KELUARGA YANG MENGGEREJA DAN TANTANGAN AKTUAL

Pengantar
Mencermati Judul :
o Agar keluarga lebih terlibat aktif dalam hidup meggereja
o Mencari bentuk dan wujud keterlibatan yang pas/cocok
o Ideal keluarga katolik masa kini: terllibat aktif dalam hidup menggereja dan dengan itu mewujudkan jati diri sebagai keluarga katolik (ideal).

Telaah singkat sejarah
- Dari keluarga yang terlibat ke keluarga yang tersisih
o Gereja adalah Rumah Tangga Allah (Κγρίακoς = Kγρίος + Οίκoς); die Kirche (Deutsch), Church (English).
o Gereja pada awal adalah Gereja Rumah Tangga: orang Kristen berkumpul dalam rumah-rumah keluarga (berdoa dan memecahkan roti/ekaristi)
o Yang ada hanyalah perkumpulan-perkumpulan jemaat dalam keluarga-keluarga.
o Pemimpin (seperti yang dimengerti sekarang) tidak ada; yang ada hanyalah para diakon (yang menjalankan tugas sosial karitatif). (Cf. Kis.6:1-7)
o Memimpin ibadat bukan suatu jabatan tetap: nampaknya tuan rumah atau siapa saja yang ditunjuk dan dituakan yang memimpin ibadat, seperti kegiatan ibadat dalam lingkungan masa kini.
o Tugas para rasul adalah berkeliling mewartakan (sesewaktu membaptis); Merekalah pemegang otoritas ajaran (doktrin); mereka tidak menjalankan peran seperti imam yang ada sekarang.
o Selain para rasul ada juga ‘penilik’ (επισκοπος =uskup) yang berkeliling untuk melihat keadaan jemaat dan melaporkannya dalam pertemuan jemaat.
o Sentral kegiatan Gereja dan kehidupan Gereja adalah keluarga dan pertemuan-pertemuan keluarga.
o Keluarga merupakan komunitas hidup, tempat tinggal, tempat kebersamaan dan waktu lebih lama dihabiskan dalam kesatuan-kebersamaan.
o Model gereja sebagai rumah tangga Allah bisa kita temukan dalam Kis 2:41-47; 4:32-37.
o Mengapa tidak ada peran imam? Karena hanya satu imam yakni Kristus: yang mempersembahkan korban sekali untuk selamanya. Tidak perlu lagi fungsi itu dijalankan manusia lainnya. Imamat perjanjian lama berpuncak dan berakhir pada Yesus.
o Perayaan pemecahan roti hanya untuk mengenang Yesus saja, sambil mewartakan Dia dan menanti kedatangan-Nya.
o Kesaksian PB tentang imam seperti yang sekarang kita mengerti agak samar-samar. Di sana disebutkan adanya para tua-tua (Kis 11:29) yang rupanya menjalankan fungsi kepemimpinan jemaat.
o Juga ada gambaran para tua-tua seperti gembala (1 Pet 5:1-4); mereka bahkan menjalankan tugas mengurapi dan mendoakan orang sakit (Yak 5:14). Kualifikasi imam itu disebutkan: Tit 1:5: 1 Tim 3:1-7. Tugas itu dijalankan oleh Bapa Keluarga, yang dapat memimpin jemaat dengan baik, bisa mengajar dan berkotbah (1 Tim 5:17).

- Dari keluarga ke Imamat
o Info perdana tentang munculnya jabatan hierarkis dalam Gereja dimulai awal abad ke-2: St. Ignatius dari Antiochia (115 M), yang memperkenalkan struktur hierarki dalam Gereja: Uskup, Imam dan Diakon. Struktur itu berlangsung sampai sekarang.
o Gereja-Gereja di Asia kecil nampaknya memang kemudian di pimpin oleh Uskup, dibantu oleh dewan Imam dan diakon. Dan sejak abad kedua struktur kepemimpinan seperti itu menjadi baku.
o Karena komunitas pada umumnya kecil maka uskup menjalankan tugas utama (tugas imamat dan mempimpin jemaat); tetapi setelah kemudian berkembang maka sebagian tugas diberikan kepada imam (dan diakon). Untuk waktu yang lama: baptisan, krisma dan tobat dijalankan oleh Uskup. Baru kemudian dimandatkan kepada imam (dan diakon).
o Selanjutnya sampai pada abad pertengahan struktur hirarki semakin jelas dan terinci tugas serta wewenangnya (Uskup, Imam dan diakon), dengan pentahbisan yang berbeda; sehingga ada tugas yang dijalankan oleh orang tertahbis, terutama tugas yang terkait dengan sakramen-sakramen. Bersamaan dengan itu memudarlah peran dan tugas berkotbah atau pewartaan Sabda.
o Situasi seperti itu mendapat reaksi keras dari Martin Luther, yang mengembalikan peran dan tugas perwartaan sebagi tugas utama para imam; sebaliknya Konsili Trente menegaskan kembali fungsi imamat: merayakan ekaristi (menghadirkan Kristus), mengampuni dosa (DS 1771).
o Seluruh kegiatan Gereja terkonsentrasi pada petugas resmi Gereja (pejabat hierarki). Keluarga-keluarga (orang awam) kehilangan peran, karena konsentrasi kegiatan berpindah dari komunitas rumah ke Gereja di mana imam mengambil posisi sentral; reaksi yang muncul pada abad pertengahan a.l. munculnya para pengkotbah awam, yang berkeliling berkotbah dan menyerukan pertobatan.
o Konsili Trente memperketat peran dan tugas hierarki dan itu berlangsung bahkan sampai abad ke-20, ketika Gereja nyaris identik dengan hierarki, sedangkan awam menempati posisi sekunder dalam Gereja.

- Mengembalikan Gereja Keluarga.
o Kita sudah lihat bahwa dimensi religius dari keluarga dalam tradisi (yang pada awalnya amat berperan) kemudian kurang diberi tempat. Hal itu dipengaruhi oleh persepsi negative tentang seks, sehingga ideal hidup adalah hidup tanpa seks (selibat). Orang keluar dari keluarga, ke padang gurun untuk hidup sendiri dan mencari Tuhan (petapa).
o Kehidupan religius muncul dengan tendensi yang sama: meninggalkan keluarga dan tidak hidup berkeluarga demi kesempurnaan dalam melaksanakan nasehat-nasehat Injil.
o Lantas umat terbius ke dalam ‘kesadaran’ umat bahwa hidup keluarga adalah kehidupan untuk mereka yang tidak dipanggil Tuhan. Yang dipanggil hanya mereka yang menjadi imam dan menjadi religius. Posisi hidup keluarga bergeser ke tempat kedua.
o Seiring dengan itu maka tugas utama Gereja juga berpindah tangan dari orang Kristen (keluarga) ke orang-orang Kristen terpanggil. Keluarga menjadi sasaran atau obyek pewartaan Injil. Bukan agen atau pelaku pewartaan. Gambaran tentang keluarga seperti itu berakhir dengan Konsili Vatikan II.
o Konsili Vatikan II (GS 47-52) menggambarkan keluarga sebagai Gereja domestik, Gereja keluarga. Hal itu tidak terlalu mengherankan karena ada pertautan yang substansial antara Gereja dan Keluarga Kristiani. Pokok-pokok yang ada dalam keluarga dan ditemukan dalam Gereja: persekutuan, cinta kasih dan kebenaran. Apa yang dihidupi dalam keluarga, juga dihidupi dalam Gereja. Keluarga adalah ‘syering kasih antara Kristus dan Gereja dan dalam keluargalah kasih itu terwujud penuh dan utuh”.
o Persekutuan Gereja dalam tugasnya sebagai saksi (martyria), liturgia, diakonia, koinonia, kerygma dan poimenik secara paling konkret dapat dihidupi dan diaktualisasikan dalam keluarga. Keluarga adalah front terdepan dalam kehadiran Gereja di dunia.
o Karena itu dalam Familiaris Consortio (1981) Yohanes Paulus II menulis a.l. “Tugas-tugas mendasar keluarga Kristiani adalah tugas-tugas gerejawi: Keluarga dipanggil untuk pengabdian demi pembangunan Kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi Gereja” (FC 49). Sehingga keluarga bukan hanya mengandung di dalamnya dimensi/unsur Gerejawi tetapi Gereja itu sendiri: sel vital Gereja dan juga perluasan Gereja itu sendiri.
o Karl Rahner mengatakan: “kita tidak mengatakan bahwa keluarga adalah seperti Gereja, atau bahwa keluarga adalah bagian dari Gereja. Keluarga adalah Gereja yang didalamnya terdapat ungkapan kehadiran Allah yang sungguh Gerejawi dalam persekutuan umat beriman yang khusus”. Tidak ada persekutuan hidup lain yang lebih mengungkapkan persekutuan Gereja lebih daripada keluarga.
o Karena itulah maka penting bahwa keluarga memiliki di dalam hidupnya “ketaatan iman” – kepada Sabda Allah, partisipasi dalam perayaan-perayaan sacramental dari mana keluarga menimba sumber kekuatannya, dan bahwa keluarga sendiri membangun dan menghidupkan dialog, komunikasi serta kesatuan dengan Tuhan lewat ibadat dan doa-doa keluarga. (FC 55 bicara tentang doa keluarga; lihat juga FC 62). Dengan demikian di dalam keluarga berlangsung pewartaan dan pewarisan hidup dan iman Kristiani; suatu peran dasar yang tidak dapat begitu saja dilimpahkan keluarga kepada pihak lain untuk melaksanakannnya.
o Hal-hal seperti itulah yang kita temukan dalam kehidupan keluarga jemaat Kristen perdana. Gereja terungkap dan terwujud dalam persekutuan keluarga dan keluarga adalah wujud nyata persektuan Gereja.
o Gereja rumah tangga adalah tempat di mana kehidupan dikandung, dipelihara dan dicintai. Keluarga adalah sekolah cinta kasih bagi seluruh Gereja. Keluarga adalah sumber cinta kasih dari kehidupan pasangan suami-isteri dan kehidupan baru yang mereka mulai dan pelihara. Tanpa Gereja rumah tangga, tidak ada Gereja, karena di dalamnyalah cinta kasih, yang merupakan hakekeat Allah, dijaga tetap hidup.

Gereja dan Evangelisasi
o LG 35 menegaskan tugas suami-isteri dalam memberikan kesaksian iman dan cinta kasih akan Kristus satu terhadap yang lain dan kepada anak-anak mereka; demikian juga GS 52 mengatakan bahwa keluarga merupakan saksi-saksi misteri kasih Kristusyang diwahykan kepada dunia dalam wafat dan kebangkitan Kristus.
o Keluarga bukanlah penonton atau penggembira dalam tugas evangelisasi tetapi pemain utama atau pelaku utama, sebagaimana dikatakan Paulus VI dalam Surat Apostolik Evangelium Nuntiandi 1975, no. 71 . Jadi keluarga bukanlah lagi obyek, tetapi subyek (pelaku) pewartaan Injil. Karena sebagai Gereja, keluarga dihidupi oleh dan untuk Injil.
o Aspek pokok dari tugas evangelisasi ini adalah kesaksian hidup: “dalam lingkungan perkawinan, pria dan wanita mempelajari makna cinta kasih, dan sebagai pelayan-pelayan sakramen cinta kasih, mereka mewujudkannya dari saat ke saat dalam hidup mereka. Mereka mendekati Injil Kristus yang terus menerus memperlihatkan bahwa hidup sehari.hari adalah alat luar biasa kehadiran Allah di dalam dan melalui transformasi cinta kasih”.
o Kepada lingkungan dan masyarakat sekitar, keluarga menghayati dan menjalankan tugas evangelisasi melalui sejumlah cara:
 Menjadi saksi keindahan cinta kasih Allah kepada manusia dan kasih Kristus kepada Gereja. Mereka pun menjadi saluran dari cinta kasih tersebut kepada sesama.
 Meneruskan kehidupan dan memelihara kesuburan kasih serta melindungi kesucian kehidupan.
 Melalui kesetiaan cinta dan kesuburan kasih keluarga mewartakan cinta kasih dan kesetiaan Allah yang merupakan intisari khabar gembira Injil. Tugas itu dimulai dari dalam keluarga sendiri dan kemudian menyebar ke luar kepada masyarakat.
 Dengan menjalankan inti evangelisasi ini maka keluarga ‘menginkarnasikan’ Gereja ke dalam realitas keluarga dan sekaligus menjadi ujung tombak kehadiran dan pewartaan Gereja.

Gereja dan Tanggungjawab terhadap Masyarakat
o Keluarga kristiani bagian integral dari masyarakat manusia yang lebih luas. Karena itu keluarga kristiani memiliki tanggungjawab terhadap masyarakat dan turut serta berperan di dalamnya: memajukannya serta terlibat mewujudkan kesejahteraan umum.
o Tanggungjawab itu bisa terwujud seperti pengalaman orang Samaria yang menemukan seorang yang tergeletak di pinggir jalan akibat kekerasan dan kejahatan yang menimpanya. Konsern dan peduli pada mereka yang tersisih dari masyarakat, mereka yang cacat dan menderita.
o Menjadi promotor dalam mewujudkan suatu solidaritas demi kemajuan dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan.
o Bersama orang-orang berkehendak baik mereka membaca tanda-tanda zaman, memahaminya dalam terang Injil untuk menemukan rancangan dan kehendak Allah di dalamnya, sehingga kemudian mencari dan menemukan apa yang harus dibuat dan dikerjakan bersama.
o Menjalankan misi kritis dan profetis di tengah masyarakat: terhadap pengaruh media-massa yang menggoyahkan sendiri-sendi nilai moral; pengaruh gaya hidup serta respek terhadap alam dan ekologi.
o Tantangan aktual yang dihadapi keluarga Katolik pada masa kini dapat dirumuskan sebagai berikut:
 Demistifikasi hidup keluarga: keluarga kehilangan dimensi spiritual dan teologisnya; hanya suatu persekutuan hidup manusiawi (sosial-sntropologis); dengan demikian keluarga terbebaskan dari kewajiban-kewajiban relirius, spiritual dan moral. Penerusan serta pendidikan nilai-nilai moral, spiritual dan religius lenyap dari hidup keluarga atas nama kebebasan, otonomi dan kemanusiaan.
 Pemisahan dimensi unitif dan prokreatif dari kehidupan keluarga : keluarga hanya dilihat sebagai persekutuan hidup suami dan isteri, untuk kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Kelahiran anak dilihat sebagai suatu beban sosial, ekonomi dan psikologis. Semakin banyak keluarga menolak kehadiran anak.
 Mereduksi hidup keluarga sebagai sarana saluran pemuasan seksual : yang dicari adalah kepuasan sexual, karena itu asal kepuasan seksual dapat dicapai orang mengkleim berhak membentuk kehidupan keluarga. Suatu gejala yang muncul akhir-akhir ini dalam bentuk perjuangan perkawinan homosexual. Di sini dimensi kepuasan dan kebahagiaan pasangan dapat saja tercapai, tetapi dimensi prokreatif sama sekali diabaikan.
 Hedonisme dan konsumerisme: di balik kecenderungan-kecenderungan ini hidup dan berkembang suatu budaya atau ideologi hidup yang hedonis dan komsumeris. Asal kepuasan dicapai dan dipenuhi, maka orang cenderung mengkonsumsi, menggunakan dan memanfaatkan apa saja. Yang dicari adalah kepuasan dan kebahagiaan personal dengan akibat mengabaikan tanggungjawab sosial serta tanggungjawab terhadap keberlangsungan hidup manusia secara kekseluruhan.
o Di hadapan tantangan-tantangan aktual masa kini keluarga Katolik dipanggil untuk menawarkan kepada dunia nilai-nilai hidup keluarga yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral dan spiritual yang menjadi kekuatan keluarga Katolik untuk berperan dalam masyarakat dan sebagai anggota Gereja menegaskan tugas dan tanggungjawab keluarga terhadap kehidupan secara keseluruhan dan lembaga hidup keluarga sebagai suatu kehidupan menggereja.
o Keluarga kristiani menjiwai masyarakat dan lingkungannya, seperti dikatakan dalam dekrit tentang kerasulan awam (AA 5 dan 11) .

Gereja Keluarga dan Gereja Paroki
o Sekarang ini ada suatu gejala membangun suatu keluarga terbuka, menuju keluarga yang lebih luas – suatu kloster keluarga, untuk meningkatkan kesatuan dan solidaritas antara keluarga, juga kepada mereka yang tua dan usia lanjut sehingga tidak sendirian dan kesepian.
o Keterbukaan keluarga kristiani bukan saja terhadap masyarakat pada umumnya tetapi juga terhadap komunitas Gereja yang lebih luas, terutama pada tingkat lokal yakni Paroki. Dalam kebersamaan di Paroki, keluarga menyatakan kehadiran dan keberadaannya di lingkungan lebih luas; bahwa keluarga tidak sendirian tetapi dalam kebersamaan untuk merayakan sukacita keselamatan. Sehingga perayaan liturgy bersama menjadi kelanjutan dari liturgy dalam Gereja keluarga.
o Keterlibatan di paroki adalah tanda bahwa keluarga tidak hanya ada untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain, untuk komunitas paroki dan gereja yang lebih luas. Bahwa dia bersedia terlibat dalam pelbagai macam bentuk dan wujud pelayanan Gereja (AA 11).
o Keluar dari Gereja keluarga, ke Gereja Paroki tidak dimaksudkan atau tidak berarti mengurangi daya hidup keluarga, sebaliknya justru menemukan sumber yang menguatkan daya hidup keluarga. Kebutuhan untuk keluar dari lingkungan terbatas, ke lingkungan lebih luas adalah kebutuhan vital dan dimensi penting dari keluarga kristiani. Dari pengalaman keluarga-keluarga yang terbuka dan terlibat dalam kepentingan lebih luas menjadi lebih sehat dan kuat.
o Keterlibatan dalam pelbagai macam pelayanan parokial menjadi perwujudan dari Gereja keluarga sebagai pelayan cinta kasih dan keselamatan. Keluarga pewarta adalah juga keluarga misionaris, karena mandat itu tetap berlaku bagi kita masa kini. Dengan demikian: keluarga menjadi tempat dan sarana di mana Injil diteruskan dan tempat dari mana Injil bercahaya (EN 11).
o Kerasulan yang menjadi tugas Gereja akan menjadi sesuatu yang abstrak tanpa ada pelaku-pelakunya yang nyata. Yohanes Paulus II mengatakan: Keluarga seperti Gereja harus menjadi tempat Injil disalurkan, dan Injil memancarkan cahayanya. Dalam keluarga yang menyadari misinya, semua anggota keluarga mewartakan Injil dan menerima pewartaan Injil. Orang tua tidak sekedar menyampaikan Injil kepada anak-anak mereka, melainkan dari anak-anak mereka sendiri mereka dapat menerima Injil itu juga, dalam bentuk penghayatan mereka yang mendalam. Keluarga semacam itu menjadi pewarta Injil bagi banyak keluarga lain dan lingkungan kediamannya (FC 52).



Kepustakaan

APOSTOLICAM ACTUOSITATEM, Dekrit tentang Kersasulan Awam, Konsili Vatikan II.
GAUDIUM ET SPES, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Konsili Vatikan II.
LUMEN GENTIUM, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Konsili Vatikan II.
EMINYAN Maurice, SJ., Teologi Keluarga, Pustaka Keluarga, Kanisius, Jogyakarta 2001.
PAULUS VI, Evangelium Nuntiandi, 1975.
PONTIFICAL COUNCIL FOR THE FAMILY, Enchiridion on the Family, Pauline Books &
Media, Boston 2004.
THOMAS David M., Christian Marriage, Michael Glazier, Delaware 1990.
TOSO Mario, Umanesmo Sociale, Las-Roma 2001.
WOJTYLA Karol, Amore e Responsabilità, Marieti, Genova-Milano 2005 (Ristampa).
YOHANES PAULUS II, Ensiklik Familiaris Consortio, 1981.


Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi dan diskusi:

1. Mengapa keluarga disebut Gereja? Apa maknanya bagi keluargaku dan parokiku?
2. Mengapa kerasulan suami-isteri dan keluarga kristiani penting bagi dunia dan masyarakat?
3. Apa yang menurut anda selayaknya dibuat/dikerjakan keluarga Katolik agar keluarga menjadi tempat pewartaan dan penerusan khabar sukacita Injil?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, DAN PROSEDUR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Kalimat Efektif

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar

Membangun Kekuatan Rakyat Samora Machel