Artikel Pengemis dan Anak Jalanan

Fenomena Kampung Pengemis
Gencarnya pemberitaan media massa soal Kampung Pengemis memberikan pandangan tentang suatu masyarakat dimana sebagian besar penduduknya memiliki profesi sebagai seorang pengemis. Bahkan di Kampung Lio, Kecamatan Pancoran Mas, Depok Jawa Barat, hampir seluruh kepala keluarganya di desa ini, diduga terlibat dengan sindikat perdagangan anak untuk dijadikan sebagai anak jalanan dan sebagai profesi pengemis.
Dalam sebuah kampung yang dianggap sebagai kampung pengemis memiliki kriteria tersendiri dan berbeda-beda di setiap kampung pengemis di daerah lainnya. Kriteria setiap kampung ditentukan oleh mayoritas penduduk asal kampung tersebut, pengemis dari Kampung Kebanyakan dan Desa Sukawarna, Kecamatan Serang, rata-rata berasal dari kampung tersebut. Mereka berstatus janda dan istri yang ditinggal kerja suaminya keluar daerah. Pengemis asal Kampung Waru, Kecamatan Cipocok Jaya, didominasi lanjut usia (lansia) yang hidup sendiri dan tak diurus keluarganya. Sementara pengemis dari Kramatwatu dan Kasemen, lebih banyak pengemis musiman yang beroperasi setiap bulan Ramadhan.
Sedangkan di daerah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi.  Disebut sebagai kampungnya pengemis, dikarenakan banyak warga yang berprofesi sebagai pengumpul barang bekas, atau pengamen. Walaupun tidak semua warganya, karena juga ada penduduk yang karyawan, pegawai, atau pedagang. Namun, para pengemis atau pengumpul barang bekas di kedua kampung itu tidak tidur di emperan layaknya gelandangan. Mereka mengontrak kamar atau bahkan rumah meski berukuran sempit. Tidak jarang, kamar berukuran 1,5 meter x 2 meter dihuni dua sampai tiga orang.
Sedangkan dari pelacakan dan penelitian M. Ali Humaidy, pihaknya menemukan beberapa kesimpulan atas fenomena di Desa Pragaan Daja Sumenep. Misalnya mengenai soal kriteria pengemis. Pengemis dibagi menjadi 2 kriteria yaitu pengemis konvensional dan nonkonvensional.
Untuk pengemis konvensional, peneliti merujuk kepada mereka yang biasa mengemis secara door to door, berada di emperan toko dan sebagainya. Ciri mereka biasanya menggunakan baju compang camping dan jauh dari layak.
Sedangkan pengemis nonkonvensional lebih maju atau bisa dikatakan sebagai pengemis modern. Dianggap modern lantaran telah memanfaatkan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Misalnya, menggunakan nama-nama di alamat buku telepon. Mereka yang termasuk pengemis modern biasanya tidak berpakaian compang camping, tapi lebih necis. Dan, mereka tidak door to door. Tapi, dengan banyak mengirim proposal atau menemui langsung membawa surat permintaan dana.
Dilihat secara empiris di lapangan, para pengemis di daerah sumenep, kondisi ekonominya bisa dibilang mampu. Indikatornya, mereka memiliki rumah keramik, sepeda motor, bahkan ada yang memiliki parabola.
Dari beberapa studi lapangan itu, terdapat hubungkan teori kemiskinan, kemiskinan fisik dan psikologis. Warga Pragaan Daja Sumenep misalanya yang  mengemis lebih kepada miskin secara psikologis. Mereka miskin secara psikologis lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian.
Kebanyakan pengemis menganggap kalau meminta-minta merupakan suatu perbuatan yang mulia dari pada mencuri. Mereka terus berada dalam pemahaman itu, padahal keliru. Jelas-jelas tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Selain aspek psikologis, adanya faktor ekological context yang menjadi penyebab lain dari masalah ini. Misalnya, dari segi regulasi ekonomi, di Desa Pragaan Daja Sumenep jauh dari aktifitas pasar. Juga dari segi geografis, warga setempat hidup di tempat tidak produktif.
Pemerintah juga perlu introspeksi diri. Karena pemerintah selama ini sudah mengajarkan masyarakatnya secara tidak langsung menjadi pengemis. Bantuan-bantuan dengan dalih mengangkat derajat orang miskin tanpa seleksi yang ketat, sama saja dengan meninabobokan dan mengajarkan masyarakat menjadi manja, malas, dan tanpa usaha. Beberapa kasus justru setelah memperoleh bantuan, uangnya dipakai untuk memancing ataupun kenikmatan kehidupan dunia lain. Bantuan yang dilakukan pemerintah tidaklah salah apabila sampai pada tahap tertentu dihentikan, serta kepada siapa bantuan itu diberikan haruslah tepat.

http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/10728/pengemis-dan-pemaksaan-rasa-iba
Pengemis dan Pemaksaan Rasa Iba
Senin, 7 September 2009 | 10:49 WIB

BENARKAH seseorang yang memutuskan dirinya untuk menjadi pengemis karena ia sudah benar benar tidak punya pilihan selain dengan melakukan pekerjaan mengemis? Lalu, apa yang bisa kita jelaskan bila di saat seperti bulan Ramadan ini, ketika orang lain sedang intens menapaki tingkat religiusitasnya, jumlah pengemis malah meningkat drastis membanjiri kota-kota besar seperti Kota Bandung ini?

    Bukankah hal ini merupakan pemanfaatan situasi dari sebagian orang ketika orang lain tengah berupaya memperbanyak amal seperti misalnya melalui sedekah? Inilah yang kemudian bisa menjelaskan mengapa terjadi fenomena yang disebut dengan pengemis musiman. Selain para pengemis yang memang sudah rutin melakukan aktivitasnya di tengah dinamika kota, para pengemis musiman datang ketika orang sedang ditempa jiwanya untuk melakukan kebaikan.

    Lihatlah di pasar pasar, terminal, perempatan jalan, halaman pertokoan, halaman masjid, dan lain lain, mereka meluber mengharap belas kasihan. Padahal di bagian lain, kita kerap menyaksikan pemandangan yang paradoks. Ada kakek yang sudah terbilang lanjut usia, tetapi tetap bekerja keras bermandi keringat menjadi kuli panggul, kuli jalan, tukang becak, tukang sol sepatu, pedagang keliling, dan lain lain. 

    Sebaliknya, ada pula orang yang justru masih nampak jagjag waringkas malah dengan segala cara tampil untuk menarik rasa iba orang lain dengan menadahkan tangan. Ada yang pura-pura cacat, pura pura mengidap luka mengerikan, dan bermacam perilaku lainnya.

    Di titik ini, kita pun kadang dibenturkan pada posisi yang dilematis. Ada keinginan untuk memberikan sedekah kepada pengemis, tapi pada saat yang sama juga sadar bahwa hal itu tidak mendidik. Bukankah semua orang harus berupaya mandiri dengan bekerja apa saja? Lagi pula, dengan mengemis itu sesungguhnya orang telah membenamkan harga dirinya sendiri dan lambat laun menjadi tergantung pada belas kasihan orang lain.

    Di samping itu, mendapatkan uang dengan cara mudah hanya dengan menadahkan tangan dengan sendirinya akan membuat mereka semakin kehilangan spirit untuk berusaha. Kenyataan inilah yang kemudian kerap menggugah perhatian.

    Tak kurang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun tergerak. Menyusul fatwa MUI Kabupaten Sumenep Jawa Timur yang mengharamkan mengemis dan telah disetujui MUI pusat (Tribun Jabar, 27/8), fatwa tersebut juga didukung MUI di beberapa daerah lain di tanah air.

Pemaksaan Rasa Iba
    Lepas dari soal motif seseorang yang menjadikan dirinya sebagai pengemis, tentu saja meruyaknya pengemis ini tak lepas dari persoalan kemiskinan. Aktivitas mengemis adalah salah satu wujud nyata bahwa betapa kemiskinan masih merupakan masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini. Namun untuk melepaskan diri dari kemiskinan dengan mengemis. Karena mengemis bukanlah jalan menuju kesejahteraan.

    Apalagi disinyalir, sebagian dari pengemis nyatanya berada di bawah koordinasi orang yang menempatkan dirinya sebagai koordinator. Bayangkan, di samping pengemis itu sendiri menjadi objek eksploitasi, orang yang memberi sedekah pun sesungguhnya menjadi korban dari sebuah organisasi yang memaksanya untuk jatuh iba, dan kemudian rela ataupun terpaksa mengeluarkan sedekah. Sebuah teror terhadap rasa kemanusiaan untuk segera membuat keputusan memberikan sedekah walaupun tahu bahwa dengan begitu para pengemis akan semakin terbiasa menadahkan tangan.

    Bila demikian, penanganan terhadap masalah pengemis memang menjadi makin kompleks. Salah satu jalan yang bisa ditempuh dalam menanggulangi, atau setidak tidaknya mengurangi pengemis, adalah melakukan pemberdayaan terhadap mereka. Perspektif Departemen Sosial dalam hal pemberdayaan bisa dikonstruksikan dalam penanggulangan masalah ini. Pertama, diperlukan partisipasi masyarakat dalam setiap proses pemberdayaan terhadap pengemis sehingga semua pihak memiliki pemahaman yang sama terhadap masalah yang dihadapi.

     Kedua, diperlukan aktualisasi nilai nilai spiritual dan kearifan lokal. Bahwa agama mengajarkan kepada kita untuk giat bekerja. Mengemis adalah perilaku tak terpuji yang tak pantas dilakukan, apalagi oleh orang orang yang masih mempunyai kekuatan fisik. Demikian juga budaya masyarakat kita yang memang menghargai orang yang mau bekerja keras.

    Ketiga, diperlukan penguatan profesionalisme pelaksana program dan kelembagaannya. Hanya dengan pelaksana yang memiliki profesionalisme serta kelembagaannya yang fokus pada permasalahan, soal pengemis ini bisa diatasi.

    Keempat, diperlukan pengembangan budaya kewirausahaan sehingga muncul sikap mental yang mau belajar untuk melakukan usaha. Setelah mereka mampu berusaha dan sudah menunjukkan indikator kemandirian, kemudian dibiasakan agar mereka dapat menyisihkan sebagian dari pendapatannya guna peningkatan kualitas hidup di masa depan.

    Kelima, perlu dijalin kemitraan sosial dengan berbagai pihak, seperti dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, perbankan, dan lain lain. Diperlukan pula advokasi sosial, terutama karena banyak di antara pengemis yang menjadi objek eksploitasi koordinatornya.

    Selain itu, diupayakan agar para pengemis mendapatkan akses terhadap pelayanan sosial dasar, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraannya. Untuk itu, diperlukan program dengan pendekatan yang memungkinkan mereka mempunyai keterampilan dan memiliki kemudahan dalam menerapkannya. Sudah saatnya kebijakan program berpihak kepada fakir miskin kalau memang bangsa ini ingin keluar dari kemiskinan.

    Dan, bagi para pengemis sendiri, satu hal yang kiranya perlu diresapi adalah bahwa perilaku mengemis sesungguhnya merupakan perilaku yang menafikan kemampuan serta esensi fitrah untuk melakukan kewajiban mencari nafkah. (*)


http://organisasi.org/profesi-pengemis-profesional-menipu-rasa-iba-kita-yang-kasihan

Profesi Pengemis Profesional Menipu Rasa Iba Kita Yang Kasihan
Sat, 29/08/2009 - 8:03pm — godam64
Kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya kerap kali menjadi target para pengemis / tukang minta-minta untuk mencari uang. Ada pengemis yang asli benar-benar butuh pertolongan dan ada pula pengemis yang bohongan karena mereka malas untuk mencari pekerjaan yang lain. Walhasil kita pun sulit untuk membedakan mana pengemis asli mana pengemis palsu.
Pengemis palsu terdiri dari orang-orang yang terorganisir rapi yang malas untuk bekerja. Mereka memilih pekerjaan sehari-hari sebagai pengemis karena tidak cocok dengan pekerjaan selain mengemis. Mereka juga senang menjadi peminta-minta karena penghasilan yang cukup menjanjikan apalagi yang cacat.
Dari sisi pendapatan bisa jadi mereka memiliki pendapatan yang besar karena saat ini uang receh pecahan kecil seperti 50, 100, 200 dan 500 rupiah cukup sulit untuk dicari dalam jumlah besar. Walhasil banyak orag yang memberi uang 500 dan 1000 rupiah kepada pengemis. Hasilnya ya lumayan jika ada 100 orang iba yang memberi maka sehari bisa dapat 50.000 sampai 100.000. Jika yang mengemis cacat mungkin bisa dapat pemasukan lebih dari 100.000 atau bahkan jutaan rupiah perhari.
Kita sebagai orang yang beruntung dan memiliki profesi yang mulia sebaiknya lebih selektif dalam memberi tukang minta-minta. Namun diharapkan untuk tidak mengurangi amal soleh kita. Jika bingung dan tidak mau susah ya jika iba ya beri saja, biar nanti Tuhan yang membalas perbuatan baik kita dan perbuatan buruk mereka yang menipu.

http://www.kakipalsu.co.cc/2008/09/meski-cacat-pantang-jadi-pengemis.html

Meski cacat, pantang jadi pengemis
Di Purworejo, keadaan dua kakak beradik Bejo dan Jumali sungguh mengenaskan. Mereka tinggal di sebuah gubuk berukuran 5 x 5 meter yang beberapa waktu lalu hampir saja roboh jika tak segera diperbaiki oleh warga sekitar. Gubuk berlantai tanah merah itu hanya dilengkapi dengan dua buah dipan lusuh, 3 kursi tua dan sebuah cermin yang sudah setengah retak pula.

Bejo, 45 tahun, dan sang adik Jumali, 37 tahun, memang tampak lebih muda dari usianya. Namun keadaan keduanya sungguh memprihatinkan: sepanjang hari hidup di atas kursi roda.
Keduanya mengalami lumpuh layu sejak berusia belasan tahun tanpa sebab musabab yang jelas. Jumali, bahkan baru beberapa tahun belakangan bisa duduk sempurna.


Ada yang menarik dari dua kakak beradik ini. "Kami pantang menjadi pengemis," tegas Bejo dan Jumali, meskipun sudah banyak teman mereka yang juga penyandang cacat tubuh membujuk mereka agar bergabung menjadi pengemis di pinggiran jalan Purworejo bahkan hingga ke Yogyakarta dan Surakarta.

Mereka berdua tampak cukup puas dengan profesi mereka sekarang sebagai pengrajin besek, yang setangkepnya hanya dijual seharga Rp250 rupiah. Padahal, dalam sehari mereka hanya mampu membuat 25 tangkep.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FONOLOGI BAHASA INDONESIA Masnur Muslich

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Bahasa Jurnalistik (Drs. AS Sumadiria M. Si.)

Kalimat Efektif

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008