Kodrat Manusia Menurut Mensius (孟子)

1. Pengantar

Diskursus seputar manusia selalu memancarkan daya tarik bagi kebanyakan orang khususnya para filosof. Sesungguhnya diskursus seputar manusia adalah sebuah persoalan yang bisa kita jawab sekaligus jawaban yang kita berikan itu belum tuntas untuk melukiskan siapakah manusia itu sesungguhnya. Dalam dirinya tersimpan sebuah sebuah teka-teki yang sulit ditebak. Salah satu persoalan yang didiskusikan dalam diskursus tersebut adalah tentang kodrat manusia. Ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu baik, ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu buruk, ada pula yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu bukan baik dan bukan buruk (netral), dan sebagainya. Terlepas dari “kemisteriusan” diskursus seputar manusia, dalam paper ini penulis memfokuskan diri pada pendapat Mensius tentang kodrat manusia. Menurutnya, kodrat manusia adalah baik. Paper ini akan menampilkan mengenai riwayat hidup Mensius, konsep Mensius tentang kodrat manusia, kritik Hsun Tzu terhadap Mensius, kebaikan kodrat manusia versus masalah kejahatan, dan kesimpulan.



2. Kehidupan Mensius

Mensius (Men Chi) dilahirkan sekitar tahun 372 SM di kota Zou (sekarang berada di provinsi Shantung-Cina Timur). Ia dilahirkan menjelang akhir masa kekuasaan dinasti Chou. Saat itu negara Cina dilanda oleh perang saudara yang disebut dengan nama masa perang antar-negeri. Selain itu, masyarakat Cina zaman Mensius juga dilanda oleh dekadensi moral dan pergolakan politik dalam negeri. Para penguasa bertindak sewenang-wenang dalam mengatur negara sehingga masyarakat jatuh miskin. Nama aslinya adalah Meng Zi yang berarti Guru Meng. Nama Mensius dilatinkan oleh para filosof barat. Ketika Mensius berusia tiga tahun ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia dididik dan diajar tentang pendidikan moral oleh ibunya yang dikenal sebagai guru dan teladan kehidupan moral dalam masyarakat. Pendidikan moral yang diajarkan oleh ibunya membawanya menjadi seorang pribadi yang memiliki watak yang tegas dan bijaksana. Selain mendapat pendidikan dari ibunya, Mensius juga adalah murid Tzu Ssu. Tzu Ssu adalah murid sekaligus cucu dari Konfusius. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Mensius adalah murid dari Konfusius, karena pemikiran Tzu Ssu dipengaruhi/dilatarbelakangi oleh pemikiran Konfusius. Dibawah bimbingan Tzu Ssu Mensius dididik dan diajar dalam bidang moral dan intelektual. Melalui Tzu Ssu inilah Mensius berkenalan dengan pemikiran Konfusius yang merupakan figur sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat Cina zaman itu. Setelah Mensius memperoleh ilmu pengetahuan yang cukup luas ia pergi ke negeri Ch’i. Di sana ia menjadi pengajar sekaligus penasihat raja Hsuan. Raja Hsuan adalah figur pemimpin yang serakah karena ia sering menipu rakyatnya dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan ia menilai Mensius sebagai orang yang tidak bersentuhan langsung dengan realitas nyata.[1] Artinya orang yang hanya pandai berteori atau pandai berbicara tetapi tidak sesuai dengan tindakan dan perilaku konkret dalam hidup hariannya. Dari negeri Ch’i lalu pergi ke negeri Liang yang diperintah oleh raja Hui.

Tidak hanya pergi ke kedua negeri ini (Ch’i dan Liang), Mensius juga menghabiskan waktu kurang lebih 20 tahun untuk melakukan perjalanan ke berbagai negeri sambil mengajar orang-orang yang dijumpainya secara khusus para penguasa. Kepada para penguasa ia mengatakan, “…..Seorang penguasa tentu menjadi penguasa yang benar, di mana yang tua-tua dari rakyatnya berpakaian sutra dan makan daging, serta rakyat pada umumnya tidak ada yang menderita kelaparan dan kedinginan karena memiliki makanan dan pakaian yang secukupnya”.[2]

Setelah selama 20 tahun mengembara hampir di seluruh wilayah Cina Mensius kemudian kembali ke negeri asalnya (Zou). Tahun-tahun menjelang akhir hidupnya, Mensius dan para muridnya menafsir dan mememberi komentar dua kitab klasik (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) yang sangat berpengaruh pada saat itu. Tidak hanya itu, Mensius juga menafsir ulang ajaran Konfusius dan dipadukan dengan kedua kitab klasik di atas (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) kemudian menjadi bahan untuk penyusunan bukunya yang berjudul Mencius. Buku ini berisi tentang percakapan-percakapan Mensius dengan para penguasa yang ia jumpai dalam perjalanannya. Jadi, Mensius adalah nama seorang filosof sekaligus nama buku karangan filosof yang bersangkutan. Mensius meninggal dunia di kota kelahirannya (Zou) pada tahun 289 SM.

Di atas telah dikatakan bahwa Mensius adalah murid tidak langsung dari Konfusius. Akan tetapi, pemikiran Konfusius tidak serta merta diambil alih oleh Mensius. Konfusius tidak secara eksplisit berbicara tentang kodrat manusia: apakah baik atau buruk. Sementara Mensius dengan jelas mengatakan bahwa kodrat manusia itu adalah baik. Walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya juga memiliki persamaan yakni berbicara tentang moralitas manusia.



3. Kebaikan adalah Kodrat Manusia: Konsep Mensius

Apa itu kodrat manusia? Kodrat manusia adalah sifat dasar/asali manusia yang dibawa sejak lahir hingga kematiannya. Sifat dasar inilah yang menentukan sikap dan perbuatan manusia. Sifat dasar ini juga harus dikembangkan secara optimal agar mampu menjadi manusia unggul/ideal. Jika sifat dasar ini tidak dikembangkan secara baik dan benar maka manusia akan jatuh dalam tindakan brutal dan jahat.

Dalam kehidupan masyarakat Cina zaman Mensius terdapat tiga konsep tentang kodrat manusia.[3] Pertama, kodrat manusia itu netral, artinya tidak baik ataupun tidak buruk/jahat. Kedua, kodrat manusia itu bisa baik ataupun bisa buruk. Artinya bahwa kebaikan dan keburukan ada pada manusia. Ketiga, sebagian melihat kodrat manusia adalah baik dan sebagian lagi melihat bahwa kodrat manusia itu buruk. Lalu, bagaimana konsep Mensius tentang kodrat manusia?

Menurut Mensius, kodrat manusia pada dasarnya adalah baik. Untuk membuktikan konsepnya, Mensius membuat satu contoh menarik. Misalnya: Jika seseorang tiba-tiba melihat seorang anak kecil hampir jatuh ke dalam sumur yang dalam, maka tanpa berpikir panjang orang tersebut akan segera merasa iba dan sedapat mungkin berusaha untuk membantu Si anak kecil tersebut agar tidak terperosok ke dalam sumur.[4] Rasa iba dan usaha untuk membantu Si kecil bukan untuk dilihat dan dipuji oleh orang tua atau orang yang melihat tindakan orang tersebut, tetapi semata-mata merupakan rasa iba yang bersumber pada kodratnya untuk membantu sesama. Rasa iba ini yang memancarkan rasa kemanusiaan dalam diri orang tersebut.

Untuk memperkuat tesisnya tentang kebaikan kodrat manusia Mensius menunjukkan empat unsur fundamental dan khas yang ada hanya pada manusia. Keempat unsur itu antara lain:[5] Pertama, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan simpati. Menurutnya, rasa simpati merupakan dasar dari rasa kemanusiaan (ren). Kedua, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan malu dan segan. Perasaan malu dan segan merupakan dasar dari kebenaran dan keadilan (yi). Ketiga, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan rendah hati dan kerelaan. Perasaan rendah hati dan kerelaan merupakan dasar dari kesusilaan atau kesopanan (li). Keempat, setiap manusia mampu memahami dan membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Memahami apa yang benar dan apa yang salah merupakan dasar kebijaksanaan atau kearifan (zhi). Apabila keempat unsur fundamental ini (ren, yi, li dan zhi) tidak ada dalam diri manusia, maka orang tersebut bukanlah manusia normal. Keempat unsur ini juga-lah yang membedakan manusia dari binatang karena binatang tidak memiliki keempat unsur ini.

Menurut Mensius, keempat unsur ini melekat dengan kuat dalam Hati (Hsin) manusia. Dengan kata lain, kebaikan dari kodrat manusia itu bersumber pada Hati. Orang yang bertindak menurut hatinya berarti bertindak menurut kodratnya. Tentang hal ini Mensius mengatakan, ”Kalau manusia dibiarkan bertindak mengikuti rasa hatinya yang terdalam, kodratnya akan berbuat yang baik. Inilah yang dimaksudkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Kalau dia menjadi jahat itu bukan salahnya keadaan kodrati yang dimilikinya. Rasa kasih kepada sesama (jen), rasa malu untuk berbuat jahat (yi), hormat dan menghargai sesama (li), dan tahu tahu baik dan buruk (zhi). Semuanya itu tidak dimasukkan diri kita dari luar, mereka itu ada bersama dalam kodrat manusia kita”.[6]

Hati dalam pandangan Mensius mempunyai dua fungsi, yaitu hati yang peka dan hati yang menalar.[7] Pertama, hati yang peka. Hati yang peka membuat manusia mempunyai rasa simpati dan belarasa terhadap penderitaan orang lain. Dan hati yang bersimpati bukanlah hak patten dari individu, tetapi juga menjadi landasan fundamental bagi pengembangan masyarakat. Artinya bahwa masyarakat yang beradab tidak hanya bergantung pada sistem politik dan hukum, tetapi juga pada kualitas hati manusia.

Kedua, hati yang menalar. Selain hati yang peka, hati juga mempunyai fungsi untuk menalar. Menalar yang dimaksudkan oleh Mensius tidaklah identik dengan berpikir secara matematis dan logis dengan menggunakan rumus-rumus tertentu, tetapi menalar dalam arti reflektif. Jadi, hati yang menalar berarti hati yang reflektif. Hati yang reflektif mampu mengantar orang untuk menyadari dan masuk ke dalam kodratnya sebagai manusia. Refleksi itu membuat manusia mampu memilah dan memilih yang baik dari yang jahat. Karena itu, kehancuran seseorang atau suatu masyarakat bisa terjadi karena kurangnya merefleksi diri.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia yang mencintai sesamanya dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bersama merupakan tindakan yang didasarkan pada kodratnya yang baik. Dan kebaikan kodrat manusia itu bersumber pada Hati (Hsin). Hati adalah pusat kemanusiaan, yang memberi warna khusus pada manusia dan membedakannya dari binatang yang tak berakal budi. Dari hati lahirlah kesadaran diri sebagai manusia (jen), kehendak untuk bersikap patut (li), berlaku benar dan adil (yi), mengetahui yang baik dan yang buruk (zhi).[8] Karena kodrat manusia itu baik, maka berbuat amal kepada sesama manusia merupakan sebuah keniscayaan pada manusia.

Mensius juga menyadari bahwa dalam kodrat manusia terdapat unsur lain yang dalam hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai unsur yang jahat atau yang baik, tetapi jika tidak dikontrol dengan baik dan benar dapat menimbulkan kejahatan. Unsur-unsur ini adalah nafsu naluriah untuk memiliki harta kekayaan berlimpah, nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk memiliki prestise dan prestasi, dan sebagainya. Menurut Mensius, unsur-unsur ini bukanlah kekhasan manusia karena hal ini juga terdapat pada binatang. Unsur-unsur ini menunjukkan aspek “kebinatangan” dalam kehidupan manusia, dan karenanya bila ditinjau secara ketat, tidak akan dipertimbangkan sebagai bagian dari sifat dasar manusia.[9]



4. Kritik Hsun Tzu Terhadap Mensius

Hsun Tzu atau Xun Zi (298-238 SM) adalah salah seorang filosof yang menentang pendapat Mensius tentang kebaikan kodrat manusia. Menurutnya, kodrat manusia itu adalah jahat/buruk. Hsun Tzu mengatakan, “Kodrat manusia adalah buruk, apapun yang baik yang terdapat dalam dirinya merupakan akibat latihan yang diperolehnya. Manusia lahir dengan kesukaan akan keuntungan, jika ini diikuti maka mereka akan gemar bertengkar serta rakus, sama sekali tidak mengenal basa-basi dan tidak memperhatikan orang lain. Sejak lahir dipenuhi dengan sifat iri hati serta benci terhadap orang lain. Jika dikekang, mereka akan menjadi ganas dan keji, sama sekali tidak memiliki ketulusan dan itikad baik. Sejak lahir, mereka membawa serta kesenangan melalui mata dan telinga, kesukaan akan bunyi dan warna, jika ia mengikuti hal-hal tersebut maka ia menjadi resah dan tidak memperhatikan keadilan lagi”.[10]

Pernyataan Hsun Tzu di atas secara jelas memperlihatkan bahwa kodrat manusia itu jahat. Supaya manusia menjadi baik harus dilatih dan diajar terus menerus oleh para guru yang bijaksana. Akan tetapi, kritik Hsun Tzu ini tidak bisa diterima. Jika jalan untuk mencapai manusia unggul/ideal diperoleh melalui latihan dan ajaran sang guru, lalu kepada siapa sang guru berguru dalam mencapai kesempurnaan hidupnya tersebut? Dari mana ia mendapat ajaran kebaikan itu? Yang jelas pengetahuan tentang kebaikan itu bersumber pada kebaikan kodrat manusia. Jika kodrat manusia itu jahat, maka sang guru tidak akan memperoleh kesempurnaan dalam hidupnya. Meskipun kodrat manusia itu baik, akan tetapi kodrat tersebut terus menerus diolah secara optimal agar mencapai manusia yang unggul. Karena kodrat yang baik itu bisa berubah menjadi jahat jika tidak diolah dengan baik dan benar.



5. Kebaikan Kodrat Manusia Versus Masalah Kejahatan

Dalam kehidupan kita setiap hari hampir pasti kita sering menyaksikan atau mengalami tindakan/perbuatan jahat yang dilakukan oleh sesama kita atau bahkan kita sendiri pernah menjadi aktor tindakan kejahatan tersebut. Misalnya saja: pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, teroris, penipuan, dan sederetan tindakan kejahatan lainnya. Pertanyaan mendasar untuk kita eksplorasi lebih dalam berdasarkan konsep Mensius tentang kebaikan kodrat manusia adalah, “Jika kodrat manusia itu baik, mengapa tindakan kejahatan itu terjadi dan dilakukan oleh manusia?”

Menurut Mensius, kejahatan dalam dunia bukan berasal dari kodrat manusia tetapi dipengaruhi oleh tiga faktor.[11] Pertama, kejahatan terjadi karena pengaruh lingkungan sosial. Setiap orang membawa kebaikan kodrati dalam hatinya, tetapi masyarakat yang jahat dapat memustahilkan seorang individu untuk hidup sesuai dengan kebaikan kodratinya. Dalam arti ini masyarakat sebenarnya turut bertanggungjawab atas tindakan jahat yang dilakukan oleh warganya. Kedua, kejahatan terjadi karena orang menyangkal atau menolak kebaikan kodrati yang ada dalam dirinya. Mereka yang memandang diri terlalu negatif dan tanpa berharga, tak akan peduli dengan kebaikan. Perbuatannya cenderung melawan kebaikan kodrati. Ketiga, kurang merefleksi diri. Semakin seseorang kurang merefleksi diri, semakin ia tidak mengenal kebaikan yang ada dalam dirinya. Karena ia jarang berefleksi, maka dirinya sendiri dan masyarakat akan hancur berantakan. Mensius mengatakan bahwa jika manusia membiarkan dirinya mengikuti kodratnya, maka manusia itu akan berbuat baik. Jika manusia berbuat jahat, maka hal itu bukanlah berasal dari kodratnya.[12]



6. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Mensius, kodrat manusia itu adalah baik. Kebaikan kodrat manusia bersumber pada hati (Hsin). Orang yang bertindak berdasarkan kodratnya tidak akan melakukan tindakan sesat/jahat. Karena hati adalah sumber dari kodrat manusia, maka fokus pendidikan terletak pada mencerdaskan hati. Pelaksanaan pendidikan hendaknya membawa orang tidak hanya pada kecerdasan intelektual, tetapi lebih pada kecerdasan hati. Selain itu, Mensius yakin bahwa kejahatan terjadi bukan karena kodrat manusia itu jahat tetapi karena pengaruh lingkungan sosial, orang menyangkal atau menolak kebaikan kodrati yang ada dalam dirinya, dan kurangnya refleksi diri setiap manusia. Untuk itu, manusia hendaknya mengolah diri sebaik-baiknya agar kodratnya yang baik mampu dipancarkan kepada sesama kita. Pendidikan yang mencerdaskan hati mampu menghilangkan kejahatan yang disebabkan oleh tindakan manusia.





Daftar Pustaka





Creel, H. G., Alam Pikiran Cina Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, Yogyakarta: Tiarawacana, 1990.



Collinson, Diane and Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers, London and New York: Routledge, 1994.



Mencius, Mencius, trans. by D.C. Lau, London: Penguin Books, 1970.



Ohoitimur, Johanis, “Kodrat Manusia Menurut Mensius”, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol.9 No. I Maret 2009.



Reksosusilo, Stanislaus, Sejarah Awal Filsafat Timur, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.



Sujasan, Alexander Ignatius, “Kodrat Manusia Menurut Mencius (Men Chi)”, dalam FORUM No. 24 Thn. XXX 2002.



Yu-Lan, Fung, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.







[1] Diane Collinson and Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers, London and New York: Routledge, 1994, hlm. 131.

[2] Meng Tzu, IA-3, seperti yang dikutip oleh Romo Stanislaus Reksosusilo, CM dalam Sejarah Awal Filsafat Timur, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008, hlm. 54.

[3] Bdk. Mencius, Mencius., transl. by D.C. Lau, London: Penguin Books, 1970, VIa.3-6. Untuk selanjutnya ditulis hanya judul buku (Mencius) disusul dengan nomor tulisan.

[4] Bdk. Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 89. Bdk. juga H.G. Creel, Alam Pikiran Cina Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, Yogyakarta: Tiarawacana, 1990, hlm. 92.

[5] Ibid., Mencius IIa.6.

[6] Meng Tzu VI-6., Seperti yang dikutip oleh Romo Stanislaus Reksosusilo,CM, Op. Cit., hlm.52.

[7] Bdk. Johanis Ohoitimur, “Kodrat Manusia Menurut Mensius”, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol.9 No. I Maret 2009, hlm 60-63.

[8] Mencius, Via.11., Lihat juga Johanis Ohoitimur, Ibid., hlm. 60.

[9] Fung Yu-Lan, Op. Cit., hlm. 89.

[10] H. G. Creel, Op. Cit., hlm. 130.

[11] John M. Koller and Patricia Joyce Koller, Asian Philosophi, Seperti yang dikutip oleh Johanis Ohoitimur, Op. Cit., hlm. 64.

[12] Bdk. Alexander Ignatius Sujasan, “Kodrat Manusia Menurut Mencius (Men Chi)”, dalam FORUM No. 24 Thn. XXX 2002, hlm. 17-17.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Bunyi Bahasa (Fonologi)

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar

Bentuk, Ragam dan Sifat Bimbingan dan Konseling

Resensi Novel : “Birunya Langit Cinta”