prinsip-prinsip
politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan konotasi moral.
Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas
diktaktor.12

Dalam The Formation of Intellectuals yang ditulis Gramsci sesudah tahun
l926--ketika ia mendekam di penjara, masyarakat superstruktur dapat
diidentifikasikan dalam 'dua tingkat.' Petama, masyarakat politik (poloitical
society), yang berfungsi meredam setiap pembangkangan dalam konformitas, untuk
mengatur hukum dan peraturan-peraturan. Kedua, masyarakat sipil (civil society)
adalah organisasi-organisasi swasta (gereja, koran, literatur masa dan
lain-lainnya) yang mengperasikan hegemoni ideologi, dan menghasilkan perhatian
spontan dari masyarakat untuk mengatur 'social order.'

Mao Tse-Tung tidak mengkosentrasikan perhatiannya dalam produksi detail dari
konsep hegemoni. Tapi nada bicaranya yang terminologis dan artikulasinya pada
hakekatnya mempunyai gejala yang sama dengan rumusan Gramsci. Pemikiran Mao
secara langsung lebih empirik dan operasional. Dalam tulisannya tentang
kebudayaan pada demokrasi baru (l940) dan kata pengantarnya dalam sebuah majalah
komunis Chinese Culture menulis:

Kita (Komunis) ingin mengubah sebuah Cina dengan politik penindasan dan
eksploitasi ekonomi menjadi sebuah Cina dengan politik bebas dan perekonomian
yang makmur. Kita juga ingin mengubah Cina yang bodoh dan terbelakang di bawah
kebudayaan masa lalu kedalam suatu Cina pencerahan dan progresif dibawah
kekuasaan kebudayaan baru.13

Mao kemudian merumuskan sebuah kerangka situasi Cina, yang menurutnya:
keunggulan asing, gabungan budaya imperialis dan konfusius semi-feodal yang
pasif melahirkan sebuah budaya borjuis pribumi. Situasi ini menurutnya merupakan
hal yang berbahaya bagi perkembangan sosial Cina di masa yang akan datang; hal
ini mendorongnya untuk menulis Tentang Demokrasi Baru (On New Democracy) dan

sebuah artikel "Rekrut Inteltual sebanyak-banyaknya." Kepentingan umum dan
determinasi perlawanan terhadap invasi Jepang mendapat ancaman dari teori
propaganda Jepang yang anti nasionalisme Asia ala Barat (propaganda ini
merupakan kedok bagi invasi Jepang) serta tendensi budaya konfusius yang
mengadakan kompromi dengan jepang dan mengambil sikap bermusuhan terhadap
Komunis. Pozzolini melihat adanya kemiripan antara tulisan tersebut dengan
pemikiran Gramsci. Pemimpin Italia yang menganggap ideologi dominan borjuis
dapat menghambat pertumbuhan kesadaran diri proletariat sebagai sebuah kelas dan
dapat membelokan kelas pekerja dari misi historisnya, sekaligus mengajak
proletariat meniru politik borjuis (reformisme) atau menekankan divisi-divisi di
antara kekuatan-kekuatan revolusioner.

Pra-kondisi untuk berhasilnya sebuah revolusi menurut Gramsci adalah latihan
bagi kelas pekerja meraih suatu superioritas "moral dan kepemimpinan
intelektual, yang menjadi fungsi hegemonik sebelum revolusi." Sebagaimana Mao
(budaya revolusi) menyiapkan dasar ideologi sebelum revolusi tiba.14

Bagaimana membangun budaya dan ideologi hegemoni, merupakan persoalan yang harus
dihadapi oleh Mao Zedong dan Gramsci dalam menggalang kekuatan sosial revolusi.
Keduanya melihat kekuasaan inteltual sebagai bagian penting dalam menyelesaikan
permasalahan. Kedua orang ini mendifinisikan intelektual sebagai penyelenggara
'fungsi' dari intelektual dalam hubungan sosial masyarakat yang rumit dan
dihargai, dan mencoba menawarkan sebuah definisi dasar-dasar aktivitas dari
intelektual, yang pada intinya tidak dapat menerima bahwa semua orang terlibat
dalam kegiatan intelektual, tapi hanya sedikit orang yang mempunyai kemampuan
sebagai intelektual. Mao lantas mempertanyakan tentang fungsi intelektual.
Menurut Gramsci 'intelektual' merupakan pegawai dari kelas penguasa untuk
mempraktekan fungsi-fungsi sub-ordinat dari hegemoni sosial dan politik
pemerintah15. Atau dengan kata lain Gramsci ingin mengatakan bahwa intelektual
merupakan penyelenggara langsung dalam superstruktur. Terdapat p!
erbedaan antara Gramsci dan Mao dalam mendefinisikan intelektual. Mao membatasi
definisi tentang intelektual meliputi semua orang yang mempunyai pendidikan
minimum sekolah menengah dan mereka yang bekerja di universitas sebagai dosen,
guru, sekolah guru serta golongan profesional secara umum (dokter, insinyur dan
lain sebagainya). definisi ini dipergunakan secara relatif untuk menunjukan
kelompok sosial baru di Cina. Gramsci memberi definisi atas intelektual jauh
lebih luas dan membaginya mmenjadi dua jenis: intelektual 'tradisionil' dan
intelektual 'organik.'

Mao cenderung melihat "masalah bagi intelektual" adalah bagaimana caranya untuk
membujuk intelgensia non-marxis untuk mendukung panji-panji revolusioner.
Analisa Gramsci atas hegemoni membawanya untuk melihat pentingnya mengutamakan
kelas pekerja yang di dalamnya memiliki intelektual organik untuk dihubungkan
dengan Partai Komunis, serikat pekerja, dewan pabrik (cikal-bakal dari sebuah
organ alternatif dari kekuaasaan negara), surat kabar proletariat dan
lain-lainnya. Sebagaimana ditulis oleh Gwyn Williams, bahwa 'massa' menurut
Gramsci bukanlah semata-mata cetakan material dari ujung tombak 'pencerahan.'
Sementara bagi intelektual Maois dalam PKC, massa merupakan material esensial
guna 'dimerdekakan' dari luar. Dalam pandangannya Gramsci menuntut sebuah
kemenangan dalam penguasaan politik, karena itu penting untuk membentuk 'formasi
kiri' dalam lingkungan intelektual. Bagi kedua orang tersebut semuanya menjadi
mungkin--membangkitkan sebuah kekuasaan hegemoni dan memulai sebua!
h pekerjaan untuk melatih intelektual proletariat. Dari pandangan seperti ini
berarti Gramsci mempunyai persoalan yang sama dengan Mao: Bagaimana caranya
intelektual kekuasaan lama dipersatukan dalam gerakan revolusioner ?



Melebur Dua Kutub Berlawanan (Politik – Etika)
Author: Ahmad Makki. 10 May 2007 : 6:50 am.
INOVASI BARU: Cara Modern Menjadi Penulis Hebat!

Judul : Relasi Kekuasaan (Telaah Pemikiran Gramsci dalam Konteks Politik Indonesia Kontemporer)
Penulis : Siswanta
Editor : Hempri Suyatna, M.Si.
Penerbit : Media Wacana – Yogyakarta
Cetakan I : November 2006
Tebal : 126 halaman
Immanuel Kant, seorang tokoh filsafat idelisme, pernah memberikan gambaran; Ketika berpolitik jadilah secerdik seekor ular. Namun harus dibatasi dengan niatan setulus seekor burung merpati. Dengan demikian, politik bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka, melainkan juga untuk dapat mewujudkan kesejahteraan secara umum.
Dalam praktiknya, Politik vs Etika atau Kekuasaan vs Moral merupakan sebuah relasi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya diibaratkan dua sisi ketika yang satu terapung maka satu sisi lainnya akan tenggelam. Akan tetapi kemudian bagaimana seorang politisi dapat menyeimbangkan diantara keduanya.
Seperti halnya pada masa rezim orde baru Indonesia telah mewariskan nilai falsafah hidup para elit politiknya tidak menentu. Kekuasaan yang seharusnya diabdikan untuk menyejahterakan rakyat justru dalam realitasnya berbicara lain. Realitas politik di Indonesia menunjukkan partisipasi politik masyarakat selalu dikekang oleh rezim kekuasaan yang otoriter. Diperparah lagi ketika pemegang kekuasaan selalu berupaya mempertahankan kekuasaan yang telah diperolehnya dengan segala cara.
Reformasi pun bergulir untuk merubah tatanan itu semua. Ternyata dalam keseharian saat ini, politik masih tampak sebagai kekuasaan yang serba elitis daripada berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih dan dengan segala daya meskipun bertentangan dengan berbagai aturan yang telah disepakati bersama. Sehingga menjadikan para politisi cenderung amat pragramatis dalam praktik berpolitiknya.
Era reformasi yang sebenarnya dapat memberikan harapan baru ini ternyata tetap jauh dari harapan awal. Lahirnya berbagai partai politik yang tadinya diorientasikan untuk mewujudkan kehidupan berpolitik yang lebih baik dan dijadikan pilar penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia pupus karena dialih fungsikan oleh elite-elite politiknya. Partai hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencapai kekuasaan an sich. Dibandingkan sebagai wadah perjuangan politik rakyat ataupun pendidikan politik bagi konstituennya.
Berikut pandangan Bung Hatta yang kiranya masih relevan untuk dijadikan instropeksi bersama bagi para “pemain” politik saat ini. “Demokrasi hanya akan berjalan baik apabila ada rasa tanggungjawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai seperti yang pernah berkali-kali saya peringatkan”.
Kiranya berangkat dari realitas politik yang berkembang di Indonesia inilah, Siswata menuliskan buku dengan judul “Relasi Kekuasaan; Telaah Antonio Gramsci dalam Konteks Politik Indonesia Kontemporer” ini. Melihat konteks politik saat ini, penulis mencoba mengadopsi pemikiran-pemikiran Antonio Gramsci. Sosok pemikir besar Italia pasca Karl Mark. Pemaparan ide-ide cemerlang Gramsci dianggap cukup faktual dan relevan untuk dijadikan patokan kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis. Disaat para politisi Indonesia semakin keblinger dengan nafsu kekuasaannya.
Pemikiran Gramsci bahwa kekuasaan politik idelanya berbasis pada intelektual dan moral seharusnya menjad acuan bagi para politisi Indonesia saat ini. Bisa diketahui bahwa filsafat praktis dan sejarah dalam analisis Gramsci ada dalam satu ruang yang sama. Namun harus diketahui pula bahwa arah gagasan Gramsci tidak pernah lepas dari masalah praktis politik.
Selanjutnya Etika politik tidak akan lepas dari masalah etika sosial yang berkembang dalam struktur sosial masyarakat. Tindakan kolektif yang digunakan untuk membatasi tindakan mana yang diperlukan dan mana yang harus dijauhi. Tak heran jika pengabaian etika dalam kehidupan politik akan menghambat terjadinya proses demokratisasi di Indonesia.
Setidaknya ada empat aspek hakekat etika kekuasaan. Pertama, kekuasaan harus dikaitkan dengan tujuan selain kekuasaan itu sendiri. Kedua, cara untuk mencapai tujuan itu tidak boleh menimbulkan akibat yang mengalahkan kebaikan tujuan yang hendak dicapai. Ketika, cinta akan kekuasaan seperti halnya nafsu merupakan alasan yang sangat kuat sehingga mempengaruhi tindakan kebanyakan orang lebih dari pada yang seharusnya. Dan terakhir, tujuan dari mereka yang memiliki kekuasaan dalam segala bentuk dan implementasinya hendaknya adalah untuk memajukan kesejahteraan sosial.
Tak heran ketika dalam pandangan Gramsci, wacana demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil mendapatkan perhatian yang sangat tinggi. Disisi lain Gramsci mengilustrasikan sosok penguasa ideal menurutnya adalah seseorang yang bisa bertindak sebagai rakyat dan mengerti kehendak kolektif rakyatnya.
Pada negara semacam inilah, menurut Gramsci akan muncul seorang pangeran (the prince) yang dapat bersatu dengan rakyat, mampu merangkum kehendak kolektif nasional, mampu menciptakan kesadaran kritis serta memberikan kesempatan sepenuhnya bagi masyarakat sipil untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Analisis tajam dan kritik membangun dari penulis buku ini, Siswanta, menjadikannya tidak hanya menarik untuk dapat direnungkan kembali bagi kalangan sivitas akademisi dan mahasiswa melainkan juga para praktisi politik dan masyarakat umum sebagai bagian dari upaya proses demokratisasi yang ideal di Indonesia. Memang disadari oleh penulis, menerapkan pokok pemikiran Gramsci dalam kondisi realitas politik kontemporer di Indonesia tidaklah mudah.
Menurutnya, peran dari LSM dan kalangan perguruan tinggi sangat diharapkan bagi penguatan masyarakat sipil. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang cukup menarik bagi supremasi masyarakat sipil atas masyarakat politik. Masyarakat yang dapat bergerak cepat dan berkembang pesat guna terwujudnya masyarakat yang demorkatis dan bervisi kerakyatan sehingga melahirkan bangsa yang adil, makmur, sentosa dan sejahtera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linguistik Historis Komparatif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)