BUDAYA POLITIK SEHAT DARI PERSPEKTIF ETIKA POLITIK DAN ASG Sdr. Peter C. Aman OFM

Pengantar
Tema ini terasa relevan sekaligus menantang, ketika kita mencermati praksis politik serta implementasi demokrasi dalam peristiwa Pemilu tahun 2009 ini. Yang dijumpai adalah suatu praksis politik dan demokrasi pro-forma, sekedar komestika di permukaan, dengan cacat-cacat yang mengabaikan substansi demokrasi itu sendiri.
Praksis politik dan demokrasi sejatinya tidak saja berhubungan dengan kodrat sosial manusia, tetapi juga dengan kodrat manusia sebagai makhluk moral. Dengan moralitas di sini dimaksudkan pertama-tama suatu kualitas manusiawi yang terutama terrelasisasi dalam relasi-relasi sosial, karena manusia tidak bisa tidak berhubungan dengan orang lain (makhluk sosial). Relasi-relasi itu memiliki kualifikasi moral karena mesti terarah kepada pengembangan diri pribadi dan komunitas sosial manusia itu sendiri.
Budaya lahir dari baik sosialitas maupun moralitas yang melekat pada keberadaan manusia itu sendiri. Karena itu praksis relasi tidak dapat mengecualikan moralitas (etika) agar relasi manusiawi itu bermuara kepada kebaikan ideal yang dicitakan manusia secara pribadi maupun komunal (ideal bersama).
Mustahil, Politik Tanpa Etika
Pertautan politik dan etika adalah sine qua non. Etika adalah dimensi konstitutif dari politik.dengan lain perkataan, politik dari dirinya berdimensi etis (moral). Polis - politik (communio) berarti suatu ada bersama, bukan sekedar suatu gerombolan tetapi cum + unus : bersama-sama menjadi satu mewujudkan kebaikan bersama “bonum comune”. Comunio hanya dapat terbangun jika ada dan terpenuhi empat “kebajikan politik” (political virtues): kebijaksanaan (Prudentia), keadilan (Iustitia), pengendalian diri (Moderatio) dan keberanian (Fortitudo) .
Kebijaksanaan (prudentia) mengacu kepada rasionalitas, artinya dapat dipahami dan dimengerti serta dapat dipetanggungjawabkan secara transparan karena standart normatifnya adalah rasio (masuk akal atau tidak). Basis dasar dari etika politik adalah rasionalitas, mengapa? Rasionalitas adalah bagian utuh dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk moral. Kriteria normatif dari politik adalah pertama-tama rasionalitas bahwa ideologi, tatanan dan prosedur-prosedur politik mesti dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan, baik argumentasinya maupun legitimasinya.
Keadilan (iustitia) mengacu baik pada keadilan itu sendiri maupun pada kebenaran. Basis-basis politik dan tujuan serta sarana-sarana yang digunakan, mesti benar sehingga dapat memajukan serta mewujudkan keadilan. Politik tidak dapat mengecualikan keadilan dan kebenaran, karena baik keadilan maupun kebenaran keduanya merupakan nilai fundamental dari suatu komunitas politik (polis atau masyarakat).
Pengendalian diri (moderatio) juga berhubungan dengan rasionalitas dan keadilan. Para politisi bukanlah orang-orang yang sedang mengupayakan pemenuhan hasrat serta nafsu-nafsu irrasional yang berhubungan dengan rasa nikmat (hedonistik). Ia tidak boleh dikendalikan oleh alam tidak sadar (id), juga bukan oleh sekedar superego, tetapi oleh ego (diri) yang sadar akan kaidah etika atau moral. Pengendalian diri bukan saja tanda kematangan pribadi, tetapi juga kematangan politik.
Keberanian (fortitudo) tidak dapat disandingkan dengan kenekatan irrasional atau kekerasan. Keberanian lebih tepat mengacu kepada komitmen dan totalitas untuk memperjuangkan agenda-agenda atau keyakinan-keyakinan politis yang berbasis pada keadilan dan rasionalitas. Juga termasuk keberanian adalah kerelaan untuk berkorban demi sesuatu yang adil dan benar; serta kerelaan untuk menerima dan bersikap akomodatif. Inilah sebabnya mengapa Plato menggagas bahwa para politisi (pengurus kepentingan umum) haruslah manusia-manusia yang memiliki baik kecerdasan intelektual maupun moral (etis). Hanya politisi yang memiliki keberanian yang dapat melihat kehadiran oposisi sebagai sisi penyempurna dari politik yang dibangun serta dipraktekkannya.
Oposisi adalah niscaya dalam budaya politik yang beradab dan beretika. Oposisi yang memainkan peran kritis, akan terus menyuarakan sisi atau aspek lemah dari suatu kebijakan politik, sehingga pengambil kebijakan akan terbantu untuk menemukan cara meminimalisir dampak negatif dari kebijakan yang diambilnya. Kehadiran opisisi akan amat membantu perwujudan akuntabilitas suatu kebijakan politik atau suatu pemerintahan. Sebagai penyempurna kebijakan, oposisi justru dapat memberi kontribusi kepada penguasa agar melakukan apa yang harus dilakukannya, tatkala dia justru mengabaikannya . Kehadiran oposisi hanya dapat diakui dan dihargai oleh suatu kekuasaan yang memiliki keberanian (fortitudo).
Kebenarian dalam politik bersumber pada kesadaran serta persepsi tentang kekuasaan. Ketika kekuasaan dipersepsi sebagai nasib mujur, berkat dan karunia, maka di sana akan muncul “pendakuan” politik. Kekuasaan seolah-olah suatu privilese pribadi sebagai karunia ilahi, yang steril dari kontribusi mamsyarakat, sehingga si penguasa tidak merasa wajib untuk peduli pada suara-suara lain yang muncul ke arena politiknya. Kekuasaan dilihat sebagai “berkah” untuk saya, keluarga dan kelompok saya. Sebanyak mungkin anggota keluarga mengambil bagian dalam “karunia” kekuasaan.
Paham legitimasi politik seperti ini mengaburkan dimensi rasionalitas dari politik dan merupakan cacat besar dan utama dalam politik. Dengan konsep legitimasi kekuasaan seperti ini, kewajiban terhadap rakyat (masyarakat) ditempatkan dalam konteks “kebaikan personal”. Selanjutnya kekuasaan dikelola dalam ruang lingkup atau atmosefer keluarga – penguasa adalah ayah, negara ibarat suatu keluarga besar. Kewajiban kepada rakyat amat bergantung pada kebaikan penguasa dan bukan kewajiban moral yang lahir dari kesadaran dan pemahaman moralitas politik yang tepat. Paham tentang legitimasi kekuasaan seperti ini mencederai demokrasi dan menghambat partisipasi warga dalam mengurus bonum comune.
Urusan negara adalah urusan umum (publik) dan berciri fungsional – bertahan selama dengan setia menjalankan apa yang harus menjadi kwajibannya, sesuai mandat yang diberikan kepadanya. Dalam konteks ini setiap kritik atau catatan kritis, tidak dapat dengan mudah dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah, karena si penguasa terikat oleh suatu kewajiban akan tanggungjawab pulik terhadap pengelolaan kekuasaan yang dijalankannya. Identitifikasi yang nyaris sempurna negara (otoritas) dengan pelaksana kekuasaan adalah suatu wujud kekuasaan yang tiran (absolut), dan karena itu tidak layak ada dalam alam politik demokratis.
Lantas, apa yang dimaksudkan dengan budaya plitik (yang sehat)? Budaya politik adalah pengertian deskriptif dan bukan normative. Budaya politik umumnya dipahami sebagai kebiasaan, nilai dan norma-norma yang melandasi suatu praktek politik . Tetapi dari sisi lain pelaku politik justru dapat mereformulasi atau bahkan mengembangkan suatu budaya politik yang bisa positif (berlandas pada nilai-nilai dan tuntutan etis/moral) atau bahkan sebaliknya cenderung koruptif.
Ketika reformulasi budaya politik itu bergerak di atas dasar keempat kebajikan politik maka terjamin maka reformulasi itu dapat bermakna sebagai penemuan relevansi atau aktualitas kebajikan politk dalam konteks dan waktu tertentu. Sebaliknya ketika kekuasaan mengklaim kuasa atas pendefenisian dan pemaknaan kebajikan politik maka reformulasi menjadi negative dan koruptif. Kekuasaan cenderung koruptif, juga mengkleim diri sebagai otoritas penafsir makna dari kebajikan politik, yang mengingkari penafsiran lain, yang tidak sejalan dengan interpretasi penguasa actual.
Kalau budaya politik itu sehat maka budaya politik mesti menjadi implementasi atau aplikasi dari kebajikan politik, yang secara tepat dan benar menemukan wujud praktisnya dalam kebijakan, yang memacu realisasi kepentingan umum atau kesejahteraan umum.
Budaya politik yang sehat tidak mengedepan kleim kekuasaan, tetapi kelayakan kekuasaan serta moralitas kekuasaan. Inilah prinsip dari budaya politik yang sehat, bahwa pelakunya layak (kompeten dan mampu) serta berkualitas (memiliki kecerdsan) moral, sehingga mampu merancang suatu tatanan politik (budaya politik) yang tertuju kepada satu-satunya tujuan, yakni bonum commune.
Penerapan suatu etika politik menuntut suatu kesadaran etis dari para pelaku politik, karena itu tidak ada otomatisme etis dalam arti bahwa apa yang disadari dan diketahui pasti diimplementasikan. Karena itu etika politik tidak memadai dan harus dilengkapi oleh perangkat lain yakni penegakan hukum.Etika politik berperan dalam meletakan fundasi etis moral dari suatu praktek politik yang dalam penerapannya mesti dilengkapi oleh adanya hukum yang menjamin bukan saja hak-hak dan kepentingan individu, tetapi juga menjamin tercapainya kesejahteraan umum.
Perspektif Ajaran Sosial Gereja
Ajaran Sosial Gereja (selanjutnya ASG) adalah implementasi serta penemuan relevansi pokok-pokok pewartaan Injil, yang menawarkan jalan keselamatan kepada manusia, pada situasi dan konteks kontemporer. Basis ASG adalah iman yang memuat keyakinan-keyakinan akan kebenaran-kebenaran fundamental yang diamini manusia Kristiani karena percaya bahwa keyakinan pada kebenaran itu akan menjamin kebahagiaan yang dicari dan ingin diraihnya dalam seluruh hidupnya.
Apa relevansi dari keyakinan-keyakinan iman tersebut bagi realitas sosial-politik, sehingga ASG memberikan sumbangan bagi pembangunan budaya politik yang sehat?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menemukan inti pokok (substansi) dari pewartaan Injil, sebagai khabar gembira. Inti pokok dari pewartaan Injil yang diserukan oleh Yesus adalah Kerajaan Allah (bdk. Mk.1:15) , yang dipahami sebagai kondisi atau keadaan yang memperlihatkan kekuasaan Allah yang meraja, di mana segala macam bentuk penderitaan manusia dienyahkan .
Konsep ini adalah konsep yang dinamis, suatu symbol dan juga suatu praksis. Karena itu Kerajaan Allah menyangkut suatu imperative iman bagi orang percaya agar membuat dunia ini lebih baik untuk dihuni manusia (Gustavo Gutierrez). Leonardo Boff memahaminya lebih dalam konteks sosio-religius dan politis. Kerajaan Allah adalah idiom teologis yang menginsyaratkan revolusi dalam dunia kehidupan manusia agar dunia menjadi lebih baik, adil dan benar.
Konsep Kerajaan Allah yang terutama mengacu kepada keselamatan universal itulah yang menjadi argument sekaligus legitimasi teologis bagi manusia beriman Kristiani untuk peduli dan terlibat pada persoalan dunia agar terwujud dunia yang menjadi representasi antisipatif dari kerajaan Allah eksatologis itu. Itulah sebabnya komunitas umat beriman ‘tidak bisa tidak’ terlibat dalam perkara social-politik demi suatu dunia manusia yang lebih adil, benar dan beradab.
Dalam konteks itulah Gereja terus menerus terlibat dan menawarkan gagasan, ide atau konsep-konsepnya dalam membangun dunia (politik) menuju dunia yang lebih baik, adil dan benar. Tugas dan kewajiban ini dilihat sebagai dimensi ‘kontstitutif’ dari tugas Gereja mewartakan Injil, artinya pewartaan Injil tidak bisa tidak mendorong Gereja untuk mewujudkan dan memperjuangkan keadilan .
Pendasaran teologis ini menjadi niscaya bagi Gereja di tengah dunia untuk peduli, terlibat dan pro-aktif mengintegrasikan diri dengan semua orang berkehendak baik untuk merancang dan membangun dunia menjadi tempat yang layak serta manusiawi bagi semua . Pernyataan ini bukan sekedar wacana tetapi imperative. Orang-orang Kristen bahkan secara serius diingatkan bahwa mereka membahayakan keselamatan mereka sendiri ketika mereka tidak peduli pada persoalan dunia dan tidak menyumbangkan tenaga dan pikiran serta keterlibatan nyata untuk membangun dunia.
Karena itu Konsli Vatikan kedua tidak saja mengingatkan pentingnya keterlibatan itu, tetapi juga resiko yang harus ditanggung orang kristiani kalau mereka lalai menjalankan tugas kewajibannya membangun dunia :
- Tidak peduli dan tidak terlibat bertentangan dengan kebenaran iman kristiani.
- Juga tidak benar kalau memisahkan urusan dunia dan urusan iman
- Melalaikan kewajiban di dunia ini berarti membayakan keselamatan orang beriman itu sendiri.
- Keterlibatan dunia adalah jalan kesempurnaan, jalan menuju keselamatan, jalan kesucian, ketika secara tepat dan benar menyelaraskannya dengan kehidupan beriman (beragama).
Pokok-pokok ini menjadi fundasi teologis bagi imperatif-imperatif yang mendorong orang beriman kristiani untuk terlibat, baik pada tataran praktis (sesuai peran, komptensi dan keahlian nyata serta profesi mereka); dan kedua, menyumbangkan gagasan-gagasan serta nilai-nilai moral etis yang menjadi prasyarat mutlak terbangunnya budaya politik bermoral sehingga menjadi sarana mempermudah perwujudan kesejahteraan umum (bonum comune).
Dalam sejarah kekristen komitmen tersebut terungkap dalam pelbagai macam bentuk. Tetapi satu hal pasti bahwa sebagai bagian integral dari warga masyarakat mereka memainkan peran signifikan. Dalam atmosfer demokratis di mana kebebasan individual dijamin, maka setiap orang krisiten harus menjadi partisipan dan agen dalam proses transformasi social kemasyarakatan.
Bidang-bidang keterlibatan umat kristiani sebagai warga masyarakat adalah semua bidang yang menjadi medan kepedulian masyarakat secara keselruuhan. Jadi, segala bidang keterlibatan yang menyumabng kepada bangunan tata dunia dalam segala dimensi dan konsernnya . Jadi para prinsipnya orang kristen tidak boleh mengabaikana partisipasi mereka dalam kehidupan publik dalam pelbagai macam bidang seperti ekonomi, sosial, legislatif, administratif, budaya yang secara kelembagaan ada untuk mewujudkan eksejahteraan umum.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah apa saja nilai-nilai yang dipromosikan dan ditawarkan Gereja atau umat kristiani bagi pembangunan suatu budaya politik sehat yang menyumbang pada perwujudan bonum comune?
Kontribusi Etis ASG Bagi Budaya Politik Sehat
Gereja pertama-tama berperan mempromosikan keyakinan-keyakinan moral-etisnya, yang memberikan dasar serta visi dari suatu budaya politik yang sehat secara etis dan moral. Nilai-nilai termaksud adalah:
1. Kehidupan dan Martabat Pribadi
Dunia ditandai oleh materialisme dan memudarnya respek terhadap kehidupan. ASG menegaskan kesucian kehidupan dan keluhuran martabat pribadi yang merupakan landasan bagi visi moral suatu masyarakat. Ada macam-macam ancaman yang timbul dari masyarakat modern yang membahayakan kehidupan dan nilai martabat pribadi. Kehidupan manusia dan keluhuran martabatnya mesti menjadi landasan dan sekaligus tujuan yang mau dicapai oleh setiap upaya pembangunan. Tanpa itu pembangunan kehilangan matra etis-moralnya.
2. Keluarga, komunitas dan partisipasi
Individualisme yang dipacu oleh budaya kompetisi dalam liberalisme mengancam dimensi eksistensial manusia yang adalah makhluk sosial dan moral. Lenyapnya kesadaran akan nilai etis dari sosialitas manusia menyebabkan ekonomi ditata dalam atmosfer yang serba individualis, yang memudarkan sensibilitas serta keprihatinan sosial. Darwinisme sosial menghantui budaya politik kontemporer juga. ASG menegaskan bahwa keluarga adalah pusat institusi sosial yang berkembang menuju kepenuhannya dalam perwujudan kesejahteraan umum suatu masyarakat. Karena itu partisipasi menjadi tema etika politik, di mana setiap pribadi diberi dan mendapatkan peluang untuk berperan membangun keutuhan kebersamaan. Peran kekuasaan adalah menjamin bahwa partisipasi itu dapat diwujudkan secara optimal. Penguasa adalah fasilitator yang menyediakan ruang bagi partisipasi warga dmei perwujudan kesejahteraan umum.
3. Hak dan Tanggungjawab
Martabat manusia dan komunitas manusiawi yang sehat hanya dapat terwujud jika ada penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta tanggung-jawabnya. Hak dan tanggungjawab bukan dua hal yang harus diperlawankan, tetapi komplementer dan kedua-duanya perlu bagi suatu kehidupan masyarakat yang sehat. Penegakan hukum amat penting pagi penegakan dan pengakuan akan hak dan tanggung-jawab warga.
4. Pengutamaan mereka yang miskin dan lemah
Dunia kontemporer ditandai kontradiksi yang memilukan, karena di satu pihak ada timbunan kekayaan yang dinikmati segelintir orang, sedangkan massa mayoritas menderita kemiskinan dan kelemaratan. Konsern politik yang bermoral harus terarah pada pengutamaan pada mereka yang kurang beruntung dan lebih membutuhkan. Yang lemah dan miskin harus terlebih diperhatikan. ASG menawarkan konsep yang dikenal dengan sebutan: preferential option for the poor.
5. Martabat kerja dan hak para pekerja
Ekonomi yang dikembangkan oleh dunia kerja, harus mengabdi kepada kebaikan dan kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Bekerja bukan sekedar sarana untuk memperoleh upah dan dapat hidup. Bekerja adalah wujud partisipasi setiap pribadi sesuai kompetensinya untuk memajukan dunia, yang dalam perspektif teologis dilihat sebagai partisipasi dalam penyempurnaan penciptaan.
Kalau pemahaman etis-moral kerja ini dihargai maka martabat pekerja tidak dapat diabaikan. Manusia bukan sarana atau alat, tetapi tujuan, karena itu pekerja berhak atas kerja, upah layak, hak milik, hak berkumpul dan menyatakan pendapat dan menjalankan insiatif ekonomi. Itulah wujud ekonomi yang manusiawi: mempertahankan dan memperjuangkan martabat dan hak asasi manusia.
6. Solidaritas
Kita sedang mengalami regresi budaya, di mana indiferensi atau ketak-pedulian pada sesama semakin menguat, demikian juga kepedulian terhadap kepentingan umum serta global. Dibutuhkan suatu budaya kebersamaan baru yang berlandaskan pada prinsip solidaritas, sebagai suatu tekad kuat dan teguh mewujudkan kesejahteraan umum dan bukan sekedar rasa-iba, karena setiap pribadi memiliki tangungjawab unutk kebaikan sesama dan kesejahteraan umum (SRS 38).
7. Keutuhan ciptaan
Salah satu isyu yang tidak lagi dapat diabaikan dan harus menjadi bagian utuh dari agenda politik masa kini adalah persoalan ekologi. Ekologi bukan lagi hanya sekedar seruan atau slogan, tetapi taruhan iman. Persoalan ekologi berdimensi etis-moral, menyangkut relasi (iman) akan Allah, serta tanggungjawab moral manusia sebagai makhluk moral.
8. Bonum commune
Bonum commune sasaran akhir dan tunggal dari setiap nilai, prinsip serta kebajikan politik. Bonum commune adalah keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan eksejahteraan umum segenap keluarga manusia.
Penutup
Suatu budaya politik baru, mustahil dibangun dengan mengecualikan nilai-nilai etika-moral, yang mengacu kepada kualitas pribadi yang menjadi prasyarat bagi perwujudan bonum comune. Jika nilai-nilai etis motal lebih mengandalkan kesadarn moral, maka penegakan hukum akan membantu impelemtasi nilai-nilai moral-etis itu secara praktis.
Untuk itu maka dibutuhkan perangkat atau standar nilai-nilai etis moral yang mesti secara mutlak ada dalam suatu budaya politik. NIlai-nilai etis-moral itulah yang ditawarkan oleh ASG. Dengan demikian ASG tidak akan masuk terlalu jauh ke dalam bidang-bidang konkret yang mengandaikan dan mengimplikasikan kompetensi teknis dan professional. AGS memberikan gagasan serta konsep-konsep etis-moral yang akan memberikan visi dasar dari suatu budaya politik, sehingga tujuan yang mau dicapai yakni kesejahteraan umum dapat lebih mudah diwujudkan dan pelaku politik menyadari bahwa mewujudkan bukan sekedar pilihan atau opsi, tetapi imperatif poilitik itu sendiri. Tanpa itu suatu kekuasaan akan kehilangan legitimasi etisnya.

Jakarta, 28 Mei 2009

Komentar

gudang skripsi mengatakan…
Berpolitik sehat berarti mementingkan moral dan etika ketika menyampaikan pemikiran
Ary Janoe. mengatakan…
ok seep.... thanks dah mampir....

Postingan populer dari blog ini

Model-Model Pembelajaran (PPSI, Kemp, Banathy, Dick and Carey)

Pengertian Bunyi Bahasa (Fonologi)

Hubungan Perkembangan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik Dalam Kaitannya dengan Prestasi Belajar

Kalimat Efektif

Subjek Pendidikan