IMAMAT DALAM LENSA EKARISTI

Francis J. MOLONEY, SDB
Pengantar
Tidak mudah melakukan telaah tentang imamat dalam PB karena kokmpleksnya persoalan hermeneutika dan historis. Persoalannya terletak pada kenyataan bahwa penulis PB menulis/memberi kesaksian iman tentang pengalaman mereka akan Yesus, ajaran-Nya, wafat dan kebangkitan-Nya. Mereka tidak secara khusus menulis atau menyajikan tema imamat.Tidak ditemukannya tulisan khusus tentang imamat dalam PB mendorong para teolog Katolik untuk mencari dan menemukan inspirasi kristologis dan eklesiologis bagi imamat katolik dalam tulisan-tulisan PB. Imamat sudah ada dalam Gereja dan dihidupi sepanjang tradisinya karena itu pertanyaan kita adalah apa yang dikatakan PB tentang imamat - dalam Gereja Katolik - sebagaimana adanya sekarang.
Upaya menemukan fondasi biblis (kristologis dan eklesiologis) dari fakta adanya imamat dalam Gereja Katolik semakin mendesak saat ini terutama karena munculnya pelbagai macam bentuk krisis terkait dengan imamat dalam Gereja. Banyak orang muda, terutama di dunia maju, yang tidak lagi punya ketertarikan pada imamat; atau menjadikannya sebagai alternatif, semacam profesi atau karier kedua, sehingga mereka melamar untuk menjadi imam setelah cukup umur dan berpengalaman kerja. Lagi pula para imam sekarang ini menjalani profesi imamatnya di tengah masyrakat yang tidak lagi memiliki respek yang tinggi terhadap imam seperti sebelumnya, akibat skandal sex yang melibatkan banyak imam. Banyaknya skandal sex dan cara-cara Gereja menutupi skandal-skandal seperti itu menempatkan profesi imam di bawah pengawasan hukum sipil, dengan akibat bahwa semua imam dicurigai.

Imamat dalam sejarah
Latarbelakang Imamat dalam Gereja Katolik adalah dunia Yahudi dan Yunani di mana profesi imam adalah hal yang biasa. Karena itu kategori-kategori, bahasa, sosio.budaya, agama serta politik dalam dunia Yahudi dan Yunani turut memberi warna pada model serta bentuk hidup imamat, figur serta peran imam. Agama Yahudi punya tradisi imamat yang panjang: suku Levi dikhususkan untuk tugas, fungsi dan peran itu di Bait Allah di Yerusalem. Mereka dikhususkan, terpisah dari masyarakat lain, menjalankan tugas kultik serta menjembatani umat dengan YAHWEH (Ul. 33:8-10). Sebaliknya dalam dunia kultik Yunani dan Romawi agar sulit mengidentifikasi peran dan identitas para imam. Model-model imamat dalam dunia Yunani kebanyakan diambilalih oleh masyarakat Roma, walaupun mereka mengembangkannya kultus dan ibadatnya sendiri. Akibat dari kekuasaan Alexander Agung dan usaha helenisasi yang terus-menerus maka agama-agama timur perlahan-lahan mempengaruhi arus utama religi Yunani-Romawi. Dalam menjalani peran perantara antara Yang Ialhi dengan manusia ada begitu banyak imam. Orang Yunani-Romawi menyebutnya: hiereus, dan kata Latinnya adalah Sacerdos.
Kendati ada begitu banyak imam dalam abad pertama, dalam PB kita tidak menemukan peran atau fungsi seperti itu, selain Yesus, yang juga disebut imam. Pemahaman tentang imamat Yesus dalam PB itu bahkan harus ditempatkan dalam konteks literer dan historisnya sendiri. Penulis Surat Hibrani membandingkan tindakan imamat Yesus, yang kematian dan kembangkitan-Nya mengantar-Nya ke surga, dengan tindakan imam agung Yahudi yang pergi ke Tempat Terkudus Bait Allah sekali setahun untuk mempersembahkan korban darah demi pengampunan dosa-dosa umat (Hib. 9:6-7). Dalam Surat Hibrani dikatakan bahwa tindakan Iman Agung itu, tidak sebanding dengan korban Yesus yang dilakukan sekali untuk selamanya (Hib.10:12-14). Bobot tindakan Yesus sebagai imam melebihi tindakan dan peran imam Agung, kendati dilakukan sekali setahun. Ahli PB sepakat bahwa surat Hibrani ditulis setelah Perang Yahudi serta penghancuran Bait Allah di Yerusalem tahun 66-70 . Baik orang Yahudi maupun orang Kristen berupaya menemukan identitas mereka akibat kebingungan yang disebabkan hilangnya Bait Suci. Orang Kristen lantas menemukan dalam figur Yesus kepenuhan dan kesempurnaan dari apa yang sebelunya merupakan “tanda dan bayangan” dari rancangan Allah untuk Institusi Imamat Yahudi (lihat khususnya Yoh 5:1-10:39).
Surat Hibrani merupakan sumbangan penting tentang pemikiran Gereja awal tentang imamat; dan itulah satu-satunya referensi di mana imamat dikaitkan pada satu figur saja yakni Yesus, tidak seperti imam-imam Yahudi. Kita temukan kemudian bahwa dalam surat itu peran pengantaraan Yesus melampaui peran pengantaraan yang dilakukan imam-imam Yahudi (bdk. Hib 1:1-2; 9:6-22). Jadi dari tulisan-tulisan PB kita tidak menemukan peran dan fungsi imam selain pada pribadi Yesus; tidak ada pribadi khusus yang dipisahkan dari umat lain, yang menjalankan peran pengantara antara umat dan Allah. Tidak ada seorang imam, hiereus atau sacerdos.
Dalam surat-surat otentik Paulus, Kisah, Surat-Surat Pastoral (1-II Tim, Titus, yang dianggap berada dalam tradisi Paulus, tetapi ditulis sesudah Paulus mati), surat-surat Katolik (1-2 Pet; 1-3 Yoh dan Yudas), orang menemukan sejumlah informasi mengenai peran penilik, tua-tua dan diakon (episkopoi, presbyteroi dan diakonoi); yang diterjemahkan dengan Uskup, Imam dan diakon. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam Paulus, yang mati sebagai martir tahun 60 dari abad pertama, sudah ada hirarki imamat dalam tiga jabatan yang kemudian merupakan hal pokok dalam Gereja Katolik, terutama menyangkut struktur hirarkis. Demikian juga dengan pelayanan imamat dalam komunitas. Penggunaan istilah-istilah itu (cf. Phil 1:1; Kis 6:1-6;14:23; 20:17; 20:28; I tim 3:1-7; 5:17-19; Titus 1:5: 7-11; 2 Yoh 1; 3 Yoh 1) memperlihatkan munculnya hirarki. Tetapi tidak ada satu figur yang berperan sebagai hiereus, seperti imam dalam agama Yunani-Romawi.
Kalau membaca dengan cermat teks-teks di atas maka kita menemukan bahwa fungsi tersebut dalam jemaat kristen perdana tidak terkait dengan pelayanan kultik. Mereka tidak pernah terhubungkan dengan perayaan ekaristi, sebaliknya mereka adalah administrator atau kepala dari suatu komunitas. Dalam surat-surat Yohanes - ada sejumlah komunitas - tua-tua (2 Yoh 1; 3 Yoh 1) yang dalam bahasa Yunani disebut presbyteros adalah seorang pengajar, yang berperan melindungi iman umat yang masih rapuh dalam memahami Allah, Yesus dan hidup kristiani. Sebutan pertama Uskup dan tua-tua berawal dari praktek orang Yahudi, yang berperan dalam synagoga dan komunitas Qumran sebagai seorang penilik (episkopos) untuk kehidupan komunitas. Peran diakon lebih menyangkut kebutuhan praktis warga komunitas, terutama orang miskin atau mereka yang terpinggirkan. Peran imam baru muncul dalam abad kedua dan berbeda dengan peran penilik, tua-tua dan diakon sebagaimana tertulis dalam PB. Jadi benar kalau mengatakan bahwa sturktur hirarki memang sudah ada dalam Gereja awal, tetapi tidak ada imam (hiereus) dalam Gereja awal tersebut.
Di lain pihak ada bukti literer tentang perkumpulan jemaat Kristen pertama untuk merayakan perjamuan Tuhan. Penginjil sinoptik menceriterakan perjamuan terakhir, yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya dan dalam perjamuan itu Yesus mengambil unsur-unsur perjamuan ritual tradisional (mungkin perjamuan paskah) yakni roti dan anggur. Yesus tidak menjelaskan makna roti dan anggur secara tradisional (anggur sebagai kenangan akan manna di padang gurun dan anggur sebagai kenangan akan terbelahnya Laut Merah). Yesus merujuk kepada kematian-Nya yang akan segera terjadi: roti adalah Tubuhnya yang dibagikan (dipecahkan), dan anggur adalah darah-Nya yang akan ditumpahkan demi yang lain. Semua kisah tentang perjamuan menunjukkan - dengan presosisi “demi” (hyper) - bahwa kematian Yesus adalah demi orang lain. Hal ini tidak saja khas sinoptik (Mk 14:24; Mt 26:28; Lk 22:19), tetapi juga ditemukan dalam kata-kata yang mengacu pada ekaristi dalam tradisi Yohanes (Yoh 6:51dst) serta tradisi Paulus (1 Kor 11:24). Selain itu terdapat juga kisah-kisah tentang perjamuan serupa dalam jemaat di Yerusalem pada bab-bab awal dari Kisah Para Rasul (Kis 2:42-47; 20:7-11; 27:31-36); hanya saja kisah-kisah ini ditulis Lukas sekitar tahun 80 dan memberikan gambaran ideal dari komunitas Yerusalem. Situasi yang dialami Paulus di Korintus adalah bukti awal yang meyakinkan tentang praktek perayaan ekaristi. Surat itu ditulis pada awal tahun 50-an dari abad pertama, sekitar tiga puluh tahun sesudah wafat Yesus. Paulus menyebut perjamuan dalam jemaat itu sebagai tradisi dari Yesus: “Apa yang saya terima dari Tuhan, saya teruskan kepadamu, bahwa Tuhan Yesus pada malam Ia dikhianati mengambil roti ...” (1 Kor 11:23).
Surat Paulus ini berbeda dengan para penginjil yang menempatkan perjamuan terakhir dalam konteks kisah yang lebih luas yaitu hidup, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Paulus hanya merujuk kepada kata-kata Yesus pada perjamuan malam terakhir itu: “Inilah Tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu. Lakukan ini sebagai kenangan akan Daku” (1 Kor 11:24) dan “Inilah piala perjanjian daru dalam Darah-Ku. Lakukan ini, dan setiap kali kamu meminumnya, lakukan untuk mengenangkan Daku” (1 Kor 11:25). Dalam Injil ada juga kisah tentang perjamuan Yesus dengan murid-murid-Nya di mana Yesus berbagi roti dan anggur dengan murid-murid-Nya dengan latar belakang ekaristi. Tidak semua ahli setuju dengan ini, tetapi kisah perbanyakan roti dan ikan dalam sinoptik (Mk 6:31-44; 8:1-9; Mt 14:13-21; 15:32-39; lk 9:10-17) dan tradisi Yohanes (Yoh 6:1-15), seperti juga kisah Yesus yang memberikan makan kepada murid-Nya termasuk Yudas dalam Yoh 13:21-30, memperlihatkan penggunaan bahasa oleh Gereja awal dan simbol yang muncul sebagai identitas sentral dari komunitas yakni perjamuan ekaristi. Praksis kultik dari Gereja awal ini memiliki akarnya pada kehidupan Yesus, dan saya setuju dengan itu, dan bahwa komunitas-komunias awal meryakan perayaan perjamuan terakhir sebagai sesuatu yang lazim.
Tidak ada bukti khusus tentang imamat dalam PB tetapi bahwa komunitas PB merayakan ekaristi dan itu pasti dan hal ini mengantar pada suatu catatan final, penting dan historis. Selama ada Bait Allah Yerusalem, Yudaisme dan Kekristenan hidup berdampingan, tentu ada kesulitan-kesulitan, tetapi imamat melekat pada agama orang Yahudi, demikian juga praktek kultis di Bait Allah. Ketika kenyataan ini berubah waktu penghancuran Bait Allah dan karenanya fungsi imamat juga, orang-orang Kristen merasa perlu untuk mengembangkan kekhasan mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang Yahudi pada masa sesudah perang tahun 70 SM. Ketika itu orang-orang Yahudi semakin menjadikan Taurat inti hidup mereka karena mereka tidak dapat lagi menjalankan ibadat di Bait Allah. Orang-orang Kristen pun mulai terfokus pada ekaristi, sebagai korban tanpa berdarah yang menggantikan korban berdarah yang dipersembahkan di Bait Allah yang sudah hancur (Brown 19).
Perkembangan dalam pemahaman ekaristi ini dapat ditelusuri dalam literatur Kristen abad kedua. Penulis Didache meminta kepada orang-orang Kristen: “Lakukanlah perkumpulan dengan memecahkan roti dan merayakan ekaristi; tetapi sebelumnya harus mengakukan dosa agar pesembahanmu (thusia) murni ...karena itulah yang dikatakan Tuhan. ‘Persembahkan bagi-Ku selalu korban yang murni’ (Mal 1:10-11)”. Inilah mungkin indikasi awal dari perayaan ekaristi (lihat juga Didhake 10:7). Pada masa yang sama, Clemens menulis dari Roma ke Korintus dan membandingkan Imam Besar, Imam dan Kaum Levi dari PL dengan ekaristi orang Kristen. Ada kontras antara praktek korban kristiani dengan praktek kultik di bait Allah (1 Clemens 40). Ketika ekaristi dilihat sebagai pusat kultus korban dari agama Kristen maka kebutuhan akan pemaknaan imam Kristen juga muncul. Pada abad 2 dan 3 kemudian, Tertulianus (De Baptismo 17) berbicara tentang Uskup sebagai Imam Agung (Summus Sacerdos) dan Hypolitus dari Roma bicara tentang roh imam agung pada Uskup (Apostolic Tradition 3.5).
Selama berabad-abad tradisi Roma katolik telah mengacu kepada kisah-kisah PB tentang Pperjamuan Terakhir sebagai saat di mana Yesus menetapkan ke-12 murid-Nya sebagai imam PB (Katekismus Gereja Kaotlik 1337 dengan menacgu kepada Konsili Trente). Tetapi tidak ada bukti atau tradisi literer tentang hal itu. Banyak yang mencoba menyelidiki jejak tahbisan di balik kata-kata Yesus dalam Yoh 17:19: “Aku telah menguduskan diri-Ku bagi mereka agar mereka dikuduskan dalam kebenaran”. Membaca dengan cermat Yoh 17 membuat interpretasi itu agar tidak tepat, dan kalaupun ada nuansa imamat dalam kata-kata Yesus itu, hal tersebut lebih mencerminkan situasi komunitas Kristen sesudah perang ketika komunitas kristen menegaskan identitasnya berhadapan dengan Yudaisme yang sedang bangkit juga. Kedua komunitas berjuang di hadapan realitas hilangnya tanah, Bait Allah dan imamat. Tradisi Katolik menangkap pentingnya relasi simbolik antara ekaristi dan imamat. Tetapi mengaitkan Perjamuan Terakhir dengan tahbisan imam agaknya tidak mudah.
Seringkali orang-orang Kristen dan pimpinan Kristen, sulit menerima bahwa perayaan dan keyakinan pokok dari iman kristiani tidak punya asal-usul asli dalam kehidupan dan ajaran Yesus historis. Kesulitan itu tidak realistis – toh Yesus tidak mungkin dapat melakukan semuanya semasa hidup-Nya yang singkat. Hal itu juga mengindikasikan keenganan menerima kehadiran terus-menerus Roh Kudus (Roh Yesus Kristus) yang membimbing, mengajar dan menerangi Gereja untuk membantu memahami Allah dan Kristus yang berkata: “Masih banyak lagi yang ingin Kukatakan kepada-Mu tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang yaitu Roh Kebenaran, Ia akan mempin kamu ke dalam seluruh kenenaran” (Yoh 16:12-13). “Aku akan tetap menyertai kamu selalu sampai kepada akhir zaman” (Mt 28:20). Selanjutnya kita akan melihat imamat katolik melalui lensa ekaristi dalam PB.

Suatu Imamat Ekaristi?
Imam Katolik, karena kaitannya yang erat dengan ekaristi, telah menjadi kelompok atau kasta khusus dan terhormat dalam Gereja. Hal ini kemudian mendorong munculnya hal-hal istimewa atau khusus lainnya seperti bentuk pakaian, hidup selibat, pelayanan sakramen-sakramen (kecuali baptis dan perkawinan), dan struktur hirarki dan pemerintahan dalam Gereja Katolik yang kuat. Imamat telah berkembang sebagai gejala sosio-budaya. Para imam adalah pria, terpisah dari yang lain, mendapat dukungan keuangan dari umat, menjalankan peran pengantara antar umat dan Tuhan, juga antara uskup dan umat serta menjadi penasehat berwibawa dalam pelbagai hal mulai dari keputusan-keputusan politik sampai pada moral seksual. Mereka sudah menjadi pelayan rahmat yang mengalir dari kehidupan sakramental Gereja dan pemegang kuasa mengajar. Kelompok elite secara kultural dan sosial ini yang adalah pria, sudah sedemikian lama dihoramti di dalam Gereja Katolik dan di luarnya, tetapi sekarang mengalami masa/periode sulit. Refleksi PB - sebagai sumber/asal-usul Imamat – terutama melihat kembali ekaristi dapat memberikan/menawarkan suatu paradigma baru tentang imamat.
Kesaksian paling awal mengenai perjamuan terakhir terdapat dalam 1 Kor 11:17-34. Dalam 1 Kor Paulus menanggapi masalah-masalah yang muncul dalam jemaat di Korintus. Dalam menanggapi masalah yang muncul dalam perayaan perjamuan Tuhan dalam jemaat di Korintus, Paulus pertama-tama menyerang inti penyelewengan yang mereka lakukan dalam ekaristi. (Baca teks 1 Kor 11:17-22).
Dalam Praksis jemaat Korintus, Perjamuan Tuhan adalah seperti perjamuan biasa, tetapi meneruskan praktek itu menurut Paulus sudah tidak mungkin lagi mengingat perbedaan antara orang kaya dan miskin di Korintus dan bahwa mereka tidak saling memperhatikan. Karena itu, menurut Paulus adalah baik kalau mereka makan saja di rumah masing-masing dari pada mereka berkumpul dalam perjamuan ekaristi dengan sikap seperti itu. Paulus juga mengingatkan bahwa dengan merendahkan mereka yang miskin mereka menghina komunitas. Sikap tidak pantas dalam perayaan ekaristi ini dilarang oleh Paulus dalam ayat 27 dan dia meminta agar setiap orang memeriksa dirinya, ay.28.
Dalam konteks perintah tersebut serta peringatan yang disampaikannya, Paulus lantas menyelipkan tradisi yang diterimanya dari kata-kata ekaristi yang diucapkan Yesus (ay.23-26). Kata-kata itu dijelaskan dalam konteks perintah, yang diucapkan di atas roti dan anggur, dengan demikian mau ditekankan bahwa pemecahan roti dan minum dari piala adalah ‘kenangan akan Daku’ (24-25). Bahwa perintah itu diulang dua kali ini mungkin memang berasal dari tradisi liturgi awal Gereja, dan hal itu menarik juga untuk melihat hakekat ekristik dalam kehidupan orang kristen. Merayakan ekaristi berarti menyatakan kesediaan untuk menjadi murid yang ‘mengenangkan Yesus’ – bukan saja dalam memecahkan roti dan meminum piala sebagai bagian ritual – tetapi juga ‘meniru’ Yesus dengan terus menerus memberi diri dan menumpahkan darah sebagai ‘kenangan akan Yesus’. Karena itulah Paulus menambahkan: “Engkau mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang” (ay.26). Dalam mengorbankan diri dan menumpahkan darah, para murid Yesus yang terus menghidupi ekaristi (Gereja) terus menerus mewartakan kematian Tuhan di dunia sampai Ia datang.
Peringatan Paulus akan kesatuan dalam 1 Kor 11:17-22 didorong oleh keinginan agar komunitas Korintus “mengenangkan”; maksudnya mempraktekkan dalam hidup apa yang mereka wartakan dalam ritus (ay. 23-26). Kalau meneruskan apa yang mereka lakukan yakni makan dan minum secara tak layak (27); maka mereka harus memeriksa diri mengenai hal itu sebelum mereka merayakan peprjamuan ekaristi (ay.28). Karena, sebagaimana dinasehatkan Paulus kepada umat di Korintus, “barang siapa makan dan minum tanpa mengakui Tubuh Tuhan ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (ay 29). Tanpa mengakui Tubuh Tuhan berarti tidak mengakui kehadiran Tuhan dalam ekaristi, yakni Tuhan yang mati demi kita (lihat ay 24): “Karena inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu”. Tetapi tubuh juga berarti komunitas. Mengabaikan Tubuh Tuhan yang hadir dalam ‘tubuh’ komunitas dalam perayaan ekaristi bersama, berarti bahwa orang Korintus memproklamirkan kebohongan yang bertentangan dengan penyerahan diri Kristus yang mereka kataka dalam perayaan mereka. Orang-orang Kristen dipanggil untuk mengulangi pemberian diri Yesus dalam kenangan akan Dia baik dalam kultus (ibadat) maupun dalam hidup. Tidak merayakan ekaristi dalam arti ini berarti makan dan minuman hukuman atas diri sendiri (ay.29). Dengan tidak mengakui kehadiran Tubuh Tuhan yang dikurbankan dalam ekakristi, mereka menghina tubuh yang tidak lain dari Gereja, yang dipanggil untuk mengulangi korban tersebut dalam kehidupannya.
Injil, yang ditulis pada dekade setelah surat Paulus kepada umat di Korintus (Mk th 70; Mt dan Lk th 85; Yoh th 100), terus mengembangkan makna penyerahan diri Yesus dalam kasih di dalam kisah-kisah yang mengandung pokok tentang ekaristi.
Kisah Perjamuan Terakhir dalam Mk 14:17-31 adalah satu contoh kisah dalam suatu episode. Yesus berbagi makanan dengan murid-murid-Nya (ay.22.25), tetapi dalam episode sebelumnya dan sesudah makan bersama dikisahkan pengkhianatan murid-Nya, penyangkalan Petrus dan para murid lari yang melarikan diri (ay 17-21.26-31). Dalam ay 17-21 Yesus datang dengan keduabelas murid-Nya, kelompok yang dipilih-Nya sebelumnya dalam 3:14 ‘untuk berada bersama Dia’ (ay 17). Seting ramalan pengkhianatan terhadap Yesus adalah makan bersama, tempat khusus bersama sahabat-sahabat. Yesus mengatakan bahwa si pengkhianat adalah ‘dia yang makan bersama Aku’ (ay 18). Kedekatan itu ditegaskan lagi oleh Yesus dengan mengatakan: “Seorang dari keduabelas yang mencelupkan roti bersama Aku”. Kedekatan yang sama juga berlaku antara Yesus dengan yang menyangkal-Nya kemudian dalam ay.26-31. Ia mengatakan bahwa semua akan pergi (ay 27). Ia menggunakan gambaran gembala dan domba-domba (27) sehingga nubuat Yesus mengarah pada kasih dan bakti. Petrus bersumpah bahwa akan tetap setia, lebih baik dari semua yang lain yang akan lari meninggalkan Yesus (ay 29). Ia bahkan mengatakan bahwa ia bersedia menyerahkan nyawanya demi sang Guru (ay 31). Petrus ternyata tidak sendirian. Mereka yanglain mengatakan yang sama.
Di tengah kisah itu Mk menceritakan perjamuan terakhir dengan murid-murid-Nya, yang akan mengkhianati, menyangkal dan meninggalkan Dia (ay 22-26). Tema tentang makan bersama dengan para pengkhianat dibuka dengan mengatakan: “Ketika mereka sedang makan bersama, Ia mengambil roti, memberkati, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka” (ay 22). Tema itu diteruskan dengan minum dari piala yang sama, dan setelah Dia mengucapkan doa syukur Ia memberikan piala itu kepada mereka dan mereka semua minum dari padanya (ay 23). Kata-kata untuk roti dan anggur mengacu kepada salib: tubuh yang diserahkan dan darah yang ditumpahkan (ay 22 dan 24), tetapi juga mengacu kepada suatu waktu di luar konteks penyaliban. Darah itu merupakan suatu perjanjian (ay 24), dan Dia mengatakan bahwa Dia tidak akan minum anggur sampai saat Dia meminum anggur baru dalam Kerajaan Allah (ay 25). Kata ‘sampai’ mengisyaratkan pesan untuk percaya dan berharap; suatu hal yang lebih bermakna di luar konteks kisah Jumat Agung. Tubuh akan diberikan dan darah akan ditumpahkan untuk mengikat suatu perjanjian yang melampaui kisah penyaliban sampai pada pemenuhan defenitif Kerajaan Allah. Perjanjian dengan siapa? Tubuh yang diserahkan dan darah yang ditumpahkan adalah suatu perjanjian baru dengan murid yang rapuh yaitu mereka yang pertama kali menerima roti dan anggur. Markus mengisahkan kepada kita tentang pemberian diri Yesus sampai mati untuk menegakkan kerajaan yang baru dan abadi. Yesus mencintai pada murid-Nya kendati mereka gagal, dengan kasih yang sama sekali tidak sepadan dengan kasih mereka kepada.Nya.
Tema perjalanan termasuk penting dalam seluruh Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Dalam Injil, perjalanan terarah ke Yerusalem di mana peristiwa paskah berlangsung (Lk.9:51). Pada awal Kisah Para Rasul, komunitas Kristen perdana tetap berada di Yerusalem. Di Yerusalem Roh Kudus dianugerahkan kepada para Rasul dan mulailah perjalanan kedua, sampai ke ujung dunia. Kota Yerusalem adalah pusat sejarah Allah. Gereja perdana didirikan di kota itu, Roh Kudus dianugerahkan di sana dan dari sanalah misi dilaksanakan sampai ke ujung bumi (Lk 24:46-49; Kis 1-8).
Bermula dari perjalanan ke Emaus sekitar peristiwa Paskah, yang jauhnya sekitar 6 mile dari Yerusalem (Lk 24:13). Mereka pergi meninggalkan Yerusalem, pusat sejarah, pergi dari rancangan perjalanan yang dilakukan Puetra Allah dari Nazareth ke Yersalem, dan dari Yerusalem menuju ke ujung dunia. Mereka mengatakan kepada-Nya apa yang mereka harapkan: Kemi berharap bahwa dialah yang akan membebaskan Israel (ay.21). Jawaban Yesus yang mengulang rancangan Allah (ay. 25-26) tidak memenuhi harapan mereka. Mereka tahu dari kehidupan-Nya bahwa Dialah Yesus dari Nazareth, seorang nabi (ay 19). Mereka tahu tentang kematian-Nya: “Imam-imam kepala dan para pemimpin kami menghukum mati Dia dan menyalibkan-Nya” (ay.20). Mereka tahu kejadian di kuburan: pada hari ketiga (ay 21) sejumlah wanita pergi ke kubur, tetapi tidak menemukan dia di sana (ay.23). Mereka bahkan sudah mendengar khabar gembira paskah: bahwa ada malaikat yang menampakkan diri dan berkata bahwa Yesus hidup (ay 23).. Mereka tahu segala sesuatu tetapi mereka tidak melihat dan mengenal Dia dan karena itu mereka meneruskan perjalanan menjauhi Yerusalem. Yesus mengatakan segala sesuatu tentantg diri-Nya sesuai nubuat KS (ay 27). Ketika makan bersama mereka mengenal Dia waktu memecahkan roti (ay.30-31). Yesus mengikuti, menyertai dan berjalan bersama para murid yang gagal itu, sebagaimana mereka berjalan menjauhi rancangan Allah. Dia datang menemui mereka, memperkenalkan diri-Nya kepada mereka, dan menarik mereka kembali ke jalan Allah dengan membuka diri terhadap Sabda Allah melalui pemecahan roti. Mereka disentuh pada titik kegagalan mereka dan reaksi mereka yang paling cepat adalah kembali ke jalan sebenarnya: mereka kembali ke Yerusalem. Begitu kembali mereka diberitahu: Tuhan telah bangkit dan telah meperlihatkan diri kepada Simon (ay 34). Mereka telah kembali dan hal itu terjadi karena Allah mencari dan menemukan mereka dalam keputusasaan mereka dan memperkenalkan diri kepada mereka ketika memecahkan roti. Seperti pada Markus, demikian juga pada Matius - yang mengulangi cerita Markus (Mt 26:17-35), penginjil Lukas tidak ragu-ragu menghadirkan setting ekaristi ke hadapan murid yang putus asa.
Dalam Yoh 13:1-38, pemberian diri Yesus tanpa syarat kepada para murid yang putus asa disampaikan secara teologis. Pembasuhan kaki dan kisah sesudahnya (ay 1-17) serta sabda Yesus kepada mereka (ay 18-20). Kata-kata itu didahulu dengan makan bersama dan kisah peringatan pada Yudas dan Petrus sesudahnya (ay 21-38). Dalam pembasuhan kaki (1-17) Yesus memperlihatkan kasih-Nya kepada murid-Nya dengan memberikan diri-Nya kepada mereka sebagai contoh untuk mereka (ay 15). Perikop ini memperlihatkan bagaimana Yesus mengetahui rancangan Allah (ay 3) dan pengetahuan Yesus tentang segala sesuatu yang terjadi (ay 11). Rangkaian anugerah Yesus kepada para murid-Nya ini di pertentangkan dengan tema pengkhianatan (ay 10-11), dan ketidaktahuan para murid (ay 6-10). Pemberian makanan (ay 21-38) mencerminkan pemberian ekaristi dan perjanjian baru (ay 34-35). Di sana diulangi kembali tema pengkhianatan (21-26a), tema ketidaktahuan para murid (26b-29) dan keluarnya Yudas si pengkhianat dan nubuat tentang penyangkalan Petrus (ay 36-38). Pengulangan tema dari ay 1-17 dalam ay 21-38, membantu kita menemukan kasih Yesus kepada para murid-Nya dalam anugerah ekaristi dan pemberian perintah baru, yakni perintah kasih, yang ditempatkan di tengah ketidaktahuan para rasul, penyangkalan Petrus dan pengkhianatan Yudas. Kepada para murid yang gagal Yesus mendesak: Saya memberikan kepadamu suatu teladan, bahwa kamu juga harus berbuat demikian sebagaimana yang Kulakukan kepadamu (ay 15). Dan perintah baru Kuberikan kepadamu bahwa kamu harus saling mengasihi sebagaimana Aku telah mengasihi kamu.
Di tengah konteks kasih yang tanpa syarat yang diberikan kepada para murid-Nya terdapat bagian inti yakni ayat 18-20. (Baca teks ini). Penginjil Yohanes menempatkan ayat ini antara dua bagian pokok teks yakni ayat 1-17 dan 21-38. Ay 18 Yesus bicara terus terang mengenai seseorang yang sudah dipilih-Nya. Salah satu dari yang sudah dipilih akan mengkhianati Dia, seorang yang ikut serta dalam ekaristi, dan yang lain akan menyangkal Dia. Bagaimanapun juga, pada ay 20 Yesus menyatakan maksud-Nya untuk mengutus para murid. Yoh 13:1-38 dicirikan oleh kasih Allah yang luar biasa kepada manusia sebagaimana dinyatakan Yesus, yang memberikan diri-Nya dalam pembasuhan kaki dan perjamuan ekaristi. Ia mengenal siapa yang telah dipilih-Nya; Ia juga tahu bahwa salah seorang yang makan bersama Dia akan mengkhianati Dia dan yang lain akan menyangkal Dia, dan bahwa semua yang lain juga tidak dapat memahami Dia, kendati Dia mencintai mereka dan mengirim mereka untuk mewartakan diri-Nya dan Bapa-Nya. Makna teologis dari teks ini secara singkat dikatakan pada inti Yoh 13:1-38, yakni pada ayat 19. Yesus mencintai milik kepunyaan-Nya dan karena itu Dia memilih mereka (ay 18a), dan mengirim mereka atas naman-Nya (ay 20). Tetapi justru mereka yang dikasihi-Nya yang paling bertanggungjawab atas kematian-Nya di salib (ay 18b). Justru dalam pemberian diri tanpa syarat kepada mereka yang tidak mencintai Dia diketahui siapa Dia sebenarnya.
Penginjil Yohanes menggunakan pernyataan AKU, suatu pernyataan dengan sejarah panjang dalam literatur Israel, yang mengacu kepada kehadiran Allah yang nyata yang memperkenalkan diri-Nya kepada umat-Nya, dan pernyataan itu sekarang diterapkan pada Yesus. Yohanes memberitahu para pembacanya bahwa hanya ketika cinta menyatakan dirinya sedemikian luar biasa, mencintai sampai akhir (Yoh 13:1), mereka yang tidak mencintai Dia, akan mulai mengerti Allah yang diperkenalkan Yesus. Ketika hal-hal itu terjadi, ketika para murid-Nya mengkhianati Dia, menyangkal dan meninggalkan Dia dan Dia ditinggikan di salib (Yoh 3:13; 8:28; 12:32) maka murid-murid-Nya sepanjang masa akan tahu bahwa Yesus adalah wahyu Allah: “Aku mengatakannya kepadamu sekarang juga sebelum hal itu terjadi, supaya jika hal itu terjadi, kamu percaya bahwa Akulah dia” (ay. 19).

Kesimpulan
Sketsa singkat dari PB tentang ekaristi ini tidak bermaksud membahas semua nuansa yang ada di sana. Juga tidak dimaksudkan untuk mengupas segala perkembangan teologis, liturgis, simbol, budaya dan ritual sebagaimana Gereja memahaminya dan juga tentang ekaristi yang sudah berkembang 2000 tahun. Apa yang disampaikan Paulus, Sinoptik, Yohanes mungkin dapat membantu kita untuk menemukan pemahaman tentang imamat dalam PB. Pemikiran serta praksis pre-ekaristi dalam PB dapat disingkat sbb:
• Ekaristi adalah anugerah Allah dalam dan melalui wafat dan kebangkitan Putera-Nya Yesus Kristus (Mk 14:22-24; Mt 26:26-28; Lk 22:19-21; John 6:51c; 1 Cor 11:24-25.
• Ekarsiti tidak bertujuan pada dirinya sendiri, tetapi demi kebaikan orang lain: untuk orang lain.
• Ekaristi adalah jalan masuk ke dalam daya penyelamatan dari wafat dan kebangkitan Kristus, hal yang dibutuhkan oleh mereka yang ambil bagian dalam perayaan itu. Kisah PB menegaskan bahwa Ekaristi ada bagi mereka yang putus asa dan rapuh, sebagai simbol pernyataan kasih tanpa batas dari Allah dalam Yesus (Yoh 13:1).
• Perayaan ekaristi mengajak semua peserta membagi-bagi diri mereka sendiri dan menumpahkan darah mereka sebagai kenangan akan Yesus (1Kor 11:26).
• Perayaan ekarsitsi adalah kenangan yang hidup dari dua anugerah besar Yesus, yaitu pemberian diri-Nya sebagai teladan bagi mereka yang mengikuti-Nya (Yoh 13:15) dan pemberian perintah baru untuk saling mengasihi (Yoh 13:34-35).
Jika imamat yang muncul dalam tradisi kristiani merupakan suatu pelayanan ekaristik, mungkin baik bahwa model sosio-kultural imamat yang sekarang mengalami krisis perlu direfleksikan kembali. Suatu paradigma baru akan muncul dan berbeda dari yang diwariskan sebelumnya. Imamat adalah bagian dari panggilan universal kepada kesempurnaan kasih, ke mana semua mereka yang dibaptis dari latar belakang mana saja dipanggil.Tidak ada tempat bagi suatu kasta dengan privilese khusus dalam komunitas ekaristi. Para imam, seperti semua yang lainnya yang berdoa agar kehendak Allah terjadi dan kerajaan-Nya datang, sebagaimana diajarkan Yesus (Lk 11:2; Mt 6:10) dipanggil untuk mengenal dan mengakui kerapuhannya. Mereka, seperti kata Henri Nouwen adalah para penyembuh yang berluka. Sebagai sesama peziarah menuju parousia para imam menghayati panggilan mereka sebagai pelayan ekaristi (kutip Mt 26:29; Mk 14:25; Lk 22:16). Ekaristi pertama-tama bukanlah suatu peryaan kultik, tetrapi cara hidup, memberi diri dan menumpahkan darah untuk mengenangkan Yesus, sampai Dia datang kembali (1 Kor 11:26).
Para imam dipanggil untuk mengakui bahwa misi mereka pertama-tama kepada mereka yang sungguh membutuhkan, yang tidak menikmati kebaikan yang datang dari Tuhan. Seperti kasih serta pengampunan. Elemen inilah dari panggilan imam yang agak sulit dimengerti karena yang paling miskin dan sebaiknya tidak hanya diukur berdasarkan kriteria ekonomi. Mereka yang haus akan Allah juga berarti miskin dan miskin di sini melampaui kriteria ekonomi serta menjangkaui semua orang dari segala macam budaya, sosial politik dan agama. Kelaparan akan Allah inilah yang ingin dilayani oleh ekaristi, bukan dalam ritual tetapi dalam memahami apa yang dikerjakannya, apa yang ditirunya dan yang ditanganinya: tahu apa yang dilakukan; meniru apa yang yang dikerjakan.
Ekaristi bukanlah jadwal doa yang kembali berputar tiap hari dan secara meriah pada hari Minggu. Bukan pertama.tama suatu kultus tetapi cara hidup, gramatika hidup orang Kristen. Kebenaran inilah yang disampaikan PB dan menjadi titik tolak refleksi. Tentu ada banyak unsur lain dari ekaristi yang dapat diperkaya oleh refleksi seperti ini. Perkembangan praktek ekaristi ribuan tahun di bawah bimbingan Roh Kudus, juga harus tercakup dalam pemahaman akan imamat. Imamat Katolik berawal dari hidup ekaristik umat. Imamat harus dihidupi dan diperbaharui dalam ekaristi itu sendiri.
Referensi:
- BROWN, Raymond, Priest and Bishop. Biblical Reflections, New York 1970. Reprinted: Eugene, Oregon: Wipf & Stock, 1999.
- MOLONEY, Francis, A Body Borken for a Borken People, Eucharist in NT, Peabody, Mass: Hendrickson 1977.
- ----------, Glory not Dishonor. Reading John 5-12. Minneapolis: Fortress 1998.
- ----------, Signs and Shadows. Reading John 5-12, Minneapolis:Fortress 1996.



PARA IMAM DAN NABI: SPIRITUALITAS DAN NURANI SOSIAL
Fredrick C. Holmgren

Berlebihan Mencintai Ibadah
Pesan Allah yang penuh amarah disampaikan melalui Nabi Amos dan dialamatkan kepada warga Israel Utara pada zaman Jerobeam II. Luapan kemarahan Allah ini menggoncangkan dan yang sasaran amarah adalah ibadah-ibadah yang dijalankan di pusat-pusat ibadah Israel Utara yakni Bethel dan Gilgal. Allah berfirman: (baca Amos 5:21-23). Ibadah di tempat-tempat kudus ini dicirikan oleh kesalehan yang terikat pada tempat suci dan mengabaikan tindakan keadilan serta kebaikan dalam hidup sehari-hari. Dengan sarkasme yang yang begitu menusuk, Amos menggambarkan bahwa ajakan para imam untuk beribadah identik dengan ajakan melakukan dosa di tempat-tempat suci Bethel dan Gilgal. Ia mengajak mereka dalam nada sindiran untuk membawa korban-korban mereka dan mengumumkan persembahan mereka, “karena itulah yang ingin mereka lakukan” (Am 4:4-5). Ternyata apa yang ingin dilakukan oleh Israel sama sekali tidak disukai Allah yang memalingkan telinganya dari seruan mereka yang membawa persembahan dan mengarahkannya kepada mereka yang menginginkan agar keadilan “mengalir seperti sungai dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am 5:24).
Serangan Amos terhadap ibadah palsu di tempat-tempat kudus itu diteruskan oleh Hosea, seorang nabi sezaman dengannya, seperti juga sejumlah nabi di kemudian hari seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel dan Micah . Tempat-tempat suci Israel yang diabdikan kepada Allah, telah dipengaruhi teologi imamat yang mengubah Allah Moses menjadi seperti dewa-dewi yang bersahabat – seorang Allah yang mendukung dan menyetujui agama korban dan agama nasional yang memisahkan iman dari perbuatan (Am 5:23-24). Kecaman nabi terhadap tempat-tempat kudus itu juga merupakan penolakan terhadap imam-imam yang menjalankan tugas ibadah di sana (Am 7:17). Amaziah, imam Bethel, adalah salah satu dari imam-imam itu. Ia menuduh Amos melakukan konspirasi melawan tempat suci Raja dan kerajaan lantaran Amos menubuatkan datangnya malapetaka atas Raja Jerobeam dan kerajaan Israel (Am 7:13). Nubuat terhadap Jerobeam dan Israel adalah salah satu dari kecaman keras Amos terhadap ibadah yang hampa makna yang dilakukan di sana. Tanpa mengindahkan kecaman Amos bahwa ibadah di tempat-tempat itu adalah suatu kesucian kosong yang mengabaikan keadilan terhadap mereka yang tertindas, Amaziah memilih menyatakan Amos sebagai seorang yang tidak patriotik. Amos menanggapinya dengan tandas bahwa malapetaka akan datang atas Amaziah dan keluarganya serta Israel (Am 7:16-17; Hos 4:4-6).

Imam dan Bait Allah: Lembaga Resmi dalam Agama Orang Israel
Tidak semua ibadah atau tempat suci dikecam oleh para nabi. Para nabi tidak sedang menganjurkan suatu agama tanpa peran imam atau tempat ibadat. Tidak ada dalam agama-agama baik di Israel maupun di tempat lain yang tidak memiliki imam dan tempat suci. Komentar Arthur Weiss amat tepat: Tidak ada agama tanpa ibadat di mana manusia senantiasa menerima kekuatan baru bagi perjuangan hidup dalam kebersaman dengan Allah dan sesama”.
Ibadat Israel bukanlah suatu perkembangan yang menyimpang menjadi semacam penyembahan berhala dalam kehidupan mereka. Ibadat adalah dimensi intgeral dari pengalaman iman mereka. Abraham mendirikan banyak tempat suci di wilayah yang kemudian menjadi wilayah Israel (Kej 13:4-5). Mulainya ibadat korban juga dihubungkan dengan pembebasan dari Mesir (Kel. 12:43-13:16). Samuel, satu dari nabi pertama Israel, berfungsi baik sebagai imam maupun nabi (1 Sam 7:9-10;10:8) dan Elia mengeluh bahwa Israel telah menyingkirkan altar-altar Tuhan (1 Raj 19:10.14). Ibadat dan korban altar diremehkan oleh para imam, tetapi menjadi elemen dasar dari kehidupan orang Israel sebagaimana dapat ditemukan dalam Mazmur dan Imamat. Lebih jauh lagi, Yeremia sendiri berasal dari keluarga imam (1:1), Yeheskiel dikenal sebagai seorang imam (1:3), dan yang lain, Yesaya, mendapatkan panggilan nabi ketika sedang menjalankan tugas ibadah di Bait Allah. Karena itu serangan mereka terhadap ibadat Israel berpangkal pada keyakinan serta pengalaman mereka sendiri tentang bagaimana ibadat seharusnya dilaksanakan. Kendati para nabi tersebut dengan keras menyerang ibadat palsu pada masanya, dalam tulisan-tulisan mereka juga ditemukan nubuat bahwa Gunung Sion akan menjadi tempat ibadat di masa depan bagi Israel. Nampaknya jelas bahwa menurut para nabi tersebut amarah Allah tidak berlaku untuk semua imam dan tempat ibadat atau kepada ibadat itu sendiri. Ibadat bukan hanya elemen instrinsik dari iman Israel sejak awal, tetapi juga bagian esensial dari masa depannya. Kritik para nabi lantas hanya tertuju kepada sejumlah imam yang menyelewengkan peran mereka dan yang hanya menjalankan ibadat tanpa ada efeknya dalam kelakuan hidup.

Ibadat: Gizi untuk Kesucian dan Nurani Sosial
Ibadat Israel sebagaimana dikatakan Ringgern konteks dan latarbelakang dari mazmur-mazmur. Dengan membaca mazmur dapat dikektahui ciri dari ibadat. Di dalamnya orang dapat menemukan bahwa ibadat bait Allah berbicara tentang keprihatinan yang tidak dibicarakan oleh para nabi. Di sanalah umat menemukan ketenangan dan harapan pada saat sakit dan tertekan (Mz 118;118), dapat berseru kepada Allah – bahkan meminta Dia untuk peduli – ketika mereka merasa bahwa mereka telah bersalah (Mz 22; 17;26). Mereka juga dapat mengakukan dosa mereka dan memohon pengampunan (Mz 32;38;51;103).
Tetapi selain dari pada itu, untuk memberikan bimbingan dan inspirasi bagi orang-orang yang bergelut dengan soal-soal rohani terutama dalam menghidupkannya secara nyata. Ibadat di Bait Allah juga menggarisbawahi perlunya perbuatan kasih dan keadilan bagi sesama. Samuel E. Balentine menunjukkan dualisme dalam ibadat dengan emgemukakan: “Pelayanan imamat dimaksudkan untuk membangun komunitas iman agar komunitas iman tersebut dapat membangun dunia di mana keadilan, yang tidak kurang dari kesucian, mengatur kehidupan sesuai dengan rancangan Ilahi”. Inilah yang menjadi apsek utama dari kata-kata para Nabi. Para penyembah di Bait Allah dihadapkan oleh Allah Taurat di mana diberitahukan bahwa kebenaran dan keadilan merupakan nilai tertinggi (Mz 89:14). Keprihatinan Allah pada keadilan dan kasih kepada orang tertindas mengandung di dalamnya undangan kepada para penyembah agar melakukan hal itu di dunia. Ini berarti berada bersama Allah berpihak pada mereka hidupnya lurus dan memiliki hati dan peduli pada mereka yang membutuhkan (Mz 72:34; 41:1-3; 34:15-18). Mereka yang mengingkari ajaran Ilahi akan menghadapi resiko besar (Mz 1:4-6; 94:1-10). Sekali lagi Belantine mengajukan catatan yang tepat tentang itu: “Para ahli yang secara khusus cenderung mengurangi peran imamat dalam hal sosial harus mencatat bahwa pelaksanaan ibadah juga tak terpisahkan dari sikap moral dan etis. Bahwa Taurat memiliki visi tentang kesatuan internal antara ibadat dan keadilan terlihat dalam penempatan Hukum Suci ke dalam instruksi-instruksi kepada para imam yang ada dalam Kitab Imamat. Karena itu hal-hal yang tekankan para nabi tidak dimaksudkan agar para imam berubah peran menjadi nabi, karena hal tersebut bersamaan dengan ibadat, merupakan aspek penting dari pelayanan imamat dalam Bait komunitas.

Ibadat dan Para Nabi Klasik
Kontras antara apa yang disampaikan dalam ibadat yakni sikap yang baik dan benar, dengan apa yang terjadi di jalan-jalan (ruang publik) sungguh mengganggu mereka yang beribadat. Sejumlah orang amat dikuasai oleh keyakinan bahwa mereka harus bertindak memulihkan keadilan dalam masyarakat Israel dan karena itu mereka menjadi bagian dari gerakan profetis, dengan menjadi pengikut atau bahkan menjadi nabi. Mereka yang kemudian menjadi nabi adalah Yesaya, Yeheskial dan Yeremia. Orang dapat mengandaikan bahwa dalam komunitas kultis ada banyak orang yang hidupnya setia walau ada juga yang korup. Di antara mereka ini, terutama mereka yang ditindas oleh mereka yang berkuasa, kelompok para nabi mendapatkan dukungan. Abraham Heschel menangkap kemaharan dan pesan para nabi dalam kata-kata berikut ini: “Suara kenabian adalah suara Allah yang ditujukan kepada mereka yang tak dapat bersuara dalam kesesakan. Suara dari orang miskin yang dirampas hidupnya....” . Umat tertarik kepada para nabi karena para nabi dilihat sebagai seorang yang menyuarakan derita mereka dan mempertahankan hak mereka. Dukungan seperti itu perlu demi kelangsungan seluruh gerakan kenabian, karena para nabi, pada masa krisis moral, menyampaikan kata-kata yang keras yang ingin didengarkan sedikit orang. Heschel mencirikan para nabi sebagai berikut: “Ia jarang bernyanyi tetapi menghukum....Para nabi ingin meningkatkan tanggungjawab dan tidak ingin memaafkan diri serta tanpa pretensi dan tak mencari kesalehan pribadi. Nada biacaranya jarang lembut dan menghibur ....tetapi menyambar bahkan mengerikan, dimaksudkan untuk menggoncangkan dan bukan menentramkan”. Posisi para nabi yang cenderung menentang kemapanan diarahkan kepada kelompok kelas atas dalam masyarakat. Mereka adalah kelompok yang tidak begitu mudah meninggalkan keuntungan yang mereka nikmati karena korupsi. Tanpa dukungan dari masyarakat maka para nabi dapat dengan gampang dibungkam atau bahkan dibunuh. Kita tidak boleh mengandaikan, bahwa mereka yang mendukung para nabi ingin memisahkan diri mereka dari kultus, karena kecaman para nabi hanya tertuju kepada salah satu aspek dari ibadat, yakni sikap nyata dalam masayrakat. Ada juga kebutuhan spiritual lainnya, dan bukan nabilah yang menjawab kebutuhan itu.
Telah dikatakan bahwa tanpa gerakan profetis, iman Israel tidak akan bertahan. Jarang sekali terjadi bahwa kebalikannya juga benar. Tanpa ibadat, yang mencakup kebutuhan spiritual yang lebih luas dari hanya kebutuhan pribadi dan komunitas serta mesti sejalan dengan tuntutan kelakuan etis, gerakan kenabian bisa tidak efektif atau bertahan sebentar saja. Pada kenyataannya jika tidak ada komunitas kultik, maka mandat kenabian tidak akan berlaku dan itulah sebabnya para masa setelah pembuangan aktivitas kenabian berakhir (Toseptha Sotah 13:2). Hal itu sebabkan oleh beberapa alasan, misalnya, munculnya gerakan apokalitik dan reputasi buruk dari para nabi sendiri (Za 13:2-6). Ibadat, yang dipimpin oleh para imam, berbeda dengan profetisme, tetap bertahan dan terus dilaksanakan dan tetap berpengaruh dalam masyarakat Israel. Kendati masa kenabian berakhir ironisnya tulisan-tulisan para nabi dipelihara dalam komunitas ibadat yang oleh para nabi dikritik tajam. Pada suatu masa ketika para nabi besar mati, kata-kata mereka tetap didengarkan di dalam tempat ibadat komunitas.


Tempat Ibadat dan Para Imam dalam Injil
Kritik para nabi terhadap praktek ibadat, dan karenanya terhadap imam yang berwenang dalam ibadat, muncul juga dalam Injil, antara lain pada Yesus yang marah ketika menghadapi kegiatan penukar uang di Bait Allah (Mt. 21:12-16; Mk 11:15-17). Jelas juga, bahwa dalam kejadian tersebut seperti juga dalam perjanjian lama, tidak ada penolakan terhadap praktek ibadat di Bait Allah di Yerusalem. Sesungguhnya, seperti dikemukakan ioleh Peter Fedler dalam artikelnya , tindakan Yesus yang digambarkan dalam perikop di atas, sama sekali bukan serangan terhadap Bait Allah, tetapi Yesus ingin menyatakan keinginan-Nya untuk memperbaharui dan mempertahankan kesucian Bait Allah. Yesus tidak marah pada Bait Allah, tetapi mereka yang mendesakralisasi Bait Allah – yang menjadikan Rumah Allah itu sarang penyamun (Mk 11:17; Yes 56:7).
Kesaksian lebih jauh tentang keabsahan Bait Suci dan ibadat di Bait Allah dapat ditemukan dalam kisah Injil di mana Yesus selalu dihubungkan dengan tempat ibadat (Lk 2:22-27; 2:41.51). Ketika berkeliling kemudian Yesus juga mengunjungi tempat suci (Mk 11:11.27; 13:1) dan, menurut Injil sinoptik, Ia mengajar di sana (Mk 14:49). Sekali waktu penulis Injil mengisahkan Yesus yang memberikan perintah kepada orang-orang kusta yang disembuhkan_Nya memperlihatkan dirinya kepada imam dan mempersembahkan korban seturut tradisi (Mk 1:44; Lk 5:15).
Juga penting untuk melihat bahwa di dalam Injil tidak ditemukan satu kisah pun di mana Yesus mengusulkan penggantian peran imam atau berhentinya ibadat di Bait Allah. Juga tidak ada satu pun dari para lawan Yesus yang menuduh Dia membuat pernyataan yang menyerang kepemimpinan para imam dalam hal ibadat . Kalau dia melakukan itu maka para imam akan menghasut rakyat banyak untuk melawan Dia. Yesus pun tidak melawan ibadat di Bait Allah, tetapi Dia justru mengecam mereka yang tidak lagi melihat makna sejati ibadat Bait Allah (Mk 11:15-17) misalnya mereka yang menggunakan doa untuk mempromosikan diri dan bukan untuk berhubungan dengan Allah (Mt 6:5).
Setelah kematian dan kebangkitan Yesus, para rasul-Nya meneruskan kebiasaan beribadah di Bait Allah (Kis 3:1.3.8). Bahkan Paulus, demikian Kisah Para Rasul, tidak melihat ritus ibadat sebagai hal yang bertentangan dengan iman. Ia bahkan memenuhi keinginan para tetua di Yerusalem agar dia bersama empat orang melakukan ibadat penyucian diri dan membayar biaya untuk ibadat tersebut (Kis 21:23-24).
Singkatnya dari diskusi yang disampaikan di sini dapat dikemukakan bahwa ibadat dan korban di Bait Allah diperteguh oleh pewartaan dan tindakan Yesus dan para murid-Nya. Tidak ada indikasi dalam Injil yang tidak mendukung ibadat dan peran imam dalam ibadat.



Reputasi jelek para Imam dan bait Allah dalam Komunitas Kristen.
Kendati ada pandangan positif tentang Bait Allah dan pengakuan akan peran imam oleh Yesus dan para murid-Nya, dalam komunitas Kristen, imam dan tempat ibadat senantiasa dicurigai. Hal ini benar, terutama dalam Gerja Protestan yang lebih memilih jalur tradisi para nabi. Imam umumnya dicap dengan cap-cap seperti legalisme, tidak jujur dan dangkal. Sikap tersebut sekarang ini mendapat dukungan kendati ditemukan begitu banyak hal bagus dan menarik mengenai tempat ibadat dan imam terutama dalam Kitab Mazmur. Dalam kenyataannya, para imam dan awam sering melihat bahwa Kitab Mazmur bahkan menghirup semangat PB. Persoalannya adalah bahwa pembaca modern melihat mazmur-mazmur sebagai contoh pengalaman pribadi tentang Allah. Mereka tidak memahami sebagaimana kita lihat sebelumnya bahwa Mazmur muncul dari ibadat Bait Allah dan buku-buku itu mewariskan kepada kita karakter tempat ibadat dan kesucian para imam.
Untuk sebagian boleh dikatakan bahwa kecaman yang keras tentang imam dan tempat ibadat datang dari para nabi. Lebih jauh lagi pandangan negatif tentang imam dan Bait Allah diperteguh oleh Injil yang menghadirkan para imam kepala sebagai konspirator dalam perencanaan membunuh Yesus. Gambaran yang negatif tentang para imam ini punya pengaruh yang amat kuat bagi orang Kristen karena kisah itu berbarengan dengan kisah penderitaan dan wafat Yesus. Kata ‘imam kepala’ (yang sering muncul bersamaan dengan orang Farisi dan Tua-Tua) terdapat 46 kali dalam keempat Injil di mana digambarkan bahwa mereka itu licik lawan yang jahat terhadap Yesus (Mk 14:1). Kisah, yang mengisahkan kehidupan orang Kristen sesudah wafat Yesus, menyebutkan 8 kali mengenai sikap bermusuhan para imam kepala terhadap Yesus.
Selain itu, ‘imam agung’ disebutkan lebih dari 20 kali dalam Injil dan Kis sebagai konspirator yang menyebabkan Yesus dihukum mati dan sebagai musuh dari para murid (Mt 23:3-4; Kis 5:17-18). Selalu disebutkannya tindakan dan kata-kata jahat dari imam kepala dan imam agung terhadap Yesus dan para rasul memberi kesan bahwa seluruh imamat dari bawah sampai di puncaknya itu korup, jahat dan negatif. Mesti hati-hati untuk mengadili seperti itu. Jelas bahwa hirarki imam pada masa itu kuat dan mereka melawan Yesus dengan keras, tetapi berlebihan untuk menyimpulkan bahwa imam-imam atau bahkan sebagian besar dari mereka, mendukung plot imam kepada melawan Yesus. Jika imam-imam pada abad pertama seluruhnya memusuhi Yesus, maka pelayanan dan kesucian-Nya yang otentik, yang diharapkan ditemukan dalam Injil mestinya langsung mengutuk para imam dan menolak peran mereka sebagai pelayan-pelayan Allah. Tetapi sebagaimana sudah kita lihat di atas, Yesus tidak melancarkan serangan total kepada semua imam. Lebih jauh dapat ditanyakan: dapakah Judaisme tetap akan hidup terus dan moralitasnya mempengaruhi masyarakat andaikata Judaisme dibangun di atas kesucian palsu di atas bangunan pasir para imam dan ibadat Bait Allah?



Dari imam dan Bait Allah menuju Pelayan dan Gereja
Diskusi di atas mengenai para imam dan ibadat bait Allah dalam literatur para nabi dan Injil, mengena atau relevan juga dengan kritik kontemporer terhadap para imam dan ibadat Gereja. Memang mesti diakui bahwa kritik terhadap para imam yang dilakukan Amos dan Hosea atau terhadap imam kepala yang dilakukan Yesus pada masa mereka, tidak bisa seluruhnya begitu saja dialamatkan kepada para imam masa kini. Tetapi ada benang merah yang sama dalam kritik tersebut yakni kesucian yang terikat pada ibadat (tempat ibadat). Kegiatan imam dalam Gereja terutama dalam kegiatan ibadat dikritik keras karena dia membaktikan dirinya secara berlebihan kepada rasa-agama dan kesucian pribadi dari komunitas umat beriman. Panggilan profetis untuk peduli pada keadilan dalam masyarakat, terutama isyu-isyu yang tidak populer, kerapkali diabaikan. Salah seorang kritikus terhadap hal itu adalah J.J. M. Roberts membuat komentar yang membandingkan ibadat Israel dengan Gereja sekarang sebagai berikut: Setiap orang bahkan dengan pengalaman yang amat terbatas dalam Gereja modern dapat menemukan orang-orang Kristen yang suci dan sungguh digerakkan oleh keterlibatan mereka dalam ibadat, tetapi kelihatannya mereka buta terhadap tunutan etis dan moral dari Allah yang mereka sembah dengan penuh bakti. Satu hal yang lebih penting dari perasaan agama bahkan perasaan hormat terhadap Allah di sini diabaikan. Ibadat Israel ditolak YAHWEH, kendati dilakukan dengan rasa hormat bakti, karena hormat terhadap Allah tidak disertai dengan ketaatan terhadap perintah-perintah Allah lainnya”.
Bukan hanya ibadat kristen yang dikritik. Dalam komunitas Yahudi juga terdapat kritik keras terhadap ibadat di sinagoga. Chaterine Medsen yang berpindah dari kristen ke Yahudi, mengalami ibadat dalam kedua komunitas itu. Dalam reaksinya terhadap pengantar liturgi yang diberikan di sinagoga, ia mengajukan kritik yang menusuk terhadap ibadat modern. Ia menghendaki suatu ibadat yang menggugah perasaan atau suatu pengalaman kebangkitan rohani. Rami Shapiro mempertajam kritik Medsen. Ia memperluas kritiknya dari liturgi ke seluruh agama dengan mengatakan: agama yang tertata baik secara kelembagaan mencegah kita berhubungan langsung dengan Allah dan menghalangi universalisme pengalaman perjumpaan dengan Allah.
Ibadat yang sedemikian mungkin pantas dikritik. Banyak orang Kristen saleh menginginkan, seperti yang dilakukan Israel pada masa lalu, suatu ibadat yang inspiratif – yang membawa kepada kebangkitan spiritual. Dalam banyak Gereja, sebagai umat paroki ketika meninggalkan Gereja mereka berterima kasih kepada pastor karena pelayanannya dan karena pesan atau kotbahnya yang inspiratif dan menolong. Para nabi atau rekan-rekan mereka pada masa modern ini jarang menerima responsi yang apresiatif seperti ini. Para pendengar mereka pulang bahkan dengan marah atau diam seribu bahasa.
Kritik-kritik seperti yang sudah disampaikan di atas terhadap para imam yang bernuaansa kritik kenabian bahkan tidak berkurang sekarang ini. Kritik yang pedas dan benar jarang menjadi perhatian kita dan dianggap sebagai suatu hiperbola. Kritik seperti itu, sebagaimana terjadi pada masa dulu mesti mendorong kita atau menggoncangkan kita untuk kemudian berpikir tentang kebenaran iman serta ibadat yang seharusnya terjadi. Kritik terhadap ibadat Isarael kuno yang juga berlaku sekarang justru berpusat pada kenyataan suatu spiritualitas yang tidak menghidupkan dan mewujudkan kerinduan masyarakat akan keadilan. Bagaimanapun juga, sembari kita mengevaluasi makna kritik modern ini, baiklah kita melihat bahwa kritik-kritik bisa berlebihan dan karenanya perlu kualifikasi, yakni bisa benar seluruhnya atau hanya sebagian Gereja dan, tidak seluruhnya berarti bahwa ibadat yang menggugah perasaan sama sekali lepas dari pembentukan nurani sosial.
Tanpa memalingkan telinga dari kritik-kritik itu, kita mesti menelaah bahwa kritik-kritik itu pun tidak seluruhnya melihat bahwa ada sisi lain juga. John O’Sullivan menulis dalam Chacago Sun-Times sambil mengingatkan bertumbuhnya sekularisasi dalam Gereja-Gereja Kristen: Gereja-Gereja sudah kehilangan agama. Dalam masyarakat barat sangat sulit membedakan Gereja lokal dan agen pelayanan sosial. Kemudian dia menulis: Begitu sering bahwa begitu orang pergi ke Gereja untuk menimbah kekuatan serta penghiburan rohani, tetapi mereka malah menerima batu dari kepedulian sosial”. Dengan nada yang sama, Dr. Choan-Seng Son tokoh gerakan ekumenis mengemukakan: Organisasi-Organisasi ekumenis sedang berada dalam bahaya karena tidak memuaskan kehausan rohani. Mereka lebih menekankan aksi sosial politik tanpa kekuatan spiritual.
Memang benar bahwa sejumlah Gereja memberi tekanan atau perhatian besar pada kebangkitan rohani, yang tidak menumbuhkan kepedulian sosial dengan mengabaikan kebutuhan rohani yang ada di sana. Dalam komunitas di mana Allah dilihat sebagai yang peduli pada kebutuhan fisik dan spiritual seseorang maka undangan kepada kepedulian sosial akan terasakan. Rabbi Michael Lerner, pemimpin Journal Yahudi Tikkon, nimbrung dalam soal ini dengan menekankan pentingnya upaya mewujudkan keadilan pada semua lapisan masyarakat tetapi juga menekankan pentingnya pertumbuhan rohani. Sambil mengakui bahwa mereka yang tidak peduli pada realitas sosial yang merusak jiwa telah mengamini spiritualitas palsu, ia mengatakan: Tidak ada suatu perubahan sosial yang dapat menggantikan kehidupan internal seseorang. Buah-buah perubahan sosial tidak akan berlangsung lama jika tidak dilaksakanakan oleh mereka yang tersentuh oleh dimensi spiritual – dan perubahan tidak pernah akan terjadi, karena banyak orang keluar dari gerakan sosial sebelum tujuannya tercapai karena mereka sudah kehabisan bekal bagi jiwa mereka”.
Tekanan pada gizi ibadat dan spiritual tidak boleh dilihat sebagai hal yang tidak berhubungan dengan tanggungjawab sosial. Memang benar bahwa pada masa sekarang ada orang-orang spiritual yang berpikir bahwa dunia ini didiami oleh jiwa-jiwa dan bukan oleh manusia nyata yang berkekurangan. Tetapi kita tidak boleh terlalu terfokus pada spiritualitas palsu ini dan mengabaikan mereka yang hidup secara rohani dan mencari keadilan serta mempratekkan kasih di mana saja mereka hidup. Pribadi-pribadi profetis, apakah di Israel atau di dunia modern kini mendapatkan kekuatan serta dukungan mereka juga dari komunitas masyarakat beriman. Komunitas-komunitas seperti itu membutuhkan nabi, tetapi apa yang jarang disadari adalah bahwa para nabi membutuhkan ibadat, imam dan juga para pastor.


IMAMAT KATOLIK
Karl Rahner

Yang ingin disampaikan di sini – mungkin tidak amat sistematis - sejumlah ide menyangkut hakekat imamat.
1. Peran Perantara dalam seluruh system agama.
Pertama-tama refleksi yang amat sekular dan realistik tentang imam mesti dilihat dari sudut pandang empiris-sosiologis. Kalau Gereja adalah suatu realitas keliahatan, maka Gereja juga punya wujud sosial yang dapat dideskripsikan dalam kategori-kategori atau term-term sosiologis umum. Hal yang sama berlaku juga untuk imamat. Kalau kita terlalu terbuai oleh semacam idealisme dan tidak melihat aspek sosiologis-empiris imamat maka kita akan hanya mengawang-ngawang dan membahayakan imamat itu sendiri.
Jika kita melihat imamat dari perspektif empiris-sosiologis, maka seorang imam dapat dikatakan sebagai seorang yang menjalankan peran perantara dari system total agama, bukan dalam arti totalitarian. Gereja pun mendefenisikan dirinya sebagai suatu system total yang mengintegrasikan dan berupaya mengintegrasikan (kendati dengan segala perbedaan antara tatanan natural dan supernatural) segala sisi kehidupan dan menjalankan perannya pada seluruh aspek itu. Di sini kita juga melihat Gereja sebagai suatu system teligius total. Maka di sana imam adalah seorang pemangku jabatan, suatu fungsioner dalam system religius tersebut, yang menjalankan peran pengantara dengan yang lebih tinggi di atasnya.
Dilihat dari sudut dunia, imam adalah seorang oemegang fungsi yang dependen dan berbeda dengan orang lain yangmenjalankan suatu profesi secara mandiri atau otonom. Melalui imamat kita masuk ke dalam tubuh hierarki denga tingkatan iamat dan struktur di dalamnya. Struktur itu di hadapkan pada kita dan kita diminta untuk menyesuaikan diri dengannya, Karena itu para imam dilihat sebagai pemangku jabatan dari suatu masyaraat sempurna (societas perfecta). Inilah defenisi yang paing sempurna darihidup dan eksistensi imamat kita, kendati Cuma eksternal dan sementara, namun jangan diabaikan. Kita adalah bagian dari suatu system yang lebih besar lagi: sambil bergantung pada mereka yang berada di atas kita dan di bawah kita, para imam memiliki cara hidup khsus, yang sudah diutentukan sebelum kita memutuskan menjadi imam, karena itulah kita disebut seorang fungsioner yang dependen.
Semua kekhasan – semua kebutuhan mental-sosiologis dan bahaya-bahaya dari cara hidup seperti itu, yang semua kita sepakati muncul dari kenyataan-kenyataan tersebut. Karena kita adalah petugas dari suatu system sosial-religius, maka kita menerima begitu saja cara hidup yang sebelumnya dipatok untuk kita.
Hal itu tidak dengan sendirinya benar, karena imam adalah seorang religius. Ia adalah seorang yang harus dan senyatanya dipimpin oleh Roh. Ia harus membentuk dan merancang kehidupannya dari pusat dirinya yang paling dalam. Tetapi, berbeda dengan seorang eremit atau seorang kharismatik bebas, ia dapat menjadi seperti itu hanya degan menginkorporasikan panggilan rohani yang terdalam ke dalam system yang sebelumya sudah tertata untuknya. Hal tersebut tentu saja akan menyebabkan ketegangan, masalah, derita serta pengorbanan. Dalam hdiup sebagai orang petugas dependen dalam Gereja sebagai suatu sistem religius total, yang membedakannya dengan system dari system struktur sosial lainnya, seorang imam tidak lagi memiliki suatu kehidupan privat. Seorang petugas dari suatu system yang tidak seluruhnya religius dapat punya waktu, tenaga, demi pekerjaannya dan demi dirinya. Inilah yang disepakati oleh seorang pegawai dengan system ke mana dia bekerja yakni seberapa banya dari hidupnya yang diabdikan pada pekerjaannya.
Hal ini tidak dapat diterapkan pada seorang petugas dari suatu system religius total. Artinya dia selalu bertugas. Tentu saja ia punya kehidupan pribadi: tidur, makan dan mengembangkan hobi, dllsb. Tetapi hal-hal ini bukan sesuatu yang pertama-tama dikembangkan dalam hidupnya: tetapi harus ditempatkan dalam suatu misi, yakni bahwa dia mengabdikan seluruh hidupnya demi tugas keagamaan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa menjadi imam ibarat memasuki masa bebas untuk mengembangkan hobi dan bahwa kesenangan pribadi kita harus tetap dikembangkan dan bahwa kita siap melayani Gereja dan melaksanakan tugas imamat jika ada waktu kosong (kendati untuk itu memang banyak). Kalau demikian maka tidak akan berjalan baik. Dalam cahaya sosiologis dari kehidupan imamat itu, seorang imam harus sungguh paham bahwa jiwa-raganya, seluruh dirinya adalah milik Gereja, untuk misi Gereja, karya Gereja, tujuan Gereja dan bahwa seorang imam tidak dapat melepaskan dirinya dari hal-hal itu. Seorang negarawan tidak dapat berkata bahwa tugas kerja berakhir dan bahwa tugas-tugasnya dapat dijalankan selepas jam kerjanya. Ia jelas butuh rekreasi, atau melakukan sesuatu, tetapi semua itu dilakukannya dalam terang misinya sebagai seorang negarawan. Hal yang sama dapat juga diterapkan mutatis mutandis pada imam.

2. Resiko dari Institusionalisasi Agama.
Jika seorang imam, dilihat dari luar dan secara sosiologis, adalah seorang yang menjalankan fungsi
Perantara dalam struktur keagamaan total – maka, karena sebagai seorang religius, sebagai imam ia hidup dalam suatu masyarakat sempurna (societas perfecta) demi melayani yang Ilahi – maka resiko menginstitusionalisasi agama muncul. Imamat adalah bentuk kelembagaan agama yang diterima begitu saja dengan tujuan dan tugas-tugas yang jelas. Seorang imam berdoa bukan saja karena lagi mood bersemangat atau karena suatu idealisme, dia harus menjalankan tugas berdoa bervir tiap hari, bukan saja ketika dia sedang mengalami semangat doa berkat Roh Allah dan dia harus merayakan ekakristi setiap hari, dia berbicara tidak aja keluar dari kehangatan serta semangatnya sendiri, dia harus mengajar dan bicara tentang Allah juga ketika hal itu membosankan.
Semua ini adalah bagian dari kehidupan imamat: sebagai bentuk hidup dari seorang petugas dalam suatu masyarakat religius sempurna (societas perfecta religiosa), hal itu perlu dilembagakan. Siapa yang merasa bahwa dia tidak lagi cocok dengan institusionalisasi agama seperti itu tidak bisa lagi menjadi seorang Kristen. Sebagai imam kita mesti menerima kenyataan bahwa kita mesti menaati dan menghadapinya dengan lebih memahaminya dari pada orang awam. Institusionalisasi tidak boleh menghancurkan daya hidup terdalam dari kehidupan beragama kita. Kita mesti menerima resiko dari institusionalisasi agama itu dengan iman akan Allah dan kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus telah membentuk lembaga itu dan menjamin untuk menjaganya dalam segala keterbatasan dan kekakuannya.
Apa yang kita terima sebagai imam yakni institusionalisasi agama dan hidup imamat kita adalah yang dapat ditanggung, jika kita menerimanya secara benar dan bahkan dapat menjadi kekuatan tetap dan mendasar, suatu pemerliharaan, realisasi dan perwujudan dari semangat imamat. Tentu saja kita mesti mencermati bahaya dari institusionalisasi agama, di mana imamat kita juga menjadi bagiannya, seperti bahaya pemanfaatan berlebihan, tidak otentik, kompromis, pemutarbalikan nilai dengan hasil bahwa hidup keagamaan merekamenjadi sarana bagi hidup pribadi, stereotip, klerikalisasi hal-hal luaran, praktek imamat yang tidak lagi sejalan dengan Roh, karena terlalu diinstitusionlasiasi.
Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa menjalankan tugas harian berarti merayakan ekaristi harian sebagai partisipasi dalam perjamuan terakhir Yesus, pewartaan wafat, memikul salib-Nya sebagai antisipasi dari perayaan hdiup kekal. Di sini ada bahaya bahwa tugas pelayanan dijalankan secara rutin, tidak otentik, Cuma secara birokratik, hanya serba hal luaran saja. Kita mesti selalu menjaga diri kita terhadap hal-hal ini secara benar dan tepat, dengan suatu psikologi yang cerdas dan mencegah penggunaan yang berlebihan. Allah tentu akan menganugerahkan kepada kita rahmat-Nya.

3. Kelanjutan Imamat Kristus.
Kita tentu perlu bertanya tentang realitas internal itu, tentang makna dari fenomena sosiolaogis itu, yang mesti kita jawab dengan jelas dan serius jika kita ingin menjadi imam. Imamat adalah kelanjutan dari imamat Kristus. Kristus dalam kesatuan-Nya dengan Allah dan manusia, sebagai rahmat untuk manusia, dalam apa yang dicapai-Nya dan diwujudkan-Nya, jelas-jelas dan melulu seorang imam; sebagai pribadi imam itu sendiriu, dalam Yesuslah sakramen itu terpenuhi, terpadukan dalamrealitas yang ditandakan yakni tanda rahmat Allah tanpa batas, yakani Allah itu sendiri, yang diserahkan kepada manusia secara esaktologis, berjaya dan efektif; yang mau dikatakan adalah bahwa Yesus menganugerahkan dirinya dalam seluruh bekeradaan-Nya, melalui apa yang dicapai-Nya dan dalam diri-Nya sebagai suatu realitas Ilahi-manusiawi dan melalui pernyataan diri-Nya tentang siapa Dia sebenarnya, Gereja dan imam harus dilihat dari sudut pandang ini, imam harus menyatu dalam elemen kultis dan profetis.
Dalam terang PL imam Katolik adalah kesatuan dari tugas kultik dan panggilan profetis yang tidak melembaga. Dua tugas ini yang terpisahkan dalam PL atas alasan yang mendalam maupun sepele, dipersatukan dalam Kristus. Imam Katolik menerima kesatuan tersebut yakni antara peran profetis, selalu baru, imamat yang tak ada batasnya, dipanggil untuk mewartakan Sabda dan juga menjalankan, mempertahankan imamat kultik. Pada saat yang sama, harus juga dilihat, imam kultik tidak melanjutkan kedua fungsi ini dari imam agung abadi, yang dipersatukan dalam Kristus karena imam agung abadi ini melepaskan perannya dan menghilang ke dalam diamnya Allah dalam kebaadian, tetrapi dengan cara itu ia menjadi alat sejati dari imam agung abadi Yesus Kristus. Akibatnya dialah satu-satunya orang yang dapat mempersembahkan korban Kristus dalam ruang dan waktu, sekarang dan di sini, tetapi tanpa mempergandakannya, kednati perayaan kultik itu diperbanyak. Dan dia dapat bicara dan menyelesaikan tugas profetisnya dalam Sabda Yesus dan bukan yang lain, kata-kata baru, tetapi baru dapat mempunyai aktualitas ministerial dari kata Yesus itu – yang tidak laindari Yesus itu sendiri.
Dari sudut pandangan ini kita juga emsti mencermati bagaimana imanat profetis direkrut secara pribadi dalam Perjanjian Baru yang merupakan suatu cara hidup. Ada sesuatu yang baru di sana, model baru eksistensi dalam hubungan dengan orang Kristen lainnya dan terbedakan dari mereka, karena hidup imam adalah cara hidup profetis. Peran profetis itu mesti dikaitkan dengan tugas kultik imam, dengan demikian seorang pastor Katolik memiliki fungsi menjelaskan, mempertahaknkan, mengajarkan dan menafsirkan secara efektif kata-kata sakramental dalam misinya, suatu misi yang mendorong dia keluar dari dirinya, ke dunia sekular. Dia harus mewartakan kata-kata Yesus ke bidang yang tidak melekat pada dirinya, tetapi dunia sekular, maka imam tertahbis dalam Gereja Katolik harus mesti meiliki karakter khas, yang membedakannya dari orang Kristen lainnya.
Perhatikan semua ini dalam kaitannya dengan kata-kata KS yang menggambarkan esesnsi imamat Kristen. Seorang imam adalah seorang bentara, wakil Kristus dan Bapa, pelayan mysteri Allah (1 Kor 4:1); dia adalah rekan-kerja Allah (1 Kor 3:9). Hal-hal ini menyangkut para rasul, imam-imam perdana, mereka adalah sahabat Kristus (Yoh 15:15), bahwa mereka memberi kesaksian tentang Kristus (Kis 1\:8), bahwa meerka adalah bentara-bentara, pengkotbah Sabda Allah (Rom 15:16). Selalu dan di mana-mana di antara segala bangsa dan segala zaman, mereka mewartakan pertobatan, menantikan Kerajaan Allah. Mereka mewartakan khabar gembira, karwena mandat Kristus, sebagai kurir Kristus (ef 3:8). Tugas mereka adalah pelayan sabda. Mereka adalah menyalur sakramen-sakramen (2 Kor 5:18); mereka dipanggil guru para bangsa, penjala manusia (Mt 4:19). Mereka digambarkan sebagai bapa-bapa jiwa-jiwa, yang mereka lahirkan dalam kehidupan supernatural mereka dengan Kristus melalui Injil.

4. Pelayan Komunitas
Ada beberapa hal yang menurut saya perlu anda perhatikan. Imam – sebagaimana diusulkan nama itu – adalah orang tua-tua, presbyteroi, dalam komunitas, untuk komunitas dan dari komunitas (Ac 11:30; Rom 12:8; Fil 1:1;2; 2 Tim 1:6). Umumnya, para imam sekarang bukan lagi orang-orang berusia tua dalam arti usia biologis; tetapi hubungan pelayanan dalam komunitas adalah esensi imamat Katolik. Walaupun kuasa mandat imam para imam diberikan kepadanya oleh Kristus dan tidak diberikan kepada awam, kuasa itu diberikan dengan amksud pelayanan, karena Kristus mencintai dan mengingini komunitas yang diselamatkan, yang dibenarkan, komunitas yang dipersatukan dalam cinta. Gereja mempunyai eksistensi dan struktur sebelum ada aturan hirarkisnya; dan struktur hirarkis itu ada dalam kebutuhan keberadaaan Gereja, yang didirikan Kristus; hiarki ada karena Gereja untuk dan demi Gereja yang diselamatkan Kristus dan dipanggil untuk bersatu sebagai komunitas orang percaya, dibenarkan dan diselamatkan.
Kita tidak mengatur petugas dalam Gereja secara demokratis: kita memiliki mereka karena mesti ada komunitas suci milik Allah dalam Kristus. Semua fungsi ini adalah fungsi pelayanan. Mereka yang berada di posisi tinggi sebenarnya bukan Paus, Uskup dan imam-imam, tetapi mereka yang percaya dan mencintai Allah secara radikal dalam Kristus. Yang terutama adalah kesucian internal hirarki. Semua fungsi yuridis dan hirarkis pada dasarnya berfungsi demi pelayanan dan sakramental berkaitan dengan Gereja Roh Kdus, sebagaimana dijelaskan dengan panjang lebar oleh St. Agustinus pada masanya. Kita harus selalus adar akan panggilan kita ini. Bahkan sekarang kita senantiasa dengar dari umat adanya ekslkusivitas klerus, arogansi klerus dan kleim bahwa mereka tahu lebih banyak. Kita sesungguhnya adalah pelayan rekonsiliasi (2 Kor 5:18), ‘pelayan sukacita’ (2 Kor 1:24), mereka yang menyampaikan warta dan tidak bisa melakukan yang lain – seperti kata St. Ignatius – selain “menyatukan ciptaan dengan penciptanya”.
Dalam Kisah Para Martir ada kisah tentang kemartiran Uskup Felix dari Thibiuca. Di sana tertulis: “Uskup Felix, menengadahkan matanya ke surga dan berkata dengan suara latang, ‘Allah, terima kasih. Saya sudah hidup 56 tahun di dunia. Saya telah menjaga kemurnian hidupku dan telah mewartakan Injil, menyampaikan iman dan kebenaran. Allah surga dan bumi, Yesus Kristus, saya membeiarkan leherku sebagai korban untukmu yang tinggal sepanjang masa. Ketika hidup kita semakin mendekati akhir dan ketika saat ajal tiba, kita harus tetap bisa berdoa dengan kata-kata berani seperti itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Subjek Pendidikan

Pengertian Bunyi Bahasa (Fonologi)

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar

FONOLOGI: FONETIK Oleh:Marsono Gadjah Mada University Press. 2008