GLOBALISASI, AJARAN SOSIAL GEREJA DAN GEREJA KATOLIK

Bicara tentang globalisasi adalah bagian dari globalisasi itu sendiri. Di mana-mana orang bicara tentang globalisasi dan akan merasa diri tertinggal kalau tidak ikut membicarakannya. Bicara tentang globalisasi jelas tidak mudah karena sosok dan figure globalisasi begitu multi-dimensi, sehingga ada yang cenderung bicara tentang globalisasi-globalisasi: jamak dan bukan tunggal.

Paradoks Globalisasi
Kita cenderung berpikir bahwa globalisasi mempersatukan dunia; dunia menjadi satu kampung (a global village); ada begitu banyak hal yang dapat disyeringkan bersama; cita-rasa bersama. Pertanyaannya, betulkah globalisasi mempersatukan? Ataukah hanya sekedar menyeragamkan kepentingan, cita-rasa, mode, persepsi atau konsepsi tentang sesuatu? Yang jelas globalisasi tidak saja menebarkan harapan tetapi juga kecemasan, optimisme tapi juga ketakutan. Kalau globalisasi mempersatukan, dalam arti apa globalisasi mempersatukan? Apakah masyarakat dunia semakin solider, sehingga dapat berbagi dalam mewujudkan keadilan sosial serta kesejahteraan bersama? Apakah solidaritas dan kesejahteraan bersama masyarakat dunia dapat diharapkan terealisasi sebagai buah dari proses yang disebut globalisasi? Jawabnya: TIDAK. Yang terjadi adalah semakin melebarnya jurang kaya dan miskin: 358 orang terkaya memiliki harta sebanyak yang dimiliki 2,5 miliar orang; 1/5 negara-negara dunia menguasai 84,7 persen GNP, mengkonsumsi 85% kayu, 75% logam dan 70% energi dunia. Yang terjadi bukanlah pengingkatan mutu hidup dan kemajuan kesejahteraan umum melainkan disintegrasi, kerusakan ekologi dan degenerasi kultural .
Sosiolog Roland Robertson cenderung melihat bahwa esensi globalisasi itu berwajah ganda: menyeragamkan tetapi juga menegaskan perbedaan; ada fenomena yang mengarah kepada persatuan tetapi juga ada fenomena yg menegaskan identitas-identitas yang berbeda-beda, terbatas dan lokal. Yang terjadi bukan hanya globalisasi tetapi juga “glokalisasi”: artinya kecenderungan globalisasi yang bermuara pada penegasan perbedaan serta identitas-identitas lokal (baik nasional maupun etnik), yang mengandung potensi mengexklusifkan kelompok yang satu dari yang lainnya. Globalisasi pun di satu sisi mempertegas represi (pemerintah-pemerintah, badan-badan internasional) terhadap masyarakat-masyarakat lokal. Munculnya globalisasi memperlihatkan bahwa ‘ideal dunia’ yang dicanangkan globalisasi, di hadapkan pada pilihan lain: another world is possible.
Ketika negara-negara industri maju (G8) bertemu untuk merancang kebijakan ekonomi global, serentak pada saat yang sama komunitas-komunitas lokal tampil sebagai antitesis dan mencanangkan paradigma dunia yang lain. World Economic Forum (WEF) berhadapan dengan World Social Forum (WSF). Realitas ini memperlihatkan bahwa globalisasi memang berwajah ganda: mempersatukan tetapi juga memecah-belah; memenangkan suatu kepentingan, tetapi mengalahkan kepentingan yang lain; ada yang menang dan ada yang kalah. Dalam kenyataannya, alih-alih mempersatukan globalisasi sebenarnya lebih memecah-belah masyarakat dunia antara kelompok pemenang dan kelompok yang kalah. Globalisasi menyimpan potensi yang membahayakan komunitas masyarakat global.
Salah satu varian (bahkan varian utama) dari isyu globalisasi adalah ekonomi-neo-liberal, yang oleh David Korten disebut sebagai upaya “mengintegrasikan ekonomi-ekonomi nasional menjadi ekonomi tunggal global dengan membongkar/meniadakan batas-batas negara, sehingga terbentuk suatu korporasi ekonomi raksasa yang bergerak bebas memasarkan barang dan uang ke mana saja di dunia ini sambil mengeruk keuntungan besar tanpa campur tangan pemerintah negara-negara. Atas nama efisiensi maka aliansi-aliansi korporasi ekonomi raksasa itu akan memprivatisasi pelayanan-pelayanan publik”. Sejalan dengan David Korten, sosiolog Inggeris Zygmund Brauman berupaya membongkar topeng retorika globalisasi dengan mengatakan: sambil menggarong kekayaan alam negara-negara, mereka memprogandakan ekonomi bebas; sambil menjarah kekayaan keluarga-keluarga serta komintas-komunitas masyarakat mereka memprogandakan rasionalisasi.
Apa itu globalisasi? Kita sudah melansir sejumpah point berkaitan dengan globalisasi, tetapi apa persis globalisasi per defenitionem? Globalisasi pertama-tama mengacu kepada suatu proses di mana volume serta intensitas transportasi, komunikasi dan hubungan perdagangan lintas batas berkembang pesat. Globalisasi tidak memedulikan batas-batas negara tetapi mengintensifkan efektivitas kegiatan ekonomi, sosial dan politik lintas batas bagi masyarakat antar negara. Banyak masalah yang sekarang menerobos batas-batas teritorial. Semakin banyak hal serta peristiwa yang terjadi simultan di seluruh dunia, dirasakan di mana-mana dalam tempo yang semakin singkat bahkan bersamaan.
Defenisi ini dapat diidentifikasi lewat data-data berikut. Semakin besar jumlah mahasiswa yang mengikuti program setudi luar negeri tanpa harus ke luar negeri; setiap enam jam ada sekitar 4 ratus miliar dollar uang beralih tangan; jumlah pekerja migran terus bertambah; sekarang ini ada sekitar 30 juta pekerja yang sah dan diperkirakan jumlah pekerja tak sah (illegal) sekitar dua kali lipat; jumlah pengungsi membubung melampaui jumlah tersebut; pengiriman uang dari pekerja migran ke negeri asalnya juga bertambah besar; tiap tahun 3 miliar dolar uang masuk ke India dan juga Mesiko (hanya dari pekerja migran di California) melalui pekerja imigran tersebut. Bahkan sudah ada keluarga global, seperti contoh banyak orang Filipina atau Indonesia yang sebagian anggota keluarganya bekerja di luar negeri. Sekarang ini ada 50.000 LSM berbadan hukum di dunia ini, dan 90 prsen dari jumlah tersebut muncul sejak tahun 1970. Demikian juga lembaga-lembaga riset sudah melibatkan tim internasional. Banyak isyu atau masalah tidak lagi hanya dihadapi oleh satu bangsa/negara, seperti soal narkoba, perdagangan senjata, terorisme, pencucian uang, polusi, pengungsi, sumber alam, serta penyakit, dllsb.
Globalisasi terutama dipacu oleh proyek integrasi ekonomi dalam pasar dunia serta teknologi, terutama teknologi informasi (komuikasi), sehingga tidak ada yang luput dari terpaan globalisasi. Begitu banyak kepentingan serta jaringan informasi mengalir cepat ke pelbagai penjuru; internet membantu menggalang kekuatan global untuk menolak atau melawan proyek-proyek besar pemodal kuat yang mengancam kepentingan kelompok-kelompok lokal di dunia ketiga. Hubungan yang begitu cepat pada skala global merupakan sumbangan besar dari teknologi informasi sehingga Roland Robertson menggambarkan globalisasi sebagai berkembang pesatnya komunikasi yang membantu meningkatnya kesadaran bersama pada tingkat global; manusia menjadi komunitas besar dengan kesadaran akan nasib serta tanggungjawab yang sama; juga jika nanti proyek ekonomi neoliberal akan gagal, globalisasi tetap akan menjadi isyu nyata terutama menyangkut pemanasan global, internet, budaya pop maupun terrorisme serta penyakit berskala global. Dengan globalisasi maka “geografi” sebagai rentang jarak antar tempat menjadi sirna; batas teritorial menjadi kehilangan makna. Globalisasi berarti de-teritorialisasi.

Globalisasi: Positif dan Negatif
Globalisasi membawa dampak positif dan negatif bagi manusia. Hal positif yang paling utama adalah meningkatnya kecepatan komunikasi yang pada gilirannya membantu bertumbuhnya kesadaran bersama akan satu dunia (only one world). Informasi tersedia serta isyu-isyu mengenai hak asasi manusia menyebar luas ke tingkat kesadaran global.
Kendati demikian globalisasi juga menyisahkan sejumlah hal negatif:
Pertama, globalisasi tidak sensifit terhadap penderitaan manusia. Fernando Franko antara lain menegaskan bahwa globalisasi di masa depan tidak diingat karena perannya memajukan teknologi informasi tetapi akan dikenang sebagai suatu periode perubahan ekonomi dan politik yang traumatik. Kedua, globalisasi (melalui kekuatan multikorposasi ekonomi) merusak lingkungan hidup; ketiga, polarisasi ekonomi dan politik antara pelbagai masyarakat; jurang kaya-miskin bukannya dipersempit tetapi semakin lebar menganga. Dalam dunia internet misalnya: kurang dari 1% masyarakat Afrika mengenal/menggunakan internet; dan kota Tokyo memiliki lebih banyak jaringan telepon dibandingkan dengan seluruh Afrika. 40% rakat Amerika Latin buta huruf. Ilmuwan Sosial Kanada Pierre Hamel mengatakan: perkembangan yang tidak merata membuat globalisasi hanya menjadi hanya suatu bayangan .... katanya globalisasi, tetapi nyatanya kita hidup di dunia yang terpecah. Kita memimpikan dunia yang bersatu, nyatanya kita tidak hidup di dunia seperti itu. Dunia selatan yang miskin akan semakin terlempar keluar (termarjinalisasi); jadi akan ada bagian dunia yang makin bersatu tetapi juga akan ada apartheid global. Yang terakhir, adalah mengikisnya peran serta fungsi negara dalam memberikan jaminan keamanan sosial, ekonomi dan politik bagi warganya sebagaimana diimpikan dari teori negara tradisional.
Globalisasi menghadapkan masyarakat dunia pada 10 tantangan: (1) pemanasan global; (2) instabilitas keuangan; (2) penyakit-penyakit: malaria dan aids, dll; (3) konflik-konflik; (4) akses ke pendidikan; (5) instabilitas keuangan; (6) korupsi dan good-governance; (7) gizi buruk dan kelaparan; (8) migrasi; (9) akses terhadap kesehatan dan air bersih; (7) subsidi dan hambatan perdagangan .
Pertanyaan pokok kita adalah bagaimana membuat globalisasi menjadi lebih manusiawi sehingga globalisasi memberi rasa aman dan jaminan bagi hidup manusia serta kemanusiaan seluruhnya. Ada pelbagai upaya untuk menjawab pertanyaan ini. Hans Küng misalnya mempromosikan etika global . Gereja Katolik melalui Ajaran Sosialnya juga mencoba menawarkan pemikiran serta refleksi untuk menjawab pertanyaan penting ini.



Ajaran Sosial Gereja dan Globalisasi
Pertama-tama baik diingat bahwa ASG tidak hanya mengacu kepada ensiklik para Paus sejak Leo XIII, tetapi juga mencakup pelbagai dokumen Gereja yang berbicara mengenai isyu-isyu sosial-ekonomi-politik, termasuk dokumen dari uskup-uskup serta konfrensi para Uskup. Refleksi yang menghasilkan dokumen sosial sebenarnya bahkan sudah dimulai sejak abad 2 dan 3, yang kemudian terus berlanjut selama abad pertengahan dan modern. Tema-tema yang diangkat mencakup pelbagai aspek hidup manusia: sosial, politik, ekonomi, budaya, keluarga, masyarakat dlls. Karena itu tema-tema yang pernah diangkat dalam ASG terasa kembali relevan ketika dunia berhadapan dengan isyu besar globalisasi. Peran Gereja tentu tidak saja melalui ASG tetapi juga melalui pelbagai macam gerakan dan keterlibatan dari komunitas-komunitas Gereja baik nasional maupun nasional. Peran Gereja dalam dunia dewasa ini tidak lagi hanya terbatas pada ASG, tetapi justru menyentuh kepentingan serta kebutuhan langsung masyarakat (korban) yang termarjinalisasi dan menderita.
Berhadapan dengan globalisasi dan berdasarkan keprihatiannya untuk memanusiakan globalisasi ASG mengajukan delapan tema pokok:
(1). Martabat Manusia: Setiap manusia (beriman atau tidak) diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan dipanggil untuk menjadi pelaku serta partisipan dalam penciptaan dunia, masyarakat dan kebudayaan. Dari isyu dasar martabat manusia muncullah kemudian paham HAM (yang terutama dibicarakan dalam ensiklik Pacem in Terris) . Berbeda dengan teori HAM liberal, ASG juga menekankan hak-hak sosial ekonomi, sebagai hak positif demi terpenuhinya kebutuhan dasar hidup manusia, jadi bukan hanya hak negatif dalam arti terbebas dari penindasan dan tekanan. Teori HAM ASG juga tidak dilepaskan dari tanggungjawab sosial karena keduanya melekat dan berakar pada martabat manusia: makhluk individu, sosial dan interdependent .
(2). Hakekat Sosial Manusia: ASG mengandung prinsip liberalisme-komunitarian. Kendati menekankan hak-hak asasi (individu) manusia, ASG menegaskan juga bahwa HAM tidak pernah lepas dari realitas eksistensial manusia sebagai makhluk sosial. Manusia serta hak-haknya hanya dapat bermaknsa dalam jaringan relasi: keluarga, lingkungan, budaya, masyarakat, organisasi, dllsb. Alsdair MacIntyre menegaskan bahwa manusia adalah makhluk independen dan interdependent, rational dan simbolis. Karena diciptakan dalam ‘gambar dan rupa Allah’ maka manusia juga tidak dapat tidak berada dalam relasi, sebagaimana Allah ada dalam relasi trinitarian. Jadi manusia adalah makhluk pribadi dan sosial . Karena itu ASG membela bukan saja kepentingan individual, tetapi juga sosial dan kultural masyarakat manusia yang berbeda-beda serta kaya.
(3). Kesejahteraan Umum: ASG menegaskan bahwa kesejahteraan umum merupakan kriteria serta indikasi dari masyarakat yg baik, negara yang sukses dan tatanan internasional yang adil. Isyu kesejahteraan umum tidak bisa dilepaskan dari isyu globalisasi. Kesejahteraan umum dapat didefenisikan sebagai suatu system: keseluruhan tatanan institusional yang menjamin, memampukan serta mempermudah berkembangnya manusia dalam keutuhannya. ASG tidak menggarisbawahi paham milik bersama (komunisme) tetapi milik pribadi (privat property). Karena itu ASG menegaskan bahwa kekayaan alam kendati untuk kepentingan bersama tetapi dapat menjadi milik pribadi. Atau dalam bahasa Yohanes Paulus II: milik pribadi itu bersifat sosial. Konsep ASG ini dimaksudkan untuk meminimalisasi intervensi negara, sehingga negara hanya diberi tugas dan tanggungjawab terhadap perwujudan keadilan, keamanan, kesempatan yang sama, kesejahteraan umum dan perdamaian. Bila itu diterapkan dalam sekala internasional maka juga akan terwujud kesejahteraan umum pada skala global/internasional.
(4) Subsidiaritas: Konsep subsidiaritas meliputi pengakuan akan pluralisme yang melihat masyarakat tidak seluruhnya tergantung atau hanya derivasi dari peran serta kekuasaan negara. Subsidiaritas menegaskan bahwa pemerintahan/kekuasaan lebih tinggi tidak boleh mengkooptasi peran dari kelompok yang lebih kecil di bawahnya. Karena kelompok kecil atau masyarakat akar rumput juga memiliki kearifan serta sumber kreativitas yang penting. Subsidiaritas menolak campur tangan kekuatan besar yang dapat mengebiri kreativitas dan potensi masyarakat setempat .
(5). Solidaritas: Pokok tentang solidaritas a.l. dapat ditemukan dalam SRS 40. Paham solidaritas berakar pada hakekat sosial manusia. Tak seorangpun yang dapat hidup sendiri dan mencukupi sendiri semua kebutuhannya. Manusia saling bergantung. Konsep solidaritas juga tidak dapat dilepaskan dari konsep kesejahteraan umum . Solidaritas ingin menegaskan bahwa manusia membutuhkan orang lain, juga ketika yang lain itu tidak memiliki hak eksplisit untuk mendapatkan bantuan atau sokongan. John Paul II menegaskan perlunya globalisasi solidaritas, karena solidaritas erat berkaitan dengan pokok berikut ini.
(6). Pilihan mengutamakan orang miskin: Ajaran katolik memberikan perhatian khusus kepada mereka yang tidak dapat bersuara serta tidak mampu, serta memprioritaskan kebutuhan dasar orang miskin dan tersisih dan bukan memberi peluang lebih besar kepada mereka yang kaya serta mampu. Pilihan mengutamakan orang miskin mengafirmasikan realitas kelompok korban dalam sejarah. Pilihan mengutamakan orang miskin menekankan pentingnya keadilan partisipatif, sehingga mereka yang sebelumnya tidak mampu bersuara/berperan diberi kesempatan untuk bersuara/berperan memperjuangkan kepentingannya . Dengan demikian mereka mampu berperan dalam mengambil keputusan yang menyangkut hidup dan keberadaan mereka, jika sebelumnya hal-hal seperti itu diambil-alih atau diputuskan pihak lain tanpa peran serta mereka. Prinsip ini memiliki landasan teologis yang mendalam pada Allah sendiri serta Yesus Kristus yang mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang miskin (bdk. Mt 25; Jer. 22:16).
(7). Teori ttg Keadilan: Gereja Katolik mempertahankan serta meneruskan ajaran klasik tentang keadilan : (a). Keadilan komutatif, keadilan antar pribadi seperti pemenuhan janji, kontrak serta kewajiban antar pribadi lainnya (utang-piutang, dllsb.); (b). Keadilan distributif, menyangkut alokasi keuntungan serta beban dalam masyarakat sehingga setiap elemen mendapatkan bagiannya sesuai dengan kepentingan serta kemampuannya; (c) keadilan sosial, menyangkut konstruksi institusi sosial sehingga memungkinan terwujudnya keadilan komutatif, distributif serta keksejahteraan umum. Selain itu pada akhir-akhir ini ASG juga mengedepankan ide tentang keadilan sebagai partisipasi, yang dimaksudkan bahwa manusia (pribadi atau masyarakat) diberi peluang untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut kehidupan mereka serta berperan dalam penciptaan struktur-struktur yang menjamin kesejahteraan umum .
(8). Humanisme Integral: Gereja lebih menekankan integrasi, (visi) pemikiran yang holistik serta humanisme yang integral. Hal itu dimaksudkan agar visi tentang ekonomi misalnya tidak begitu saja dilepaskan dari kebudayaan, ekologi, masyarakat, negara, keluarga dan kerja. Dalam ensiklik tentang inkulturasi Evangelium Nuntiandi Paulus VI misalnya mengingatkan pentingnya kebebasan yang integral, sedangkan dalam Populorum Progressio dia bicara tentang perkembangan/pembangunan manusia yang integral. Hal itu disebut sebagai “makna sejati dari perkembangan/pembangunan”, oleh Yohanes Paulus II. Dengan kata ‘integral’ Gereja sebenarnya ingin menepis atau menjauhkan segala macam bentuk pandangan yang reduksionis atau berat sebelah tentang manusia, seolah-olah hanya makhluk ekonomi atau makhluk yang memiliki kemampuan memilih dari antara sekian banyak kemungkinan, tetapi lepas dari akar sosial, budaya serta bahasa. Selain itu manusia adalah partisipan atau pencipta struktur-struktur sosial dan bukan hanya obyek. Kata sifat integral ingin menolak setiap bentuk pendekatan sientifik yang mereduksi manusia. Dalam ensiklik Centesimus Annus (CA) Yohanes Paulus II menegaskan bahwa globalisasi yang integral mesti mempersatukan dan tidak boleh memisahkan analisanya dari 6 faktor yang dilihatnya sebagai hal yang sedang bertumbuh, setelah perang dingin, dan suatu tatanan dunia baru dalam ensiklik tersebut. Keenam faktor tersebut adalah politik, masyarakat, ekonomi, budaya, negara dan lingkungan .
Jelaslah bahwa ASG berbeda dengan teori neo-liberal yang mengutamakan ekonomi serba otonom lepas dari pengaturan negara demi kesejahteraan umum atau berbeda dengan perspektif hak-hak kebebasan individual yang lepas dari latar sosial dan kultural. ASG juga tidak sejalan degan doktrin-doktrin statis serta komunitarian yang serba mengekang serta mengebiri partisipasi dan subsidiaritas.
Pembangunan dunia secara integral dapat menggali sumber-sumbernya dari ASG. GS 1-3 memberikan gambaran utuh dan teologis mengenai antropologi teologi yang melandasi pemahaman tentang pribadi, masyarakat, negara, ekonomi dan budaya. Sollicitudo Rei Socialis (SRS) IV-V, merupakan bagian penting dari ensiklik yang bicara tentang pembangunan manusia seutuhnya dan pembacaan problema modern secara teologis. CA 25-29 dan juga bagian IV-V berkaitan dengan ekonomi, budaya dan kesalingtergantungan antara negara. Jauh sebelum istilah globalisasi ada, ASG telah mulai membicarakan sejumlah isyu penting, termasuk pembangunan di negara-negara miskin, imigrasi dan migrasi, pertumbuhan penduduk, perdagangan senjata dan senjata pemusnah massal, perang, kebutuhan dasar manusia, hak berpartisipasi dan kebutuhan akan terbentuknya struktur baru untuk menjamin kesejahteran umum. Issu-issu tersebut telah menjadi issu kunci dalam diskursus globalisasi.
Pokok-pokok moral terkait dengan globalisasi yang integral dapat ditemukan dalam ketiga dokumen di atas (PP, SRS, CA). Tetapi ASG tidak hanya menawarkan norma-norma etis yang memberi orientasi pada globalisasi tetapi juga menganjurkan pentingnya membaca tanda-tanda zaman, sebagaimana dianjurkan GS dan OA , dan bahwa ASG tidak dapat menjawab semua soal yang muncul dari globalisasi. Tetapi prinsip-prinsip etis perlu dicerna dan disaring terutama berhadapan dengan hal-hal baru, serta mesti dirumuskan kembali ketika berhadapan dengan kasus nyata, jadi tidak melulu deduktif, tetapi perlu discernment kritis . Menemukan korelasi antara globalisasi dan ASG adalah tugas yang harus dijalankan. Seringkali korelasi antara ASG dan realitas-realitas dunia terutama terkait dengan soal-soal finansial, strategi ekonomi seperti merger dan pembelian saham, atau perkembangan kelompok organisasi negara atau non-governmental groups tidak terumuskan dalam ASG. Makanya hal tersebut mesti diupayakan dan ditemukan, sehingga ada korelasi antara ASG dan globalisasi.
Bagaimanapun juga belum ada dokumen yang secara menyeluruh bicara tetang globalisasi atau yang berbicara tentang globalisasi sebagai gejala dari suatu proses integrasi sosial, yang merubuhkan batas-batas serta suatu rekonseptualisasi negara. Karena itu ada kekosongan yang amat mencolok dalam ASG ketika mendiskusikan globalisasi. Salah satu isyu besar di sana adalah suatu pemerintahan global. Awal tahun 1960-an Yohanes XXIII dalam Pacem in Terris (1963) menyentil tentang hal itu sebagai suatu hal yang mesti dipikirkan (PT 135: “bentuk dan struktur kehidupan politik di dunia mdoern, dan pengaruh pemerintah di semua bangsa di dunia tidak memadai menghadapi tugas memajukan kesejahteraan umum semua bangsa”). Kendati ada kekurangan seperti itu, belum ada suatu pemikiran sistematis berkaitan dengan institusi suatu pemerintahan global yang tentu saja tidak sama dengan pemerintahan negara. Hal kedua adalah bagaimana ASG dapat menghadapi entitas-entitas baru dalam masyarakat global, seperti LSM dan LAP (lembaga antar pemerintahan). Bagaimana kompetensi serta peran mereka dalam globalisasi? Yang perlu juga adalah agar ASG bicara tuntas dan jelas tentang soal ekologi. CA dan Surat Gembala Uskup-Uskup Kanada sudah bicara tentang hal ini. Tetapi isyu di sana adalah bahwa soal ekologi terkait dengan keadilan dan bukan soal keutuhan ciptaan. Kendati dengan jelas dibedakan antara manusia dan ciptaan, tetapi tidak ada satu refleksi yang utuh mengenai kemuliaan Tuhan dalam dan melalui ciptaan dan bahwa ciptaan tidak diciptakan melulu untuk kebutuhan manusia. Manusia sebagai pemelihara tidak dapat mengantikan status ciptaan sebagai cermin kemuliaan Allah. Ekonomi mesti ditata kembali dalam konteks bumi sebagai rumah tinggal bersama umat manusia, sehingga kalau bumi rusak maka hancur jugalah ekonomi serta kehidupan manusia secara keseluruhan.
Pokok utama lain dalam globalisasi dan yang disinggung ASG adalah dialog antara agama. Selain itu ASG juga menyentuh isyu hangat dalam globalisasi yakni perusahaan multi-nasional. Yohanes Paulus II dalam CA menyinggung hal itu. Tetapi pertanyaan yang terakhir adalah bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap Gereja Katolik?

Gereja Katolik Sebagai Pelaku/Pemain Global
Sulit dipungkiri bahwa Gereja Katolik adalah seorang pemain global (pemeran globalisasi). David Ryall menyatakan Gereja sudah terlibat sebagai pelaku dan subyek globalisasi. Dalam budaya politik Gereja Katolik, kekuasaan yang terpusat, struktur transnasional, subsidiaritas dan devolusi telah merupakan konsep-konsep yang sudah lama dikenal”. Hanya anehnya suara Gereja tak terdengar, kecuali terkait dengan penghapusan utang dalam rangka yubileum 2000, dalam kampanye-kampanye global berkaitan dengan HAM, lingkungan, transparansi dan gerakan kaum wanita.
Ada empat pokok yang dapat kita tinjau dalam bagian ini: (1). Gereja katolik sebagai pemain global (trans-nasional); (2). Pengaruh globalisasi terhadap Gereja Katolik; (3). Diskursus Gereja Katolik ttg Globalisasi; (4). Kekurangan Gereja dalam debat tentang globalisasi.
(1). Gereja Katolik, Pelaku Globalisasi
Perkembangan umat Katolik sudah mencapai tingkat global. Pada pertengahan abad 20 silam, penduduk dunia bertumbuh 117 persen sedangkan orang Katolik bertumbuh 139 persen. Perkembangan jumlah orang Katolik tercepat terjadi di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di Asia orang Katolik berkembang sebesar 278 persen, padahal pertumbuhan penduduk Asia bergerak pada angka 104 persen. Perkembangan ini tercermin juga dalam jumlah dari para Kardinal non-Eropa, pejabat di Vatikan dan juga para Uskup dunia. Jumlah Uskup dunia sekakrang 4.541, dan tahun 1963 berjumlah 2.500. 14 persen Uskup berasal dari Afrika, 40 persen dari Amerika, 13 persen dari Asia, 30 persen dari Eropa dan 3 persen dari Oceania. Pada tahun 1950, setengah orang Katolik tinggal di Eropa, sekarang hanya 41 persen orang Eropa yg Katolik dan hanya merupakan 27 persen dari jumlah orang Katolik di dunia. Sekarang 60 persen orang Amerika adalah Katolik, dan merupakan setengah dari jumlah orang Katolik seluruh dunia.
Gereja Katolik berpusat di sebuah negara kecil, Vatican. Punya pengamat tetap di PBB dan punya hubungan diplomatik dengan 170 negara. Katolik sudah merupakan LSM terbesar di dunia, walaupun menyebutnya LSM juga salah karena Vatikan adalah juga negara. Di dalam Gereja Katolik ada kader-kader religius handal dan transnasional (ordo-kongregasi religius yang tersebar di seluruh dunia), yang berperan menyebarkan policy Vatikan dan juga memberi input kepada Vatikan. Pada tingkat dioses ada lembaga-lembaga sosial pendidikan yang handal dan berpengaruh, serta komisi-komisi sosial-kemanusiaan yang diperhitungkan. Pada level nasional dan regional konferensi para Uskup serta dokumen-dokumen yang mereka hasilkan berperan besar mempengaruhi masyarakat dan negara, terutama berkaitan dengan isyu-isyu besar seperti penghapusan utang negara-negara miskin, pengontrolan senjata, pembaharuan agraria dan AIDS. Dokumen ttg globalisasi telah diterbitkan oleh konferensi Uskup Asia, Kanada, Spagnol, Philipina dan Brazil. Dokumen-dokumen serupa juga muncul dari konferensi interegional Amerika, Eropa dan Afrika.
Gereja Katolik telah berpartisipasi dalam perdebatan tentang pembangunan, imigrasi, hubungan antara agama, pengungsi, pengontrolan senjata, pertumbuhan penduduk dan pemerintahan global. Khususnya sejak tahun 1980, Gereja Katolik telah menjadikan HAM isyu pokok dalam hubungan diplomatik dan ajaran strategisnya. Sejumlah ahli hubungan internasional sekular bahkan mengatakan, bersama Samuel Huntington bahwa Gereja telah berada di garis depan dalam revolusi global tentang hak asasi manusia. Wakil-wakil Gereja secara regular datang ke PBB untuk isyu-isyu lingkungan, penduduk, bantuan untuk pembangunan, atau mereka menghadiri Forum Sosial Dunia, yang didirikan bahkan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian dari Gereja Brasilia. Gereja Katolik jelas telah menjadi cermin sekaligus pancaran kekuatan globalisasi: kesaling-tergantungan, komunikasi cepat dan kesadaran yang semakin bertumbuh untuk menjadi suatu komunitas global.
Baik di Kuria Roma maupun di luarnya, Gereja Katolik tetap mempunyai orang-orang yang peduli terhadap perdebatan globalisasi. Catholic Relief Service (CRS) dan Caritas International membantu para pengungsi dan memberikan bantuan kemanusiaan. Konsultasi tingkat mondial mengenai globalisasi telah ditangani oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian Vatikan, dan Akademi Kepausan ttg Ilmu-Ilmu Sosial. Seringkali Komisi-Komisi Gereja terdiri dari para ahli awam Gereja Katolik, seperti Michael Camdessus yang merupakan direktur IMF sebelumnya. Pada tahun-tahun terakhir bahkan terjadi lonjakan pertumbuhan jaringan serta pertukaran macam-macam hal baik nasional, internasional dan menjadikan Roma sebagai titik temu.
(2). Pengaruhi Globalisasi terhadap Gereja.
Warga Gereja sendiri menyadari dampak globalisasi. Sepertinya halnya sejumlah negara sudah terjerat utang besar. Gereja semakin peduli terhadap korban-korban baik lewat ajaran sosialnya maupun lewat kekterlibatan nyata. Namun seperti sudah kita lihat Gereja sendiripun termasuk pemeran globalisasi yang turut serta mempengaruhi cara berada serta keterlibatan Gereja. Hal itu dapat kita lihat dalam sejumlah hal, seperti Gereja yang semi-otonomi (lokal-universal/centralisasi), gerakan religius transnasional, pusat-pusat belajar dan jaringan intelektual di Roma, Toronto, Louvain, Berkeley, Santiago, Nairobi, Manila dan Puerto Allegre.
Gereja pun turut berperan dalam apa yang disebut glokalisasi, yakni gerakan/fenomena yang mendorong pembentukan identitas atau perlawanan terhadap globalisasi pada tingkat lokal. Setiap kali kunjungannya, Yohanes Paulus II mendukung hak-hak kaum penduduk asli untuk mempertahankan bahasa dan budaya mereka. Orang-orang Katolik memainkan peran penting dalam perlawanan kaum pribumi seperti Zapatista di Chiapas, Mexico dan Papua (Indonesia). Khususnya di Afrika, Asia dan Amerika Latin tuntutan subsidiaritas dan otonomi dalam Gereja semakin kuat walau tanggapan dan respons Gereja amat hati-hati dan beragam sambil mendukung gerakan masyarakat sekular demi kepentingan masyarakat pribumi lokal.
Untuk mewujudkan globalisasi yang manusiawi jaringan para aktivis antara lain mengajukan pokok-pokok berikut: (1) bekerja mewujudkan etika global; (2) menciptakan sistem yang lebih adil; (3) bekerja sama dengan PBB untuk meningkatkan/memperbaiki pemerintahan global; (4) memajukan dialog antar agama demi mencegah apa yang diramalkan Samuel Huntington sebagai “perbenturan peradaban”; (5) perhatian pada lingkungan hidup untuk melindungi biodiversitas, lapisan ozon, suhu global; (6) gerakan emansipasi dan pendidikan wanita. Dalam bidang-bidang tersebut suara Gereja Katolik cukup lantang, hanya dalam HAM dan dialog kendati turut berperan rasanya belum sungguh maksimal.
(3) Diskursus Gereja ttg Globalisasi
Komisi Para Uskup Katolik Eropa menerbitkan dokumen tentang “pemerintahan global” dengan judul “Tanggungjawab kita untuk menjadikan globalisasi suatu peluang untuk semua” pada tahun 2001 yang mendorong perlunya suatu etika global. Dokumen tersebut menggarisbawahi argumen Hans Küng: “tak akan ada suatu tatanan global tanpa etika global, tak ada perdamaian di dunia tanpa perdamaian antara agama dan tak ada perdamaian antara agama tanpa dialog antar agama”. Dokumen tersebut dikategorikan sebagai dokumen reformis kendati memiliki banyak kesamaan dengan dokumen Our Global Neighbourhood dari Panitia Pemerintahan Global tahun 1995 . Dokumen para Uskup Eropa mencoba memasukkan banyak pokok dari ASG untuk menekankan adanya kesamaan nilai yang diyakini secara gobal seperti martabat manusia, solidaritas, tanggungjawab, HAM, perhatian pada lingkungan, akuntabilitas, partisipasi dan transparansi. Dokumen tersebut mengajurkan dibentuknya semacam Lembaga/Agen Khusus PBB, seperti WTO atau ILO – yang secara khusus peduli pada lingkungan hidup. Dalam hal itu dokumen tersebut amat rinci dan secara eksplisit menyampaikan apa yang diajukan ASG. Pihak Vatikan – banyak orang Katolik bergabung dengan umat beragama lain – menyerukan untuk menghapus utang negara-negara termiskin untuk merayakan Yubileum 2000. Yohanes Paulus II bersama Patriark dari Konstantinopel menerbitkan seruan bersama berkaitan dengan masalah etika lingkungan hidup.
Vatikan menjaga relasi dekat dengan PBB. Organisasi tersebut telah mendorong agar Paus mengadakan kunjungan ke PBB (Paulus VI dan Yohanes Paulus II). Jelaslah bahwa PBB memiliki peran khusus dalam mendorong LSM menanggapai globalisasi, seperti masalah wanita, kependudukan dan lingkungan hidup. Selain itu tanggapan masyarakat sipil sesungguhnya mengalir dan bersumber dari forum serta inisiatif PBB. Vatikan juga terus mendorong terbentuknya Pengadilan Kejahatan Internasional dan terus mendukung upaya memperkuat hukum internasional. Sejak Vatikan II, dialog antar agama dan kerja sama dengan orang-orang non Kristen berkembang pesat baik pada tingkat tinggi maupun pada level lokal. Uskup Kanada dan Perancis bahkan mengutuk diskriminasi terhadap orang Islam. Vatikan juga menyerukan kebebasan beragama sebagai hak yang berlaku universal.
Diskursus Katolik mengenai globalisasi cenderung melihat globalisasi sebagai hal komplex, cepat berkembang, gejala yang ambigu, yang pada dirinya tidak baik dan juga tidak buruk . Yang jelas tidak ada suatu ajaran sosial yang lengkap utuh tentang globalisasi. Tetapi juga diingatkan bahwa globalisasi memberi baik kemungkinan maupun resiko. Tetapi seperti dikatakan sosiolog Jose Casanova, Gereja Katolik tidak kritis terhadap globalisasi.
Suara Gereja umumnya menekankan agar globalisasi meningkatkan solidaritas dan kesejahteraan umum, mencakup semua (global) dan menaruh hormat terhadap hak semua orang, memberi peluang bagi partisipasi seturut kemungkinan yang ada. Gereja Katolik mengambil jarak terhadap neoliberalisme kendati menerima peran pasar dan usaha. Gereja juga mencatat kekurangan globalisasi: ancaman terhadap kesejahteraan dan tidak maksimal dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia; tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di dunia; bahaya penyeragaman budaya, tidak kondusif bagi investasi sosial dan merusak demokrasi. Gereja Katolik menghendaki globalisasi tanpa marjinalisasi, globalisasi dengan wajah manusiawi, serta globalisasi yang tidak menyeragamkan kebudayaan. Gereja mendukung masyarakat sipil serta penerapan prinsip subsidiaritas dalam pemerintahan global; Gereja mendukung nilai-nilai agama dalam masyarakat sipil tanpa menjadikan masyarakat sipil sebagai masyarakat ‘religius’ dalam arti fundamentalis.
Mgr. Frank Dewane, Sekretaris dari Komisi Kepausan untk Keadilan dan Perdamaian menyatakan: “Gereja mempunyai titik tolak lain dalam mendiskusikan globalisasi. Gereja lebih peduli pada orang miskin dari pada soal bisnis; pada mereka yang tidak beruntung dalam menikmati hasil ciptaan yang oleh Allah dimaksudkan untuk semua orang. Gereja lebih banyak pada distribusi kekayaan secara adil. Komentar-komentar dari Gereja mengenai masalah-masalah yg rumit seperti perkembangan ekonomi dan pertumbuhan dan karenanya tentang seluruh aspek globalisasi mesti kritis: kritis terhadap kebijksanaan yang ada, kritis terhadak konsensus serta teori-teori baru ... Pemerintahan global tanpa subsidiaritas yang memadai seperti benih jatuh di atas batu; tak akan efektif. Karena dari hakekatnya pemerintahan harus konkret dan lokal.
(4) Kekurangan dalam diskursus ttg Globalisasi
Peran Gereja dalam perdebatan globalisasi juga terbatas. Terbatasnya peran Gereja (kecuali soal penghapusan utang) dalam debat globalisasi jelas memprihatinkan. Suara Gereja tidak terdengar vokal. Sesungguhnya – mengingat wilayah Gereja yg mengglobal, serta sumber-sumber teoritis dan institusional yang memadai – Gereja mesti lebih berperan dalam kampanye serta debat berkaitan dengan globalisasi. Mengapa demikian?
Sejumlah penyebab terutama akibat kebutaan atau ketidakpahaman pemikir sekular tentang hal-hal yang mesti disumbangkan Gereja dalam debat ttg kebijakan berkaitan dengan globalisasi. Selain itu, sebagiannya disebabkan karena Gereja sejak sekian lama berada dalam hegemoni agama yang merupakan hal asing bagi debat ttg globalisasi. Seperti banyak kelompok agama lainnya, kelompok agama (a.l. Gereja) bertahan pada kelompoknya sendiri dan tidak melihat adanya peluang untuk memulai suatu jaringan kerja. Ilmuwan sosial John Clark mengatakan bahwa kelompok-kelompok agama, tidak seperi LSM lainnya, lebih berkompetisi di antara mereka dan tidak bergerak menuju hal-hal yang mempersatukan mereka. Malah lebih mudah mereka bekerja dengan LSM sekular dari pada dengan sesama kelompok agama. Gereja Katolik, sebagai organisasi global, tidak terlalu cekatan dan praktis serta lamban untuk menjadi sumber alternatif bagi informasi yang mengalir cepat dalam jaringan kereja yang efektif seperti pada LSM dalam masyarakat sipil. Umumnya kecepatan saluran informasi pada LSM sekular disebabkan karena tidak terlalu hirakis, melibatkan partner luas dan fleksibel. Gereja masih tidak dipercayai organisasi wanita internasional dan kelompok-kelompok sosial lainnya; Gereja sendiri pun nampaknya masih kurang akomodatif dalam hal demokrasi. Karena itu, kelompok Katolik yang semi-otonomi dan lebih bersifat lokal lebih berperan sebagai aktivis jaringan kerja global yang bekerja untuk lingkungan, HAM dan isyu-isyu serupa. Selain sejumlah pernyataan atau sejumlah intervensi berkaitan dengan perdamaian dan HAM Gereja sebenarnya tidak terlibat begitu gigih. Hal tersebut terutama karena hirarki ingin mengontrol LSM Katolik lokal, jaringan-jaringan serta gerakan-gerakannya dibatasi. Karena itu sebenarnya kelompok-kelompok Katolik kurang berperan dalam isyu-isyu global selain satu hal menonjol berkaitan dengan yubileum 2000 berkaitan dengan penghapusan utang.
Globalisasi bagi Gereja tidak seluruhnya positif, karena bisa mengancamnya sebagaimana dikemukakan Jose Casanova. “Globalisasi dapat merupakan ancaman karena mempromosikan de-teritorialisasi sistem-sistem budaya. Globalisasi mengancam menghilangkan relasi intrinsik antara waktu, tempat serta orang-orang suci yang semua ada pada agama-agama dan yang dengannya mengikat kesatuan antara sejarah, masyarakat dan wilayah yang membatasi peradaban”. Tambahan lagi LSM sekular melanggar batas atau mengambil alih peran orang-orang agama untuk bicara tentang tatanan dunia baru.
Masyarakat sipil global, sebagaimana disinyalir Frank Lechner, tidak memberi banyak peluang bagi kelompok-kelompok agama untuk menyusun agenda serta gerakan terkait globalisasi. Tokoh-tokoh agama ingin terlibat aktif dalam macam-macam hal sekular serta membangun jaringan advokasi. Sebenarnya tak ada satu pun masalah global yang hanya mengena pada orang beriman serta hanya ditilik sudut pandang religius. Tetapi Lechner mencatat juga bahwa pengeritik globalisasi dari kelompok agama cukup menonjol karena pandangan serta visinya yang luas, transendent tapi tetap dalam horizon yang holistik. Kelompok agama juga sudah melirik isyu-isyu moral serta mengeritiknya, karena para pengeritik sekular kurang sistematik dalam hal tersebut. Mereka menyerukan solidaritas global, kekebasan agama, serta memberi inpirasi bagi upaya perlindungan ciptaan dan menaruh perhatian mendalam pada persoalan kemanusiaan. Kelompok sekular pun tidak ragu untuk menegaskan bahwa “dunia yang lain itu mungkin” (slogan WSF). Tetapi kelompok beragama cenderung berpikir tentang dunia yang lebih konkret dan pendampingan secara lebih nyata; sehingga dalam perdebatan global mereka memainkan peran menentukan dalam suatu masyarakat yang bebas, mandiri untuk terlibat dalam memperbaharui dunia yang sekarang ada. Mereka meresapi kelompok masyarakat global dengan memberi dukungan besar melalui partisipasi serta peran profetisnya juga dalam kegaiatn-kegiatan khas yang sejalan dengan apa yang disampaikan kritikus globalisasi sekular, sehingga dapat mengartikulasi kepentingan suatu komunitas global yang baru/komunitas alternatif.
Sebagaimana dikatakan Richard Falk kebangkrutan dunia sekular sekarang memberi tempat lebih besar pada agama untuk mengajukan skema gerakan globalisasi ke depan. Para pemikir sekular mengecewakan karena tidak memberi jalan lebar bagi pembentukan pemerintahan global yang manusiawi maupun pemikiran yang memberi inspirasi untuk menggerakan masyarakat akar rumput bagi suatu reformasi global yang drastis. Bagi Falk, kelompok agama-agama menyumbangkan hal-hal yang bermanfaat bagi globalisasi yang manusiawi: (1) mereka peduli pada penderitaan dan orang-orang yang menderita; (2) mereka menanggapai apa yang hidup dalam peradaban dan berakar pada budaya masyarakat; (3) Mereka bersandar pada ethos solidaritas; (4) mereka memberi wawasan normatif yang berdasarkan pada etika transendental; (5) mereka memberi dorongan transformatif atas dasar iman; (6) mereka juga memberi makna pada keterbatasan serta kegagalan manusiawi; (7) mereka memberi identitas tegas pada masyarakat yang berubah cepat; (8) mereka yakin pada keadilan dan juga rekonsiliasi. Falk mengatakan: pada akhirnya hanya agama yang dapat memberi kemungkinan serta harapan terkhir bagi gerakan transnasional bagi suatu dunia yang lebih adil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, DAN PROSEDUR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Kalimat Efektif

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar

Membangun Kekuatan Rakyat Samora Machel